Share

Bab 5: Dorian Dirgantara

Author: Anakin Detour
Alan menunduk dan dengan lembut membantu Larisa berdiri, tangannya menempel penuh dukungan di punggung bawah wanita itu. Suaranya turun menjadi lembut, nyaris menggoda.

"Jangan khawatir, Larisa. Biarkan orang-orangku mengurus orang gila itu. Ikutlah denganku. Aku akan membawamu ke tempat yang aman."

Larisa menatapnya dengan senyum gemetar, menggenggam lengannya seolah dirinya begitu tak berdaya. "Terima kasih, Alan. Kamu benar-benar baik. Aku merasa jauh lebih tenang sekarang."

Namun di lantai, Arya sudah memutar lehernya hingga berbunyi krek, menggenggam tongkat besi dengan kedua tangannya. Wajahnya menyeringai buas saat ia maju dengan penuh percaya diri karena nama besar Keluarga Narayani berada di belakangnya.

"Bajingan sombong," desis Arya di antara giginya yang terkatup rapat. "Kamu sudah mencari gara-gara dengan orang yang salah. Dengan Keluarga Narayani di belakangku, kematianmu bahkan tidak akan tercatat, seolah tak pernah ada."

Ia mengayunkan tongkat besi dengan kekuatan mematikan, mengarah tepat ke kepala Evan.

Namun Evan sama sekali tidak bergeming. Ia tetap duduk tenang sambil memutar sisa anggur dalam gelasnya. Lalu, secepat kilat, kakinya menghantam lantai marmer dengan kekuatan yang tak wajar.

BOOM!

Gelombang energi tak kasatmata meledak dari bawah kakinya, seperti gelombang kejut dari ledakan bom. Semua penjaga dalam radius lima belas kaki terpental ke udara, menghantam meja, pilar, dan dinding seperti boneka kain. Piring-piring pecah. Gelas-gelas anggur meledak. Musik langsung terhenti.

Alan yang baru saja mencapai tangga bersama Larisa, terhenti di tengah langkahnya. Tangannya masih melingkar di pinggang wanita itu, tapi matanya terbelalak melihat anak buahnya tergeletak di lantai, mengerang dan kejang kesakitan.

"Apa-apaan ini..." gumamnya terbata, rahangnya ternganga. Lututnya nyaris tak mampu menopang tubuhnya.

Evan bersandar santai di kursinya dan menyesap anggur dengan tenang, seolah tak terjadi apa-apa.

Di lantai atas, Adinata tersedak minumannya, menyemburkan anggur merah ke pagar balkon saat menatap tak percaya pada pemandangan di bawah.

"Dorian... kau lihat itu?" tanyanya dengan suara bergetar. "Orang itu, dia baru saja melempar lebih dari sepuluh orang seperti daun tertiup angin! Sebenarnya dia ini apa?"

Dorian dengan kedua tangan di belakang punggung, perlahan mengelus janggutnya yang berjalur abu-abu. Ekspresinya tetap tak berubah, hanya saja matanya sedikit menyipit.

"Hmm... menarik. Dia bukan preman biasa. Mungkin seorang ahli bela diri yang sudah ditempa... atau seseorang dengan latar belakang tersembunyi. Bagaimanapun juga, biar aku sendiri yang melihatnya."

"Aku ikut denganmu," potong Adinata tajam. "Ini pesta pertunanganku. Tidak ada yang bisa merusaknya lalu pergi tanpa dihukum."

Kedua pria itu pun menuruni tangga bersama.

Di lantai bawah, Evan meletakkan gelas anggurnya di meja dan akhirnya mengalihkan seluruh perhatiannya pada Alan.

"Kamu," ucap Evan tenang, suaranya seperti sebilah pedang tajam yang diselimuti sutra. "Ke sini."

Alan tersentak, wajahnya berubah panik. "A… Aku? Jangan bodoh, anak muda! Hotel ini milik Keluarga Narayani! Kamu sudah mengacau di acara mereka, acara ulang tahun sekaligus pertunangan Tuan Adinata sendiri!"

Ia mencoba membusungkan dada, tapi suaranya bergetar. "Kamu... kamu sebaiknya segera berlutut dan memohon ampun sebelum menyesal sudah datang ke sini. Tuan Adinata akan segera tiba. Dan percayalah, kamu akan menyesal kalau dia melihat kekacauan ini!"

Di sekeliling ruangan, bisik-bisik berubah menjadi paduan suara penuh ancaman.

"Anak muda, kalau masih punya akal sehat, segera berlutut! Minta maaf!"

"Kamu bakal tamat! Tak ada yang bisa melawan Keluarga Narayani!"

"Kamu sama saja sudah mati!"

Namun Evan tetap tidak bergerak. Ekspresinya tidak berubah. Kebisingan di sekitarnya seolah memudar menjadi latar belakang semata.

Alan melangkah mundur dengan gemetar. Melihat Evan tidak bereaksi, ia memutuskan kabur bersama Larisa selagi masih ada kesempatan.

Namun mata Evan tiba-tiba kembali menatapnya tajam.

