Share

- 1 -

Hampir setengah jam Airel masih saja berdiri di dekat jendela. Tatapannya terpaku ke arah balik kaca. Ia melihat seorang lelaki beruban sedang berbicara dengan seorang kurir. Obrolan yang terlihat sangat intens.

"Apa kau tidak punya kegiatan lain selain memperhatikan orang lain?" tanya Airen berjalan mendekati kakaknya.

Airel tak menoleh, matanya tak mau lepas dari dua orang yang ia amati. Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya.

"Mana foto yang ingin kau mintai pendapat?"

Airen menyembunyikan kamera yang ia bawa ke balik punggungnya. Ia memang sering meminta pendapat Airel mengenai koleksi jepretannya. Apalagi untuk dikirimkan ke media ataupun mengikuti lomba.

"Bukan itu maksudku, aku hanya merasa sedikit heran dengan kebiasaan anehmu itu."

Airel melayangkan pandangannya ke Airen seraya merapikan surai panjangnya yang tergerai, "Setelah delapan belas tahun kita hidup bersama, kau masih heran?"

"Hem, oke. Aku tak mau berdebat. Lalu apa yang kau dapat dari mengamati mereka?"

Airel mendengus pelan, "Hari ini Paman tak seperti biasanya. Kita tahu dia bukan tipe lelaki yang luwes dengan orang lain, tapi pagi ini hampir setengah jam dia berbicara dengan pengantar paket."

"Mungkin komplain tentang pelayanan."

"Tak kulihat wajah keluhan selain senyuman. Bahkan setelah menerima paketnya, Paman belum membubuhkan tanda serah terima ke kurir itu."

"Sudahlah, kenapa kita harus merepotkannya?" lebih tepatnya kau, Airel.

"Setidaknya hal ini menunjukkan pria itu memang memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Paman."

Lelaki yang mereka bicarakan masuk ke dalam rumah dengan membawa sebuah kotak paketan berwarna cokelat. Rambut lelaki itu hampir memutih semuanya. Sebuah kaca mata bergagang silver betengger di hidungnya. Menambah kesan sebagai lelaki yang berwibawa.

"Apa kalian berdua sudah bersiap-siap?" tanya Alfie.

"Setidaknya sudah dari setengah jam yang lalu," jawab Airel. Sebenarnya ia ingin menanyakan siapa lawan bicara pamannya tadi, namun ia urungkan.

"Hem ... Paman minta maaf karena membuat kalian telah menunggu, dan kabar buruknya Paman tidak bisa menemani kalian ke pameran fotografi."

"Bukankah Paman sudah berjanji sejak bulan lalu?" protes Airen.

"Iya Paman mengerti, tapi Paman harus menemui teman lama."

"Tapi—" Alfie langsung memegang pundak Airen.

"Kita harus memgutamakan siapa yang membutuhkan kita, bukan apa yang kita butuhkan."

Alfie menghela napas panjang. "Paman juga harus meminta sedikit bantuan kalian. Setelah pulang dari pameran, pergilah ke kafe Digulis untuk bertemu seseorang. Ada kasus yang ia minta bantu untuk Paman selesaikan."

"Paman, kami bukan seorang polisi atau detektif. Kenapa harus kami lagi?"

"Airen," tegur Airel yang tidak setuju dengan protes adiknya.

Alfie mengukirkan senyuman kecil di bibirnya, "Paman tak akan pernah lupa saat Paman masih bekerja di kepolisian. Kalian banyak membantu memecahkan kasus-kasus yang Paman tangani. Orang lain saja yang tidak tahu, bahwa di balik kinerja Paman sebenarnya ada dua gadis yang sangat genius. Meski usia kalian belia saat itu, tapi kemampuan kalian jauh di atas rata-rata."

Alfie pun duduk dan menyandarkan bahunya di sofa. Matanya lekat menatap langit-langit. "Dunia ini tak akan pernah damai, semua ini sudah hukum alam. Dalam kedamaaian tetap terselip kehancuran. Itulah misterinya, Paman rasa kalian senang mengungkap misteri itu."

"Tentu saja, Paman. Bukankah Albert Einstein pernah bilang, hal terindah yang dapat kita alami adalah misteri. Misteri adalah sumber semua seni sejati dan ilmu pengetahuan. Itulah yang selalu kami pegang," jelas Airel.

Sesaat kemudian, ponsel Alfie berbunyi. Ia merogoh sakunya dan menatap sebentar layar bisu itu, lalu ia berdiri dan memakai jaket kulit yang tadinya tergantung.

"Paman harus pergi sekarang. Jumpai ia pukul empat sore nanti!" Alfie tersenyum lalu memakai topi hitam kesayangannya dan beranjak meninggalkan rumah.

"Huuuuh ...." gerutu Airen.

Airel menarik tangan adiknya. "Sudahlah, ayo kita pergi ke tempat pameran!"

"Sebenarnya aku tidak suka berhubungan dengan kasus-kasus kriminal atau apalah itu. Dan kita juga tidak tahu siapa yang akan kita temui."

"Cukup lakukan dan semuanya selesai."

"Aku hanya lelah bergelut dengan hal yang tidak kusuka."

"Sudahlah, tak perlu mengeluh seperti itu dan jangan memilih kalau memang tiada pilihan."

"Harusnya ada kalau kau membiarkanku untuk protes."

Airel hanya tersenyum dan mengusap-usap puncak kepala adiknya.

***

Pagi itu memang tidak cerah. Gumpalan-gumpalah awan hitam memenuhi langit. Airel terus memacu mobilnya. Jalanan itu memang tidak banyak dilewati orang-orang karena terhitung jalanan lintas kabupaten. Mereka memang tidak tinggal di kota. Alfie sengaja memilih untuk tinggal jauh dari keramaian dan memang tidak ingin Airel dan Airen terlalu berbaur dengan masyarakat umum.

"Kenapa kau tak pernah membantah Paman? Aku sudah lelah menuruti keinginannya, apa kau tidak lelah?" tanya Airen coba mencairkan suasana.

Senyuman tersungging di bibir Airel, "Aku hanya tidak punya alasan untuk menentangnya."

"Apa untungnya kita menyelesaikan kasus-kasus itu?"

"Permasalahannya bukan tentang untung atau rugi."

"Utamakan siapa yang membutuhkanmu bukan apa yang kau butuhkan," ledek Airen dengan menirukan gaya Alfie.

"Airen."

"Ya," jawabnya ketus.

"Kalau kau bisa menyelesaikannya, kenapa harus menunggu orang lain? Apa kau akan tega membiarkan orang lain yang menaruh harapan besarnya di dirimu?"

"Kenapa kita harus memikirkan orang lain?"

"Paman tak pernah berpikir siapa kita baginya, dan kenapa ia harus membesarkan kita hingga sekarang. Apa kau tak belajar dari itu?"

Airen terdiam. Tiba-tiba ingatannya kembali ke peristiwa dua belas tahun yang lalu. Hari di mana ia pertama kali bertemu Alfie. Hari itu juga ia dan Airel harus kehilangan ibunya. Ada yang datang dan pergi.

"Aku teringat Ibu," ucap Airen lirih.

"Iya. Aku juga sama sepertimu, apalagi setiap melewati jalanan sepi begini. Kejadian itu masih mengakar di ingatanku. Semakin aku mencoba melupakannya, maka ingatan itu semakin mengikat otakku."

"Aku kangen Ibu. Setelah malam itu, kita juga tidak pernah taHu bagaimana kabar Ayah."

"Suatu saat pasti Paman Alfie akan menceritakan semuanya."

"Tapi kapan, Rel? Dia selalu berdalih dan berkata 'ini belum saatnya'. Apa kau tidak bosan dengan kata-kata itu?" sahut Airen yang meniru gaya bicara Alfie lagi.

Airel tersenyum, "Kita tidak seharusnya terus menuntut Paman. Dia membesarkan kita saja itu sudah lebih dari cukup."

Airen tertunduk mendengar ucapan kakaknya. Ia sadar kalau pemikiran Airel jauh lebih dewasa bila dibandingkan dengannya.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Su Yenni
kereeeeeeeeeeeeeeen
goodnovel comment avatar
Fahmi Firmansyah
toppppppppppp
goodnovel comment avatar
Agnotius Walder
hebat alur ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status