Airen mengakhiri pembicaraannya dengan Nuella. Dahinya sedikit berkerut sembari memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas. "Apa kita perlu menemuinya?" tanya Airen kepada Airel.
Airel menyibakkan rambut dan matanya lekat menatap Airen. "Kurasa tidak. Dia hanya sebatas informan pelengkap untuk menyinergikan analisis kita. Aku yakin dia sama sekali tak terlibat dalam kasus ini. Lalu, informasi apa yang kau dapat dari Nuella?"
Airen seperti menghindari tatapan saudara kembarnya. Kini wajahnya beralih ke arah lain dengan pandangan yang kosong. Ia melepaskan napas beratnya dan mulai bercerita. "Dulu Anggi adalah gadis yang ceria dan pintar. Beberapa bulan terakhir perubahan sikapnya begitu drastis. Ia tak lagi mau bergaul dengan siapa pun." Airen terdiam sejenak seperti ada hal lain yang mucul di pikirannya. Ia lalu melanjutkan lagi ceritanya. "Kata Nuella, dia tak lagi melihat ketertarikan Anggi saat kuliah. Anggi sering dimarahi dosen karena tidak fokus dalam kelas. Sela
Airel menghidupkan mobil dan menyalakan mesinnya. Ia harus segera menemui Inspektur Yoga dan menyelesaikan kasus Anggi secepat mungkin. Namun saat Airen masuk ke dalam mobil, ia mengisyaratkan untuk tidak langsung pergi. Airen meletakkan buku merah ke pangkuan Airel. "Coba kau lihat halaman selanjutnya, kemudian hubungkan dengan cerita Mbok Ina dan Mira. Bagaimana pendapatmu?" Airen melontar tanya pada kembarannya. Airel pun membuka buku tersebut dengan raut sedikit heran. Matanya lekat menatap kata per kata dari isi halaman itu. Gadis yang apik dalam memainkan perannya sebagai manusia bodoh. Bodoh karena memendam rasa dan tak berani mengakuinya. Bodoh karena menutup mata dari peduli orang lain padanya. Berusaha mengaku kokoh dan berpijak pada kaki sendiri. Padahal ia hanya mengalah dengan keadaan tanpa pernah berusaha. Benar-benar BODOH!! Aku ben
"Sebaiknya kita menunggu hasil penyelidikan TKP terlebih dahulu. Aku sebenarnya tidak tertarik untuk berdeduksi dengan bukti yang belum terkonfirmasi," ujar Airel. Inspektur Yoga tersenyum simpul. "Kurasa bukan jadi masalah jika sekedar beranalisa. Kalian juga bukan bagian dari penyidik resmi, tapi hanya pembuka kasus ini. Jawaban kalian tidak langsung jadi sebuah keputusan." Airen menatap sinis ke Inspektur Yoga. Rasa tersinggung terukir di wajahnya. "Apakah itu pernyataan untuk menguji?" tanya Airen dengan menaikkan salah satu ujung bibirnya. Inspektur Yoga tertawa pelan dan berdiri dari duduknya. Ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meletakkannya di meja. "Ini beberapa gambar yang ditangkap oleh juru foto penyidik. Aku meminta salinannya untuk kalian." Airen membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Ia melihat setumpuk foto barang bukti dan bagian-bagian TKP yang telah diabadikan. Senyuman sinis lagi-lagi lancang tercipta di bibirnya. Ia menyodo
Inspektur Yoga heran melihat foto yang ada di kamera Airen. "Apa maksudmu dengan sebuah foto keluarga?""Jangan bilang pelakunya adalah Kak Edi?" cecar Mira lagi."Tepat, memang dialah pelakunya," jawab Airen tegas.Mata Mira terbelalak sempurna. "Apa? Jadi Kak Edi yang ...." Wajahnya menjadi lesu. Lehernya pun seperti tersekat dan tak bisa mengeluarkan kata-kata. Ia masih tak percaya Edi tega melakukan pelecehan itu.Airel berdiri sambil saling melipatkan kedua tangannya di dada. "Ya, dia yang melakukannya. Hanya dia yang memiliki peluang besar berbuat demikian. Jika prediksiku tidak keliru, maka sperma itu adalah miliknya. Sidik jarinya juga akan bertebaran di kamar Anggi."Inspektur Yoga setengah mengacungkan telunjuk—bukan untuk menunjuk tapi seperti berpikir—dan menggerakkannya pelan sambil menyipitkan mata. "Kenapa kalian bisa memastikan Edi adalah pelaku pelecehan itu? Bukankah orang lain juga memiliki peluang yang sama untuk mel
Mira sudah tak kuat lagi membendung air mata. Bibirnya juga ikut bergetar hebat. Ia seperti merasakan apa yang sedang Anggi alami. Susah payah ia berusaha berbicara melawan takutnya. "A-apa Anggi benar-benar diperkosa saudaranya?" tanyanya dengan suara gemetar. Airel menangkap kesedihan yang begitu mendalam dari suara Mira. "Berusahalah tenang. Kau harus menerimanya. Jika kau tak bisa mengendalikan dirimu maka bagaimana kau bisa menolong sahabatmu," ujar Airel menenangkan. "Kita harus sadar segala kejahatan bisa dilakukan oleh siapa pun, termasuk diri kita sendiri. Kita hanya manusia yang tak bisa memastikan bagaimana suatu kejadian bisa tercipta. Itulah sebuah misteri," timpal Inspektur Yoga. "Begitu juga Edi, ia hanyalah manusia biasa." "Andai bisa memilih, kurasa tak ada yang mau seperti ini. Namun kehidupan tak pernah bisa ditebak. Kita harus pahami itu," ujar Airen. Mira mengusap air mata. Ucapan tiga orang di hadapannya membuat ia berusaha tegar