"Aku bilang... ke sini!" ulangnya, kali ini lebih keras.

Alan terhenti di tempat. Tubuhnya menegang.

Pada saat yang sama, Dorian dan Adinata mencapai anak tangga terakhir. Rasa takut Alan lenyap seketika, berganti dengan seringai licik.

"Ha! Sekarang kau sudah tamat!" teriaknya sambil menunjuk Evan. "Dorian! Tuan Adinata! Bajingan ini menyerang anak buahmu dan tidak menghormati Nona Larisa! Aku meminta izin untuk membunuhnya!"

Evan perlahan berdiri, kini menjulang seperti bayangan gelap yang menekan seluruh ruangan. Ia membungkuk, mengambil tongkat besi yang tergeletak di lantai hancur, lalu dengan sekali kibasan pergelangan tangan, melemparkannya tepat ke kaki Alan.

Krak!

Tongkat itu menghantam tulang keringnya seperti palu menghantam tulang rapuh. Suara patah yang mengerikan bergema di aula. Alan langsung terjatuh, menjerit sambil memegangi kakinya, darah membasahi celananya.

"AAARGH! Kakiku! Kamu mematahkan kakiku!"

Evan melangkah mendekat dengan langkah mantap, tak tergesa. Kerumunan orang mundur ketakutan, udara seolah makin dingin setiap kali kakinya menapak.

"Kau bilang akan membunuhku," ucap Evan datar, suaranya tanpa emosi. "Aku tidak akan memberi ampun pada orang yang mencari mati."

"Tidak… tolong, tunggu! Aku tidak sungguh-sungguh! Aku hanya mencoba menakut-nakutimu!" rengek Alan sembari merangkak mundur. "Kumohon… ampuni aku!"

Namun Evan tidak berhenti. Ia menancapkan sepatu botnya di kepala Alan dan mulai menekan perlahan.

"Kalau begitu, kau memilih orang yang salah untuk ditakuti," katanya dingin.

Suara retakan mulai terdengar lagi, tengkorak Alan berderak di bawah tekanan.

"AAHH! Sakit… hentikan…. kumohon!"

Para tamu menyaksikan dengan ngeri. Larisa sudah benar-benar kehilangan perannya, tubuhnya gemetar hebat sambil merapat ke dinding di belakangnya.

Tiba-tiba!

"BERHENTI DI SANA!"

Suara komando itu menggema seperti guntur.

Adinata melangkah maju, diapit tiga pria berjas hitam berwajah garang, sementara Dorian berjalan di belakangnya, kedua tangannya tetap tenang bersedekap di belakang.

Suasana berubah. Suhu ruangan seakan turun lebih dingin lagi ketika dua kekuatan itu saling berhadapan.

Namun Evan masih belum mengangkat kakinya dari kepala Alan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 100

    Jalan-jalan di Kawungara sore itu terasa sangat tegang.Konvoi kendaraan lapis baja berwarna hitam melesat di tengah lalu lintas seperti hiu di laut lepas. Kaca jendelanya berwarna hitam pekat, gerakannya senyap dan terkoordinasi, seperti pemangsa dalam formasi.Di setiap pelat nomor ada lambang emas yang mencolok.Lambang Raja Perang.Di dalam salah satu kendaraan utama, seorang prajurit menekan jarinya ke penutup telinga. "Target berubah arah. Ulangi, lokasi Raja Perang bergeser. Sekarang dia menuju Emerald Palace.""Alihkan semua unit," jawaban dingin dan otomatis terdengar dari pusat komunikasi. "Pasang pengawasan di restoran dalam lima menit. Kunci area secara diam-diam. Jangan sampai ada yang tahu, dan jangan ada kepanikan. Dia tidak boleh terganggu.""Siap, Pak."Konvoi berbelok tajam di persimpangan, sirene dimatikan, ban berbisik di atas aspal saat mereka melaju ke salah satu mahkota kota.Restoran Emerald PalaceRestoran itu menyediakan pengalaman makan paling mewah di Kawung

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 99

    "Lihat yang aku punya!" Pandu menyambar, memamerkan layar ponselnya seperti benda suci. Suaranya penuh kesombongan, sikapnya congkak. "Aku kenal Tuan Baskara secara pribadi. Aku telepon dia sekarang juga!"Dia tersenyum, menunggu reaksi terkejut dan takjub. Tapi tak ada satupun yang datang.Sebaliknya, Ghara menggeletakkan jari-jarinya dengan suara ceklek, melangkah maju dengan ancaman tenang seorang predator. "Bajingan," geramnya. "Berani sekali kau menghina bosku di hadapanku. Kau bosan hidup, ya?"Matanya menyala-nyala. Satu kata lagi dari Pandu, dan pria itu akan mencium aspal.Tapi sebelum Ghara sempat meninju, sebuah tangan meraih lengannya."Jangan buang tenaga," kata Evan dingin, tatapannya teguh dan membeku. "Kamu tidak perlu bertarung di lumpur dengan babi. Nanti malah kamu yang kotor dan babinya malah menikmatinya."Dia berbalik ke arah pintu keluar, suaranya tenang tapi memerintah. "Ayo pergi."Pandu belum selesai. Belum. Dia menekan tombol panggil. "Kalian akan makan kata-

