Home / Urban / Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda / Bab 4: Orang Asing yang Sombong

Share

Bab 4: Orang Asing yang Sombong

Author: Anakin Detour
"Kamu tidak berhak tahu apa yang ada di dalamnya," ucap Evan dingin, genggamannya di pergelangan tangan Arya semakin kuat seperti ragum besi. "Pergi panggil Amara. Hadiah ini untuknya."

Arya menggertakkan gigi, urat-uratnya menonjol saat ia berusaha melepaskan diri, tapi rasanya seperti mencoba menggerakkan gunung.

‘Kekuatan macam apa ini?’ pikirnya. Tangannya seolah ditempa dari besi!

Dengan satu remasan terakhir, Evan melepaskannya. Arya pun terhuyung ke belakang dan menabrak sebuah meja, menghancurkannya berkeping-keping saat ia terjatuh.

Di atas, dari ruang VIP, Adinata Narayani mencondongkan tubuh di balik pagar balkon, menatap tajam ke arah keributan itu. Dorian berdiri di sampingnya, diam dan tenang, janggutnya yang berjalur perak berkilau tertimpa cahaya.

"Siapa bajingan itu?" desis Adinata. "Berani-beraninya merusak pesta pertunanganku?"

Dorian menyesap tehnya tanpa terganggu. "Seekor lalat yang tersesat ke ruangan yang salah. Kalau keamanan gagal, aku sendiri yang akan menepuknya."

Adinata menyeringai. Dengan Dorian di sisinya, ia merasa tak terkalahkan.

Di bawah, Arya mengerang saat para pengawal bergegas menolongnya.

"Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya salah satu dari mereka.

"Jangan pedulikan aku, bodoh!" bentak Arya. "Hancurkan bajingan itu!"

Belasan penjaga mengepung Evan, tongkat besi terhunus, ketika sebuah suara memotong ketegangan itu.

"Berhenti."

Seorang wanita muncul ke hadapan, tinggi, bertubuh semampai, mengenakan gaun merah ketat yang nyaris membuat cowok berimajinasi liar. Setiap langkah yang ia ambil begitu lambat, terukur, dan penuh godaan. Dialah Nona Larisa Kartika, Direktur PR Hotel Wijaya, terkenal bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga kemampuannya menenangkan para tamu VIP yang sulit diatur.

"Nona Larisa," gumam Arya sambil berusaha bangkit dengan tubuh gemetar.

Ia mengabaikannya dan berbalik pada Evan, menampilkan senyum terlatih. "Selamat malam, Tuan. Saya Larisa Kartika. Saya mengerti sepertinya ada sedikit... kesalahpahaman. Bisakah Anda ceritakan apa yang salah?"

Namun Evan bahkan tidak menoleh dua kali padanya. "Aku ingin bertemu Amara. Aku membawa hadiah untuknya," ucapnya.

"Nona Amara sedang tidak bisa ditemui saat ini, tapi Anda bisa menyerahkan intinya pada saya. Saya pasti akan sampaikan padanya."

Suaranya semanis madu, tangannya terulur ke arah guci itu seolah hendak memetik bunga.

Plak!

Tubuh Larisa terpelanting di udara, lalu menghantam lantai dengan bunyi gedebuk.

"Jangan sentuh itu," ucap Evan datar. "Bahkan kamu pun tidak pantas."

Hening mengejutkan menyelimuti ruangan. Senyum menggoda di wajah Larisa lenyap, berganti dengan amarah yang meluap.

"Kamu... kamu menamparku?" Ia terengah, berusaha bangkit. "Apa kamu tahu siapa aku?!"

Sebelum Evan sempat menjawab, seorang pria bertubuh kekar masuk dengan tergesa, perut buncitnya berguncang tiap langkah. Keningnya penuh keringat, suaranya begitu keras hingga nyaris mengguncang jendela.

"Larisa! Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?!"

Itu adalah Alan Indrawan, manajer hotel, bertubuh kecil tapi tempramenya meledak-ledak, dan sangat terobsesi pada Larisa.

"Dia memukulku!" seru Larisa. Air mata palsu mulai terbentuk di matanya. "Orang gila ini berani menyentuhku!"

Wajah Alan memerah padam. Ia berbalik ke arah para penjaga.

"Kalian tolol! Kalian hanya berdiri di situ?!"

Plak!

