Share

Aku Hanya Ingin Cintamu

Setelah pertikaian siang itu, hubungan Reina dengan Karan semakin renggang. Mereka tinggal satu atap, tapi terasa sangat asing dan menjauh. Keduanya melakukan aktivitas masing-masing, apa yang Reina masak tidak pernah disentuh Karan lagi. Begitu juga dengan Karan, dia mencuci bajunya dengan anak-anak seorang diri tak pernah lagi Karan menyentuh barang milik Reina.

Reina terus mengadukan masalahnya kepada Tuhan, siang malam tiada henti dia berdoa serta memohon petunjuk agar pernikahannya bersama Karan bisa kembali membaik. Satu sisi, Reina sangat mencintai anak dan suaminya. Tapi di sisi lain, Reina tidak ingin menghancurkan mental anaknya dan juga mental dirinya sendiri.

Sepanjang pernikahan, hanya ada air mata dan kesakitan yang Reina dapatkan. Karan hanya manis saat membutuhkan dirinya, sedangkan dia sibuk dengan dunianya sendiri. Bagi Karan, tidak ada yang lebih penting daripada anak-anaknya. Namun, di sisi lain Reina membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari suaminya.

“Apa yang harus kulakukan Tuhan? Aku bahkan tidak tahu bagaimana menyikapi suamiku yang semakin hari terasa asing dimataku. Dia bukanlah Karan yang pertama kukenal saat awal memulai hubungan. Senyuman dan kelembutan yang pernah dia berikan seakan hilang begitu saja, aku bagaikan orang lain bagi suamiku sendiri.”

Sudah beberapa pekan, mereka tidak lagi berhubungan intim seperti awal pernikahan. Malam pertama yang pernah diberikan Karan, first kiss yang pernah Karan berikan dan segala keperluan ranjang yang Karan pinta dari istrinya seakan dia lupakan begitu saja. Karan lupa, bahwa dia pernah menikmati malam bersama wanita yang baru saja dia nikahi.

Karan lupa, dia pernah menghabiskan sore selepas akad bersama Reina di kamar, memberi kecupan dan sentuhan hebat memberikan pengalaman seksual terbaik bagi Reina. Tentu saja, Karan dengan status duda-nya yang jelas memiliki pengalaman dalam berhubungan. Sedengkan Reina hanyalah gadis perawan yang bahkan bersentuhan dengan lawan jenis saja tidak mau.

“Aku tidak pernah meminta apa pun darimu, Karan. Aku hanya meminta cintamu, aku hanya meminta hatimu juga ada untukku. Tapi di mana aku? Aku tidak pernah tahu, bahwa diriku masih memiliki tempat di bagian lain hatimu?” lirih Reina usai menyelesaikan sujud terakhirnya.

Reina bangkit dari sejadahnya, masih dengan mukena yang dia kenakan selesai mendirikan sholat. Kepada hatinya, dia berteriak memaksa Karan untuk bicara setelah sekian lama mereka saling bungkam tanpa saling sapa. Reina yang tidak pernah protes perihal tidur setiap malam hanya bertiga dengan anak-anak di kamar, sedangkan Karan di tengah rumah.

“Karan, aku ingin bicara,” ujar Reina seraya membangunkan Karan yang tertidur bersama anak-anak di kamar.

“Iya, bicaralah! Aku akan dengarkan.”

“Kita bicara di luar, aku tidak mau mengganggu anak-anak yang tertidur.”

Karan yang mengangguk pelan, lalu melangkah mengikuti Reina. Keduanya duduk di ruang tengah, saling diam dan saling menatap. Reina mencoba menenangkan jantungnya yang sejak tadi berdetak kencang. Dia kuatkan hatinya untuk bicara dengan suaminya.

“Kita harus menyelesaikan masalah ini,” ucap Reina kemudian.

“Ya, apa yang ingin kamu bicarakan denganku?”

“Karan, terima kasih sudah datang di hari itu untuk melamarku. Di tengah deras hujan dan gelapnya malam kamu tetap memenuhi janjimu kepadaku. Apa yang kamu berikan kepadaku saat itu, sudah cukup bagiku. Mungkin memang hanya ini rezekiku, aku terima segalanya. Bagiku tidak ada yang kurang, jangan pernah kamu pikirkan mengenai ketidakmampuanmu yang lain tidak mampu memberiku lebih dari ini. Tapi, bukan pernikahan seperti ini yang aku harapkan.”

“Kamu pikir aku juga mau begini? Ditinggalkan oleh istri dengan dua orang anak? Aku juga tidak mau.”

“Bukan itu maksudku, apa yang sudah kamu berikan ini sudah cukup. Aku ingin lebih, tapi bagiku harta dunia bukanlah segalanya. Aku juga ingin mendapatkan tempat di hatimu, yang kuminta adalah cintamu bukan hartamu.”

Reina membuka cincin di jari manisnya, satu cincin yang diberikan Karan saat melamarnya dan satunya lagi cincin itu sebagai mahar pernikahannya.

Reina menaruh kedua cincin itu di telapak tangan Karan, “kalau kamu tidak ikhlas dengan apa yang selama ini kamu berikan, aku kembalikan kepadamu.”

“Apa maksdumu?”

“Karan, aku tahu bahwa diriku tidaklah sempurna. Jika aku tidak layak untukmu dan tidak pantas menjadi ibunya anak-anak, pulangkan saja aku ke rumah orang tuaku secara baik-baik. Seperti saat pertama kali kamu datang kepadaku dengan baik.”

“Bukan begitu maksudku.”

Reina beranjak meninggalkan Karan, dia masuk ke kamar belakang. Karan mengikutinya, dia melemparkan kedua cincin itu ke hadapan Reina. Hati Karan hancur, saat apa yang diberikannya justru dikembalikan seolah Reina tidak mau menerima barang darinya.

“Apa yang sudah kuberikan kepadamu tidak akan kupinta lagi. Kenapa kamu harus mengembalikan barang milikmu? Aku sadar bahwa diriku tidak bisa memberikan lebih kepadamu, setidaknya yang kuberikan tidak perlu kamu kembalikan. Aku sadar tidak memiliki apa pun untuk membuatmu bahagia, tapi bukan begini caranya.”

“Sudah kubilang bahwa itu bukan tujuan kebahagianku. Selama ini aku sudah berusaha semampuku untuk melakukan perkerjaan rumah, mengurusi rumah, mencuci baju, menyetrikanya dan semua hal yang kamu inginkan. Lalu kenapa semuanya masih terasa kurang dan tidak cukup bagimu?”

“Tidak ada yang kurang, aku hanya kecewa kepadamu.”

“Rasa kecewa apa? Aku tidak mengerti dengan itu. Aku sudah lelah bekerja, mengurusi anak-anak dan pekerjaan rumah. Tapi apa yang aku dapatkan dari semua itu? Aku hanya mendapatkan air mata, rasa lelah yang tiada habis dan kamu tidak bersyukur dengan apa yang kulakukan. Semuanya serba salah, aku salah mencuci pakaian kamu marah, aku salah membuat susu pun kamu memarahiku. Aku harus apa, Karan? Aku tanya, apakah istrimu dulu sanggup melakukan segalanya sepertiku?”

“Ya, aku sadar istriku dulu tidak bisa apa-apa. Kamu bicara tidak mau dibandingkan, tapi kenapa terus membanding-bandingkan dirimu dengan dirinya?”

BERSAMBUNG…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status