Nindi tiba di rumah dua jam setelah kejadian. Ia melangkah masuk, langsung disambut suasana ruang tamu yang tegang.
Di sana, Daffa sudah menunggunya, duduk dengan raut wajah yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang memuncak.
Begitu pintu terbuka dan melihat istrinya, Daffa langsung bangkit berdiri, langkahnya cepat menghampiri Nindi.
“Sayang! Kamu ini dari mana saja? Mila bilang kamu terpeleset di kamar mandi dan dilarikan ke rumah sakit Harapan Kasih. Aku cari ke sana, kamu tidak ada. Astaga, aku panik sekali! Sekarang katakan, kamu baik-baik saja, kan? Mana yang sakit?” cecar Daffa, tangannya refleks hendak meraih bahu Nindi.
Nindi menepis kasar tangan Daffa dari bahunya. Gerakannya dingin dan penuh penolakan. “Aku baik-baik saja, Mas,” jawabnya datar, nyaris tanpa intonasi.
Namun, matanya tidak bisa berbohong. Di sana, tersimpan luka yang teramat dalam, bagai jurang yang tak terukur. Matanya merah, sembab dan rapu
Pagi hari setelah malam yang penuh gejolak emosi itu, Nindi kembali kedatangan tamu. Kali ini adalah Abraham, ayahnya.Nindi berdiri kaku di ambang pintu. Ia sempat merasa heran bahkan curiga, bertanya-tanya, kenapa ayahnya, setelah sekian lama tidak pernah muncul atau menunjukkan kepedulian, tiba-tiba datang.Selama ini, Abraham tidak pernah menjenguknya, bahkan untuk sekadar bertanya kabar soal kehamilan atau kandungannya.“Ayah? Tumben sekali Ayah datang,” sapa Nindi, nadanya datar, tanpa kehangatan yang tulus.Abraham mengamati wajah putrinya. Wajah yang terlihat kacau, sembab, dan berantakan. “Boleh Ayah masuk? Ada sesuatu yang harus kita bahas.” Suara Abraham terdengar dingin dan mendesak, tanpa ada nada khawatir seorang ayah.Nindi menghela napas, merasa lelah, tetapi ia mempersilakan Abraham masuk.Saat mereka sudah duduk berhadapan di ruang tamu, Abraham langsung menembak ke inti masalah, tanpa basa-basi sedi
Malam itu, Nindi pulang dengan langkah gontai, pikirannya masih dipenuhi bayangan Rexa dan tekadnya untuk menggugat cerai. Begitu ia memasuki ruang tamu, langkahnya mendadak terhenti.Di sana, ada Yunita yang duduk di sofa tunggal dengan raut wajah keras.Perhatian Yunita langsung teralihkan begitu Nindi tiba. Wanita paruh baya itu bangkit, matanya memancarkan amarah yang siap meledak.Yunita mendekat dengan langkah cepat, dan tanpa sepatah kata atau aba-aba, sebuah tamparan keras mendarat sempurna di pipi kiri Nindi.Nindi terkejut. Ia tersentak mundur, tangannya refleks mengusap pipinya yang langsung terasa panas dan perih. Ia menatap mertuanya dengan pandangan kosong.“Mama… kenapa? Kenapa Mama menamparku?” tanyanya, suaranya bergetar antara sakit dan kebingungan.“Karena kamu memang pantas untuk ditampar!” ketus Yunita, suaranya penuh penghinaan.“Apa maksud Mama? Aku nggak ngerti.”
