Cerita ini mengisahkan tentang pertemuan tak sengaja dari dua insan berbeda kasta. Pada suatu malam, seorang gadis bernama Viola baru saja pulang dari butik baru miliknya dan nasib naas menimpa dirinya. Seorang pria yang mengendarai motor dengan kecepatan lumayan, menyerempet tubuh gadis itu. Beruntung Viola bisa sedikit menghindar, jadi dia tidak harus terseret jauh di atas aspal. Namun tetap saja serempetan itu meninggalkan beberapa luka di tubuhnya. Usut punya usut, ternyata pria itu memang sedang melarikan diri dari kejaran polisi yang merazia tempat dia biasa mengikuti balapan liar. Nama pria itu herga. Dia bukan berasal dari keluarga kaya seperti Viola. Banyak sekali kepahitan hidup yang harus dia jalani bersama keluarganya. Pertemuan itu pada awalnya tidak membuat keduanya suka sama lain. Viola yang terlahir dengan sendok perak alias keluarga berada telah memiliki kriteria pria idaman untuknya dan yang pasti bukan bad boy seperi Herga. Begitu juga dengan Herga. Dia menilai Viola hanyalah gadis kaya yang manja dan tidak bisa diandalkan. Namun seiring berjalannya waktu dan tanpa sadar mereka sering bertemu, benih-benih cinta mulai muncul di hati keduanya. Dan saat cinta itu hampir menyatu, masalah demi masalah menghampiri. Cinta itu berjalan tidak seperti seharusnya. Terlebih saat kenyataan pahit yang menjadi awal kehancuran keluarga Herga ada hubungannya dengan keluarga Viola. Akankah keduanya bisa bersatu?
View More"Woeeey kabur kabur kabur!! Ada Polisiiii....!!!" teriakan salah seorang penonton balapan liar malam itu membuat semua orang yang ada di area balap liar menjadi kalang kabut.
Suara sirine mobil patroli Polisi terdengar semakin jelas. Para anak muda belingsatan dan kalang kabut kabur mencari aman untuk dirinya masing-masing. Tak terkecuali Herga. Untung saja malam ini tidak ada acara taruhan besar-besaran. Hanya judi kecil, intinya siapa yang bisa mengalahkan Herga di balapan liar sepanjang 300 meter (di jalan lurus) sampai garis finish dia berhak mendapatkan uang 100.000 dan sebaliknya. Setelah menyelesaikan balapan ke 6 dan berhasil mengantongi uang sebesar 600.000 rupiah, Herga langsung kabur meninggalkan area balapan. "Hahahahaha..... Huuuuuhhhh!!!" teriak Herga lega saat dia tahu tak ada satu pun Polisi yang berhasil mengejarnya di belakang. Maka dia pun mulai mengemudikan motornya dengan santai. *** Meninggalkan area balapan liar yang sedang di razia Polisi, suasana hening begitu terasa di sebuah bangunan semi kaca nan besar dan luas. Di dalam bangunan itu, seorang perempuan terlihat sedang berjalan dari satu manekin ke manekin lain dengan bibir yang menghadirkan senyum penuh kepuasan. Sesekali tangannya mengibaskan gaun yang membalut indah manekin-manekin tersebut. Biarpun manekin adalah sebuah benda mati, namun benda itu tampak hidup dengan balutan gaun yang menjuntai. Gadis itu bernama Viola. Malam ini dia merasa patut berbangga diri atas semua usaha yang telah dia lakukan beberapa hari di penghujung bulan untuk menyelesaikan sejumlah gaun-gaun ini. Semua itu hasil jahitannya sendiri, yang akan dipamerkan dalam acara pembukaan butik barunya besok. Butik yang dia namai Villegas Boutique. Viola menghela napas dan berdiri di depan manekin yang terpajang di dekat pintu masuk. Matanya melirik jam tangan mewah merek rolex yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dan seketika mata cantik itu membelalak saat menyadari dirinya sudah ada di butik ini selama hampir 5 jam. Bunyi dering ponsel dari dalam sling bag mengagetkan Viola yang baru saja mengunci