Share

Bab 7. Baik dan Lemah Lembut

Dua hari setelah kejadian di mana Oliver mencium Nicole—wanita itu memilih untuk menyendiri di kamar hotel. Dia sama sekali tidak keluar demi menenangkan segala hati dan pikirannya. Nicole ingin sekali melupakan kejadian itu, tapi yang ada malah dirinya terasa perih, seperti luka menganga terkena alkohol.

Selama dua hari ini, Nicole menghindar dari Shania. Dia mengatakan sedang sibuk dengan project yang sekarang dijalaninya. Namun, tentu Nicole tak bisa terus menerus menghindar. Dia tetap memiliki tanggung jawabnya, yaitu project pernikahan adik tirinya. Andai saja dia bisa mengalihkan pekerjaannya pada asistennya, maka pasti dia akan melakukan itu. Sayangnya, hal tersebut hanya ada di dalam angannya.

Nicole memejamkan mata singkat dan mengatur napasnya. Dua hari menyendiri, membuat perasaannya merasa jauh lebih baik. Menjauh dari orang-orang membuat ketenangan dalam hati dan pikirannya. Walau tak dipungkiri luka perih tetap masih terasa begitu sangat menyakitkan.

Suara dering ponsel berbunyi, membuat Nicole mengambil ponselnya yang ada di atas meja—dan menatap ke layar tertera nama sang asisten di sana. Dia berdecak pelan. Awalnya, Nicole ingin mengabaikan, namun jika dia mengabaikan, maka besar kemungkinan asistennya malah mendatanginya. Akhrinya, Nicole memutuskan untuk menjawab panggilan itu.

“Ada apa, Sadie?” tanya Nicole dengan nada kesal kala panggilan terhubung.

“Selamat sore, Nona maaf mengganggu Anda,” ujar Sadie dari seberang sana.

Nicole mendengkus tak suka. “Ya! Kau sangat menggangguku.”

Sadie sedikit cemas. “Maafkan saya, Nona. Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Anda.”

Nicole mengembuskan napas panjang. “Hal apa yang ingin kau sampaikan?”

“Nona Shania ingin membahas tentang konsep pernikahannya dengan Anda. Beliau baru saja menemukan konsep yang baru. Apa besok siang Anda bisa makan siang bersama dengan beliau?”

“Berapa ratus konsep pernikahan yang Shania miliki? Kenapa dia selalu saja menyusahkanku?!”

“T-tadi Nona Shania bilang kalau konsepnya yang baru ini jauh lebih matang.”

“Ck! Aku pusing dengan keinginannya yang selalu berubah-ubah. Bilang, Shania lebih baik dia menikah saja di tengah hutan. Tamu yang hadir harimau dan singa.” Nicole berkata ketus akibat rasa kesal dalam dirinya.

“Nona, maaf jika saya lancang. Jika Anda menunda-nunda membahas konsep, bukankah itu membuat Anda akan jauh lebih lama berada di sini? Anda yang bilang pada saya, kalau Anda ingin segera kembali ke Swiss, kan?”

Nicole terdiam mendengar apa yang dikatakan Sadie. Tak memungkiri perkataan asistennya itu adalah benar. Nicole memang sangat ingin segera menyelesaikan pekerjaannya di London dan kembali ke Swiss.

“Baiklah, besok aku akan menemui Shania. Tanyakan padanya di mana dan jam berapa. Ingat, aku tidak mau bertemu hanya berdua dengan calon suaminya. Jika Shania tidak bisa datang, maka lebih baik pembahasan konsep pernikahan yang dia inginkan, dibatalkan saja!”

“Iya, Nona. Saya akan sampaikan pada Nyonya Shania.”

“Oh, ya, Sadie … tolong kau bicarakan pada team. Urus konsep desain di pernikahan Shania Nantinya konsep dari Shania akan digabung dengan ide dari team creative kita.”

“Baik, Nona.”

“Aku tutup dulu. Aku ingin istirahat. Jangan menggangguku.”

Nicole langsung menutup paggilan telepon, dan meletakan ponselnya ke atas nakas. Kemudian, wanita itu memilih untuk membaringkan tubuh di ranjang, dan memejamkan mata. Besok, Nicole harus kembali memulai sebuah pekerjaan yang sangat berat. Maka sekarang, dirinya lebih baik istirahat demi menenangkan segala penat di kepala.

