Setibanya di kelas, dua sahabat Viola, Sassy dan Icha langsung menyambut dengan antusias dan menggiring Viola ke bangkunya. Mereka lantas mengintrogasi Viola tentang peristiwa semalam. Icha, sudah pasti anak itu tahu dari Sassy. Semalam kan Viola hanya cerita ke Sassy.
Mereka juga menertawakan penampilan Viola yang begitu tertutup. "Nggak usah ketawa deh," ucap Viola ketus. Dua sahabatnya itu langsung kicep. "Jadi gimana? Lo bilang dia nganterin lo sampe rumah. Dia masih cowok apa udah bapak-bapak?" tanya Icha rempong. Gila. Berarti apa yang diceritakan Viola ke Sassy, di forward semua ke anak itu. Viola menggeleng. Dia tidak mau mengatakan kalau si penabrak itu adalah mahasiswa kampus ini juga yang ternyata cukup punya nama di sini. Iya kan? Buktinya fotonya menjadi ikon poster Fakultas Teknik. Sempat terbersit sedikit rasa heran di benak Viola, kenapa dia sama sekali tidak kenal dengan si ikon itu. Padahal kelas mereka atas bawah. "Udah bapak-bapak kok. Bapak muda sih," bohong Viola. "Ya kira-kira usianya 30-an lah." Sassy dan Icha manggut-manggut bersamaan. Mereka sesekali masih terkikik jika melihat penampilan Viola. "Viola? Tumben pakaian lo seperti itu?" tanya seorang anak cewek yang baru masuk kelas. "Emangnya ada yang salah sama pakaian gue?" tanya Viola balik dengan tatapan tajam. Cewek itu tersenyum. "Ya enggak sih. Heran aja, kok tumben." "Suka-suka gue lah. Kenapa banget lo ngurusin pakaian gue?" tanya Viola semakin ketus. Sassy menyodok bahu Viola pelan. Dia merasa tanggapan sahabatnya itu kelewatan. Mendengar tanggapan tersebut, cewek itu pun hanya tersenyum sembari mengibaskan tangan dan berlalu. Mereka semua yang sekelas sama Viola, sudah tahu karakter Viola itu seperti apa. Rada angkuh. Dan mungkin hanya Sassy dan Icha saja yang tahan bersahabat dengannya. "Viooo, santai aja kenapa sih?" bisik Sassy pelan. "Lo nggak lagi dapet kan? Sensitiv banget?" Viola cuma nginyem dan menatap Sassy malas. "Jadi acara opening butik lo batal dong entar malam?" Icha mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya dia juga sudah tahu karena sudah membaca pengumuman di grup semalam. "Itu juga yang bikin gue sebel. Padahal moment itu udah gue nanti-nanti banget." "Ya udahlah Vi, namanya apes nggak ada di kalender, alias nggak ada yang tahu," sela Sassy. Viola terdiam. Apes memang. Tapi rasanya tidak ada yang lebih buruk setelah dia tahu kalau cowok yang menabraknya itu juga kuliah di kampus ini. *** "Serius bro?!" Irfan membelalak saat Herga menceritakan tragedi semalam saat dia menyerempet orang. Seperti biasa, sebelum kelas dimulai Herga ngobrol-ngobrol sama teman-temannya di kelas. Pagi itu ada Irfan, Nando, dan Rifky sedang berkerumun di bangkunya. Dan yang membuat mereka lebih kaget lagi adalah saat Herga mengatakan bahwa cewek yang diserempetnya itu mahasiswi kampus ini juga. "Siapa sih? Kita sering ketemu nggak?" sela Rifky. "Gue nggak tahu siapa namanya," jawab Herga. "Tinggi sih anaknya. Kulitnya juga putih bersih dan.... rambutnya agak panjang. Segini," tangannya menyentuh bahu. "Dan tu cewek kayaknya di kelas Fashion deh. Tadi gue sempet lihat dia naik ke lantai dua situ," imbuhnya sembari telunjuknya menunjuk ke atap. Teman-teman Herga saling tatap. Yang mereka tahu, penampilan dan circle anak dari kelas fashion itu tidak ada yang mengecewakan. Jadi di kampus ini memang ada dua kelas yang sangat dipuja-puja banyak kaum daripada kelas lain. Para kaum cowok begitu memuja cewek dari kelas fashion, sementara kaum cewek biasanya begitu mengejar-ngejar cowok dari kelas teknik. Apalagi teknik mesin (Otomotif) seperti Herga dan teman-temannya. "Sassy?!" tebak Nando. "Icha kali," sahut Irfan. "Mona ya?" Rifky tak mau