pintu. Saatnya pulang. "Halo Ma," telfon dari Mamanya. "Iya ini Vio udah mau pulang kok. Oh nggak usah dijemput.... Vio bisa pulang naik taksi. Ya... oke... sampai ketemu di rumah," dia mengakhiri panggilan. Seolah belum rela meninggalkan butik dan karya-karyanya,Viola berjalan mundur dengan mata yang terus menatap ke dalam sampai langkahnya tiba di pagar pembatas antara pelataran butik dan jalan raya. Dia benar-benar tidak sabar menunggu hari esok. Namun naas, saat dia baru saja berbalik dan berjalan beberapa langkah sambil sibuk memesan taksi melalui aplikasi di ponselnya, tiba-tiba saja sebuah motor dengan kecepatan tinggi melintas dan menyerempet tubuhnya tanpa ampun. Viola memang sempat sedikit menghindar, tapi tetap saja tubuh rampingnya itu terpelanting dan terjengkang ke tepi jalan. Ponselnya pun melayang dan jatuh tepat di rerumputan di samping tubuhnya. "Auuhhh!!!" teriak Viola. Pemotor yang menyerempetnya tadi berhenti tidak jauh dari posisi Viola dan celingukan. Matanya yang tersembunyi dari balik kaca helm, memandang Viola yang susah payah bangun dari jatuhnya. Khawatir terjadi sesuatu yang serius, pemotor tersebut langsung putar balik dan menghampiri Viola. "Kamu.... nggak pa-pa?" tanya pemotor itu yang tak lain adalah Herga. Dia turun dari motor, melepas helm kemudian membantu Viola berdiri. "Nggak pa-pa gundulmu!" semprot Viola sambil meringis menahan sakit. Dia baru berdiri beberapa detik namun kemudian duduk lagi di tepian trotoar. "Lihat nih kaki, siku, bahu gue lecet-lecet kaya gini! Hhhh! Bisa nggak sih bawa motor tuh pelan-pelan aja? Memangnya ini jalanan punya lo sendiri?!" omelnya. Kata 'gundulmu' reflek membuat Herga menyentuh kepalanya sekilas. Wajahnya sontak menciut mendengar omelan Viola. Namun, ini semua bukan atas dasar kesengajaan. Siapa sih yang mau dengan sengaja nabrak orang? Setelah lolos dari kejaran Polisi tadi Herga memang cukup bernapas lega dan bisa santai berkendara. Namun ternyata di salah satu gang, seorang Polisi sedang berjaga--dia bekerja sama dengan Polisi yang merazia area balapan sambil berbicara melalui sambungan walky talky-- dan saat melihat sosok Herga dari kejauhan, Polisi itu mulai bersiap untuk mengejar Herga. Tidak mau ditangkap dan motor kesayangannya disita, Herga pun langsung kembali tancap gas tak tentu arah. Saat menemukan perempatan, dia memutuskan untuk banting setir ke kiri yang merupakan jalan menuju butik. Lalu terjadilah kecelakaan ini. "Eee... maaf... sekali lagi gue minta maaf... maaf banget ya..." ucap Herga berulang-ulang. Jadi karena cewek itu menggunakan kata lo-gue, Herga yang tadinya pengen aku kamu pun jadi ngikut si cewek. Viola mendengus. Dia menyambar ponselnya dan semakin jengkel karena ponsel itu mati. Mungkin karena hantaman yang terlampau keras pada tanah kali ya? Mana dia belum pesan taksi lagi. Dan waktu semakin malam. Papa dan Mamanya di rumah pasti khawatir. "Eee... tunggu sini bentar ya, gue cari apotek dulu buat beli plester sama beta...." "Kelamaan!" serobot Viola kesal. Dia merogoh kunci dari dalam sling bag dan menyerahkan pada Herga. "Nih, buruan ambil kotak obat di butik gue. Bisa mati kesakitan kalau gue nunggu lo cari apotek. Di daerah sini gak ada apotek. Buruan!" Herga masih celingukan. Dia menatap bangunan semi kaca yang gelap--karena Viola memang sengaja mematikan lampunya di dalam--dan langsung membuat nyalinya menciut. Deretan manekin yang dipakaikan gaun itu terlihat seperti hantu. "Udah buruan sana ambilin! Perih semua nih badan gueee..." Viola menggaplok bahu Herga yang masih bengong. Herga terlonjak. "Oh... e... I-iya gue ambilin sekarang." Herga bergegas menuju butik. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa kotak obat. Di tempatnya Viola sudah meringis-ringis menahan sakit. Gara-gara dia kulit mulus Viola jadi penuh luka. Dengan telaten dan hati-hati, Herga membersihkan luka di lutut dan siku Viola menggunakan cairan pembersih luka. Sesekali Viola sedikit berjingkat karena perih. "Pelan-pelan aja dong!" bentak Viola. Dia sebenarnya tahu Herga sudah melakukannya dengan hati-hati. Tapi dia masih kesal aja sama tu anak. "Ini kan juga udah pelan-pelan," Herga membela diri. Viola mendengus. Dia merawat sendiri luka di bagian bahu. Setelah bersih, Herga mulai memasang plester pada lutut dan siku Viola. "Yang itu perlu dikasih plester nggak?" tanya Herga menunjuk bagian bahu. "Nggak!" mata Via melotot. "Biar gue pasang sendiri. Udah itu balikin lagi ke dalam. Jangan lupa dikunci lagi." Herga mengangguk menuruti. Kalau bukan karena merasa bersalah telah menyerempet gadis ini, dia pasti sudah meninggalkannya begitu saja. Herga nggak tahan dengan sikap judes dan cerewetnya. Mana kelihatannya sombong banget lagi. "Ingat! Jangan sekalipun lo sentuh gaun-gaun yang ada di manekin. Tangan lo kotor!" pesan Viola ketus saat Herga sudah berjalan beberapa langkah menuju butik. "Hmmm," gumam Herga singkat. Herga masuk dengan hati-hati ke dalam butik dan mengembalikan kotak obat ke tempatnya semula. Saat berbalik, jantungnya hampir copot melihat gaun yang melambai-lambai karena diterpa angin dari luar. "Hufh, sialan! Mimpi apa sih gue semalem bisa apes begini?!" gerutunya. Sebelum keluar, Herga berhenti sejenak di depan manekin yang dekat dengan pintu. Dia mengamati lekat-lekat gaun yang dikenakan pada manekin tersebut dan tersenyum penuh kekaguman. Meskipun dia seorang laki-laki urakan yang hobinya balapan liar, dia tetaplah seorang manusia yang juga memiliki sisi kelembutan. Herga kagum dengan keanggunan dan kemewahan gaun di hadapannya. Sebuah gaun pengantin berwarna putih bersih itu menjuntai ke bawah. Dalam benaknya dia jadi membayangkan, suatu hari nanti jika dia menikah, dia akan melihat calon istrinya mengenakan gaun ini. Ah, pasti cantik sekali. Pikirnya. Tanpa sadar, tangan Herga terulur hendak menyentuh gaun itu. "Sudah gue bilang jangan dipegang! Tangan lo kotor!" sebuah teriakan yang sangat dia kenal--meski dia baru malam ini mendengar suara itu--mengagetkan Herga dan reflek membuatnya kembali menarik tangannya. Herga menatap keluar dan melihat Viola sudah berdiri tak jauh dari pintu butik. Rupanya Viola begitu penasaran kenapa Herga lama sekali di dalam butik hanya untuk mengembalikan kotak obat. Jadi meski dengan susah payah berjalan, dia pun menghampiri ke sana. Dan ternyata cowok itu sedang berdiri mematung di depan hasil kerjaannya. Herga cuma nyengir kuda kemudian keluar dan mengunci pintu. "Itu semua gaun rancangan lo?" Herga menyerahkan kunci pada Viola. "Bagus-bagus semua." Viola tersenyum sinis kemudian melasakkan kunci tersebut ke dalam tas. "Lo ngomong gitu mau ambil simpati gue? Sorry ya, gue nggak tertarik. Tanpa lo akui, udah banyak yang bilang kalau gaun-gaun buatan gue itu memang bagus," jawab Viola ketus dan angkuh. Herga menelan ludah. Lagi-lagi dia harus menahan diri dan lebih bersabar menghadapi makhluk di depannya ini. "Ya udah kalau begitu, urusan kita sudah selesai kan?" tukas Herga. "Gue pulang dulu ya," dia berlalu melewati Viola. "Eeeehhh... nggak bisa gitu dong!" tubuh Viola reflek berputar dan tangannya mencekal