Share

Bab 6. Beraninya Kau!

Bibir Oliver menjelajah di atas bibir Nicole begitu lembut. Manisnya bibir Nicole membuat otak pria itu tak berfungsi dengan baik. Lidah bergerak erotis membelai mulut dalam Nicole. Suasana yang gelap gulita membuat pikiran mereka begitu pendek. 

Bagaikan hanyut dan tenggelam di lautan lepas. Mereka masih belum sadar. Namun, beberapa detik kemudian, kewarasan muncul di otak Nicole. Refleks, wanita itu mendorong tubuh Oliver bersaman dengan lampu gedung yang menyala.

Plakkkk

Sebuah tamparan Nicole layangkan di pipi Oliver. Mata Nicole memerah hendak mengeluarkan air mata, tapi mati-matian dia menahan diri agar tak menangis. Bahu Nicole bergetar akibat rasa takut yang bercampur dengan amarah.

“Berengsek! Beraninya kau mengambil kesempatan!” bentak Nicole keras dan kuat.

Oliver menyentuh pipinya, dan menatap dingin Nicole. “Kalau kau tidak aku bungkam, kau akan terus berteriak-teriak seperti orang gila. Ini hanya mati lampu! Kau saja yang bertindak berlebihan!”

Nicole menatap Oliver penuh dengan kebencian. “Sejak dulu, kau tidak pernah berubah, Oliver Maxton! Kau akan tetap menjadi pria berengsek!”

Come on, Nicole. Apa arti sebuah ciumann? Kau bukan anak kecil lagi. Jadi tidak usah berlebihan,” jawab Oliver dingin dan acuh.

Nicole tersenyum sinis. “You’re right. Sama sekali tidak berarti. Tapi tindakanmu tadi sama saja dengan bentuk kurang ajar, dan tidak menghargai wanita, Tuan Maxton.” Nicole menjeda, memberikan tatapan begitu tajam pada Oliver. “Menjauhlah dariku. Ingat batasanmu. Kau adalah calon suami dari adik tiriku.” Lalu Nicole melangkah pergi meninggalkan Oliver, dengan sudut mata yang sudah meneteskan air mata.

Oliver tak melihat air mata yang keluar dari mata Nicole. Pria itu bergeming melihat punggung Nicole yang lenyap dari pandangannya. Perkataan Nicole membuat hati Oliver menelisik tak nyaman. Dalam hati, Oliver mengumpati dirinya yang melakukan tindakan bodoh. Kenapa malah dirinya mencium Nicole? Shit!

“Tuan Maxton.” Staff hotel melangkah menghampiri Oliver, dengan raut wajah  bersalah dan takut.

Oliver mengalihkan pandangannya, menatap dingin dan tajam staff hotel itu.

“Tuan Maxton, mohon maaf lampu gedung mati. Tadi genset pun tidak langsung otomatis menyala karena ada kesalahan teknis. Sekali lagi, maafkan kami, Tuan.” Staff hotel itu menundukkan kepala di depan Oliver, memohon maaf atas apa yang telah terjadi.

“Ini adalah hotel besar. Kenapa bisa sampai genset tidak langsung menyala?!” Oliver memberikan tatapan kian tajam pada staff hotel itu.

“Kami mohon maaf, Tuan. Ada kesalahan teknis yang mengakibatkan genset tidak otomatis menyala. Ke depannya, hal seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi.” Staff hotel itu kembali memohon maaf pada Oliver.

Oliver melirik arlojinya sekilas. “Aku harus pergi. Asistenku akan ke sini memberikan informasi padamu, jika aku memutuskan jadi menyewa ballroom ini.”

Tanpa lagi berkata, Oliver melangkahkan kakinya meninggalkan ballroom hotel itu. Tampak jelas staff hotel itu menundukkan kepalanya, di kala Oliver sudah melangkah pergi.

***

“Nona Nicole? Anda kenapa?” Sadie yang berada di kamar hotel Nicole terkejut melihat Nicole masuk kamar dalam mata sembab menangis. Sudah lama sekali Sadie tidak melihat Nicole menangis.

Nicole tersenyum rapuh melihat Sadie di hadapannya. Nicole duduk di sofa dengan wajah yang muram menyimpan jutaan masalah. Refleks, Sadie mendekat dan duduk di samping Nicole. Sadie menatap Nicole dengan tatapan cemas.

“Nona, jika Anda memiliki masalah ceritakan pada saya. Setidaknya hati Nona akan jauh lebih lega,” ujar Sadie berusaha menenangkan Nicole.

Nicole menatap lurus ke depan dengan wajah yang muram. “Sadie, apa yang harus kau lakukan, jika kau bertemu dengan pria yang menghancurkan hidupmu? Kau ingin menghindar, tapi kau terjebak di lingkaran yang tak bisa terputus.”

