Naya selalu saja kalah jika putranya itu sudah memasang wajah sedih.
Hatinya seolah hancur melihatnya."Yuk, berangkat!" ajak Naya setelah membersihkan piring bekas mereka berdua makan."Let's go, Mama!" jawabnya sambil menggengam tangan Naya, "Benarkan bahasa Inggris, Nendra?""Iya, Benar sayang!" jawabnya, "Apa Nendra mau kursus bahasa Inggris?""Hmm, No! Nendra ingin belajar bahasa Inggris nanti saja, seperti keina!""Keina? Cucunya kakek Kelvin?" tanya Naya."Hmm!"Glek!Naya tersenyum miris! Tak ingin lanjut bertanya lagi.Pasalnya, Keina belajar bahasa Inggris pada Daddynya.Naya melirik Nendra yang memasang wajah datar, persis saat Lingga dulu protes dirinya bekerja atau saat dirinya membangkang.Dan Naya kini tau, ternyata itu wajah ketidaksukaannya!"Apa Nendra masih berharap bertemu Papa?" tanyanya pelan sambil membuka pintu mobil untuk Nendra.Nendr"Naya tak punya uang, jadi hanya dibantu tetangga!" ucapnya. "Kenapa kamu harus pergi, atau kalau tak ingin ditemukan oleh Lingga, kamu masih punya ibu, Nak! Kamu masih bisa meminta uang pada Ibu!" Naya menggeleng, "Naya merasa bersalah meninggalkan ibu dan Mas By, tapi saat itu Naya terpukul dengan kehamilan Naya! Saat itu hujan sangat deras, Naya sudah kesakitan sejak pagi namun tak tahun harus kemana, Naya memilih terus menahannya di dalam kontrakan, hingga tetangga Naya datang, dan melihat Naya!" ceritanya, "Dia punya anak tiga, jadi berbekal pengalaman, Mbak Can membantu Naya melahirkan Nendra! Sakit sekali, Bu!" ceritanya sambil melirik tangan Lingga yang bergerak. "Nak, kali ini kamu tidak akan sendirian! Ibu akan menemani kamu, suaminya akan menemani kamu! Tidak apa jika ingin melahirkan di ruangan ini! Kalau sampai suamimu tak kunjung bangun, nanti ibu sendiri yang akan carikan suami baru, yang bisa menemanimu!" ucap Bu Btari. Membuat Lingga meneteskan air mata, "Tidak m
"Ada Dimas, ada Masmu!""Biarkan Mas Dimas kencurahkan waktu sedikitnya itu untuk anak dan istrinya! Kasihan mbak Bia, Bu!""Tuhkan! Kamu tidak ingin menghentikannya, Ngga? Ibu sudah sangat bingung memperingatinya!" ucap Ibu tak menjawab Naya lagi, justru kembali curhat pada Lingga. "Nay! Tangan Lingga gerak!" pekik Bu Btari sesaat kemudian menekan tombol emergency, Naya sendiri langsung melemparkan sendoknya dan mendekatimu tempat tidur suaminy, "Mas! Bangun Mas! Aku tidak akan lagi menuntut cerai! Mas, kamu dengar? Aku mau selamanya bersama kamu, Mas!" ucap Naya mencoba terus memancing suaminya terbangun. Dia yakin, suaminya itu akan mendengarnya. Tak lama dokter masuk dengan beberapa suster, "Permisi, ada apa, Bu?" "Tangan suami saya bergerak, dok!" Dokter kemudian kembali mengecek semuanya, detak jantung, saturasi, dan lain-lain, "Alhamdulillah, Pak Lingga pertama kali menunjukkan perkembangan! Semoga sebentar lagi akan ada keajaiban!" ucap dokter itu. "Aman dok?""Aman, Bu,
Naya terbangun, dan semua perasaannya itu hanyalah halusinasi, dan ternyata tangan yang melingkari perutnya adalah tangan Nendra. Entah sejak kapan, Nendra diantara ke mari, "Anakku!" Naya meraih Nendra dan membawanya berbaring di tengah-tengah antaranya dan Lingga, "Cepat sembuh anak, Mama, tidur yang nyenyak! Nendra mau temani Papa, juga ya!" gumamnya mengusap putranya yang masih setia tertidur.Setelahnya, dia kembali tertidur mengapit Nendra, dan tidur bersama suaminya. Keesokan harinya, sesuai jadwal operasi Lingga, Naya dan Nendra menemani berdua, karena Bu Btari menemani Bia yang sudah memasuki HPL dan Mas Byakta menghandle rapat penting hari ini. Pada akhirnya dunia berjalan, setiap manusia memiliki kesibukannya, dan Naya beruntung sejak awal dia tak bergantung pada siapapun. Dia berusaha kuat, agar Nendra dan Lingga bisa bergantung padanya. Operasi terakhir ini, cukup lama, memakan waktu kurang lebih delapan jam, dan Naya habiskan dengan keterdiaman, karena Nendra juga