tangan Herga. Herga berhenti dan berbalik. Matanya menatap tangan mulus gadis yang tengah mencekal tangannya itu dan seketika ada sesuatu yang berdesir di dalam hatinya. Sadar tengah diamati, Viola pun buru-buru melepaskan cekalannya. "Apa lagi?" tanya Herga. "Lo harus anterin gue pulang," Viola menyilangkan kedua tangannya di dada. "Gara-gara lo, ponsel gue mati dan gue jadi nggak bisa pesen taksi online!" Herga menahan senyum. Serius ni cewek nyuruh dia nganterin pulang? "Kenapa lo senyum-senyum? Lo suka karena gue nyuruh lo nganterin gue?" Herga menghela napas panjang. Ternyata ni orang selain cerewet, judes tapi over PD juga ya? Untung sih dia cewek. Kalau bukan, udah gue ajak baku hantam deh! Batinnya kesal. Viola berlalu mendahului Herga dengan langkah tertatih. "Udah ayok buruan!" ucapnya tanpa sedikitpun mempedulikan Herga yang masih menahan geram. Herga mengepalkan tangannya menahan emosi, lalu dengan langkah berat mulai melangkahkan kaki mengikuti Viola. Dia mengantarkan gadis itu pulang dengan selamat sampai di depan pintu gerbang rumahnya. Perjalanan dari butik ke rumah Viola memang tidak jauh. Tapi karena saat itu Herga membonceng Viola yang duduk menyamping--karena Viola mengenakan dress seatas lutut--jadi dia harus membawa motornya pelan-pelan. "Makasih ya," ucap Viola begitu turun dari motor. "Nggak perlu. Ini sudah jadi bagian dari tanggung jawab gue juga sih harusnya," jawan Herga datar. Viola mencibir. "Ya udah. Gue masuk dulu. Bye," dia berjalan mendekati pintu gerbang. Melihat cara jalan Viola yang masih tertatih-tatih, sisi kemanusiaan Herga muncul. Orang tua gadis itu pasti kaget melihat anaknya pulang dengan banyak luka seperti ini. Apa yang akan dikatakan gadis itu nantinya kalau orang tuanya bertanya? "Eh tunggu!" Herga turun dari motor dan berlari menghampiri Viola yang sudah hampir mendorong pintu gerbang. "Kenapa lagi?" "Perlu gue anter ke dalam?" "Hah? Nggak perlu lah," Viola geleng-geleng kepala. Untuk ke sekian kalinya dia melihat penampilan Herga dari atas sampai bawah. Jaket jeans lusuh, celana rombel, telinga di piercing, kalung rantai, rambut kusut. Hiiihhh.... Apa yang bakal dipikirkan kedua orang tuanya nanti melihat anak semata wayangnya pulang bersama pria semacam ini? "Biar gue jelasin ke orang tua lo kalau malam ini...." "Nggak... nggak... nggak...!" potong Viola tegas. "Lo nggak perlu jelasin apa-apa ke orang tua gue. Gue punya jawaban yang udah gue pikir sepanjang jalan tadi buat mereka kenapa gue pulang telat dan kaya gini," dia mengibaskan kedua tangannya menunjukkan luka-luka itu. Herga memandang Viola beberapa saat. Gadis itu akan berbohong kepada orang tuanya yang otomatis juga melindungi dirinya. "Ya udah, lo pulang sono. Gue juga capek dan ngantuk," Viola masuk dan kembali menutup pintu gerbang besar itu. Untuk ke sekian kalinya Herga menghela napas pelaaaaan dan panjaaaaang. Semoga aja gue nggak ketemu sama cewek itu lagi, batinnya berharap. Tu cewek memang cantik sih dan lagi dia juga nggak minta ganti rugi dari kejadian ini, tapi judesnya itu beneran bikin naik darah! Hiiihhh! Herga bergidig. Tak mau berlama-lama berada di depan rumah gedong itu, Herga pun segera memacu motornya dan pulang.Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per
Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i
Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka
Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti
Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de
Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments