Airen merebahkan tubuh ke sofa. Matanya lekat menatap langit-langit. "Sudah lama rasanya aku tidak meregangkan tulang punggungku seperti ini. Omong-omong, apa yang akan kita lakukan dalam waktu dekat ini?" tanya Airen pada kembarannya.
Airel duduk dan melipatkan kaki. "Aku ingin menemui Anggi. Entah bagaimana kabarnya seminggu ini. Kau mau ikut?"
"Tentu saja aku ikut. Tak perlu basa-basi seperti itu."
"Aku lupa kau tidak bisa jauh dariku. Maaf telah menanyakan pertanyaan tidak penting."
"Ah, menyebalkan," gerutu Airen yang disusul senyum kakaknya. "Kapan kita akan pergi?"
"Bagaimana kalau besok?" Airel balik bertanya.
Airen memetikkan jari. "Sempurna."
"Berbicara tentang Anggi sejujurnya aku masih kasihan dengan apa yang dialaminya. Meski dia dan kita sama-sama ditinggal oleh orang tua, setidaknya nasib kita tak semalang dia."
"Apa sebaiknya kita lebih peduli saja padanya?"Airen melontar tanya lagi.
"Apa aku tidak salah
Anggi menjauhkan selimut dari tubuhnya. Ia beranjak dari tempat tidur dan duduk di depan meja rias. Wajah ovalnya tampak sendu. Tanpa sadar ia menitikkan air mata melihat pantulan dirinya di cermin. Ada rasa sesal dan sedih yang masih tersisa di hatinya. Ia merasa kecewa kepada dirinya karena gagal menjaga diri hingga terjerumus dalam nasib yang sial. Ia juga masih merasa sedih dan jijik dengan dirinya sendiri. Tapi sisi lain dirinya berkata beda. Ada secerca harapan yang membuatnya bangkit yaitu sahabatnya Mira. Orang yang berupaya selalu ada dan tak pernah melihat rendah atau menganggap dirinya sampah.Dari arah belakang, pintu kamar terbuka. Mira masuk dengan membawa nampan kayu berisi semangkuk sup ayam dan segelas air putih. Anggi melihat senyuman Mira mengembang dari bayangan cermin. Ia merasa beruntung. Berapa kali pun ia menghindari sahabatnya itu, maka sebanyak itu juga Mira berusaha merangkulnya. Meski baru tujuh tahunan mereka kenal, tapi Mira menganggapnya sudah l
"Apa yang membawamu datang kemari, Alfie?" tanya lelaki itu sambil menyandarkan tubuhnya di kursi rotan. Ia mengeluarkan sebatang rokok filter berwarna putih dari bungkusnya. "Kelihatannya sangat penting dan serius.""Aku hanya kebetulan lewat dan teringat sesuatu. Kupikir lebih baik aku mampir ke apartemenmu."Lelaki itu menyelipkan rokok di bibir lalu membakar ujungnya. "Ceritakanlah!"Alfie duduk dan saling menyilangkan jari-jarinya. "Sepertinya Airel sudah mulai menyadari kehadiranmu. Kemarin ia sempat menyinggungku tentang pertemuan kita," ujar Alfie membuka cerita."Airel? Pertemuan? Apa maksudmu? Bicaralah pelan-pelan.""Kau ingat saat mengantarkan barang ke rumahku?""Ya?" Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya."Saat itu Airel sudah mencurigaimu. Ia sudah merasa kita memiliki hubungan dekat," ujar Alfie."Aku mengerti. Namun bagiku itu bukan masalah. Lalu, apa yang kau khawatirkan?""Airel ini berbeda. Ia tak sepe
Alfie melihat wajah sayu sahabatnya, Yofi. Wajah yang tampak sedih namun sangat menipu. Bagaimana tidak, orang lain akan mengira Yofi memiliki kepribadian yang suram dari sorot matanya yang sendu. Tapi siapa sangka dia adalah ahli dalam menipu. Ia mampu mengubah wajahnya dan lihai dalam penyamaran. Tak heran jika ia di beri gelar sebagai Si Seribu Wajah. Tak pernah ada matinya meski usia hampir menuju kepala lima.Alfie merasa Yofi yang sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Setidaknya ia berani mengeklaim begitu setelah mengenal sahabatnya itu lebih dari dua puluh lima tahun. Yofi yang dulu, orangnya mudah pesimis dan berputus asa. Berbeda dengan sekarang, penuh ambisi dan percaya diri. Cocok dengan pribahasa: tua-tua keladi, semakin tua maka semakin menjadi.Alfie ingat betul awal perkenalannya dengan Yofi. Saat itu Alfie sedang berada di pub untuk mengintai seseorang. Tiba-tiba seorang pria berumur awal dua puluhan duduk di sebelahnya. Pria itu datan
