Hari yang dinanti Viola tiba. Kondisinya pun sudah fit untuk acara opening butiknya. Bahkan sejak pukul 5 sore tadi dia sudah ada di butik sementara acara baru akan dimulai pukul 7.
Viola begitu antusias ditemani dua sahabatnya, Sassy dan Icha. Mereka bersolek di salah satu ruangan khusus di dalam butik untuk menyambut kedatangan para tamu undangan. Di momen inilah Viola melakukan persiapan ekstra. Dia ingin membuat Steffan terpesona dengan penampilannya. Dia tidak mau lagi Steffan menganggapnya anak kecil atau his sweet sister unyu-unyu seperti yang biasa dia katakan. "My sweet sister unyu-unyu," begitulah kalimat yang sering diucapkan Steffan untuk memuji dan menggoda Viola. Sebuah ungkapan pujian yang seharusnya membuat berbunga-bunga, tapi tidak. Viola tidak mau terus-terusan dianggap sebagai adik kecil. Viola mencintai Steffan lebih dari seorang adik kepada kakaknya. Viola menatap pantulan dirinya di cermin dan tersenyum. "Sas, Cha, gimana make up gue? Nggak terlalu menor kan?" tanya Viola tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan dari cermin. Sassy dan Icha sama-sama melihat ke arah Viola dan menggeleng bersamaan. "Kayaknya kelas fashion emang passion lo banget deh Vi," puji Icha. "Selain lo jago bikin gaun-gaun yang super bagus, mewah dan cantik. Gaya make up lo juga layak untuk diperhitungkan." Sontak pujian itu membuat Viola berbalik. "Serius lo lagi muji gue? Hahaha... makasih lho Cha...!" ucapnya dan kemudian kembali berputar ke arah cermin. Sassy dan Icha kembali saling tatap dan tersenyum. Memang sih, penampilan Viola malam ini benar-benar sempurna banget. Gadis itu mengenakan dress berwarna merah dengan line hitam di pinggang, high heels setinggi 7 cm yang membuatnya tampak tinggi jenjang. "Ya udah yuk siap-siap. Bentar lagi acaranya di mulai," Sassy memperingatkan. Setelah sama-sama melakukan polesan akhir, mereka pun segera bersiap. Di luar sepertinya juga sudah ada orang yang mulai berdatangan. *** "Oke Mbak Viola, silahkan melakukan pemotongan pita sebagai simbol bahwa mulai malam ini Villegas Boutique telah resmi dinyatakan DIBUKA!" seorang MC yang berdiri di sebelah Viola memberi aba-aba. Saat itu Viola masih celingukan ke sekeliling ruangan. Ini sudah lewat satu jam setelah acara dimulai. Para tamu pun telah menikmati makanan. Namun Viola sama sekali belum melihat sosok Steffan ada di sana. Dimana dia? Bukannya dia sudah janji akan datang? Hati Viola bertanya-tanya. Sejak acara dimulai dia sama sekali tidak bisa menikmati acara itu. Hatinya kosong dan perasaannya hampa. Padahal seharusnya dia merasa bahagia dan bangga. Andai saja Steffan ada di sisinya, dia akan merasa acara malam ini sangat sempurna. "Sayang, cepat digunting pitanya. Kamu nungguin apa?" Bu Delia yang berdiri di belakang Viola menyodok lengan anaknya yang masih terdiam. Sassy dan Icha pun heran melihat Viola yang tidak cekatan di sesi tersebut. Bukannya ini malam yang dia tunggu-tunggu? Setengah gugup, Viola segera mengambil gunting dari nampan yang dibawa seseorang kemudian menggunting pita peresmian. Prok! Prok! Prok! Suara tepuk tangan dari para tamu undangan yang hadir begitu riuh. Acara pun kemudian dilanjutkan dengan potong tumpeng, makan-makan lagi dan berpesta tentunya. Sassy dan Icha sibuk mondar-mandir sambil selfie-selfie di beberapa spot. Bahkan dari acara opening itu, beberapa gaun dan aksesoris-aksesoris kecil hasil rancangan Viola berhasil terjual. Namun tetap saja, Viola tidak bisa merasa bahagia lantaran Steffan tidak ada di sini. Tanpa sepengetahuan yang lain, Viola memilih untuk menyelinap masuk ke kamar tempat dia bermake up tadi dan duduk di depan cermin. Huft! Dia