“Tunggu kau masih perawan?” Suara berat seorang pria yang tengah telanjang itu membuat wanita yang ada dibawahnya menegang.
Elena, wanita itu menutup matanya sembari mengangguk ragu. Dia memang masih perawan dan terpaksa menjual dirinya untuk menyelamatkan papanya dari rentenir.
“T-tunggu…t-tuan akan pergi?” Elena terkejut ketika pria itu bangkit dan malah memungut pakaiannya. Apa dia melakukan kesalahan?
Elena mendadak menjadi ketakutan. Jika dia gagal memuaskan pelanggan utama sekaligus pertamanya ini maka Mami Lily, ketua mucikari di club ini tidak akan mau membayar Elena.
Pria itu membelakangi Elena. Otot otot punggungnya terpampang di dalam cahaya remang remang ruangan itu. “Aku tidak bermain dengan seorang perawan.” Kata kata itu keluar dari bibir pria itu.
Elena terdiam, bagaimana bisa pria ini langsung tahu?
Dengan tangan bergetar Elena bangkit dan berlutut di hadapan pria itu. Memohon dengan nada yang sangat lirih. “T-tuan aku mohon jangan pergi. Jika tuan pergi aku tidak akan dibayar sama sekali sementara aku perlu uang yang banyak untuk—
“Untuk apa?” Pria itu mencengkeram erat dagu Elena dengan sorot mata yang memerah menahan amarah. “Apa semua wanita akan melalukan apapun demi uang hah? Sebegitu rendah dirimu hingga kau melakukan ini?” sinis pria itu.
Elena tidak tahu kenapa pria ini menjadi begitu marah. Tetapi melihat dari sorot matanya sepertinya memang ada sesuatu.
Mami Lily mengatakan pria ini adalah adalah pelanggan baru dan paling VVIP di clubnya. Kata wanita itu, pria ini ditinggal oleh tunangannya keluar negeri dan membatalkan pernikahannya. Semenjak itu pria ini mulai rutin mengunjungi club ini untuk menyalurkan rasa emosinya.
Semua wanita di mata pria ini sama. Rendah, dan hanya memikirkan tentang uang saja. Termasuk Elena yang langsung membuat emosinya tersulut.
“Y-ya…..aku memang tidak berarti,” jawab Elena, sorot matanya penuh dengan kesedihan dan penderitaan yang dalam. Tidak ada yang tahu seberapa banyak rasa sakit yang sudah Elena alami hingga berakhir di tempat ini.
“Tuan tidak perlu berpikir sampai sejauh itu, aku memang melakukannya demi uang karena uang bisa melakukan segalanya,” lirih Elena.
Pria itu terkekeh dengan penuh ketidakpercayaan. Dia tidak habis pikir kenapa semua wanita berubah menjadi rendahan seperti ini. Uang bisa melakukan segalanya katanya? Bahkan seluruh uang yang dia miliki tidak bisa mengobati rasa sakit yang dia alami.
Lalu kenapa wanita ini dengan entengnya mengatakan uang bisa melakukan segalanya?
“Baiklah, kau sendiri yang memberikan harga untuk tubuhmu ini. Aku tidak akan segan kalau begitu!” ucap pria itu sebelum akhirnya mulai mengangkat tubuh mungil Elena dan melemparnya keatas kasur dengan sangat kasar.
Elena terperajat kaget ketika pria itu mulai melancarkan aksinya. Walau sangat frustasi memikirkan bagaiamna caranya mendapatkan uang cepat, tidak bisa dipungkiri betapa ketakutannya Elena saat ini.
Ini adalah pertamakalinya dia melakukan hal hal seperti ini. Elena selalu percaya bahwa tubuhnya hanya untuk cintanya dimasa depan namun itu hanya harapan untu orang yang punya masa depan, tidak seperti Elena yang memang ditakdirkan untuk menderita.
Jadi apa gunanya harga diri? Apa itu masa depan? Elena tidak mengenal semua itu.
Pria itu menyadari kekakuan wanita dibawahnya ini. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan. “Aku membayarmu mahal, seharusnya kau yang melayaniku,” ucap pria itu kini mengubah posisinya menempatkan Elena diatasnya.
“Cepat, puaskan aku!” titah pria itu. Dari temaran cahaya di ruangan ini Elena dapat melihat garis wajah tampan pria ini. Sorot matanya yang memikat dan tubuhnya yang begitu atletis membuat siapa saja bisa berlutut untuk memuaskannya.
Tetapi Elena pengecualian. Dia bukanlah profesional disini.
Elena terdiam sembari menelan ludahnya ketika pria itu melepas seluruh pakaiannya dan sesuatu yang besar dan keras terasa menusuk paha bawahnya. “T-tuan maafkan aku….ini benar benar pertama kalinya bagiku,” cicit Elena.
Melihat keluguan wanita ini membuat pria itu tidak sabaran. Dia langsung membalik tubuh seksi Elena dan mengungkungnya di bawahnya. “Baiklah, jika di tengah jalan kau merintih dan ingin berhenti jangan salahkan aku.” Pria itu berucap kemudian langsung menyambar Elena lagi.
Pria itu mulai melakukan pemanasan lagi dan menyentuh semua bagian sensitif wanita itu dan mencium setiap inci tubuh molek Elena.
“Ahh…” Erangan demi erangan keluar dari bibir seksinya dan pria itu tanpa ragu memaut bibirnya dan menciumnya dengan brutal.
Elena bahkan tidak punya kesempatan untuk bernapas sebelum pria itu memposisikan tubuhnya dan langsung menghantamnya dengan keras.
“Arghh….” Elena merintih kesakitan. Rasanya ada sesuatu yang robek dibawah sana dan rasanya sangat perih.
“Ahhh ini sakit,” cicitnya.
“Setelah ini tidak akan sakit lagi.” Setelah mengucapkan itu, pria itu langsung mempercepat tempo permainannya. Dia benar menggila karena tubuh Elena sangat molek bak gitar spanyol.
“Ahh….Thalia….kau sangat nikmat.”
Deg!
Kesadaran Elena langsung terkumpul saat dia mendengar pria yang sedang menganggahi tubuhnya ini mendesahkan nama seorang wanita. Apa itu nama tunangannya yang kabur itu?
Namun Elena mengabaikannya. Dia tidak peduli walau pria ini membayangkan wanita lain saat bersamanya karena yang terpenting baginya adalah uang. Hingga di akhir permainan keduanya sama sama terkulai lemas diatas tempat tidur itu.
Elena meraskan perih di area sensitifnya karena permainan pria ini. Namun, tidak dapat dia pungkiri dia sudah mendapatkan kenikmatan tiada tara.
Pria itu langsung bangkit saat keduanya sudah selesai. Dia berlalu menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dan kembali beberapa menit kemudian.
Elena sudah selesai memakai seluruh pakaiannya dan berniat menunggu hanya untuk mengucapkan pamit pada pria ini karena dia adalah salah satu pelanggan dengan sumbangsih terbanyak di club ini.
“T-tuan karena sudah selesai aku akan pergi,” ucap Elena tanpa berani menatap mata pria itu. Dengan langkah gontai karena sakit di area sensitifnya Elena berjalan hendak keluar.
“Siapa yang mengizinkanmu pergi?”
Elena terdiam, langkahnya terhenti.
Dengan langkah panjang dan pasti pria itu mengangkat tubuh Elena lagi dan hendak membawanya menuju ke kamar mandi. “Kita harus melakukan ronde kedua, sayang.”
Deg!
Elena benar benar kehabisan kata kata. Jadi belum selesai setelah semua tenaga yang habis?
Tepat saat Damian hendak membawa Elena ke kamar mandi, pintu didobrak dengan paksa dari luar dan suara langkah kaki mendekat ke arah ruangan.
“DAMIAN! APA YANG KAU LAKUKAN?”
“Kakek…”
Apa? Kakek? Elena benar benar tidak paham apa yang sedang terjadi.
“Kami ingin memulai ronde kedua apa kakek tetap akan berdiri dan menganggu kami?” Ucapan pria yang ternyata namanya Damian ini sukses membuat Elena melotot tajam.Sudah ketahuan tapi pria ini malah menantang lagi?“KAU! Mau sampai kapan kau akan terus bermain main seperti ini Damian?” Pria dengan pakaian rapi dan beberapa pengawal di belakangnya itu terlihat sangat marah. “Kau benar benar mencoreng nama baik keluarga kita!”Dia sudah lama tahu kalau Damian memang suka mengunjungi tempat ini dan sudah selama itu pula dia menahan amarahnya karena awalnya dia mengira Damian hanya sakit hati sementara. Saat dia sudah bisa melupakan mantan tunangannya itu maka dia akan kembali normal namun semuanya salah besar.“Sebelum mencoreng, aku sudah memberikan banyak untuk keluarga jadi impas.” Damian menjawab tanpa ragu. Sementara Elena yang masih diangkat oleh pria itu hanya bisa menyembunyikan seluruh wajahnya di ceruk leher Damian. Dia sungguh sangat malu saat ini.Melihat keadaan yang memang t
Elena, Damian dan Rico sampai di apartement sementara Damian, tempatnya biasanya tidur sementara karena dekat dengan perusahaannya.Elena berjalan mengikuti kedua pria itu dengan wajah pucat. Saat sampai di ruangan, Elena memberanikan dirinya membuka suara. “T-tuan, bagaimana dengan papaku apa dia akan dilindungi?” tanya Elena.Damian bersandar sambil menyilangkan kakinya. Tatapan matanya sangat intens mentap Elena dari ujung kepala sampai ujung kaki seakan dia bisa menelanjangi Elena hanya dari tatapannya itu.Elena menelan ludahnya, merasa gugup karena dia tahu betul makna dari tatapan pria itu. “Anak buahku sudah mengurus itu semua, yang perlu kau pikirkan sekarang hanya aku, Elena,” ujar Damian dengan santainya.Elena bahkan tidak tahu sejak kapan pria ini tahu namanya tapi mengingat semua hal ini mulai dari pengawal, asistem pribadi, pelanggang utama di club dan semuanya sepertinya Damian ini memang bukan orang sembarangan.Elena tak membalas setelah itu, dia hanya duduk kaku men
Aneh! Tapi nyata itulah yang terjadi saat ini.Elena menerima sebuah surat panggilan karena dia sudah lolos tahap administrasi untuk menjadi maid di mansion Keluarga Falcone. Jatungnya berdebar dengan kencang. Walau memang tujuannya kesana adalah untuk memuaskan hasrat tuan muda keluarga itu tetapi ini sungguh pengalaman yang sangat berkesan di hidupnya.Pagi ini Elena sudah bisa ke mansion utama untuk menjalani tes keterampilan dan menunggu pengumuman penerimaan disana.Beberapa orang terlihat sudah berkumpul di bagian belakang mansion karena bagian utama hanya boleh dilalui oleh penghuni mansion sementara maid dan pengawal harus masuk lewat belakang atau samping.Elena tak henti hentinya berdecak kagum ketika melihat betapa besarnya mansion ini. Dengan taman yang sangat luas dan rumah utama bak istana terlihat sangat megah dan berkilau dari kejauhan.Elena sekarang paham kenapa Damian bisa mengatakan ingin membeli seseorang dengan mudahnya. Dia terlahir sebagai pangeran disini mungk