***

Sebuah restoran Prancis yang ada di pusat kota London menjadi tempat di mana Nicole harus bertemu dengan Shania dan tentunya juga Oliver. Hal yang membuatnya muak adalah Shania selalu mengajak Oliver setiap kali bertemu membahas konsep pernikahan.  

Nicole berharap satu kali saja, Shania tak perlu membawa Oliver agar dirinya tak lagi bertemu dengan pria itu. Sayangnya Nicole harus mengubur dalam-dalam keinginannya. Karena rasanya tak mungkin Shania tak mengajak Oliver.

“Nicole.” Shania melambaikan tangan, meminta Nicole untuk mendekat padanya. Tampak Shania duduk di kursi meja makan dan di sampingnya ada Oliver—yang tengah menikmati wine-nya.

“Maaf, aku sedikit terlambat.” Nicole duduk di hadapan Shania, seolah mengabaikan keberadaan Oliver.

“Tidak apa-apa. Aku dan Oliver juga baru datang. Bagaimana kabarmu? Dua hari ini kau sibuk sekali,” ujar Shania yang tersirat peduli. Sekalipun, Nicole kerap dingin padanya, tapi Shania tetap masih memiliki kepedulian pada kakak tirinya itu.

“Ya, aku baik. Belakangan aku sibuk karena sedang banyak project,” dusta Nicole dengan nada tenang dan anggun. Untuk kali ini Nicole mampu menguasai dirinya, seakan wanita itu memang belum pernah sama sekali mengenal Oliver.

Shania mengangguk mengerti. “Oh, ya, soal wedding venue yang dua hari Oliver dan kau lihat, Oliver memutuskan untuk tidak jadi menyewa di sana.”

“Kenapa tidak jadi?” Nicole menatap Shania bingung.

“Oliver bilang kurang suka. Selain itu juga, dua hari lalu lampu gedung mati. Tidak professional sama sekali. Aku akan mencari wedding venue lain,” jawab Shania sedikit kesal.

“Aku yakin kau juga kurang menyukai wedding venue kemarin, kan, Nicole?” sambung Oliver seraya menyunggingkan senyuman misterius di wajahnya.

Nicole tersenyum tenang. “Tuan Maxton, aku hanyalah wedding organizer. Penentu tetap pada kau dan Shania. Jika kau suka silakan pilih tempat itu. Jika kau tidak suka, maka kau tentu boleh pilih tempat lain.”

Dalam hati, Nicole berusaha menahan rasa kesalnya. Dia yakin Oliver tak mungkin membahas tentang kejadian kemarin pada Shania. Kejadian sialan yang terus membuatnya begitu marah. Andai saja bisa, dia ingin kembali menampar pria berengsek yang ada di hadapannya itu.

“Nicole, aku akan selalu setuju dengan apa pun yang Oliver katakan padaku,” ujar Shania lembut sambil memeluk lengan Oliver.

“Baiklah, kita langsung saja pada pokok pembahasan. Konsep pernikahan apa yang kau inginkan, Shania?” tanya Nicole dingin dan acuh.

“Hem, begini. Aku ingin nanti ada para penari salsa professional pentas di pesta pernikahan kami. Selain itu, aku juga ingin kau mengundang diva terkenal yang bernyanyi di pesta pernikahan kami. Desain juga harus dengan lampu kristal mewah. Harus seperti konsep ratu yang menikah. Pernikahanku wajib sangat sempurna, Nicole,” jawab Shania dengan anggun.

Nicole mengangguk. “Aku setuju dengan keinginanmu. Aku dan team akan mengupayakan apa yang kau inginkan.”

Thanks, Nicole.” Shania tersenyum sambil bergelayut manjadi lengan Oliver.

“Aku harus pulang sekarang. Aku tidak bisa berlama-lama di sini,” pamit Nicole yang tak bisa berlama-lama.

“Aku juga harus pergi duluan, Nicole. Aku ada meeting satu jam lagi. Oliver juga ada meeting dengan rekan bisnisnya,” jawab Shania sambil bangkit berdiri bersamaan dengan Oliver. Wanita itu memberikan lumatan di bibir Oliver sambil berbisik, “Sayang, aku duluan. Nanti aku akan menghubungimu.”

Oliver mengangguk membalas ucapan Shania.

Nicole bergeming di tempatnya melihat Shania mencium Oliver. Dia bersikap tenang seakan sama sekali tak peduli. Padahal hatinya merasa perih melihat itu. Tepat Shania sudah pergi—Nicole hendak pergi—namun langkahnya terhenti kala Oliver menahan lengannya.