kalah. Herga geleng-geleng kepala. "Sudah gue bilang, gue nggak tahu namanya siapa." "Ahh, lo gimana sih Ga? Emang lo nggak kenalan?" tanya Nando. "Semalem sih enggak," Herga terkekeh sejenak. "Lagian kalau lo jadi gue, lo pasti nggak bakal punya keinginan buat kenalan sama tuh cewek. Songongnya minta ampun. Kalau aja bukan jadi korban serempetan gue, udah gue tinggalin deh." "Eh, jangan ngomong gitu bro," Rifky menepuk bahu Herga. "Ya kali aja dia kesel karena dia lagi buru-buru terus malah dapat musibah. Lagian kenapa juga sih lo bisa kabur lewat situ? Padahal setahu gue, tempat balapan liar itu jauh banget dari daerah itu." Semua teman-teman Herga sudah tahu kebiasaannya yang suka ikut balapan liar. "Yang namanya orang kabur juga pasti menjauh lah!" sahut Herga. "Dan asal kalian tahu ya, tadi sebelum gue ke kelas nih, gue sempet samperin dia di tangga sana..." "Terus?!" potong mereka bertiga bersamaan. "Gue cuma mau pastiin aja kondisinya udah baik apa belum. Dan berarti dia emang udah baik dong, buktinya udah ngampus. Gue iseng kenalin diri, karena nggak tahu kenapa gue juga pengen tahu siapa namamya. Dan kalian tahu apa?" "Apa? Gimana?" mereka semakin antusias. "Gue udah gini," Herga memperagakan tangannya yang terulur. "Dan gue juga sebutin nama gue. Eeeeh... dia cuma lihat gue terus berlalu. Tangan gue diabaikan man... apa nggak songong tuh namanya?" Teman-teman Herga cuma melongo. Mereka nggak percaya dengan apa yang diceritakan Herga tentang sikap cewek tersebut. Masa sih ada cewek sesongong itu di kelas fashion? "Siapa kira-kira?" Nando menatap Rifky dan anak itu cuma mengangkat kedua bahu. Sassy, anaknya ramah kok. Murah senyum lagi. Icha juga. Meskipun rada pendiem, tapi kalau udah kenal dan sering ngobrol, tu cewek tipikal yang asyik banget jadi temen ngobrol. Irfan pernah beberapa kali bertemu dan ngobrol sama dia. Mona apalagi. Dia anaknya rame dan friendly. "Ah udahlah. Ngapain juga kita jadi ngebahas anak kelas fashion? Cewek-cewek di kelas otomotif lebih damage woey," terang Herga kemudian. "Tunggu deh," Nando yang sedari tadi penasaran dan mencoba mengecek melalui ponselnya untuk mencari tahu 'siapa sih anak fashion yang kata Herga songong itu?' menunjukkan sebuah gambar dari ponselnya pada Herga. Sebuah gambar dari feeds akun I*******m seorang cewek dengan username @violavillegas "Ini bukan?" menurut ciri-ciri fisik yang disebutkan Herga, Nando yakin dia orangnya. "Nah itu dia!" Herga membenarkan. "Siapa itu namanya? Coba sini," dia merebut ponsel Nando. "Viola man," jawab Nando. "Sumpah lo? Viola?" mata Rifky membelalak. "Waduh. Temen kita nyerempet Viola man...!" sambung Irfan. Herga manggut-manggut. Oh, jadi namanya Viola? Dia mengembalikan ponsel Nando. "Emang ada apa sama Viola?" tanya Herga penasaran. Dia heran kenapa mereka begitu mengagungkan cewek tersebut. "Lo beneran nggak tahu dia siapa?" tanya Irfan tak kalah heran. "Dia anak konglomerat bro. Usaha orang tuanya dimana-mana, dan dia itu mahasiswa terkaya di sini plus bokapnya tercatat sebagai donatur tetap di kampus ini," tutur Rifky. Nando dan Irfan mengiyakan. "Kalau lo di jalan sering lihat long elf, bus-bus keren tulisannya Dewangga Transportation dan Pariwisata, itu dia. Salah satu usaha yang dimiliki keluarganya," Irfan menyahut. Kening Herga mengerut. "Masa sih?" meski begitu dia tidak terlalu kaget karena semalam dia sudah melihat rumah Viola yang super mewah, walau hanya melihat dari luar. Tidak heran jika dia disebut anak konglomerat. "Kok kayaknya gue baru lihat dia hari ini deh," "Halaaaah.... nggak heran gue sama lo Ga," cetus Nando. "Elo mah emang mahasiswa teladan yang terlalu fokus sama materi kuliaaaah..." ledek Rifky. "Hahaha, makanya