Nindi menghela napas, napas yang terasa penuh kelelahan batin. “Iya, Mila. Kami akan bercerai. Sudah cukup aku memberikannya kesempatan. Malahan aku nyesal karena memaafkannya waktu itu." Nindi tersenyum getir. "Lagian untuk apa bertahan? Toh, pria yang berselingkuh akan kembali berselingkuh. Mereka nggak bakalan berubah sebelum benar-benar kehilangan."Mila mengangguk setuju. Raut wajahnya menunjukkan dukungan penuh. "Mungkin memang ini yang terbaik, Bu. Lebih baik melepaskan daripada harus terus-terusan menahan sakit."Sesaat Mila pun menatap Nindi penuh rasa bersalah karena sudah menyembunyikan perselingkuhan Daffa. 'Maafkan saya, Bu.'****Daffa benar-benar berusaha keras untuk menahan diri. Ia tidak bertemu Wilona seharian. Ia bahkan tidak berani menyentuh ponsel cadangannya. Entah kenapa, instingnya berteriak bahwa istrinya sedang memantau, menunggu ia membuat kesalahan.Sore harinya, Daffa pulang dengan perasaan tidak tenang. Ia langsu
Nindi tiba di rumah dua jam setelah kejadian. Ia melangkah masuk, langsung disambut suasana ruang tamu yang tegang.Di sana, Daffa sudah menunggunya, duduk dengan raut wajah yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang memuncak.Begitu pintu terbuka dan melihat istrinya, Daffa langsung bangkit berdiri, langkahnya cepat menghampiri Nindi.“Sayang! Kamu ini dari mana saja? Mila bilang kamu terpeleset di kamar mandi dan dilarikan ke rumah sakit Harapan Kasih. Aku cari ke sana, kamu tidak ada. Astaga, aku panik sekali! Sekarang katakan, kamu baik-baik saja, kan? Mana yang sakit?” cecar Daffa, tangannya refleks hendak meraih bahu Nindi.Nindi menepis kasar tangan Daffa dari bahunya. Gerakannya dingin dan penuh penolakan. “Aku baik-baik saja, Mas,” jawabnya datar, nyaris tanpa intonasi.Namun, matanya tidak bisa berbohong. Di sana, tersimpan luka yang teramat dalam, bagai jurang yang tak terukur. Matanya merah, sembab dan rapu
Saat Daffa pulang dari kantor hingga menjelang tidur, Nindi diam-diam mengawasi gerak-geriknya.Daffa terlalu pintar, kini ia tidak lagi menunjukkan kegugupannya.Saat ditanya Nindi ke mana tadi siang, Daffa justru berdalih bahwa ia sedang meeting di luar dan menggunakan mobil kantor, makanya mobil pribadinya masih terparkir di halaman.Nindi hanya mengangguk saja, menerima jawaban Daffa. Ia yakin itu semua adalah kebohongan, namun ia tidak ingin berdebat.****Pagi ini, seperti biasa, Nindi dan Daffa sarapan bersama."Mas, nanti aku bawain makan siang, ya. Jadi, kamu jangan makan di luar!" kata Nindi.Daffa terlihat keberatan. "Apa tidak repot, Sayang? Kamu tidak boleh sering-sering ke luar rumah. Kasihan kamu nanti capek.""Aku nggak repot sama sekali, Mas. Malahan aku senang kalau bisa mengantarkan makan siang untukmu tiap hari. Entah kenapa, aku makin kangen sama kamu, Mas. Nggak mau pisah terlalu lama." Nindi meng
Begitu tidak mendapati Daffa di ruangannya, Nindi tidak langsung pergi. Ia memutuskan untuk menggeledah ruangan itu. Ia yakin sekali Daffa memiliki ponsel cadangan yang dipakai untuk berkomunikasi dengan selingkuhannya. Dengan ponsel itu, ia bisa mendapatkan bukti lebih banyak agar Daffa tidak bisa menyangkal lagi."Awas kamu, Mas! Begitu aku dapat bukti kalau kamu benar-benar selingkuh, siap-siap saja, aku langsung gugat cerai tanpa pikir panjang!" geram Nindi.Nindi menggeledah meja kerja Daffa, membuka semua laci. Namun, tak ada apa pun di sana. Ia beralih ke sofa tamu, berpikir mungkin ponsel itu diselipkan. Ia juga mengecek belakang dispenser, bahkan belakang lukisan yang tergantung. Tak ketinggalan, ia mengobrak-abrik tanah di pot bunga di pojok ruangan. Namun semuanya sia-sia. Nindi tidak berhasil menemukan po