Tangannya mendarat keras di wajah Arya. "Untuk apa aku membayar kalian?!"

"A... aku minta maaf, Tuan..."

"Aku tidak butuh maafmu! Aku butuh hasil! Singkirkan bajingan ini dari sini!"

Ia menunjuk Evan dengan jari gemetar. "Kamu! Berlutut dan minta maaf pada Nona Larisa. Lakukan sekarang. Kalau nggak aku pastikan kamu tidak akan keluar dari hotel ini dalam keadaan utuh!"

Namun Evan sama sekali tidak bergeming.

Ia memutar anggur dalam gelasnya, tatapannya jauh. Dalam benaknya, ia melihat masa lalu adik perempuannya berlari-lari di lorong ini, tawanya bergema di dinding. Ibunya bersenandung sambil menghias ruang tamu. Tempat ini dulu rumah mereka... sampai Amara merobohkan semuanya.

"Aku sedang bicara padamu, berengsek!" teriak Alan sambil melangkah lebih dekat. "Apa kamu tuli?!"

Tetap saja, tak ada reaksi. Evan hanya menyesap anggurnya.

Alan pun kehilangan kendali.

"Hajar dia!"

Para penjaga langsung menyerbu ke depan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 100

    Jalan-jalan di Kawungara sore itu terasa sangat tegang.Konvoi kendaraan lapis baja berwarna hitam melesat di tengah lalu lintas seperti hiu di laut lepas. Kaca jendelanya berwarna hitam pekat, gerakannya senyap dan terkoordinasi, seperti pemangsa dalam formasi.Di setiap pelat nomor ada lambang emas yang mencolok.Lambang Raja Perang.Di dalam salah satu kendaraan utama, seorang prajurit menekan jarinya ke penutup telinga. "Target berubah arah. Ulangi, lokasi Raja Perang bergeser. Sekarang dia menuju Emerald Palace.""Alihkan semua unit," jawaban dingin dan otomatis terdengar dari pusat komunikasi. "Pasang pengawasan di restoran dalam lima menit. Kunci area secara diam-diam. Jangan sampai ada yang tahu, dan jangan ada kepanikan. Dia tidak boleh terganggu.""Siap, Pak."Konvoi berbelok tajam di persimpangan, sirene dimatikan, ban berbisik di atas aspal saat mereka melaju ke salah satu mahkota kota.Restoran Emerald PalaceRestoran itu menyediakan pengalaman makan paling mewah di Kawung

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 99

    "Lihat yang aku punya!" Pandu menyambar, memamerkan layar ponselnya seperti benda suci. Suaranya penuh kesombongan, sikapnya congkak. "Aku kenal Tuan Baskara secara pribadi. Aku telepon dia sekarang juga!"Dia tersenyum, menunggu reaksi terkejut dan takjub. Tapi tak ada satupun yang datang.Sebaliknya, Ghara menggeletakkan jari-jarinya dengan suara ceklek, melangkah maju dengan ancaman tenang seorang predator. "Bajingan," geramnya. "Berani sekali kau menghina bosku di hadapanku. Kau bosan hidup, ya?"Matanya menyala-nyala. Satu kata lagi dari Pandu, dan pria itu akan mencium aspal.Tapi sebelum Ghara sempat meninju, sebuah tangan meraih lengannya."Jangan buang tenaga," kata Evan dingin, tatapannya teguh dan membeku. "Kamu tidak perlu bertarung di lumpur dengan babi. Nanti malah kamu yang kotor dan babinya malah menikmatinya."Dia berbalik ke arah pintu keluar, suaranya tenang tapi memerintah. "Ayo pergi."Pandu belum selesai. Belum. Dia menekan tombol panggil. "Kalian akan makan kata-