“Aku tidak memakan makanan pembuka, apa kau maid baru?” Seorang pria yang wajahnya persis seperti Damian namun versi lebih tuanya itu berbicara kepada Elena dengan wajah datar.Elion Alexander Falcone, cucu pertama dari Tuan Falcone dan kakak dari Damian sendiri. Elena tahu semua itu karena orientasi yang diberikan tadi namun karena gugup dengan perilaku Damian tadi dia melupakan ini.Elena mengambil makannnya sembari membungkuk, “Iya, Tuan saya maid baru mohon maafkan saya,” ucap Elena.Elion tidak membalas tetapi dia menatap Elena dengan tatapan yang cukup dalam, entah kenapa suara dan caranya berbicara mengingatkannya pada seseorang namun Elion tidak yakin siapa.“Aku tidak perlu maafmu jika kau melakukan ini lagi keluar dari mansion ini,” ucap Elion tegas membuat Elena merutuki dirinya sendiri.Mila tidak berani ikut campur karena temperamen Elion yang paling buruk disini. Dia hanya bisa menasehati Elena ketika ada di dapur nanti tidak didepan majikan.“Elion, sudahlah jangan mena
Terhitung sudah 1 minggu lebih Damian pergi entah kemana semenjak kejadian itu. Elena tahu betul pria itu kesal namun apa boleh buat? Elena benar benar datang bulan saat itu.“Lena, gelas dan sendok di meja utama kurang tolong hitung dengan benar!” Suara Mila membuyarkan lamunan Elena yang tengah mencari gelas dan piring kecil.“Iya, akan aku bawa segera,” jawab Elena. Buru-buru dia berjalan ke arah luar namun seseorang sengaja menabraknya dengan cukup keras hingga piring kecil itu hampir jatuh.“Tuan muda tiba hari ini, awas jika kau berani menggodanya kau pikir kau penguasa disini hanya karena kau adik dari Rico?” sinis Miranda sembari mencengkeram pundak Elena dengan sangat keras.Semenjak kejadian minggu lalu saat Elena membawakan Damian makan ke ruangan kerjanya, Miranda mulai menunjukkan sifat aslinya.Karena Elena cukup lama ada disana untuk berbicara dengan Damian karena pria itu terus menggodanya, Mira menuduh Elena berusaha mencari perhatian Damian, apalagi saat itu Damian s
Elena baru saja meletakkan nampan kopi di meja saat Damian menarik tangannya. Tanpa peringatan, tubuhnya jatuh ke pangkuan pria itu, kedua tangannya terperangkap dalam genggaman erat. Ia menegang, tetapi tatapan Damian yang gelap membuatnya tak bisa bergerak."Tuan—""Ssst," Damian menempelkan jari di bibir Elena. "Aku sudah cukup bersabar. Hari ini, kau tidak akan pergi sebelum aku puas."Elena sebenarnya ingin menolak dengan mentah mentah pria ini namun apa hak yang dia punya? Damian sudah berhasil memegang kendali atas semuanya termasuk tubuhnya dari perjanjian itu. Datang bulan kemarin saja sudah cukup membuat Damian mendiaminya selama hampir seminggu dan Elena tahu cepat atau lambat dia harus melakukan pekerjaan utamanya walau dia sudah sangat terbiasa dan nyaman menjadi maid di mansion ini. “Ah…T-tuan bagaimana kalau ada yang masuk ke sini? Bukankah ini ruangan kerja?” cicit Elena dengan wajah yang sudah bersemu merah karena posisi intim keduanya. Damian menikmati melihat waja
“Ahh…Euhh.” Elena terus meloloskan desahan tanpa ia sadari. Tangannya bergetar saat dia berusaha berpegangan erat tetapi saking kerasnya gerakan Damian, Elena hampir tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya. Damian akhirnya melepaskan tautan keduanya hingga bisa memberikan waktu bagi Elena untuk bernapas sebentar. Keringat mengucur di pelipisnya dan Elena samasekali tidak berani melihat ke belakang dimana ada Damian. Dia merasa sangat malu melihat milik Damian dicahaya seterang ini. Entah kenapa rasanya sangat canggung walau mereka sudah pernah melakukannya sebelumnya. Damian, pria itu selalu membuat Elena merasa terintimidasi hanya dengan kehadiran pria itu saja. Elena mengatur deru napasnya yang tidak beraturan dan dia segera menurunkan rok dan hendak mengancingkan kembali bajunya namun Damian tiba tiba menekan tubuh Elena hingga wanita itu menempel di tembok.Kedua tangan Elena menempel di tembok dan dikunci oleh Damian hingga Elena benar benar terhimpit oleh tubuh pria itu, sam
