Home / Urban / Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda / Bab 2: Batu Nisan Si Perempuan Gila

Share

Bab 2: Batu Nisan Si Perempuan Gila

Author: Anakin Detour
Pemimpin gerombolan itu, Yuda Santosa adalah yang paling buruk di antara mereka. Dari semua orang yang disewa Amara untuk menjaga makam, dialah yang paling kejam. Dia pernah membuat orang cacat hanya karena berani datang membawa bunga.

Dia mengeluarkan sebatang rokok, lalu salah satu anak buahnya menyalakan untuknya.

"Sialan," gumamnya sambil menghembuskan asap. "Hari ini ulang tahun Tuan Adinata sekaligus pesta pertunangannya. Harusnya aku lagi berenang bersama dengan anggur dan perempuan, bukan malah disuruh gali kuburan si perempuan gila."

Salah satu preman lain melangkah mendekati Evan sambil menyeringai. "Dengar itu? Tuan Yuda lagi kesal. Jadi ini satu-satunya kesempatanmu berlutut, minta maaf karena sudah menyerobot, jadi mungkin kami biarkan kamu pergi. Kalau tidak, kamu akan keluar dari sini dalam potongan-potongan."

Tapi Evan tetap tak bergerak. Rahangnya menegang, hatinya mendidih penuh amarah.

Preman itu meludah ke arah makam.

Ptu!

"Bagus bidikannya." Yuda tertawa dan yang lain ikut terbahak. Suara mereka menggema di seluruh pemakaman.

Yuda melangkah lebih dekat, sepatu botnya berderak di atas rerumputan kering. "Ayo, Nak. Lakukan apa yang dia bilang. Berlutut. Atau tetap berdiri dan kubur dirimu di sebelahnya."

Pria yang meludah itu membungkuk mengejek. "Kenapa? Belum pernah lihat orang meludah sebelumnya?"

Tapi Evan sudah sampai pada batasnya.

Dalam satu gerakan cepat, Evan mencengkeram kerah pria itu dan menghantamkan wajahnya ke tanah berbatu.

Krak!

Pria itu menjerit, darah menyembur dari mulutnya sementara empat giginya terlempar berserakan di tanah.

Yang lain membeku tak percaya.

Apakah barusan dia mengangkat orang itu hanya dengan satu tangan?

Tatapan Evan kini terkunci pada Yuda. Dingin. Tanpa belas kasih.

"Kamu," ucap Evan dengan suara dingin. "Jilat itu sampai habis."

Preman yang terluka itu merengek di tanah, darah terus mengucur dari mulutnya.

"Yuda! Tolong aku! Kumohon!"

Dia mencoba merangkak pergi, tapi Evan menginjak kuat pergelangan kakinya.

Krak!

Jeritan kesakitan kembali memecah udara.

"Kau bajingan gila!" teriak Yuda. "Tahu siapa aku?!"

Yuda menoleh pada yang lain. "Jangan cuma berdiri di situ, jatuhkan dia!"

Salah satu dari mereka menyerbu Evan dengan sekop, mengayunkannya seperti pemukul bisbol.

Sebelum senjata itu mendekat, Evan sudah menangkapnya di udara, memutarnya dari tangan si preman, lalu menghantamkan balik dengan cepat hingga pria itu terpental jauh melintasi pemakaman.

Tubuhnya mendarat dengan keras. DIa pun mengerang sambil berusaha bernapas.

"Kamu... apa kamu sebenarnya?!" Yuda melangkah mundur dengan gemetar.

"Aku sudah bilang." Suara Evan menggelegar seperti guntur. "Jilat. Itu. Semua."

Preman yang terluka itu tidak menunggu peringatan lain. Dengan gemetar, ia menyeret tubuhnya ke arah makam dan mulai menjilat ludah itu.

Yang lain hanya bisa menatap dengan terkejut sekaligus ketakutan.

Lalu, suara deru mesin meraung.