sebal dan jengkel bukan main. Buat apa gue dandan capek-capek kalau ternyata dia nggak datang? Kak Steffan kemana sih?! Gerutu Viola dalam hati. Beberapa kali dia mencoba menghubungi nomor Steffan tapi malah nggak aktif. Puncaknya penantian Viola sia-sia. Sampai ketika acara itu selesai sekitar pukul sembilan malam, Steffan sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. "Lo yakin mau di sini Vi?" tanya Sassy sebelum pulang. Saat itu suasana butik sudah sepi karena para tamu sudah pada bubar. Papa dan Mama Viola sudah pulang setengah jam yang lalu karena katanya ada pertemuan dengan client. Mereka tidak tahu kalau di acara itu anak semata wayangnya sedang galau tingkat dewa. Viola mengangguk lemah. Selemah perasaannya yang dirundung galau. "Terus, lo mau pulang jam berapa?" tanya Icha. "Gampang deh. Kalian nggak usah khawatirin gue. This is my place right now, okay?" Viola meyakinkan. "Kak Steffan pasti punya alasan kenapa dia nggak bisa datang, Vi," tutur Icha. Dia dan Sassy tentu tahu apa yang dirasakan Viola saat ini. Viola memberengut. Tangannya mengibaskan gaun yang dikenakan manekin di sebelahnya. "Malam Viola..." sebuah suara bariton yang berasal dari pintu masuk mengagetkan mereka bertiga. Suara yang sangat dikenal dan ditungu-tunggu oleh Viola. Sassy dan Icha menoleh sedangkan Viola menatap lurus dengan pandangan kaget plus kecewa pada dua orang yang baru saja datang ke butiknya. Steffan datang dengan membawa sebuket bunga bersama seorang perempuan yang menggamit lengannya mesra. Hati Viola rasanya seperti tercabik-cabik melihat pemandangan itu. Ngilu sekali. Apa-apaan ini? Dia kan hanya mengundang Steffan, tidak dengan perempuan ini. Tanpa rasa bersalah, Steffan berjalan santai menghampiri Viola lalu menyerahkan buket bunga itu pada Viola. "Maaf ya, aku nggak datang tepat waktu," ucapnya. "Selamat untuk butik barunya, Vi." Viola menerima buket bunga itu dengan malas. Dia melengos kala perempuan yang bersama Steffan melempar senyum ke arahnya. Melihat pemandangan itu, Sassy dan Icha memilih menyingkir ke tempat lain. "I'm proud of you, my sweet little sister," Steffan memuji. "Aku yakin, suatu saat kamu bakalan jadi the best designer. Sekali lagi selamat ya Vi." "Ini semua gaun-gaun rancangan kamu?" tanya si perempuan yang bersama Steffan ramah. Tapi Viola menganggapnya sok akrab. "Hmm," jawab Viola singkat. Pias sekali hatinya mendengar kalimat itu-itu lagi yang keluar dari mulut Steffan. Sweet little sister. Apaan sih?! "Tadi pasti banyak kan datang?" sambung Steffan "Oh iya kenalin Vi, ini Nes...." "Perlu banget ya nanya kaya gitu?" respon tidak terduga keluar dari mulut Viola memotong ucapan Steffan yang baru saja ingin memperkenalkan perempuan yang datang bersamanya. Ditambah lagi, Viola semakin muak saat melihat tangan si perempuan yang seolah tidak ingin lepas dari Steffan. Sassy dan Icha juga kaget mendengar respon itu. Roman-romannya bakalan ada perang dunia nih? Batin mereka ketar-ketir. "Lho, Vi. Kenapa? Kan aku nanya..." "Udah datang telat, nggak ngasih kabar!" potong Viola cepat. "Kakak tahu nggak sih aku nungguin? Setidaknya kasih kabar kek kalau nggak bisa datang tepat waktu! Ini nomor malah nggak aktif. Apa sih maksudnya? Hah?!" mana datangnya malah bawa perempuan! Imbuhnya membatin. Steffan terhenyak. Begitu juga perempuan yang bersamanya. "Lho Vi, kemarin kan pas kamu datang ke kantor, aku udah bilang sama kamu kalau aku nggak janji bisa datang tepat waktu. Yang penting aku tetap datang kan? Dan soal kenapa nomorku nggak aktif, itu karena hari ini aku ada beberapa meeting jadi aku memang sengaja matiin...." "Bodo amat!!" pekik Viola tidak tahan. Dia menyambar