Share

Bab 6

Author: Rira Faradina
last update Last Updated: 2022-08-11 11:06:02

Suara ketukan pintu terdengar begitu Vania keluar dari kamar mandi, harum lavender menguar di kamarnya. Untuk sesaat ia terpaku begitu mendengar suara yang terdengar bersamaan dengan ketukan pintu untuk yang kedua kalinya.

"Vania, bisakah kau buka pintunya sebentar?"

***

Masih dengan kimono mandi yang dipakainya, Vania melangkah ke arah pintu. Sesaat ia memejamkan mata, lalu menghela nafas panjang.

Aroma maskulin langsung tercium begitu pintu kamarnya terbuka. Tampak disana berdiri seorang pria yang langsung menatapnya dengan manik obsidiannya yang gelap.

"Ada apa mas?" Tanya Vania datar dengan sorot matanya yang dingin.

"Aku ingin bicara sebentar padamu, Vania?"

"Masuklah."

Tangan Vania membuka lebar pintunya Lalu membalikkan badan mencoba menghindar dari tatapan mata Rendi yang membuatnya tak nyaman.

Vania memilih duduk di kursi meja riasnya, sementara Rendi berdiri tak jauh dari ranjang. Untuk sesaat Vania merasa begitu canggung kala melihat sosok tegap dan atletis tengah berdiri di hadapannya.

Rendi memang tampan, wajah dengan rahang yang tegas, tubuh yang proporsional dan manik obsidiannya yang sekelam malam, membuat sosoknya begitu memikat. sayang, hati pria itu sudah terikat erat dengan Karin, wanita yang begitu ia cintai dan dinikahinya lima tahun lalu, membuat Vania merasa kehadirannya dalam hidup pria itu seakan menjadi seonggok pajangan saja.

Dulu, saat ia masih duduk di sekolah menengah, Vania sering mendengar bapaknya bercerita tentang para gadis yang sering menitip hadiah untuk anak lelaki majikannya ini. Bukan tanpa alasan bapaknya mengetahui semua itu, karena Tuan dan Nyonya Atmadja memang menugaskankan beliau untuk mengawasi anaknya ketika mereka sedang berpergian keluar kota ataupun keluar negeri.

Wajar saja, karena Rendi memang begitu memukau. Tak heran jika banyak gadis yang terpikat dengan pesonanya. Mungkin termasuk dirinya.

Tidak, itu tak boleh terjadi. Vania sadar ia tak mungkin bisa memiliki cinta pria itu.

Rasanya begitu sesak menahan perasaan yang tidak terbalas seperti ini. Membuat Vania seketika merasa begitu rendah diri, dan takut bila mengingat banyaknya hinaan dan hujatan yang ditujukan padanya karena status istri kedua yang disandangnya.

"Vania!" Panggil Rendi memecah lamunannya.

"Apa yang ingin dibicarakan, mas. Katakan saja karena aku ingin istirahat."

"Tadi mama meneleponku. Ia meminta kita bertiga ke rumahnya minggu depan." Ujar Rendi dengan wajah datar tanpa ekspresi.

"Lalu?"

"Apakah pertemuan ini akan membahas tentang kehamilanku?" Vania berdesis. Menekan emosinya.

Untuk sesaat hanya keheningan yang tercipta diantara mereka. Vania tidak tahu bagaimana ia harus bersikap dengan pernyataan yang baru saja di ucapkan suaminya. Haruskah ia menghindar?

Rendi masih berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana. Dapat Vania rasakan tatapan mata Rendi yang seakan ingin menguliti dirinya. Aura mendominasi begitu kuat dirasakan olehnya.

"Kau selalu menghindar dariku Vania." Suara Rendi terdengar rendah.

Vania menggeleng pelan.

"Aku tidak menghindar mas, aku hanya menjaga perasaanku sendiri."

"Maaf." Terdengar lirih dari bibir Rendi.

"Untuk apa?"

"Karena aku tak bisa menjadi seorang suami yang kau harapkan."

"Tak perlu. Aku tahu dimana posisiku."

"Aku ingin kita bertiga datang, mama akan sangat kecewa jika kau menghindar karena beliau sangat ingin bertemu denganmu."

"Jangan memaksaku, mas." Lirih Vania dengan suara yang terdengar bergetar.

Helaan nafas Rendi terdengar berat. Pria itu lalu melangkah mendekati Vania, tak lama, tangan kokohnya melingkar di pinggang ramping Vania, membuat gadis itu seketika gugup.