Hampir satu jam telah berlalu. Mira dan Si Kembar masih menunggu Anggi keluar dari ruangan yang ada di hadapan mereka. Ruangan berdaun pintu putih dengan gantungan nama bertuliskan "dr. Hardian, Sp.KJ". Itu kali kedua Anggi mengunjugi psikiater tersebut setelah tiga hari yang lalu. Pertemuan pertama dengan dokter tidak berlangsung lama. Tidak lebih dari dua puluh menit, Anggi sudah mulai enggan untuk berbicara.Sambil menunggu Anggi keluar, Mira masih menggulir layar gawainya. Kasus penangkapan Edi mulai meluas di media beberapa hari terakhir. Pihak perusahaan yang telah mengontraknya membatalkan perjanjian kerjasama secara sepihak karena penangkapan dan terlibatnya Edi dalam kasus pelecehan. Mira sadar kasus itu juga memberikan dampak untuk kakaknya. Maher harus kehilangan kontrak kerja dan sahabat yang terpaksa mendekam di penjara. Selain itu ia juga harus menerima kenyataan bahwa perempuan yang ia suka telah dinodai sahabatnya sendiri."Aku tidak tahu harus berapa l
Airen berbaring. Ia memanjakan tubuhnya di atas tempat tidur—tapi tidak menutupkan mata. Ia tidak benar-benar istirahat. Matanya lekat melihat buku merah yang ada di sebelah wajahnya. Otaknya memikirkan tulisan yang tertera di cover buku itu. Tertulis dereten angka acak yang sama sekali ia belum mengerti. Bahkan ia sangsi apakah angka-angka itu benar-benar judul dari buku merah."231431512 623313936"Airen pun memutuskan untuk membuka lagi halaman terakhir yang telah ia baca. Pikirannya kembali mengingat Anggi. Ia mulai merasa bahwa gadis yang dimaksud buku itu adalah memang Anggi. Terlebih lagi setelah ia dan Airel mendapatkan kepastian dari Anggi mengenai peneroran.Airen pun membalik halaman itu. Seketika ia terlonjak dari tempat tidur. "Astaga! Apa ini?" ucapnya lirih setengah menutup mulut dengan tangannya. Manik matanya mendapati tulisan tangan bertinta merah dan bercak-bercak darah yang mengering di halaman i
Alfie melirik jam tangannya. Hampir dua puluh menit ia menunggu di kafe. Namun belum ada tanda-tanda kedatangan Yofi. Akhirnya ia memesan secangkir kopi lagi untuk menemaninya.Tiba-tiba dari arah belakang, Yofi muncul dan langsung duduk di hadapan Alfie."Maaf, aku terlambat," kata Yofi sambil merapikan kerah bajunya."Perempuan mana lagi yang kau kencani?" tuduh Alfie."Ah, janganlah seperti itu, kawan! Jangan menuduhku begitu.""Supaya aku tidak menuduhmu, seharusnya kau mengganti pakaianmu terlebih dahulu sebelum kemari. Karena bau parfum wanita itu masih melekat di bajumu."Yofi meringis. "Ah, hidungmu selalu bermasalah," ledek Yofi pada Alfie yang memang memiliki penciuman lebih sensitif.Alfie mengaduk kopinya yang baru saja diantar oleh pelayan."Kenapa kita harus bertemu di luar seperti ini?" ujar Yofi setengah berbisik.Alfie tersenyum. "Apakah aku barusan mendengar ketakutan dari seorang ahli menyamar?"
Dunia ini adalah panggung sandiwara. Setiap orang ingin mementaskan karya terbaiknya. Padahal semua itu hanyalah kebohongan-kebohongan yang dibuat untuk mendapatkan pujian dan tepuk tangan. Dalam dunia panggung ini, tak ada namanya aturan menghibur. Kau bisa menjadi siapa pun, melakukan apapun, sekalipun kau mempermainkan orang lain atas nama hiburan.Dunia sandiwara sangatlah kejam dan tak ada yang bisa dipercaya. Semua pemeran memakai topeng untuk melakukan penyamaran. Tahukah kau apa yang paling kubenci? Seorang penyamar yang mengambil peranku. Kau boleh menyamar dan memainkan seribu peran. Tetapi tidak untuk peranku. Karena aku adalah pemeran utama di panggung ini.Sayangnya, ada orang yang menirukan peranku itu. Ia terus bersandiwara dan memoles wajahnya lalu menggambar wajahku. Kau tahu apa akibatnya? Akan kuantarkan dia pada penyamaran sesungguhnya. 'Death is a great disguiser' alias kematian adalah
Gerimis kembali menyambangi kediaman Alfie. Sudah seminggu terakhir hujan kerap kali turun di pagi hari hingga menjelang siang. Wajar saja, saat itu sudah memasuki bulan penghujung tahun. Oleh karena itu, Alfie dan Si Kembar lebih memilih menghabiskan waktu di rumah saja. Sebenarnya Alfie tidaklah suka terus-terusan berada di rumah. Walaupun usia sudah memasuki senja, ia tetap saja sering keluar rumah sendirian meski hanya sekedar untuk berbelanja di minimarket atau minum kopi di kafe. Musim hujan kali ini sepertinya mampu menahan kebiasaannya itu.Pagi itu Airel menyiapkan beberapa potong roti bakar dan cokelat hangat untuk menemani sarapan mereka. Kemudian ia mengambil selai kacang dari dalam kulkas yang berada di sudut ruangan lalu mengolesi roti itu satu per satu."Ada kabar terbaru mengenai Edi," sela Airen datang menghampiri Airel.Airel menoleh sebentar. "Oh," respon Airel datar.Airen mengernyit. "Kau tak tertarik dengan perkembangannya?"