Share

Bab 7

Author: Rira Faradina
last update Huling Na-update: 2022-08-11 11:07:03

Karin menatap pantulan dirinya di cermin, memandang wajahnya sambil menghela nafas panjang.

Menyetujui pernikahan kedua suaminya mungkin adalah keputusan yang sangat bodoh dan konyol dalam pandangan orang lain. Berbagi raga suami dengan wanita lain bukanlah hal yang mudah. Banyak yang harus dikorbankan. Itulah yang sedang dirasakannya sekarang.

Tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima keadaan ini. Karin juga menyadari ketidak-sempurnaan dirinya. Berkali kali ia menekan perasaan cinta dan harga dirinya, namun, hal itu tak semudah membalik telapak tangan untuk dilakukan. Air mata rasanya sudah habis tercurah dan mengering.

Memiliki seorang madu yang begitu cantik dengan menarik, tak pelak membuat Karin selalu menekan rasa cemburu dan ego. Ia sadar karena cepat atau lambat hal ini akan terjadi.

Karin menarik perlahan sebuah buku bersampul kulit sintetis dari laci meja riasnya yang paling bawah. Sebuah foto yang berada dalam buku itu terjatuh ketika ia memiringkan lembaran kertas dalam bukunya.

"Apa lagi yang bisa kulakukan? Rasanya sudah cukup besar pengorbanan yang telah dilakukan Rendi untukku selama ini. Aku tak ingin lagi menjadi beban." Jerit Karin tertahan.

Lama ia menatap foto tersebut. Jemarinya seakan enggan untuk melepas foto itu dari tangannya begitu pula dengan kedua pandangan matanya yang seolah tak ingin beralih.

"Kadang aku masih merindukanmu." Lirihnya tertahan.

Helaan nafas berat terdengar. Udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan seolah menambah dinginnya hati Karin saat ini. Dikembalikannya lagi foto itu ke dalam buku bersampul itu, dan meletakkannya kembali ke tempatnya semula.

Kedua tangan Karin saling meremas kuat, lalu kembali memandang pantulan dirinya di cermin. Disana, ia seakan melihat beratnya beban rasa bersalah pada dirinya. Namun, selalu saja ia abaikan.

Karin beranjak dari tempat duduknya. Perlahan langkahnya menuju pintu keluar, meninggalkan kamarnya.

Langkahnya berhenti ketika hendak melewati kamar Vania. Kembali ia merutuki dirinya sendiri yang seakan ingin tahu apa yang sedang dilakukan suami dengan istri mudanya didalam. Meski terasa sesak, Karin memilih menyandarkan punggungnya di dinding tak jauh dari kamar Karin. Tak ayal rasa cemburu kini memenuhi rongga dadanya.

"Apa yang sedang kulakukan? Haruskah rasa cemburu ini ku turuti?"

Karin masih bersandar di dinding. Hatinya berdenyut lirih. Sesekali ia memejamkan mata demi menenangkan kembali perasaan emosionalnya yang seakan ingin melesak keluar.

Sejak awal ia tahu, hal ini akan terjadi. Memiliki madu memang tidaklah mudah. Namun, ini keputusannya bahkan ia sendiri yang telah memilih dan menerima Vania untuk menjadi istri kedua bagi Rendi.

"Kau berkata benar, Vania. Sebuah istana tak akan pernah bisa memiliki dua ratu didalamnya, jika istana itu tetap ingin bertahan, maka salah satu ratu harus segera disingkirkan." Gumam Karin menunduk pilu.

*****

Dering alarm yang memekik membuat Vania terbangun dari tidurnya. Matanya masih berat untuk membuka, ia sadar jika sekarang sudah waktunya untuk bangun. Namun, tubuhnya masih ingin menggeliat dan enggan lepas dari ranjang ini.

Merasa terganggu dengan suara alarm yang belum juga berhenti, akhirnya membuat Vania mengulurkan tangannya. Menggapai jam beker tersebut demi menghentikan suara deringnya yang menyakiti telinga.

Mata Vania menyipit ketika menyadari jika tubuhnya kini sudah berada diatas ranjang. Ia masih ingat, semalam ia tertidur di sofa yang berada di dekat jendela kamarnya dan sekarang?

Refleks, gadis dengan bulu mata lentik itu menoleh ke sebelah. Kosong, tak ada Rendi disana. Vania ingat jika semalam suaminya itu berada di kamar ini dan tidur di ranjangnya.

"Apa yang terjadi semalam? Mengapa aku tidak ingat? Astaga mungkinkah?" Spontan Vania melirik ke bawah selimut.

Piyama yang dipakainya masih utuh melekat di tubuhnya. Entah mengapa, ada tarikan nafas lega terdengar. Tak lama, pandangan mata Vania beralih menyusuri tiap sudut kamarnya, mencari keberadaan sosok lelaki yang bermalam di kamarnya, semalam.

"Ah, kau sudah bangun?" Suara berat seseorang terdengar begitu pintu kamarnya terbuka.

"Kau kah yang memindahkanku ke ranjang?" Vania mendesis.

"Iya, tak kusangka kau cukup berat." Ucap Rendi datar memandang istri keduanya itu.