dia bisa jadi ikon anak teknik!" Irfan terbahak sembari memperagakan gaya Herga di poster Fakultas Teknik yang terpajang di beberapa papan buletin. Memang benar sih. Meski rada bad boy karena kebiasaannya yang suka ikut balap liar, Herga termasuk mahasiswa yang memiliki otak cerdas. IP-nya selalu di atas 3. Dan Herga juga tipikal cowok yang tidak begitu peduli soal cewek. Hidupnya yang penuh perjuangan membuat dia hanya berpikir tentang bagaimana agar keluarganya bisa bertahan hidup di tengah kondisi perekonomian yang bisa dibilang kurang. *** Siangnya sepulang kuliah, Viola mampir sebentar ke kantor Steffan. Dia sudah biasa pergi ke sana dan semua staff di kantor ini sudah hafal dan mengenal Viola. "Mau cari Pak Steffan ya Vi?" tanya Mayang, sorang supervisor di kantor itu saat mereka berpapasan di depan lift. Viola cuma tersenyum dan mengangguk. Mereka kemudian masuk lift bersamaan karena tujuannya sama yakni ke lantai 25. "Kamu kok tumben pakai baju seperti ini?" tanya Mayang. Dia tahu banget selera fashion Viola seperti apa. Dan pakaian yang dikenakn Viola hari ini, bukan Viola banget. Viola itu penyuka dress. "Lagi pengen aja. Kenapa? Nggak bagus ya?" kepercayaan diri Viola mendadak luntur oleh pertanyaan Mayang. Apalagi dia datang ke sini untuk menemui pujaan hatinya. Tapi, Steffan sudah dia beri tahu tentang kecelakaan itu kok. Jadi dia pasti bisa maklum dengan pakaiannya hari ini. Mayang tersenyum. "Bagus kok. Cuma ini kan bukan kamu banget. Jarang-jarang aku lihat kamu pakai outfit model begini. Tapi so far ini bagus kok." Viola tahu Mayang cuma bohong. Dia pasti ngomong gitu karena nggak enak hati aja kan? Huft! Mereka tiba di lantai 25 dan lift terbuka. Saat itulah Viola melihat Steffan sudah berdiri di depan lift. "Eh, ada my sweet sister unyu-unyu," celetuk Steffan spontan yang membuat Mayang menunduk menahan senyum. "Permisi, Pak," ucap Mayang sopan kepada Steffan. "Yuk Vi, aku duluan ya," dia melirik Viola sesaat kemudian berlalu. "Hmm," jawab Viola singkat. Sampai kapan Steffan berhenti menyebutnya begitu? My Sister. My sweet sister unyu-unyu. My sweet little sister. Huh! Viola sebal. "Viola? Kamu kok nggak bilang kalau mau ke sini? Aku pikir masih istirahat di rumah. Gimana luka kamu? Udah sembuh? Hari ini kamu kuliah?" sambut Steffan dengan pertanyaan penuh perhatian pada Viola. Dia yang tadinya mau mencari sesuatu di lantai 10 pun mengurungkan niatnya dan mengajak Viola menuju ke ruangannya. Meski kadang suka jengkel dengan sebutan-sebutan itu, tapi inilah salah satu sikap Steffan yang membuat Viola jatuh hati. Perhatian dan super care. "Nih buat kakak," Viola menyerahkan sekotak burger kesukaan Steffan saat mereka sama-sama duduk di sofa di sudut ruangan Steffan. "Buat makan siang." Steffan menerima dengan senang hati. "Kamu kenapa repot-repot segala sih Vi? Kamu tu harusnya istirahat di rumah. Tapi, makasih ya." Viola mengangguk. Dia lalu mengeluarkan secarik kertas seukuran podcast dan menyerahkan pada Steffan. "Apa nih?" Steffan membolak-balik kertas tersebut. "Undangan opening butik, khusus buat Kak Steffan. Yang lain aku undang lewat grup online lho..." Viola berkedip genit. "Lho, aku denger dari mama kamu, katanya ditunda?" "Itu dia. Makanya aku kasih undangan itu khusus buat kakak sebagai pemberitahuan kapan acara itu akan digelar." "Oh gitu?" Steffan manggut-manggut. "Jadi kapan?" "Makanya dibuka dong kak, biar tahu," bibir Viola mengerucut manja. Steffan membuka undangan itu dan membacanya sebentar. "Lusa?" tanya Steffan sembari menatap lurus Viola. "Kamu yakin?" "Banget. Soalnya aku udah nggak sabar nunggu acara itu," jawab Viola mantap. Steffan terkikik. Dia lalu mengamati Viola dari