Hampir setengah jam Airel masih saja berdiri di dekat jendela. Tatapannya terpaku ke arah balik kaca. Ia melihat seorang lelaki beruban sedang berbicara dengan seorang kurir. Obrolan yang terlihat sangat intens.
"Apa kau tidak punya kegiatan lain selain memperhatikan orang lain?" tanya Airen berjalan mendekati kakaknya.
Airel tak menoleh, matanya tak mau lepas dari dua orang yang ia amati. Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya.
"Mana foto yang ingin kau mintai pendapat?"
Airen menyembunyikan kamera yang ia bawa ke balik punggungnya. Ia memang sering meminta pendapat Airel mengenai koleksi jepretannya. Apalagi untuk dikirimkan ke media ataupun mengikuti lomba.
"Bukan itu maksudku, aku hanya merasa sedikit heran dengan kebiasaan anehmu itu."
Airel melayangkan pandangannya ke Airen seraya merapikan surai panjangnya yang tergerai, "Setelah delapan belas tahun kita hidup bersama, kau masih heran?"
"Hem, oke. Aku tak mau berdebat. Lalu apa yang kau dapat dari mengamati mereka?"
Airel mendengus pelan, "Hari ini Paman tak seperti biasanya. Kita tahu dia bukan tipe lelaki yang luwes dengan orang lain, tapi pagi ini hampir setengah jam dia berbicara dengan pengantar paket."
"Mungkin komplain tentang pelayanan."
"Tak kulihat wajah keluhan selain senyuman. Bahkan setelah menerima paketnya, Paman belum membubuhkan tanda serah terima ke kurir itu."
"Sudahlah, kenapa kita harus merepotkannya?" lebih tepatnya kau, Airel.
"Setidaknya hal ini menunjukkan pria itu memang memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Paman."
Lelaki yang mereka bicarakan masuk ke dalam rumah dengan membawa sebuah kotak paketan berwarna cokelat. Rambut lelaki itu hampir memutih semuanya. Sebuah kaca mata bergagang silver betengger di hidungnya. Menambah kesan sebagai lelaki yang berwibawa.
"Apa kalian berdua sudah bersiap-siap?" tanya Alfie.
"Setidaknya sudah dari setengah jam yang lalu," jawab Airel. Sebenarnya ia ingin menanyakan siapa lawan bicara pamannya tadi, namun ia urungkan.
"Hem ... Paman minta maaf karena membuat kalian telah menunggu, dan kabar buruknya Paman tidak bisa menemani kalian ke pameran fotografi."
"Bukankah Paman sudah berjanji sejak bulan lalu?" protes Airen.
"Iya Paman mengerti, tapi Paman harus menemui teman lama."
"Tapi—" Alfie langsung memegang pundak Airen.
"Kita harus memgutamakan siapa yang membutuhkan kita, bukan apa yang kita butuhkan."
Alfie menghela napas panjang. "Paman juga harus meminta sedikit bantuan kalian. Setelah pulang dari pameran, pergilah ke kafe Digulis untuk bertemu seseorang. Ada kasus yang ia minta bantu untuk Paman selesaikan."
"Paman, kami bukan seorang polisi atau detektif. Kenapa harus kami lagi?"
"Airen," tegur Airel yang tidak setuju dengan protes adiknya.
Alfie mengukirkan senyuman kecil di bibirnya, "Paman tak akan pernah lupa saat Paman masih bekerja di kepolisian. Kalian banyak membantu memecahkan kasus-kasus yang Paman tangani. Orang lain saja yang tidak tahu, bahwa di balik kinerja Paman sebenarnya ada dua gadis yang sangat genius. Meski usia kalian belia saat itu, tapi kemampuan kalian jauh di atas rata-rata."
Alfie pun duduk dan menyandarkan bahunya di sofa. Matanya lekat menatap langit-langit. "Dunia ini tak akan pernah damai, semua ini sudah hukum alam. Dalam kedamaaian tetap terselip kehancuran. Itulah misterinya, Paman rasa kalian senang mengungkap misteri itu."
"Tentu saja, Paman. Bukankah Albert Einstein pernah bilang, hal terindah yang dapat kita alami adalah misteri. Misteri adalah sumber semua seni sejati dan ilmu pengetahuan. Itulah yang selalu kami pegang," jelas Airel.