"Ba-bagaimana bisa kau melakukannya? Ah ... Sudahlah!" Vania membuang selimut yang menutupinya lalu turun dari ranjang.

Ekor mata Vania melirik Rendi yang sudah berpenampilan rapi. Kemeja putih yang membungkus tubuhnya membuat lelaki itu terlihat begitu mengesankan. Membuat matanya kini berkhianat, seakan-akan tidak ingin melepaskan pemandangan yang begitu maskulin di hadapannya.

Ah, Vania menelan ludah. Sial, tak bisa ditampik, lagi-lagi ia terpesona dengan pesona lelaki dihadapannya ini.

"Kau sudah rapi?" Tanya Vania tak percaya sambil melirik jam beker yang menunjukkan angka lima kurang sepuluh menit.

"Aku ada janji dengan seseorang di bandung, mungkin nanti aku akan pulang terlambat karena sepulang dari Bandung, nanti sekalian menghadiri resepsi pernikahan anak kolega bisnisku," jawab Rendi.

"Oh."

Vania segera mengalihkan pandangannya ketika kedua mata mereka tak sengaja beradu pandang. Ia kembali memperlihatkan sikap dingin dan menghindar. Segera tangannya meraih handuk, berniat untuk membersihkan diri dan menunaikan ibadah shalat.

Tak terlihat lagi Rendi di kamar ketika Vania keluar dari kamar mandi. Hanya ada sajadah yang terlipat rapi di atas ranjang. Sepertinya suaminya keluar dari kamar setelah menunaikan kewajibannya. Membuat helaan kekecewaan lolos dari bibirnya.

"Mungkin ia pergi ke kamar Mbak Karin," gumam Vania pelan.

Sambil mengenakan pakaian, pikiran Vania seketika mengembara. Rasa cemburu kini menyeruak tak bisa ditahan. Ia sadar seberapa kuat ia menahan perasaannya. Suatu hari kelak pertahanan itu pasti akan jebol. Vania tidak mau itu terjadi. Karena nantinya akan sulit baginya untuk melepaskan diri dari Rendi.

Ketukan pelan terdengar beberapa saat setelah Vania menyelesaikan sholat subuhnya. Matanya melirik ke arah penunjuk waktu yang berada di atas nakas. Sudah hampir pukul enam. Sebentar lagi waktunya untuk sarapan.

"Vania, kau di dalam?" Suara Karin terdengar dari balik pintu.

"Masuklah mbak. Pintunya tidak dikunci."

Ada rasa canggung ketika Vania berdiri dihadapannya Karin pagi ini. Kakak madunya itu terlihat begitu segar dan menawan pagi ini dalam balutan dress selutut berwarna Lilac. Vania yakin, siapapun yang melihatnya pasti akan memberikan pujian padanya.

"Kau terlihat cantik pagi ini, mbak." Puji Vania tulus.

"Terima kasih."

Ucap Karin lalu berdehem pelan untuk menghilangkan kecanggungan diantara mereka.

"Ehm ... ku bisa pinjam charger ponselmu? Punyaku tiba tiba rusak, tidak ada daya yang terisi meski sudah semalaman di charger." Ujar Karin.

"Oh, tunggu sebentar aku ambilkan dulu." Ucap Vania sambil melangkah ke arah nakas, tempat dimana ia biasa meletakkan charger ponselnya.

"Ini." Ucap Vania sambil menyerahkan charger miliknya ke tangan Karin.

"Terima kasih. Aku pinjam dulu. Nanti akan ku kembalikan."

"Tak usah mbak. Pakai saja, aku masih punya satu lagi." Sahut Vania cepat.

"Baiklah, terima kasih."

"Ah, jangan lupa cepatlah turun, kita akan sarapan bersama." Lanjut Karin beberapa detik kemudian.

"Mbak ...!" Panggil Vania ragu.

"Ada apa?" Jawab Karin spontan.

"Kenapa kau melakukan ini, Mbak?"

"Apa maksudmu Vania?" Karin memandang Vania dengan intens.

"Mengapa terus membiarkan Mas Rendi ke kamarku. Bukankah semalam adalah jatah hari Mas Rendi untuk tidur di kamarmu, Mbak?" Tanya Vania tanpa basa-basi.

"Kenapa bertanya seperti itu, Vania?" Balas Karin.

"Sikapmu terlalu baik padaku, mbak. Membuatku khawatir." Keluh Vania.

"Lalu, kau ingin aku bersikap bagaimana, Vania? Seperti istri pertama yang tersakiti dalam sinetron ikan terbang yang sering ditonton Bi Asih itu? Menangis setiap hari atau merencanakan sesuatu yang buruk pada istri muda suaminya, begitu?" Ada nada ketus yang didengar Vania dari ucapan Karin.

Vania menggeleng lemah.

"Tidak, bukan seperti itu maksudnya, mbak. Tolong jangan salah paham. Aku hanya merasa kau terlalu baik untuk seorang wanita yang menjadi teman berbagi ranjang suamimu."

Karin tersenyum tipis mendengar ucapan Vania. Membuat Vania semakin sulit mengartikan sikap kakak madunya itu.

"Kau salah Vania. Aku tidak sebaik yang kau kira."

Bersambung.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 90 / Ending

    Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 89

    Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 88

    ""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 87

    "Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 86

    "Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 85

    "Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status