Elena bergegas merapikan pakaiannya dan mengambil tisu untuk mengelap wajahnya yang berkeringat. Penampilannya sudah berubah menjadi kacau seperti ini jika dia keluar langsung pasti ada maid lain yang curiga dengannya, terutama Miranda. Elena mengambil napas dalam dalam lalu berjalan menuju ke dekat meja Damian dimana sepatunya berada. Elena memakainya dengan cepat karena sebentar lagi waktu istirahat makan siang akan berakhir. Sebelum pergi, Elena melihat foto-foto wanita yang berjejer diatas meja itu. Semuanya adalah foto-foto wanita dari Kalangan atas yang sebanding dengan Keluarga Falcone. Bahkan, diantaranya ada model, artis, dan anak pejabat politik. Semuanya terlihat sangat serasi jika bersanding dengan seorang Damian Alexander Falcone dan Elena hanya bisa tersenyum miris melihat semudah itu Damian men
Restoran Le Céleste, terletak di puncak menara tertinggi di kota, berkilau dengan lampu kristal yang memantulkan cahaya malam. Interiornya mewah, dengan langit-langit kaca yang memperlihatkan panorama kota.Di meja paling mahal yang berada di tempat termewah disana, Damian duduk sendiri di meja untuk dua orang, satu tangannya menggenggam gelas wine merah, tatapan tenang menatap gedung-gedung tinggi kota di bawahnya."Pastikan paparazi tahu aku ada di sini malam ini." Perintahnya pada Rico terdengar tenang, tapi penuh perhitungan. "Untuk meredam berita sialan itu,” lanjut Damian saat Rico menunjukkan tanda-tanda kebingungan sebelum akhirnya dia mengangangguk paham."Baik, Tuan," sahut Rico cepat, lalu keluar untuk menelepon salah satu koneksinya di media.Damian bersandar di kursinya, menyilangkan kaki dengan ekspresi yang datar. Entah kenapa akhir-akhir ini harinya terasa sangat panjang, bahkan menunggu belum sempat 5 menit Damian sudah tidak sabar ingin pulang.Entah sampai kapan dia
Minggu pagi datang dan Damian berdiri di depan jendela lantai tiga puluh sembilan, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, sementara layar monitornya menampilkan grafik saham yang perlahan stabil.Sudah enam hari ia menghabiskan waktu di kantor. Sejak kekacauan akibat pembatalan dinas, Damian mengubur dirinya dalam pekerjaan. Dia belum kembali ke mansion, bahkan belum menatap wajah Elena sejak malam itu.Rindu? Seorang Damian tidak akan pernah merindukan siapapun. Tapi disaat dia dengan keras berusaha menyangkalnya disanalah dia mulai terjebak, dengan perasaannya sendiri.Damian sengaja menahannya. Semenjak sindiran dari Rico beberapa hari lalu tentang pembatalan dinasnya secara tiba-tiba hanya untuk menghampiri Elena di rumah sakit membuat Damian terasa ditampar.Ini jelas bukan dirinya dan Damian membenci itu.Memangnya siapa wanita itu harus mendapat perhatiannya sekeras ini? Damian berusaha membuktikan kalau Rico salah besar akan tetapi saat setiap malam dia merindukan sen