tasnya dari atas meja lalu pergi meninggalkan butik. Pada saat langkahnya nyaris mendekati pintu dia kembali lagi dan meletakkan bunga pemberian Steffan di meja kemudian pergi lagi. "Vi!" panggil Steffan. "Lho, Violaaa..." panggil Sassy. Dia dan Icha mengejar Viola sampai di halaman butik. "Vi, lo mau kemana?" Viola tidak menggubris. Dia tidak punya tujuan pasti mau kemana dan hanya mengikuti kemana kakinya membawanya melangkah. Yang jelas dia tidak tahan melihat kebersamaan Steffan dan perempuan itu di depan matanya. Di luar pagar pembatas antara butik dan jalan raya, langkah Viola mendadak terhenti. Dia kaget sekaligus heran melihat seorang cowok tengah duduk santai di atas motor yang di standart. "Elo?!" Viola masih ingat dengan cowok itu. Dia Herga kan? Herga tersenyum simpul. Semenjak mendengar desas-desus tentang Viola dari temannya, dia semakin penasaran dan diam-diam menggali informasi tentangnya. Tentang Dewangga Transportation terutama yang memang dia sering sekali melihat armada itu berseliweran di jalanan Jakarta. Hingga akhirnya dia tahu tentang acara opening butik malam ini. Dan kebetulan malam ini Herga sedang tidak punya kesibukan, jadi dia merasa inilah waktu yang pas untuk turut menyaksikan acara itu meski hanya dari kejauhan. Menurutnya, Viola patut diacungi jempol. Dibalik sikapnya yang cerewet bin judes, ada kelebihan luar biasa yang patut diperhitungkan. Dan sepertinya meski dia anak konglomerat, Viola adalah sosok yang pekerja keras dan mandiri. "Pengen nostalgia," jawab Herga santai. "Dasar nggak jelas!" gerutu Viola. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Steffan tengah berjalan ke arahnya. "Apanya yang nggak je...." Belum selesai Herga berucap, tanpa diduga sama sekali, Viola dengan gesit naik ke boncengan motornya dengan posisi menyamping, sama seperti malam itu. "Eehhh... kenapa lo naik ke motor gue? Kangen pengen gue bonceng lagi?" Herga masih bergurau. "Nggak usah kepedean!" Viola menggeplak pundak Herga. "Jalan sekarang!" perintahnya. Herga bingung. "Jalan apaan sih?" "Kalau gue bilang jalan ya jalan!" Viola membentak dengan galak. "Buruan ah!!" Seperti kuda yang dipacu seorang kusir, Herga menurut. Dia lantas memakai helmnya, menstarter motor dan melesat membawa Viola pergi. "Viola!!" panggil Steffan begitu sampai di tepi jalan. Dia masih heran banget kenapa Viola bisa semarah itu. Padahal kan sebelumnya dia sudah ngomong. *** Herga dan Viola sudah menyusuri jalanan begitu jauh dari lokasi butik. Di sepanjang jalan itu tidak ada obrolan sama sekali. Sampai akhirnya Herga pun memperlambat laju motornya dan berhenti di tepi jalan yang tampak sepi namun banyak penerangan di setiap sisinya. Viola masih terdiam. Yang membuat Herga kaget, saat dia menunduk dia melihat tangan Viola melingkar erat memeluk perutnya. Oh, mungkin dia takut jatuh karena gue bawa motornya ngebut, pikir Herga. "Hiks...!" suara itu reflek membuat Herga menoleh. Viola nangis? "Eh, lo kenapa nangis?" Herga melepas helm. Perlahan Viola melepaskan tangannya dari pinggang Herga dan turun. Dia lalu jongkok di tepi motor dan membenamkan kepalanya di atas lutut. Isaknya semakin keras. Tentu hal itu membuat Herga bingung. Dia celingukan ke sekeliling yang nampak sepi. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang lewat dan kebanyakan mereka pada ngebut karena jalan ini memang bebas hambatan. "Eh, lo jangan nangis dong. Kalau orang lihat bisa salah paham nih. Entar dikiranya gue ngapa-ngapain elo lagi," celetuk Herga sembari membungkuk. Viola tidak menggubris ocehan Herga. Kilasan bayangan saat Steffan datang ke butiknya bersama perempuan tadi membuat hatinya semakin pilu dan ngilu. Apa iya selama ini Steffan tidak pernah tahu bagaimana perasaan Viola terhadapnya? Apa iya dia beneran hanya menganggap Viola sebagai 'Adik Perempuannya Yang Manis'? Mau sampai kapan? Apa iya Steffan sepolos itu untuk tahu bahwa Viola ini menyukainya? Kenapa Steffan tidak peka? BERSAMBUNG...Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per
Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i
Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka
Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti
Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de
Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan
Viola hampir putus asa. Ia melempar ponselnya sembarangan dan menangis di pojok kamar. Ketukan pintu dari luar dan panggilan mamanya tidak digubris. Malam ini, sesuatu terjadi tidak terduga dan begitu cepat. Baru satu jam yang lalu ia dan Herga saling berjanji untuk setia, tapi kini keadaannya justru berlawanan. Viola merasa tak lama lagi ia akan kehilangan sosok yang sangat ia cintai itu. Paginya, Viola bangun pagi-pagi sekali. Ia mungkin hanya tidur beberapa jam saja semalam. Setelah mandi dan berganti pakaian, Viola segera bergegas meninggalkan kamar. Ia melewati ruang makan dan hanya berlalu saat melihat kedua orang tuanya duduk di sana. Pak Brian yang akan memanggil Viola, ditahan oleh Bu Delia. Viola memang tidak punya keinginan untuk sarapan bersama di rumah. Dan Bu Delia bisa mengerti hal itu. Ia juga meminta agar suaminya turut mengerti.Dengan kecepatan penuh didukung suasana jalanan yang lengang karena masih pagi, Viola membawa mobilnya ke komplek rumah Herga. Setibanya di
Bu Delia dan Pak Brian berada dalam satu ruangan di rumah besar mereka. Keduanya duduk berhadapan dan masih saling diam setelah percakapan yang cukup panjang. Bu Delia yang kritis, mencecar Pak Brian dengan banyak pertanyaan tentang alasan suaminya itu mengirim Viola ke luar negeri alih-alih melanjutkan study. Ia memiliki pikiran yang sama dengan Steffan, 'kenapa semendadak itu?' dan ia yakin pasti suaminya itu menyembunyikan sesuatu. Dan ternyata benar. Setelah lelah berbicara kesana kemari, berputar-putar, Pak Brian akhirnya mengatakan hal jujur yang membuat Bu Delia sangat syok. "Jadi.... itu berarti papa selama ini......" saking kagetnya Bu Delia sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia membungkam mulutnya sendiri."Ma.... ini udah masa lalu. Papa juga merasa berdosa tapi papa nggak punya pilihan lain saat itu," sahut Pak Brian lelah. Bu Delia membenamkan wajah di telapak tangannya sekejap. Ia tidak menyangka suaminya telah menjadi pembunuh. "Mama benar-benar nggak nyangka
Bu Delia duduk merenung di salah satu kursi di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor suaminya. Tangannya sibuk membuka-buka buku menu, namun matanya tak fokus pada deretan tulisan di dalamnya. Sesekali ia melihat keluar seperti orang penasaran. Sampai-sampai seorang waitress yang berdiri di sebelah mejanya menegur dan membuatnya gelagapan. "E... i-iya mbak, maaf.... saya... e... anu... pesen ini aja satu sama minumnya yang ini," ucapnya sembari menunjuk pilihannya di buku menu. Waitress itu mencatat pesanan Bu Delia sebelum akhirnya berlalu ke belakang. Siang ini, Bu Delia sebenarnya ingin mengajak makan siang suaminya sekaligus membicarakan tentang study ke Italia itu. Namun saat ia baru saja ingin membuka pintu ruang kerja Pak Brian, ia tak sengaja mendengar percakapan antara Steffan dan suaminya yang terdengar serius. Bu Delia lantas mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri beberapa saat di luar ruangan. Bahkan saat salah satu staff Pak Brian menyapa dengan suara yang