“Karan, bangunlah sebentar!” pinta Reina seraya menepuk punggung tangan suaminya.
“Ada apa?”
“Duduklah!” ujar Reina kembali, seraya menuntun Karan untuk duduk di hadapannya.
Karan duduk di ujung kasur, sementara Reina berada di hadapannya. Seketika keduanya kembali terdiam, tetapi kemudian Reina sujud di kaki suaminya serta mencium telapak kaki suaminya. Sebuah upaya dilakukan Reina untuk mendapatkan maaf dan keridhoan suaminya. Tidak peduli, jika hal itu merendahkan dirinya.
“Tolong maafkan aku! Tidak seharusnya aku bersikap seperti kemarin, aku hanya emosi. Maafkan aku, ridhoi apa yang terjadi. Kamu adalah suamiku, surgaku ada padamu.”
“I-ya, tapi bukan begini caranya. Tolong bangun, jangan begini,” sergah Karan berusaha melepaskan diri dari genggaman Reina di kakinya.
“Tidak sampai kamu mau memaafkan aku,” cegah Reina bersikukuh.
Kedua mata mereka sempat bertemu, tatapan Karan masih begitu lembut. Sisi lain hatinya, masih ada cinta untuk Reina. Hati terdalam bicara, bahwa wanita yang ada di hadapannya memang sangat baik bahkan dia berani untuk melakukan apa pun untuk mempertahankan pernikahannya. Akan tetapi, egoisnya memaksa Karan untuk tetap bersikap arogan dan merasa berat untuk melanjutkan pernikahan.
“Bunda kenapa?” tanya Farhan yang tiba-tiba saja terbangun.
Reina segera bangkit, dia tidak ingin anak sulung melihat air mata dirinya mengalir. Betapa beratnya menjadi seorang ibu bagi Reina. Di mana, dia harus tetap tersenyum pada saat hatinya sedang terluka dan bahkan marah kepada suaminya. Di hadapan anak-anak, dia harus menunjukkan bahwa kedua orang tuanya sedang baik-baik saja.
“Tidak, Nak. Bunda tidak apa-apa,” jawab Reina seraya mencium pipi anak sulungnya.
Karan terbebaskan dari rasa bersalah yang menghantuinya, apalagi melihat air mata Reina. Jauh dalam hati kecilnya, Karan tidak ingin melihat istrinya menangis. Dia ingin melihat istrinya bahagia, tapi hari itu Reina mengirim pesan bahwa dia tidak bahagia dalam pernikahan ini.
“Sudah jam enam, kita mandi dulu!” ajak Reina kepada Farhan.
Tanpa pamit, tanpa permisi. Karan meninggalkan rumah begitu saja, tidak ada lagi sapaan di pagi hari apalagi kecupan kening. Air mata Reina kembali menetes, entah cara apalagi yang harus dilakukannya untuk meluluhkan hati Karan kembali. Segala upaya tidak merubah keadaan, entah sampai kapan dia harus terus sabar atau kini Reina harus mulai sadar.
“Sadar, bahwa posisiku tidak penting baginya. Sadar bahwa namaku tidak ada di bagian manapun dalam hatinya. Sadar, bahwa aku tidak memiliki tempat dalam hidupnya dan sadar bahwa aku bukanlah proritasnya,” batin Reina.
Reina terus berpikir, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Setelah Karan berangkat ke sekolah, Ayesha anak bungsunya mulai menangis. Reina segera membuat susu formula, lalu membawanya ke kamar untuk tidur seperti biasanya. Ayesha kecil sudah mulai dekat, tapi Karan masih belum melihat itu hingga dia berpikir bahwa Reina masih belum dekat anak bungsunya.
Saat Ayesha tertidur, Reina berbisik dalam telinga anak gadisnya. “Nak, tolong maafkan Bunda sebab belum benar-benar menjadi ibu terbaik untukmu. Bunda memang bukan wanita yang melahirkanmu, tapi Bunda ini wanita yang melanjutkan tanggung jawab ibumu setelah tiada. Bunda tidak ingin pergi, tapi sikap ayahmu membuat Bunda tidak sanggup bertahan. Bunda menyayangi kamu dan juga kakakmu, tapi hati ayah sepertinya sudah tidak menginginkan Bunda lagi. Doakan Bunda dengan ayah agar terus bersama, demi kamu dan juga kakakmu. Izinkan Bunda membersamaimu hingga kamu tumbuh dewasa dan menjadi anak sukses seperti keingingan mendiang ibumu.”