Sesaat kemudian, ponsel Alfie berbunyi. Ia merogoh sakunya dan menatap sebentar layar bisu itu, lalu ia berdiri dan memakai jaket kulit yang tadinya tergantung.
"Paman harus pergi sekarang. Jumpai ia pukul empat sore nanti!" Alfie tersenyum lalu memakai topi hitam kesayangannya dan beranjak meninggalkan rumah.
"Huuuuh ...." gerutu Airen.
Airel menarik tangan adiknya. "Sudahlah, ayo kita pergi ke tempat pameran!"
"Sebenarnya aku tidak suka berhubungan dengan kasus-kasus kriminal atau apalah itu. Dan kita juga tidak tahu siapa yang akan kita temui."
"Cukup lakukan dan semuanya selesai."
"Aku hanya lelah bergelut dengan hal yang tidak kusuka."
"Sudahlah, tak perlu mengeluh seperti itu dan jangan memilih kalau memang tiada pilihan."
"Harusnya ada kalau kau membiarkanku untuk protes."
Airel hanya tersenyum dan mengusap-usap puncak kepala adiknya.
***
Pagi itu memang tidak cerah. Gumpalan-gumpalah awan hitam memenuhi langit. Airel terus memacu mobilnya. Jalanan itu memang tidak banyak dilewati orang-orang karena terhitung jalanan lintas kabupaten. Mereka memang tidak tinggal di kota. Alfie sengaja memilih untuk tinggal jauh dari keramaian dan memang tidak ingin Airel dan Airen terlalu berbaur dengan masyarakat umum.
"Kenapa kau tak pernah membantah Paman? Aku sudah lelah menuruti keinginannya, apa kau tidak lelah?" tanya Airen coba mencairkan suasana.
Senyuman tersungging di bibir Airel, "Aku hanya tidak punya alasan untuk menentangnya."
"Apa untungnya kita menyelesaikan kasus-kasus itu?"
"Permasalahannya bukan tentang untung atau rugi."
"Utamakan siapa yang membutuhkanmu bukan apa yang kau butuhkan," ledek Airen dengan menirukan gaya Alfie.
"Airen."
"Ya," jawabnya ketus.
"Kalau kau bisa menyelesaikannya, kenapa harus menunggu orang lain? Apa kau akan tega membiarkan orang lain yang menaruh harapan besarnya di dirimu?"
"Kenapa kita harus memikirkan orang lain?"
"Paman tak pernah berpikir siapa kita baginya, dan kenapa ia harus membesarkan kita hingga sekarang. Apa kau tak belajar dari itu?"
Airen terdiam. Tiba-tiba ingatannya kembali ke peristiwa dua belas tahun yang lalu. Hari di mana ia pertama kali bertemu Alfie. Hari itu juga ia dan Airel harus kehilangan ibunya. Ada yang datang dan pergi.
"Aku teringat Ibu," ucap Airen lirih.
"Iya. Aku juga sama sepertimu, apalagi setiap melewati jalanan sepi begini. Kejadian itu masih mengakar di ingatanku. Semakin aku mencoba melupakannya, maka ingatan itu semakin mengikat otakku."
"Aku kangen Ibu. Setelah malam itu, kita juga tidak pernah taHu bagaimana kabar Ayah."
"Suatu saat pasti Paman Alfie akan menceritakan semuanya."
"Tapi kapan, Rel? Dia selalu berdalih dan berkata 'ini belum saatnya'. Apa kau tidak bosan dengan kata-kata itu?" sahut Airen yang meniru gaya bicara Alfie lagi.
Airel tersenyum, "Kita tidak seharusnya terus menuntut Paman. Dia membesarkan kita saja itu sudah lebih dari cukup."
Airen tertunduk mendengar ucapan kakaknya. Ia sadar kalau pemikiran Airel jauh lebih dewasa bila dibandingkan dengannya.