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 98

    Saat Evan dan Ghara melangkah keluar dari gedung tinggi Pratama, suasana di belakang mereka masih terbakar dengan ketegangan yang sunyi. Pintu kaca besar menutup dengan desis, mengunci kekacauan yang baru saja mereka buat. Ghara tetap diam, tapi pandangannya melirik ke samping, waspada seperti biasa.Lalu..."Evan!" Suara yang dikenalnya memanggil.Evan menoleh, melihat Hannah berlari ke arahnya, wajahnya campuran antara khawatir dan lega. Kunciran rambutnya yang panjang melambai di belakang seperti bendera darurat. Clara mengikuti dengan langkah lebih anggun, tumitnya berderak ringan di atas trotoar, tangannya terlipat, dan ekspresinya sulit dibaca."Kamu ke mana saja?" Hannah terengah saat tiba di sampingnya. "Kami sudah cari-cari kamu sepanjang hari! Kamu tiba-tiba hilang!"Evan tersenyum tenang. "Mengurus sesuatu yang penting.""Kamu bukannya harusnya ada di alun-alun Menza? Untuk latihan itu?" tanya Evan."Ya, kami memang harusnya di sana," jawab Hannah sambil menarik napas. "Tapi

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 97

    "Kamu..." Suara William pecah, lalu stabil dengan penuh racun. "Kamu mungkin kuat, tapi aku peringatkan, kalau kamu coba ganggu kedatangan Raja Perang, aku yang akan membunuhmu sendiri."Kerumunan bergumam saat nama itu disebut. Bahkan para tentara bayaran paling berani pun pucat mendengarnya. Nama Raja Perang sakral, ditakuti di seluruh Kawungara seperti nama dewa yang hidup.William menghela napas, berusaha menjaga ketenangan. Ia merapikan jasnya dan mengatur manset emasnya, ekspresinya berubah dari agresif ke penuh perhitungan."Aku tak punya waktu untuk menghiburmu." Ia melambaikan tangan. "Bilang... berapa yang kalian mau?"Evan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, tatapannya tak terbaca.William mengatupkan giginya erat dan berpikir, 'Para gila sialan ini pasti cuma karena uang. Pasti itu alasannya. Kalau ini makin parah, Raja Perang bakal mengubur aku beserta seluruh keturunanku!'Ketegangan di udara tajam seperti pisau cukur.Bibir Evan tersenyum sinis yang tak sampai

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 96

    Keheningan berat menyelimuti area itu, kerumunan membeku seperti patung.William Pratama melangkah maju dengan langkah pelan dan penuh perhitungan. Sepatu hitamnya menginjak genangan darah dengan ringan saat ia berlutut di samping sosok tak bernyawa itu. Sehelai kain putih setengah basah oleh darah merah.Dengan tangan gemetar, ia menarik kain itu ke belakang.Dan dunianya berhenti."Peter...?"Suaranya pecah. Dingin yang mengalir dalam tubuhnya bukan dari angin.Itu Peter, anak didiknya yang terakhir. Penerus yang ia pilih. Masa depan Pratama.Sekarang tinggal mayat yang hancur."Tidak... tidak tidak tidak!" geram William, wajahnya memelintir antara amarah dan duka. Giginya mengatup begitu keras hingga otot rahangnya berdenyut. "Bagaimana bisa ini terjadi... lagi?!"Ia menarik tubuh Peter yang terkulai lebih dekat, kepala bocah itu berguling tanpa nyawa di lengannya.Beberapa hari lalu, ia baru saja mengubur putranya satu-satunya, Bagas yang tewas dalam pembunuhan misterius yang menin

  • Raja Perang: Kebangkitan Sang Legenda   Bab 95

    "Tuan William... Anda terlihat tegang," kata Rama sambil menampilkan senyum yang tidak sampai ke matanya. "Kalau Anda punya urusan yang lebih penting, silakan saja pergi. Aku bisa mengurus penyambutannya."William tidak menoleh padanya. "Hmph. Apa yang bisa lebih penting daripada menyambut Raja Perang?"Suaranya terdengar halus, bahkan sopan, tapi lapisan es di bawahnya tidak mungkin terlewatkan. Keduanya tersenyum. Keduanya saling membenci sampai ke akar. Begitulah dunia bisnis.Rama merapikan ujung mansetnya. "Tentu. Bagaimanapun juga ini perusahaan Anda.""Benar," jawab William, sedikit memutar tubuhnya untuk menghadap. "Grup Pratama adalah milik Keluarga Pratama. Jadi wajar saja kalau aku yang memberikan penghormatan yang layak kepada seseorang... sekelas dia."Sindiran itu tepat sasaran.Rahang Rama menegang. Senyumnya tetap terpasang, tapi diamnya berkata banyak.'Pembohong. Kamu berkeringat karena akan membunuh seseorang. Dan aku tahu itu.'Tidak ada lagi kata yang terucap.Kete

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status