Derai air mata tidak mampu dibendung oleh Reina. Dia tidak sanggup harus mengulang kalimat yang sama, bahwa secara nyata dirinya hanyalah seorang ibu sambung. Meski hatinya tidak rela jika dianggap orang lain, dia selalu menganggap kedua anaknya adalah anak-anaknya sendiri.
“Ketulusan itu sesuatu yang tidak diberikan percuma, bukan aku yang menyesal melainkan Karan yang kelak menyesali sudah menyia-nyiakan ketulusan yang aku berikan,” tangin Reina.
Cinta Reina untuk anak-anaknya sangat tulus, Farhan merasakan hal itu. Sehingga, dia tidak segan kepada ibunya dan menganggap bahwa Reina ini adalah Bunda terbaik baginya. Air mata ibu mana yang tidak jatuh ketika dengan bangga dia memperkenalkan kepada semua orang, ‘ini Bunda baru aku’ kala itu.
Meskipun Karan menapik segalanya, tapi tidak bagi keduanya anaknya. Terlalu besar ego Karan untuk memahami bahwa Reina benar tulus menerima Karan dan juga anak-anaknya, tetapi bagi Karan semua itu hanya angina lalu saja.
“Nak, maafkan Bunda ya, sebab Bunda belum menjadi ibu yang baik untuk Farhan,” lirih Reina kepada Farhan.
“Iya Bunda aku maafkan, tapi Bunda jangan pergi.”
Reina kembali terdiam dengan ucapan Farhan, betapa tidak inginnya dia ditinggalkan oleh sang bunda. Begitu juga dengan Reina, hatinya sangat tidak rela harus meninggalkan keduanya hanya. Akan tetapi, Reina tidak bisa bertahan kecuali jika Karan sendiri yang berusaha mempertahan perinikahannya.
“Nak, jika ada yang harus hancur, biarkan saja Bunda hancur. Akan tetapi, Bunda tidak ingin melihat ayahmu hancur karena sikap Bunda yang masih tidak terima mendengar nama mendiang ibunya disebutkan hampir setiap hari olah ayahmu,” batin Reina.
“Maafkan Bunda, Nak. Tidak tahu takdir apa yang sedang tertulis di atas sana untuk Bunda, tapi percayalah bahwa apa pun yang terjadi Bunda akan selalu menyayangi kamu. Mungkin, ayah ingin mencari Bunda baru untuk kalian.”
“Tidak Bunda, aku tidak mau. Aku maunya sama Bunda, pokoknya Bunda jangan pergi!”
BERSAMBUNG…
Benar, bahwa terkadang kita memang tidak terlalu menggengam erat sesuatu bahkan seseorang. Agar kelak, jika terpaksa harus dilepaskan tidak akan begitu sakit. Namun, genggaman Reina memang terlalu erat dan rasa takut kehilangan Karan sangat besar dalam hidupnya. Dia hanya takut, jika kelak tidak akan mendapatkan lelaki yang lebih baik lagi dari Karan. Saat awal pernikahan, Reina tidak pernah ada rasa cinta kepada suaminya. Dia hanya mengikuti alur Tuhan saat hatinya bergerak untuk melangkah ke pernikahan bersama Karan. Namun kini, cinta itu sudah tumbuh semakin dalam. Perhatian Karan, sikap manis dan lembut yang ditunjukkan diawal hingga segala upaya untuk menyenangkan Reina dia lakukan. Hampir saja dia tidak percaya bahwa suaminya sekarang sudah berubah. “Bunda, ayah sudah pulang!” pekik Farhan dengan bahagianya. Sebetulnya Reina sudah tahu kedatangan suaminya, suara motor Karan sangat khas dan Reina sangat mengenalinya. Seperti hari sebelumnya, Karan hanya mengucap salam tanpa me