Si Kembar pikir pameran fotografi tahun ini akan terlihat mewah, tapi mungkin mereka akan sedikit kaget. Bagaimana tidak, setibanya di gedung Kartini—tempat diadakannya pameran—, netra mereka di sambut dengan kerumunan manusia. Ramainya di luar prediksi mereka. "Ramai sekali. Kurasa kita salah tempat. Kita bukan pergi ke tempat konser, kan?" ledek Airel. Airen tertawa, "Tentu saja tidak. Jangan mencoba untuk melucu." Ia mengeluarkan kameranya dan memulai mencari objek yang bisa difoto. "Ya, awalnya kukira ini menjadi acara yang elegan seperti tahun sebelumnya. Dulu tak seramai ini," timpal Airen lagi. "Kurasa ini hal yang wajar. Semua yang menyenangi fotografi pasti mau melihat secara langsung seorang legenda fotografer dunia." "Eh, maksudmu?" Airen heran. "Adwin Hugo ada di acara ini." "Candaanmu garing. Mana mungkin fotografer asal Afrika itu datang ke sini. Aku tidak mendapatkan info tentang itu." "Kau bisa memastika
Airel menyeruput cokelat panas yang telah dipesannya. Matanya melihat ke arah balik jendela yang terbias air hujan. Sedangkan Airen tampak senyum-senyum sendiri melihat foto-foto yang ada di kameranya. Ia begitu senang dapat mengabadikan gambar idolanya secara langsung. "Sudah setengah jam kita di sini. Apa kita harus tetap menunggunya?" tanya Airen memecah keheningan. Airel menyesap cokelatnya lagi, "Permintaan Paman adalah perintah." "Tapi—" "Tenang saja, aku tak masalah." Airel langsung memotong omongan adiknya. "Ya ... aku tau kebiasaan anehmu itu. Hanya saja dari tadi kerjaanmu menunggu dan terus menunggu. Apa kau tidak bosan?" "Bosan. Barusan saja terjadi. Bertahun-tahun aku mendengar pertanyaan sama dari orang yang sama." Airen paham sedang disindir kakaknya. "Lalu berapa lama lagi kita harus menunggu?" "Jika kau ingin pulang duluan, aku tak masalah jika harus menemuinya sendiri." "Dan kau tahu kan, aku t
"Apa sudah ada kabar dari Mira?" tanya Alfie saat Airel menyuguhkan cokelat hangat dan beberapa potong roti untuknya dan Airen.Airel menggeleng. "Kurasa hari ini dia akan mengabariku.""Hampir dua hari gadis ceroboh itu menghilang," gumam Airen. "Emm... Setidaknya membuatku lebih baik. Aku sedikit terganggu dengan orang yang terlalu mengikuti perasaannya."Senyum Airel merekah. Rona merah di pipi kentara di kulitnya yang terang. Ia merasa lucu setiap Airen berusaha menampakkan ketidaksukaannya terhadap kasus yang mereka hadapi. "Kurasa kau juga akan melakukan hal yang sama, jika kau kehilangan figurku. Mungkin lebih histeris."Airen mencebikkan bibir tipisnya. "Terserahlah," jawabnya malas.Drrrttt....Sebuah pesan singkat baru saja diterima Airel di ponselnya. Ia langsung membukanya."Sebuas pesan dari Mira," ucap Airel singkat."Apa isinya?" selidik Alfie."Kemarin sore dia ke rumah
Waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Pandangan Airen langsung tertuju ke pintu sebuah ruangan yang di atasnya bertuliskan laboratorium fisika. Beberapa orang mulai keluar dari ruangan itu. Mereka mengenakan pakaian luar yang seragam berwarna putih. Tampaknya orang yang dicari Airen belum juga keluar.Hampir sepuluh menit Airen menunggu. Akhirnya sosok yang ditunggu pun keluar dari ruangan itu. Perempuan berparas menarik dengan bibir tipis berwarna merah jambu. Perempuan yang ia pernah lihat sebelumnya di halte tepat di seberang kafe Digulis. Ya, sosok itu adalah Anggi.Anggi berjalan dengan langkah lambat. Tatapan matanya kosong. Ia berjalan seperti tanpa tujuan."Anggi," sapa Airen yang mengekorinya dari belakang.Anggi sepertinya tak mendengar atau hanya sekedar menuli.Airen pun menepuk pelan pundak Anggi untuk mencari atensi. Usahanya tak percuma. Anggi membalikkan badannya. Alangkah terkejutnya Anggi melihat Airen di depannya. Matanya terb