Sadie mengusap bahu Nicole sambil berkata, “Jika saya menjadi Anda, maka saya akan menunjukkan saya memiliki kehidupan yang baik. Menangis hanyalah sia-sia. Yang hancur tidak akan pernah bisa kembali utuh, kan?”

Nicole terdiam mendengar jawaban dari sang asisten. Kejadian di mana Oliver berani menciumnya, membuat kemarahan dan kebencian Nicole pada Oliver semakin menguat. Luka yang Oliver berikan padanya semakin dalam.

Akan tetapi, Nicole bersumpah tidak akan pernah menangis di depan Oliver. Dia tak akan membiarkan Oliver tahu tentang kelemahannya. Sembilan tahun lalu, dirinya dijadikan sebuah permainan akibat kebodohannya. Dia tak akan pernah lagi terjebak dalam jerat pria berengsek itu untuk kedua kalinya.

***

Oliver berdiri di ruang kerjanya, menatap gedung-gedung pencakar langit di kota London. Raut wajah Oliver nampak seperti tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang mana telah mengusik ketenangan hidupnya.

Kejadian tadi sore adalah hal tergila. Oliver mengakui kebodohannya yang malah mencium bibir Nicole. Kala itu, dia tak memiliki pilihan lain. Terlebih Nicole terus menerus berteriak di ruangan gelap. Jika saja Oliver tak membungkam bibir Nicole, maka banyak orang berhamburan datang dan berpikir dirinya berniat melakukan tindakan pelecehan pada Nicole. Itu sama saja menambah masalah.

“Tuan Oliver.” Vincent—asisten Oliver—melangkah mendekat pada Oliver seraya menundukkan kepalanya di hadapan Oliver.

Oliver menatap dingin Vincent. “Ada apa kau ke sini?” 

Vincent terdiam sebentar. “Maaf, Tuan. Apa Anda yakin akan menikah dengan Nona Shania Tristan? Orang tua Anda bahkan belum mengetahui tentang rencana pernikahan Anda dan Nona Shania.”

Oliver memejamkan mata singkat. Ya, pria itu memutuskan ingin menikah dengan Shania setelah lima bulan saling mengenal kala Oliver dan Shania berada di Las Vegas. Saat itu, Oliver tengah dalam keadaan tersudut karena kakeknya kerap menjodoh-jodohkannya dengan cucu dari rekan bisnis kakeknya. Hal itu yang membuat Oliver nekat, untuk mengajak Shania menikah. 

Lepas dari itu, yang membuat Oliver memilih Shania adalah Shania membebaskan Oliver. Tak sama sekali mengekang. Hanya saja memang, Oliver sudah lebih dulu melakukan persiapan pernikahan tanpa sama sekali membicarakan pada kedua orang tuanya.

“Orang tuaku pasti akan setuju. Mereka sudah mengenal Shania,” jawab Oliver datar. Tepatnya, dua bulan lalu Oliver sudah memperkenalkan Shania pada kedua orang tuanya. Namun, Oliver belum mengatakan pada kedua orang tuanya tentang rencana pernikahannya dengan Shania. Bukan tak ingin bercerita, tapi Oliver memang memutuskan bercerita nanti.

Vincent menggaruk tengkuk lehernya tidak gatal. “Tapi Anda juga belum mengatakan rencana pernikahan Anda pada Tuan William. Beliau bisa marah besar jika Anda belum bercerita, Tuan. Terlebih belakangan ini Tuan William masih sibuk mengenalkan Anda dengan cucu dari rekan bisnisnya.”

Oliver berdecak tak suka. William Geovan—kakeknya dari sisi sang ibu—memang kerap menjodoh-jodohkan Oliver. Itu yang akhirnya membuat Oliver nekat ingin melepas masa lajang diusia yang baru saja memasuki usia 27 tahun. Oliver sejak dulu malas berdebat dengan kakeknya yang selalu ingi menang sendiri.

“Katakan pada Grandpa-ku, kalau dia bosan pada Grandma dan ingin mengganti istri. Silakan dia nikahi saja wanita yang dia pilih untuk menjadi istriku,” seru Oliver dengan sorot mata tajam.

Vincent meringis. “Tuan, saya mana mungkin berani mengatakan hal itu pada kakek Anda.”

Oliver menatap tajam Vincent. “Kau ini bekerja untukku atau kakekku!”

Vincet hanya menunduk, tak berani menjawab ucapan Oliver.

“Pergilah. Jangan ganggu aku!” tukas Oliver mengusir Vincent.

“B-baik, Tuan. Saya permisi.” Vincent menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Oliver.

Oliver menyambar wine di atas meja, dan menenggaknya kasar. Entah kenapa hatinya seakan berat tentang pernikahannya dengan Shania. Ditambah dirinya sekarang bertemu lagi dengan Nicole—yang ternyata kakak tiri dari calon istrinya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status