Airen merebahkan tubuh ke sofa. Matanya lekat menatap langit-langit. "Sudah lama rasanya aku tidak meregangkan tulang punggungku seperti ini. Omong-omong, apa yang akan kita lakukan dalam waktu dekat ini?" tanya Airen pada kembarannya.Airel duduk dan melipatkan kaki. "Aku ingin menemui Anggi. Entah bagaimana kabarnya seminggu ini. Kau mau ikut?""Tentu saja aku ikut. Tak perlu basa-basi seperti itu.""Aku lupa kau tidak bisa jauh dariku. Maaf telah menanyakan pertanyaan tidak penting.""Ah, menyebalkan," gerutu Airen yang disusul senyum kakaknya. "Kapan kita akan pergi?""Bagaimana kalau besok?" Airel balik bertanya.Airen memetikkan jari. "Sempurna.""Berbicara tentang Anggi sejujurnya aku masih kasihan dengan apa yang dialaminya. Meski dia dan kita sama-sama ditinggal oleh orang tua, setidaknya nasib kita tak semalang dia.""Apa sebaiknya kita lebih peduli saja padanya?"Airen melontar tanya lagi."Apa aku tidak salah
Anggi menjauhkan selimut dari tubuhnya. Ia beranjak dari tempat tidur dan duduk di depan meja rias. Wajah ovalnya tampak sendu. Tanpa sadar ia menitikkan air mata melihat pantulan dirinya di cermin. Ada rasa sesal dan sedih yang masih tersisa di hatinya. Ia merasa kecewa kepada dirinya karena gagal menjaga diri hingga terjerumus dalam nasib yang sial. Ia juga masih merasa sedih dan jijik dengan dirinya sendiri. Tapi sisi lain dirinya berkata beda. Ada secerca harapan yang membuatnya bangkit yaitu sahabatnya Mira. Orang yang berupaya selalu ada dan tak pernah melihat rendah atau menganggap dirinya sampah.Dari arah belakang, pintu kamar terbuka. Mira masuk dengan membawa nampan kayu berisi semangkuk sup ayam dan segelas air putih. Anggi melihat senyuman Mira mengembang dari bayangan cermin. Ia merasa beruntung. Berapa kali pun ia menghindari sahabatnya itu, maka sebanyak itu juga Mira berusaha merangkulnya. Meski baru tujuh tahunan mereka kenal, tapi Mira menganggapnya sudah l
"Apa yang membawamu datang kemari, Alfie?" tanya lelaki itu sambil menyandarkan tubuhnya di kursi rotan. Ia mengeluarkan sebatang rokok filter berwarna putih dari bungkusnya. "Kelihatannya sangat penting dan serius.""Aku hanya kebetulan lewat dan teringat sesuatu. Kupikir lebih baik aku mampir ke apartemenmu."Lelaki itu menyelipkan rokok di bibir lalu membakar ujungnya. "Ceritakanlah!"Alfie duduk dan saling menyilangkan jari-jarinya. "Sepertinya Airel sudah mulai menyadari kehadiranmu. Kemarin ia sempat menyinggungku tentang pertemuan kita," ujar Alfie membuka cerita."Airel? Pertemuan? Apa maksudmu? Bicaralah pelan-pelan.""Kau ingat saat mengantarkan barang ke rumahku?""Ya?" Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya."Saat itu Airel sudah mencurigaimu. Ia sudah merasa kita memiliki hubungan dekat," ujar Alfie."Aku mengerti. Namun bagiku itu bukan masalah. Lalu, apa yang kau khawatirkan?""Airel ini berbeda. Ia tak sepe
Alfie melihat wajah sayu sahabatnya, Yofi. Wajah yang tampak sedih namun sangat menipu. Bagaimana tidak, orang lain akan mengira Yofi memiliki kepribadian yang suram dari sorot matanya yang sendu. Tapi siapa sangka dia adalah ahli dalam menipu. Ia mampu mengubah wajahnya dan lihai dalam penyamaran. Tak heran jika ia di beri gelar sebagai Si Seribu Wajah. Tak pernah ada matinya meski usia hampir menuju kepala lima.Alfie merasa Yofi yang sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Setidaknya ia berani mengeklaim begitu setelah mengenal sahabatnya itu lebih dari dua puluh lima tahun. Yofi yang dulu, orangnya mudah pesimis dan berputus asa. Berbeda dengan sekarang, penuh ambisi dan percaya diri. Cocok dengan pribahasa: tua-tua keladi, semakin tua maka semakin menjadi.Alfie ingat betul awal perkenalannya dengan Yofi. Saat itu Alfie sedang berada di pub untuk mengintai seseorang. Tiba-tiba seorang pria berumur awal dua puluhan duduk di sebelahnya. Pria itu datan