Semenjak pulang dari memeriksakan Nendra, hari Naya berubah drastis. Semua informasi yang dia terima sangat memukul telak hatinya, hingga remuk redam. Sakit akinat kecelakaan Lingga masih belum kering dan harus dihadapkan dengan cobaan baru yang lebih luar biasa. Rasa bersalah begitu besar membebani hatinya, pada Nendra, Lingga maupun pada anak yang kini dia kandung. Anak yang hadir karena hubungan mau sama mau antara Lingga dan Naya, Naya cukup tau untuk tidak membuat anaknya kembali menjadi korban, seperti yang dialami oleh Nendra. Dan Naya langsung mengirimkan surat pengunduran diri ke perusahaan tempatnya bekerja, karena Naya tau, perjuangannya akan dimulai. Disini! Dikota dimana dia dilahirkan dan besar, kembali menetap di kota malang dengan semua beban dan tanggung jawab yang harus dia pikul sendirian. Sangat berat, Namun bukanlah perempuan adalah tiang dalam rumah tangga, dan Naya bertekad akan menjadi tiang yang kuat di rumah tangganya. Tiang wajib kuat demi kokohnya ban
Naya semakin dikejutkan oleh pertanyaan Ibunya, "Memangnya Naya wanita tidak benar?" lanjutnya. "Lalu, kenapa kau memaksa cerai?" pekik Bu Btari kesal, bersamaan dengan Bia membawa Nendra untuk keluar. "Ha? Jawab Naya? Kau dan Lingga berhubungan begitu intim sampai menghasilkan adik untuk Nendra, tapi kau meminta Cerai? Hatimu di mana? Bagaimana perasaan Lingga?" pekik Bu Btari dengan mata berkaca-kaca. Naya bergeming, melihat ibunya sedikit tempramen mendengar kabar ini, membuat Naya hanya bisa meledakkan tangisannya. Merasa bersalah. Benar, dirinyalah yang naif, dirinyalah yang keras kepala dan egois. Naya nyaman bersama Lingga, Naya menyukai kehangatan yang Lingga suguhkan, namun dirinya tetap tak mau memberikan kesempatan, bahkan setelah suaminya berlutut memohon. Naya tak tau dengan keadaan ini, dan dia akhirnya kembali menjatuhkan tubuhnya memeluk Lingga, "Bangun, Mas ... Aku hamil!" isaknya di dada Lingga. Byakta yang melihat pertikaian itu, hanya bisa mengamankan Naya
Byakta lebih dulu menggendong Naya dan menidurkan di bangku panjang itu sambil menunggu suster membawa kursi roda atau tempat tidur dorong. "Dok, Jawab, Apa yang terjadi?" tanya Bia yang masih menunggu jawaban di depan pintu operasi itu. Byakta kembali menemani Bia dan Ibunya, sedangkan Nendra berjalan menjauh menemani Naya. Tak ada kata atau tangisan, Nendra hanya menggenggam tangan Mamanya dengan tatapan nanar. Sakitnya tak bisa dijelaskan, Papanya sedang berjuang hidup, dan Mamanya sakit, mamanya terus-terusan pingsan sepanjang hari. Dunia seakan tidak memihak pada laki-laki kecil itu, dilahirkan tanpa mengenal Papanya, hidup hanya mengenal mamanya seorang, menjadi bahan bullyan dan tak memiliki teman. Sekarang, disaat dia merasa dunianya indah, semesta kembali merebutnya paksa. Nendra jelas sangat terluka. Semesta seakan meminta papa yang dia harapkan sejak dulu, papa yang sangat dia tunggu kehadirannya. Di usianya yang baru genap tujuh tahun itu, dia sudah harus mengalam