Wajah mereka kini sangat dekat, Vania bisa merasakan hangatnya nafas Rendi yang menyentuh pipinya. Tatapan mata Rendi seakan mengunci tubuh Vania, membuat gadis itu membeku.

Untuk beberapa saat tak ada yang bicara diantara mereka, hanya suara dari mesin pendingin ruangan yang terdengar. Rangkulan tangan Rendi yang lembut di pinggangnya membuat Vania masih membeku di hadapan lelaki itu

"Karin mengunci kamarnya ...." Ucap Rendi terputus.

"Lalu, mas ingin tidur di sini?" Vania menyela lalu melepas tangan Rendi yang melingkar di pinggangnya.

"Iya, jika kau perbolehkan."

"Kau bisa tidur dimana saja kau mau mas, ini rumahmu. Aku cuma menumpang di rumah kalian." Vania mendesis lalu melepas handuk yang membungkus rambutnya.

Aroma maskulin masih samar tercium, membuat Vania menggigit bibirnya. Ia tak munafik jika aroma tersebut menggelitik sisi feminimnya. Vania memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan rona pipinya yang memerah.

Rendi mengulas senyum tipis melihat sikap Vania yang masih terkesan menghindar. Sebuah senyuman yang tanpa sengaja tertangkap oleh ekor mata Vania. Gadis itu tak tahu apa yang tersembunyi dibalik senyuman itu karena begitu cepatnya pria itu mengubah raut wajahnya kembali dingin. Membuat hati Vania dirundung tanya.

Mungkinkah tadi ada hal yang aneh atau lucu hingga membuat pria yang selalu bersikap dingin padanya itu tiba-tiba tersenyum?

Entahlah, Vania sedang malas untuk berpikir.

Dengan penuh percaya diri, Rendi berjalan ke ranjang Vania. Kemeja berwarna abu-abu dengan lipatan di bagian lengan itu semakin membuat pria berusia tiga puluh tahun itu terlihat tampan, membuat Vania langsung memalingkan wajahnya karena kembali terpesona.

"Aku akan tidur disini." Ucap Rendi memutuskan sendiri. Setelah mengucap kalimat itu pria itu langsung duduk dan melipat kedua kakinya di atas ranjang.

Vania diam, tak mengajukan protes atau mendebat ucapan Rendi. gadis itu lebih memilih duduk di depan meja rias yang berada tepat di sisi kanan ranjangnya dan melakukan rangkaian perawatan wajah.

Dengan memasang wajah datar Vania sibuk dengan beberapa produk kosmetik yang ia oles di wajahnya. Tanpa gadis itu sambil sadari jika sebuah ponsel sedang mengarah padanya.

"Melihat istri sendiri berdandan, kurasa kebiasaan yang bagus," salah satu sudut bibir Rendi melengkung.

"Aku akan tidur di sofa saja." Ujar Vania begitu meletakkan pelembab wajah.

Rendi tak menjawabnya, pria itu nampak memasang wajah datar, seakan mengabaikan perkataan Vania barusan.

Sebuah bantal dan selimut di tarik paksa Vania dari atas ranjang. Wajah masam yang gadis itu perlihatkan, tak lama, Ia melangkah menuju ke sebuah sofa tunggal, yang berada tak jauh dari jendela kamarnya.

"Apa kau harus tidur disana?" Protes Rendi begitu Vania menyibak selimut ke seluruh tubuhnya.

"Tidur saja mas. jika kau merasa terganggu, jangan melihat ke arah sini." Ketus Vania kasar.

"Kita bisa tidur bersama di ranjang ini."

"Tidak." Jawab Vania cepat.

Vania memejamkan mata, ucapan Rendi barusan membuat tubuh bergidik. Entah mengapa, ia merasa suaminya bersikap sedikit aneh malam ini.

"Baiklah jika itu yang kau inginkan, selamat malam."

Vania tidak menjawabnya. Gadis itu semakin merapatkan matanya, tak lama, dengkuran halus terdengar, ia terlelap.

Rendi beranjak dari ranjang, pria itu melangkah ke arah sofa dimana Vania sedang terlelap. Gadis itu meringkuk dengan tubuh berbalut selimut hingga leher. Surai hitam yang masih setengah basah membuat istri mudanya itu terlihat begitu feminim dan cantik, membuat sudut bibir Rendi kembali melengkung.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 90 / Ending

    Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 89

    Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 88

    ""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 87

    "Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 86

    "Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 85

    "Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status