“Apalagi? Aku sudah katakan bahwa aku tidak mencintaimu lagi. Sudah tidak ada perasaan apa pun lagi padamu.” “Kenapa harus mengatakan begitu?” “Kamu ingin pulang bukan? Ya sudah, kapan kamu akan pulang? Aku akan antarkan. Mau sekarang, ayo!” “Bukan itu yang aku mau, Karan. Tidak ada seorang wanita yang ingin menghancurkan pernikahannya sendiri. Sudah cukup bagiku orang tuaku gagal dalam pernikahan, aku tidak berharap itu terjadi juga padaku.” “Kamu tahu, lalu kenapa kamu meminta pulang? Sudahlah, sekarang terserah kamu. Aku sudah sangat kecewa padamu, kalau sudah kecewa ya sudah.” Reina terdiam, bukan hanya Karan yang kecewa padanya. Reina juga sangat kecewa kepada Karan yang tidak pernah berusaha untuk memahami semua perkataannya. Bukan memperjuangkan pernikahan, atau berpikir tentang pernikahan mereka. Karan justru mengambil garis besar hubungan mereka, sebuah pilihan yang akan menyakiti keduanya dan anak-anak mereka. Namun, sepertinya Karan tidak peduli dengan hal tersebut. Di
Reina segera menghapus air matanya, dia memeluk Farhan dengan erat. Air matanya tidak mampu terbendung lagi, dia tidak sanggup membayangkan bahwa ini akan menjadi perjumpaan yang terakhir kali. Kebersamaan ini akan sirna dalam beberapa waktu lagi, dia akan kehilangan keluarga kecilnya.Reina telah menghancurkan pernikahan impiannya sendiri. Pernikahan yang dia harapkan sekali seumur hidup, lelaki yang dipilihnya dari banyaknya lelaki datang menawarkan hubungan dengannya. Namun, kini lelaki itu pula yang berhasil merenggut harapan dan juga kepercayaannya kepada seorang lelaki.Setelah hatinya dipatahkan oleh Karan, tidak tahu lagi kepada lelaki mana Reina akan percaya. Hatinya telah dipatahkan oleh sosok lelaki yang seharusnya menjadi cinta pertama anak perempuannya. Akan tetapi, Reina justru mendapat sebuah ketidakadilan darinya dan kini, dia juga dikecewakan oleh lelaki pilihannya.“Siapa lagi lelaki yang harus kupercaya setelah ini? Hatiku hancur kehilangan ayahku, kini hatiku kemba
Karan mengangkat semua barang-barang milik Reina dan memasukan ke bagasi mobilnya. Sudah tidak ada lagi toleransi untuk Reina, pernikahan ini harus benar-benar berakhir.Meskipun berat hatinya meninggalkan rumah sang suami, terutama meninggalkan anak-anaknya. Akan tetapi, Reina juga tidak ingin memaksakan Karan untuk tetap menampungnya di rumah itu. Padahal sudah jelas, bahwa Karan tidak menginginkan lagi istrinya.“Haruskah dengan cara begini hancurnya pernikahan kita, Karan? Apakah kita tidak bisa menyelesaikannya dengan baik-baik?”“Sejak awal sudah kukatakan bahwa aku ini seorang duda dua orang anak, kamu menyanggupinya untuk menerima anak-anakku. Jadi, untuk apa kamu bertahan jika tidak mau lagi mengurus anak-anak.”“Apa selama ini aku tidak pernah mengurusi anak-anakmu, Karan?”“Tapi kamu lebih sibuk dengan duniamu dan kamu lebih senang keluar bersama teman-temanmu daripada menemani anak-anak. Satu hal lagi, Reina. Aku tidak bisa bertahan dengan wanita yang jelas sudah tidak mau
Malam itu, Reina masuk ke kamar tanpa ada seorang pun yang dapat menggangunya. Reina tidak ingin bicara dengan orang lain termasuk ibunya. Meskipun begitu, ibunya sangat khawatir, sebab Reina tidak mau makan atau melakukan apa pun setelah dikembalikan oleh suaminya.Kali ini Reina sudah hilang harapan untuk bertahan, suaminya sudah melepaskan dirinya dan tidak ada orang lain yang akan menerima dirinya terutama status Reina sebagai janda. Dia tidak akan seperti dulu lagi, akan benar-benar berubah setelahnya.Meminta kembali kepada Karan sudah tidak ada kesempatan lagi, melanjutkan hidup pun sangat sulit. Hatinya sedang benar-benar patah dan sakit menahan rindu dengan kedua anaknya.“Re, semua baik-baik saja ‘kan?” tanya Henny memberanikan diri bertanya.Reina mengangguk perlahan, “iya, Bu. Semuanya baik-baik saja, hanya hati Reina saja yang tidak baik-baik saja.”Reina kembali ke kamarnya, meninggalkan banyak tanya di hati ibunya. Henny bingung, entah harus bagaimana menghadapi anaknya