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 98

    Saat Evan dan Ghara melangkah keluar dari gedung tinggi Pratama, suasana di belakang mereka masih terbakar dengan ketegangan yang sunyi. Pintu kaca besar menutup dengan desis, mengunci kekacauan yang baru saja mereka buat. Ghara tetap diam, tapi pandangannya melirik ke samping, waspada seperti biasa.Lalu..."Evan!" Suara yang dikenalnya memanggil.Evan menoleh, melihat Hannah berlari ke arahnya, wajahnya campuran antara khawatir dan lega. Kunciran rambutnya yang panjang melambai di belakang seperti bendera darurat. Clara mengikuti dengan langkah lebih anggun, tumitnya berderak ringan di atas trotoar, tangannya terlipat, dan ekspresinya sulit dibaca."Kamu ke mana saja?" Hannah terengah saat tiba di sampingnya. "Kami sudah cari-cari kamu sepanjang hari! Kamu tiba-tiba hilang!"Evan tersenyum tenang. "Mengurus sesuatu yang penting.""Kamu bukannya harusnya ada di alun-alun Menza? Untuk latihan itu?" tanya Evan."Ya, kami memang harusnya di sana," jawab Hannah sambil menarik napas. "Tapi

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 97

    "Kamu..." Suara William pecah, lalu stabil dengan penuh racun. "Kamu mungkin kuat, tapi aku peringatkan, kalau kamu coba ganggu kedatangan Raja Perang, aku yang akan membunuhmu sendiri."Kerumunan bergumam saat nama itu disebut. Bahkan para tentara bayaran paling berani pun pucat mendengarnya. Nama Raja Perang sakral, ditakuti di seluruh Kawungara seperti nama dewa yang hidup.William menghela napas, berusaha menjaga ketenangan. Ia merapikan jasnya dan mengatur manset emasnya, ekspresinya berubah dari agresif ke penuh perhitungan."Aku tak punya waktu untuk menghiburmu." Ia melambaikan tangan. "Bilang... berapa yang kalian mau?"Evan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, tatapannya tak terbaca.William mengatupkan giginya erat dan berpikir, 'Para gila sialan ini pasti cuma karena uang. Pasti itu alasannya. Kalau ini makin parah, Raja Perang bakal mengubur aku beserta seluruh keturunanku!'Ketegangan di udara tajam seperti pisau cukur.Bibir Evan tersenyum sinis yang tak sampai

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 96

    Keheningan berat menyelimuti area itu, kerumunan membeku seperti patung.William Pratama melangkah maju dengan langkah pelan dan penuh perhitungan. Sepatu hitamnya menginjak genangan darah dengan ringan saat ia berlutut di samping sosok tak bernyawa itu. Sehelai kain putih setengah basah oleh darah merah.Dengan tangan gemetar, ia menarik kain itu ke belakang.Dan dunianya berhenti."Peter...?"Suaranya pecah. Dingin yang mengalir dalam tubuhnya bukan dari angin.Itu Peter, anak didiknya yang terakhir. Penerus yang ia pilih. Masa depan Pratama.Sekarang tinggal mayat yang hancur."Tidak... tidak tidak tidak!" geram William, wajahnya memelintir antara amarah dan duka. Giginya mengatup begitu keras hingga otot rahangnya berdenyut. "Bagaimana bisa ini terjadi... lagi?!"Ia menarik tubuh Peter yang terkulai lebih dekat, kepala bocah itu berguling tanpa nyawa di lengannya.Beberapa hari lalu, ia baru saja mengubur putranya satu-satunya, Bagas yang tewas dalam pembunuhan misterius yang menin

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 95

    "Tuan William... Anda terlihat tegang," kata Rama sambil menampilkan senyum yang tidak sampai ke matanya. "Kalau Anda punya urusan yang lebih penting, silakan saja pergi. Aku bisa mengurus penyambutannya."William tidak menoleh padanya. "Hmph. Apa yang bisa lebih penting daripada menyambut Raja Perang?"Suaranya terdengar halus, bahkan sopan, tapi lapisan es di bawahnya tidak mungkin terlewatkan. Keduanya tersenyum. Keduanya saling membenci sampai ke akar. Begitulah dunia bisnis.Rama merapikan ujung mansetnya. "Tentu. Bagaimanapun juga ini perusahaan Anda.""Benar," jawab William, sedikit memutar tubuhnya untuk menghadap. "Grup Pratama adalah milik Keluarga Pratama. Jadi wajar saja kalau aku yang memberikan penghormatan yang layak kepada seseorang... sekelas dia."Sindiran itu tepat sasaran.Rahang Rama menegang. Senyumnya tetap terpasang, tapi diamnya berkata banyak.'Pembohong. Kamu berkeringat karena akan membunuh seseorang. Dan aku tahu itu.'Tidak ada lagi kata yang terucap.Kete

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status