Tujuh truk Hilux berhenti berbaris rapi. Bagian belakang tiap truk penuh dengan batangan emas murni yang berkilau di bawah sinar matahari.

Pria-pria berseragam turun, berdiri tegap seakan sudah melakukan ini ribuan kali.

Evan hanya memberi satu perintah, "Mulai."

Sekejap saja, para pria itu langsung bergerak.

Sebelum siapa pun sempat bereaksi, udara kembali berubah, tujuh limusin panjang meluncur masuk, dan di belakangnya menyusul truk-truk angkut militer.

Begitu pintu terbuka, lebih dari seratus tentara bersenjata turun dan berbaris rapi menuju makam.

Tanpa ragu, mereka serentak berlutut di hadapan Evan.

Mulut Yuda ternganga.

Sementara para preman lainnya terhuyung mundur ketakutan.

"Apa-apaan ini..."

"Ini film atau apa?"

"Siapa sebenarnya orang ini?!"

Para tentara menundukkan kepala serentak.

"Paduka Raja!" teriak mereka lantang.

Evan mengangguk. "Mulai."

"Siap, Paduka Raja!"

Truk-truk itu mulai menurunkan muatan. Emas. Peralatan. Perkakas.

"Gunakan semuanya." Salah satu tentara berseru. "Makam ini akan dibangun kembali dengan emas sesuai perintah."

Yuda nyaris tak bisa bernapas. "Emas? Untuk dia? Orang ini gila?!"

"Aku rasa dia bukan gila," bisik preman yang lain. "Aku rasa dia berkuasa."

"Aku belum pernah melihat kekayaan sebanyak ini di satu tempat..."

"Dan dia menghabiskan semuanya... untuk seorang wanita yang sudah mati?"

Evan berjalan perlahan menuju makam dan berlutut, menyapu tanah dengan lembut dari nisan itu.

"Bu," bisiknya, "Ibu selalu ingin hidup yang indah. Dulu Ibu sering bilang padaku, Evan, suatu hari kamu akan kaya dan kamu akan membelikan Ibu sebuah istana.’"

Ia tersenyum tipis, meski matanya menyala penuh bara.

"Maafkan aku. Aku datang terlalu terlambat."

Lalu ia berdiri, kedua tangannya terkepal.

"Tapi untuk balas dendam... aku belum terlambat."

Suaranya mengeras setajam baja.

"Amara Wijaya. Penyihir itu. Akan aku seret dia ke makam ini. Dia akan berlutut di sini. Dia akan menangis minta ampun. Dan aku akan membuatnya membayar atas setiap hal keji yang dia lakukan padamu."

Ia menatap tajam ke arah para pria yang masih terpaku di tempatnya.

Mata Evan menyipit, suaranya rendah menggeram.

"Tadi... kamu bilang apa?"

Hanya dari keberadaannya saja, udara terasa lebih berat, dipenuhi niat membunuh yang mentah dan buas.

Yuda langsung berlutut, tubuhnya gemetar.

"Tolong! Ampuni kami! Kami cuma orang suruhan, sumpah! Dorian Dirgantara yang mengirim kami! Dia dari Keluarga Narayani... Dia juga pengawal pribadi Nona Amara!"

Ekspresi Evan sedikit berubah.

"Keluarga Narayani..." gumamnya. "Jadi penyihir itu benar-benar berhasil. Licik seperti biasa. Dia menikah demi kekuasaan."

Untuk sesaat, keheningan Evan membuat Yuda mengira ia sudah menyentuh titik lemahnya. Sebuah senyum tipis mulai muncul di sudut bibirnya.

Dia ragu sejenak. Dia takut... Aku tahu itu.

Yuda sedikit meluruskan tubuhnya, tersulut oleh perubahan itu.

"Dia ketakutan," bisiknya pelan. "Siapa pun pasti begitu setelah mendengar nama Dorian..."