Dunia Reina benar-benar sudah berubah setelah kepergian Karan. Baru dua hari saja mereka berpisah, tapi semua itu berhasil membuat hati Reina hancur dan berantakan. Ada sesal yang menyelimuti hatinya, tetapi itu tidak membuat Karan kembali. Reina seperti orang pesakitan, tidak tahu arah hidupnya lagi.Reina masih berusaha menghubungi Karan, dia berharap bahwa Karan berubah pikiran dan memperbaiki semuanya. Sayang sekali, semua ini sudah menjadi keputusan final bagi Karan dan dia mengatakan bahwa dirinya tidak akan pernah menarik kembali apa yang sudah dilepaskannya.Kapal yang sedang mereka tumpangi bukan hanya oleng, melainkan hancur. Awalnya, Reina hanya merusak bagian kecil dari kapal tersebut. Namun kini, Karan sendiri yang telah menghancukan kapalnya, sehingga keduanya tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan pernikahannya mereka.“Tidak ada yang patut disalahkan dalam pernikahan, baik aku ataupun dirinya memang sama-sama bersalah. Akan tetapi, roda utama dalam pernikahan ini adala
Selamat pagi, Bang!Di manapun Abang saat ini, Re berharap Abang dalam keadaan sehat. Re, rindu dengan Abang dan anak-anak. Re berharap Abang sudah baik-baik saja dan berdamai dengan keadaan. Mau sampai kapan Abang seperti ini? Tolong Abang berhenti menyakiti diri sendiri dengan terus meratapi kepergian mending istri Aban.Bagaimana istri Abang bisa bahagia di alam kuburnya, kalau melihat yang ditinggalkannya gak bahagia? Apa Abang tega membuat istri Abang tidak tenang di alam kubur kalau tahu suami dan anaknya masih berat melepaskan kepergiannya.Hidup Abang juga harus berjalan, bangun Bang dan terima semua yang terjadi. Re tidak meminta Abang melupakan begitu saja istri Abang. Tetapi, Abang juga harus melanjutkan hidup, ada anak-anak yang harus Abang besarkan. Abang masih memiliki masa depan dan tentu saja perusahaan Abang harus kembali maju.Kalau sampai hari ini Abang masih terus membuka kembali lembaran lama masa lalu, kesehatan mental Abang akan terganggu. Secara dzohir mungkin
Reina menuliskan sesuatu di dalam laptopnya, sebuah pesan berupa isi hati yang ingin disampaikan kepada Karan. sayang sekali, panjang lebar dia menuliskan pesan tersebut, tetapi dia tidak mengirimkan pesan itu kepada Karan. Dia mengurungkan diri menyampaikan hal tersebut.Namun, Reina menulis ulang kalimat yang lebih singkat, dia memberanikan diri mengirim pesan tersebut kepada Karan. Seperti biasanya, jiwa penulisnya memang tidak hilang. Reina mengirim pesan seperti menulis novel, panjang dan berjilid. Namun itu menjadi ciri khas-nya yang sewaktu-waktu akan dirindukan oleh seseorang.“Entah Karan akan membacanya atau tidak, setidaknya aku sudah menyampaikan maksudku padanya,” ucap Reina seraya menyimpan kembali ponselnya usai mengirimkan pesan.Seperti sebelumnya, pesan itu tidak lagi mendapatkan balasan dari Karan. Reina mengambil sebuah keputusan, bahwa itu akan menjadi pesan terakhir kalinya untuk Karan dan dia tidak akan mengganggu Karan lagi. Hatinya memang terluka, tapi Reina t