“Singkirkan tanganmu.” Nicole menepis kasar tangan Oliver.

“Dua hari kau menghilang. Kau berusaha menghindar. Kau sama sekali tidak professional, Nicole Tristan,” ucap Oliver dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.

Nicole tersenyum sinis. “Tuan Maxton, aku sama sekali tidak menghindar. Aku memang sibuk dengan pekerjaanku. Maaf, aku harus pergi. Aku tidak memiliki banyak waktu,” jawabnya anggun.

Nicole melangkah pergi meninggalkan Oliver begitu saja. Dia hendak masuk mobil, tetapi langkahnya terhenti melihat anak perempuan jatuh dari sepeda tepat di hadapan Nicole. Buru-buru, dia membantu anak itu.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Nicole pada anak perempuan yang baru saja terjatuh.

“Aku baik, Bibi. Terima kasih sudah membantuku,” jawab anak perempuan itu pelan.

“Kau ingin ke mana?”

“Aku ingin membeli makanan untuk ibuku yang sakit, tapi aku tidak punya uang. Jadi aku sekarang ingin mencari uang dulu, Bibi.”

Nicole terdiam mendengar ucapan anak perempuan itu. Hati Nicole tersentuh penuh iba pada gadis kecil malang di hadapannya ini. Sungguh, dia tidak tega pada gadis kecil itu.

“Ibumu sakit apa?” Nicole membelai pipi gadis kecil itu.  

“Dokter bilang ibuku sakit kanker rahim, Bibi. Ibuku tidak bisa lagi bekerja karena dia sedang sakit. Aku sekarang menggantikannya bekerja.” Gadis kecil itu berkata pelan.  

“Apa pekerjaanmu?”

“Aku penjaga toko bunga, Bibi.”

Nicole terdiam sebentar, lalu dia mengambil semua uang cash yang ada di dompetnya serta kartu namanya dan memberikan pada anak perempuan itu. “Ambil uang ini, dan simpan kartu namaku. Aku memiliki usaha wedding organizer yang selalu membutuhkan bunga. Mulai sekarang, aku akan sering mengambil bunga di toko bungamu.”

Raut wajah gadis kecil itu sumiringah bahagia. “Terima kasih banyak, Bibi. Hm … tapi kenapa Bibi memberikanku uang? Apa Bibi ingin memesan bunga? Jika iya, Bibi ingin bunga apa?”

Nicole tersenyum mendengar keluguan gadis itu. “Tidak, aku tidak ingin membeli bunga. Anggap saja aku ingin mentraktirmu makan sebagai bentuk rasa terima kasihku, kau telah memberikanku refrensi toko bunga yang baru.”

“Bibi, uang ini terlalu banyak. Aku ambil satu lembar saja, ya? Untuk membeli makanan ibuku.” Gadis polos itu berkata.

Mata Nicole berkaca-kaca, hatinya tersentuh. Sejak kepergian ibunya, dia benar-benar merasakan kesepian di dunia ini. Deti itu juga Nicole memeluk gadis itu sambil berkata, “Simpan uangnya untukmu membeli makanan lagi di kemudian hari.”

Gadis kecil itu tersenyum tulus. “Terima kasih banyak, Bibi. Kau cantik dan baik. Semoga Tuhan selalu memberikanmu kehidupan yang bahagia.”

“Terima kasih sudah mendoakanku. Jangan lupa hubungi aku, ya? Aku sering membutuhkan bunga untuk pernikahan.” Nicole ikut tersenyum.

“Baik, Bibi. Aku pasti akan menghubungimu. Kalau begitu aku permisi.”

“Hati-hati di jalan.”

Gadis kecil itu mengangguk, dan menyimpan uang pemberian Nicole, lalu mulai mengayuhkan sepedanya. Tepat di kala gadis kecil itu sudah pergi, Nicole segera masuk ke dalam mobil—dan melaju meninggalkan halaman parkir restoran.

Tanpa Nicole sadari, sejak tadi Oliver mendengar percakapan antara Nicole dan anak perempuan itu. Oliver tetap bergeming dan tak bergerak sedikit pun. Pria itu menatap mobil Nicole yang mulai lenyap dari pandangannya.

Tindakan Nicole, mengingatkan Oliver tentang gadis pendiam dan tenang di masa sekolahnya dulu. Banyak yang berubah dari sosok Nicole. Nicole yang sekarang lebih dingin dan menunjukkan sisi arogannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status