Falcone Corp, Lantai 10Ruangan itu sunyi, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan terdengar. Damian duduk di belakang meja kerjanya yang megah, namun wajahnya penuh tekanan. Di hadapannya, tumpukan berkas dan puluhan email masuk belum sempat ia buka.Direktur Utama perusahaannya, Nara, mengetuk pintu pelan lalu masuk sambil membawa tablet. "Tuan Damian, ini pembatalan kontrak dari Biancci Group. Mereka kecewa Anda tak hadir dalam pertemuan hari ini." Wanita dengan pakaian rapi itu menunduk setelah mengucapkannya karena melihat tatapan tajam bosnya. "J-juga, dua investor dari Zurich menunda suntikan dana karena absennya Anda di agenda konferensi."Damian akhirnya menghela napas berat, menautkan jemari ke pelipisnya yang berdenyut. Dia memang membatalkan dinas mendadak—tanpa penjelasan, tanpa koordinasi. Dan kini, imbasnya datang seperti gelombang: investor kecewa, kontrak batal, dan reputasi terguncang.Pintu kembali dibuka, kali ini Rico masuk dengan wajah yang jauh lebih frusta
Elena menggigit bibirnya saat Damian membanting pintu apartemen itu dari dalam. Langkah kaki pria itu terdengar berat dan cepat, seperti bom yang siap meledak. Tubuhnya berdiri tegap di hadapan Elena yang masih memegangi pipinya yang memar.Meskipun merasakan nyeri karena bekas tamparan itu, tapi ada hal lain yang membuat Elena seakan melupakan rasa sakitnya seketika.Tatapan mata Damian.Ada kilatan aneh di mata pria itu, sama seperti saat Elena diculik waktu itu."Apa yang kau pikirkan, hah?" suara pria itu tajam, matanya berkilat marah. "Pergi tanpa kabar, tak menjawab telepon, dan kau membiarkan dirimu diperlakukan seperti itu?" Damian berjalan mendekat, sorot matanya tak melepaskan Elena barang sedetik pun.Elena menelan ludahnya susah payah. Entah kenapa suasana ruangan berubah menjadi lebih mencekam hingga tanpa sadar dia memundurkan langkahnya seiring langkah Damian mendekat."T-tuan aku hanya ingin menjenguk papaku..."Suara Elena nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat
Elena masih terduduk di lantai lorong rumah sakit, pipinya berdenyut hebat dan kepalanya pusing karena terbentur lantai saat terjatuh karena ditampar kakaknya dengan sangat keras.Matanya seketika memerah menahan air matanya yang hendak turun. Selama ini dia sudah terbiasa dengan sikap kasar kakaknya ini tetapi kenapa sekarang Elena sangat cengeng?Apakah ini salah kakaknya atau harapan Elena yang terlalu tinggi? Dia sudah berusaha sekuat tenaganya menggunakan seluruh tenaga bahkan fisiknya untuk mencari uang kesana kemari selama ini sebelum akhirnya menetap di mansion Falcone.Lalu apa?Apakah hanya tamparan dingin dan perih ini yang Elena pantas dapatkan sebagai balasannya? Tidakkah ada yang mengapresiasi Elena dan menenangkannya, menjadi sandaran untuknya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.Tidak…Tidak ada. Elena selalu sendiri, dan sepertinya memang akan tetap seperti itu. “Sudah puas bermain-main menjadi gundik orang kaya, sekarang sok-sokan datang menjenguk papa?” cibir
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari wajah Elena yang masih terbaring di tempat tidur. Ia mengerjapkan mata dengan panik begitu sadar dirinya benar-benar tertidur semalaman di kamarnya bersama Damian.Pikirannya langsung kacau—niat awalnya setelah melayani pria itu adalah segera pulang ke rumah sakit, bukan tertidur di pelukannya. Elena benar-benar merutuki dirinya sendiri karena hal ini, setelah ketahua kemarin Elena langsung menutup matanya dan hal terakhir yang dia ingat adalah Damian yang memeluknya dari belakang dan menyuruh Elena untuk menutup matanya.Elena seakan terhipnotis, tidak bisa melawan dan mengatakan apapun selain menuruti titah Damian. Akan tetapi, fakta bahwa dia terlelap dalam pelukan tuannya itu samasekali bukan dalam rencanya.Bagaimana bisa? Elena pasti sudah gila karena kelelahan. Damian adalah orang yang paling Elena benci sejak awal karena keegoisannya tapi apa yang terjadi sekarang?Elena duduk terburu-buru, lelah memirkan hal itu. Perempuan