Dorian bukan sekadar seorang pengawal. Dia sudah seperti keluarga, seorang petarung elit yang ditakuti sekaligus dihormati di seluruh wilayah. Reputasinya legendaris. Kejam. Tak terkalahkan. Tidak ada orang waras yang berani melawannya.

Bahkan orang ini pun sama, Yuda berpikir penuh keyakinan. Sekuat apa pun dia terlihat, Dorian pasti akan menghancurkannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 100

    Jalan-jalan di Kawungara sore itu terasa sangat tegang.Konvoi kendaraan lapis baja berwarna hitam melesat di tengah lalu lintas seperti hiu di laut lepas. Kaca jendelanya berwarna hitam pekat, gerakannya senyap dan terkoordinasi, seperti pemangsa dalam formasi.Di setiap pelat nomor ada lambang emas yang mencolok.Lambang Raja Perang.Di dalam salah satu kendaraan utama, seorang prajurit menekan jarinya ke penutup telinga. "Target berubah arah. Ulangi, lokasi Raja Perang bergeser. Sekarang dia menuju Emerald Palace.""Alihkan semua unit," jawaban dingin dan otomatis terdengar dari pusat komunikasi. "Pasang pengawasan di restoran dalam lima menit. Kunci area secara diam-diam. Jangan sampai ada yang tahu, dan jangan ada kepanikan. Dia tidak boleh terganggu.""Siap, Pak."Konvoi berbelok tajam di persimpangan, sirene dimatikan, ban berbisik di atas aspal saat mereka melaju ke salah satu mahkota kota.Restoran Emerald PalaceRestoran itu menyediakan pengalaman makan paling mewah di Kawung

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 99

    "Lihat yang aku punya!" Pandu menyambar, memamerkan layar ponselnya seperti benda suci. Suaranya penuh kesombongan, sikapnya congkak. "Aku kenal Tuan Baskara secara pribadi. Aku telepon dia sekarang juga!"Dia tersenyum, menunggu reaksi terkejut dan takjub. Tapi tak ada satupun yang datang.Sebaliknya, Ghara menggeletakkan jari-jarinya dengan suara ceklek, melangkah maju dengan ancaman tenang seorang predator. "Bajingan," geramnya. "Berani sekali kau menghina bosku di hadapanku. Kau bosan hidup, ya?"Matanya menyala-nyala. Satu kata lagi dari Pandu, dan pria itu akan mencium aspal.Tapi sebelum Ghara sempat meninju, sebuah tangan meraih lengannya."Jangan buang tenaga," kata Evan dingin, tatapannya teguh dan membeku. "Kamu tidak perlu bertarung di lumpur dengan babi. Nanti malah kamu yang kotor dan babinya malah menikmatinya."Dia berbalik ke arah pintu keluar, suaranya tenang tapi memerintah. "Ayo pergi."Pandu belum selesai. Belum. Dia menekan tombol panggil. "Kalian akan makan kata-

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 98

    Saat Evan dan Ghara melangkah keluar dari gedung tinggi Pratama, suasana di belakang mereka masih terbakar dengan ketegangan yang sunyi. Pintu kaca besar menutup dengan desis, mengunci kekacauan yang baru saja mereka buat. Ghara tetap diam, tapi pandangannya melirik ke samping, waspada seperti biasa.Lalu..."Evan!" Suara yang dikenalnya memanggil.Evan menoleh, melihat Hannah berlari ke arahnya, wajahnya campuran antara khawatir dan lega. Kunciran rambutnya yang panjang melambai di belakang seperti bendera darurat. Clara mengikuti dengan langkah lebih anggun, tumitnya berderak ringan di atas trotoar, tangannya terlipat, dan ekspresinya sulit dibaca."Kamu ke mana saja?" Hannah terengah saat tiba di sampingnya. "Kami sudah cari-cari kamu sepanjang hari! Kamu tiba-tiba hilang!"Evan tersenyum tenang. "Mengurus sesuatu yang penting.""Kamu bukannya harusnya ada di alun-alun Menza? Untuk latihan itu?" tanya Evan."Ya, kami memang harusnya di sana," jawab Hannah sambil menarik napas. "Tapi