Sebuah mobil sedan keluaran tahun 2020 dengan kelir cokelat berbelok ke pelataran sebuah rumah besar. Bangunan itu mengaplikasikan arsitektur melayu yang begitu kental. Sebagian besar bangunan tersusun dari kayu yang tertata rapi dan penuh nuansa etnik. Beberapa pohon besar juga sengaja ditanam di sekitar rumah untuk menambahkan kesan asri.Airel telah memarkirkan mobilnya tepat di bawah naungan salah satu pohon yang besar. Ia keluar dari kereta besinya itu diikuti oleh Airen dan Mira. Seperti biasa, mata Airel pasti menyisir daerah sekitarnya. Entah apa yang ia cari. Setiap berada di tempat yang pertama kali ia kunjungi, sikapnya begitu mengerikan. Ia berjalan perlahan dengan pandangan yang tajam, muka tanpa ekspresi dan kedua tangan yang saling menggenggam.Airen yang sudah terbiasa dengan sikap kakaknya memilih untuk mencari kesibukan sendiri. Ia mengeluarkan kamera dari tasnya dan mencari objek yang bisa difoto. Ia sangat gemar hunting foto di pagi hari. A
Si Kembar melangkahkan kaki masuk ke kamar Anggi. Mira yang terlihat masih gugup memberanikan diri masuk mengekori mereka. Tampak kamar yang berantakan untuk ukuran seorang perempuan. Bantal dan guling berserakan di lantai, seprai tempat tidur juga acak-acakan.Ada yang menarik perhatian Airel. Matanya melihat selembar bed cover berwarna putih. Pada bagian tengahnya terdapat bercak bekas cairan yang sudah mengering dan agak pudar kekuningan. Ia memegang sisi lain kain itu untuk memastikan pandangannya lebih dekat. Kini arah netranya beralih ke Airen.“Sepertinya ini bekas sperma,” ucap Airel.Airen mengangguk pelan seperti paham maksud kakaknya. Sedangkan Mira yang mendengar kalimat itu tak bisa menyembunyikan wajah tak percayanya.Airen melangkah ke sisi lain kamar sambil memotret, berharap objek jepretannya bisa dijadikan sebagai petunjuk. Ia menemukan sebuah silet di lantai. Bagian sisi silet itu ada darah yang mengering. Tak
Airen mengakhiri pembicaraannya dengan Nuella. Dahinya sedikit berkerut sembari memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas. "Apa kita perlu menemuinya?" tanya Airen kepada Airel. Airel menyibakkan rambut dan matanya lekat menatap Airen. "Kurasa tidak. Dia hanya sebatas informan pelengkap untuk menyinergikan analisis kita. Aku yakin dia sama sekali tak terlibat dalam kasus ini. Lalu, informasi apa yang kau dapat dari Nuella?" Airen seperti menghindari tatapan saudara kembarnya. Kini wajahnya beralih ke arah lain dengan pandangan yang kosong. Ia melepaskan napas beratnya dan mulai bercerita. "Dulu Anggi adalah gadis yang ceria dan pintar. Beberapa bulan terakhir perubahan sikapnya begitu drastis. Ia tak lagi mau bergaul dengan siapa pun." Airen terdiam sejenak seperti ada hal lain yang mucul di pikirannya. Ia lalu melanjutkan lagi ceritanya. "Kata Nuella, dia tak lagi melihat ketertarikan Anggi saat kuliah. Anggi sering dimarahi dosen karena tidak fokus dalam kelas. Sela
Airel menghidupkan mobil dan menyalakan mesinnya. Ia harus segera menemui Inspektur Yoga dan menyelesaikan kasus Anggi secepat mungkin. Namun saat Airen masuk ke dalam mobil, ia mengisyaratkan untuk tidak langsung pergi. Airen meletakkan buku merah ke pangkuan Airel. "Coba kau lihat halaman selanjutnya, kemudian hubungkan dengan cerita Mbok Ina dan Mira. Bagaimana pendapatmu?" Airen melontar tanya pada kembarannya. Airel pun membuka buku tersebut dengan raut sedikit heran. Matanya lekat menatap kata per kata dari isi halaman itu. Gadis yang apik dalam memainkan perannya sebagai manusia bodoh. Bodoh karena memendam rasa dan tak berani mengakuinya. Bodoh karena menutup mata dari peduli orang lain padanya. Berusaha mengaku kokoh dan berpijak pada kaki sendiri. Padahal ia hanya mengalah dengan keadaan tanpa pernah berusaha. Benar-benar BODOH!! Aku ben