Sudah pukul sembilan malam saat Elena menyelesaikan tugas-tugas terakhirnya hari ini. Aroma lembut dari detergen bersih masih melekat di tangannya, membaur dengan semilir angin malam yang masuk dari jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Ia membuka koper kecil dan mulai melipat pakaian satu per satu dengan hati-hati.Hari ini adalah akhir bulan, dan itu berarti Elena mendapatkan cuti bulanan selama empat hari penuh. Ia bersyukur bisa menjenguk papanya yang masih dirawat karena luka-luka akibat utang sialan itu. Terakhir kali Elena mendapatkan kabar dari adiknya kalau papanya masih dalam pemulihan. Sementara adik dan papanya sangat senang ketika tahu Elena mendapatkan pekerjaan di mansion utama Keluarga Falcone yang artinya elena kini adalah harapan satu-satunya keluarganya tanpa tahu pekerjaan jenis apa yang Elena kerjakan di mansion ini. Di luar, taksi yang ia pesan sudah menunggu dengan sabar karena dari dalam kamarnya Elena dapat melihat dari kejauhan taxi itu menunggu dengan lamp
Ruang interogasi di basecamp Raven Security dipenuhi dengan atmosfer dingin dan mematikan. Cahaya lampu putih menyinari meja baja tempat Evan duduk terikat, wajahnya babak belur dan tubuhnya penuh memar. Namun tatapannya masih menyimpan sisa kesombongan, sampai langkah sepatu Damian terdengar memasuki ruangan.Pintu dibuka dengan satu hentakan, dan Damian masuk dengan pakaian serba hitam serta ekspresi dingin. Anggota pasukan khusus itu menunduk sebagai tanda hormat, mereka memang sudah menunggu Damian sejak tadi.Tanpa sepatah kata, Damian melepas sarung tangannya, meletakkan jam tangan di atas meja logam, dan duduk di seberang Evan. Pria itu tersenyum sinis dengan wajah babak belur itu seakan tatapannya bisa menguliti Damian hidup-hidup.Tetapi Damian tetap tenang. Dia mendorong salah satu kursi disana untuk bisa duduk di depan Evan dan menatapnya nyalang. Darah Damian spontan langsung mendidih saat melihat wajah Evan, membayangkan saja apa yang bisa dia lakukan pada Elena sudah mem
Cahaya lembut menembus tirai apartemen saat kelopak mata Elena perlahan terbuka. Kepalanya terasa berat, tenggorokannya kering, dan tubuhnya terasa sangat lemas.Begitu pandangannya mulai jelas, ia melihat langit-langit serba putih. Elena belum bisa mengingat apapun kecuali fakta bahwa dia hampir diperkosa oleh Evan.Tapi dimana dia sedang berada sekarang?Matanya sayunya perlahan turun untuk melihat sekelilingnya dimana ada infus yang terpasang dari telapak tangannya. Ketika Elena melihat ke arah lain, dia melihat seseorang. Damian duduk di sofa panjang dengan kaki bersilang, kacamata tipis bertengger di batang hidungnya, dan sebuah tablet menyala di tangannya. Tatapannya fokus, tapi bahunya sedikit tegang, seolah dia sudah duduk di sana sejak semalam.Elena mengerjapkan mata, mencoba duduk tapi meringis karena perih di pinggangnya. Ia menahan napas, menatap Damian dari tempat tidur, lalu memberanikan diri bersuara. “Tuan…”Damian menoleh perlahan, tatapannya tajam namun tetap tenan