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 97

    "Kamu..." Suara William pecah, lalu stabil dengan penuh racun. "Kamu mungkin kuat, tapi aku peringatkan, kalau kamu coba ganggu kedatangan Raja Perang, aku yang akan membunuhmu sendiri."Kerumunan bergumam saat nama itu disebut. Bahkan para tentara bayaran paling berani pun pucat mendengarnya. Nama Raja Perang sakral, ditakuti di seluruh Kawungara seperti nama dewa yang hidup.William menghela napas, berusaha menjaga ketenangan. Ia merapikan jasnya dan mengatur manset emasnya, ekspresinya berubah dari agresif ke penuh perhitungan."Aku tak punya waktu untuk menghiburmu." Ia melambaikan tangan. "Bilang... berapa yang kalian mau?"Evan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, tatapannya tak terbaca.William mengatupkan giginya erat dan berpikir, 'Para gila sialan ini pasti cuma karena uang. Pasti itu alasannya. Kalau ini makin parah, Raja Perang bakal mengubur aku beserta seluruh keturunanku!'Ketegangan di udara tajam seperti pisau cukur.Bibir Evan tersenyum sinis yang tak sampai

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 96

    Keheningan berat menyelimuti area itu, kerumunan membeku seperti patung.William Pratama melangkah maju dengan langkah pelan dan penuh perhitungan. Sepatu hitamnya menginjak genangan darah dengan ringan saat ia berlutut di samping sosok tak bernyawa itu. Sehelai kain putih setengah basah oleh darah merah.Dengan tangan gemetar, ia menarik kain itu ke belakang.Dan dunianya berhenti."Peter...?"Suaranya pecah. Dingin yang mengalir dalam tubuhnya bukan dari angin.Itu Peter, anak didiknya yang terakhir. Penerus yang ia pilih. Masa depan Pratama.Sekarang tinggal mayat yang hancur."Tidak... tidak tidak tidak!" geram William, wajahnya memelintir antara amarah dan duka. Giginya mengatup begitu keras hingga otot rahangnya berdenyut. "Bagaimana bisa ini terjadi... lagi?!"Ia menarik tubuh Peter yang terkulai lebih dekat, kepala bocah itu berguling tanpa nyawa di lengannya.Beberapa hari lalu, ia baru saja mengubur putranya satu-satunya, Bagas yang tewas dalam pembunuhan misterius yang menin

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 95

    "Tuan William... Anda terlihat tegang," kata Rama sambil menampilkan senyum yang tidak sampai ke matanya. "Kalau Anda punya urusan yang lebih penting, silakan saja pergi. Aku bisa mengurus penyambutannya."William tidak menoleh padanya. "Hmph. Apa yang bisa lebih penting daripada menyambut Raja Perang?"Suaranya terdengar halus, bahkan sopan, tapi lapisan es di bawahnya tidak mungkin terlewatkan. Keduanya tersenyum. Keduanya saling membenci sampai ke akar. Begitulah dunia bisnis.Rama merapikan ujung mansetnya. "Tentu. Bagaimanapun juga ini perusahaan Anda.""Benar," jawab William, sedikit memutar tubuhnya untuk menghadap. "Grup Pratama adalah milik Keluarga Pratama. Jadi wajar saja kalau aku yang memberikan penghormatan yang layak kepada seseorang... sekelas dia."Sindiran itu tepat sasaran.Rahang Rama menegang. Senyumnya tetap terpasang, tapi diamnya berkata banyak.'Pembohong. Kamu berkeringat karena akan membunuh seseorang. Dan aku tahu itu.'Tidak ada lagi kata yang terucap.Kete

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status