atas sampai bawah. "Vi," "Hmm?" Viola membalas tatapan Steffan. "By the way.... Aku tu lebih suka lho liat kamu pakai outfit kaya gini," Steffan menunjuk dengan dagunya. Bibir Viola semakin mengerucut. "Jangan ngeledek deh," cibirnya. "Lho, serius. Aku nggak ngeledek. Kamu kelihatan lebih.... apa ya? Damage lah menurutku," Steffan menggoyangkan telapak tangannya. "Hmmmhh... damage darimana? Kalau bukan karena buat nutup luka aku juga males pakai beginian. Bukan aku banget ini tuh. Nggak... nggak... nggak... jangan bilang gitu," Viola menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. "This is not my style!" tegasnya. Steffan terbahak dan geleng-geleng kepala. Dia yang sudah mengenal Viola dari sejak mereka masih bayi, tahu banget apa-apa saja yang disuka ataupun tidak disukai Viola. Begitu juga sebaliknya. Viola lantas berdiri. "Ya udah kak, udah siang nih. Aku pulang dulu ya. Inget, jangan sampai nggak datang di acara opening butikku," pesannya serius. Steffan turut berdiri. "Kamu nggak usah khawatir. Aku pasti datang. Tapi aku nggak bisa janji untuk datang tepat waktu lho. Kamu tahu sendiri kan jadwal kerjaanku kaya gimana?" "Iya. Pokoknya yang penting datang aja. Jangan sampai enggak." Steffan mengacungkan jempolnya. "Hati-hati kalau pulang. Jangan ngebut," pesannya. "Siapp!" Viola memperagakan gerak hormat kemudian berbalik dan berjalan keluar. Steffan mengantarkan Viola sampai di depan pintu ruangannya. Keberadaan Viola memang terkadang bisa membuat moodnya sedikit lebih baik dari berbagai macam tuntutan pekerjaan yang membuat kepalanya pening. BERSAMBUNG...Pagi itu Viola bangun dengan perasaan campur aduk. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi tapi matanya sudah jernih dan nggak merasakan ngantuk lagi. Ia duduk di atas tempat tidur sambil menatap layar ponsel di tangannya. Di daftar riwayat pangilan ada empat panggilan tak terjawab yang berasal dari nomor Herga. Namun hatinya kembali dibuat pias saat menghubungi nomor tersebut dan ternyata tidak aktif. Jari Viola bergulir ke aplikasi pesan singkat WhatsApp dan di sana Herga mengirimkan pesan. Viola membuka pesan itu dan membaca dalam hati. "Viola, Terimakasih untuk semua yang pernah kamu beri ke aku dan keluargaku. Tapi tetap saja itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Ayahku untuk bisa bersama kami kembali. Aku mungkin terlalu polos dan bodoh untuk melihat seseorang yang baru kukenal tiba-tiba berbuat banyak hal baik untukku dan keluargaku. Kini aku tahu alasannya. Sekarang, mari kita sama-sama melupakan apa yang pernah terjadi, khususnya di antara kita. Anggap saja kita tidak per
Sassy dan Icha cuma bisa melongo setelah mendengar semua cerita dari mulut Viola. Mereka prihatin dengan nasib Viola sekarang. Orang yang sangat ia cintai menghilang tanpa kabar bak ditelan bumi. "Gue yakin. Entah kapan itu Herga pasti bakalan hubungi gue lagi. Gue ngertiin dia kalau emang sekarang dia belum bisa ketemu sama gue atau bicara sama gue. Tapi suatu saat nanti, dia pasti bakal temui gue. Iya kan Sas, Cha...???" ucap Viola bernada sedih. Sassy dan Icha saling tatap dan sama-sama mengangguk demi menenangkan hati Viola. Meski sebenarnya mereka tak yakin itu akan terjadi. Menjadi Herga pasti sakit dengan kenyataan yang ada. Tapi kalau karena cinta, siapa yang tahu? Semoga saja harapan Viola bukan sekedar harapan. "Lo jangan ngerasa sendiri ya Vi, ada kita di sini," kata Icha mengelus pundak Viola. "Gue juga. Oh iya, kata Bi Asih lo sama sekali belum makan sejak dateng ke sini," sambung Sassy. Ia mengeluarkan sebungkus bagelen berukuran sedang dari dalam tasnya. "Lo makan i
Herga dan Steffan saling berhadapan. Awalnya, mereka tampak saling diam sampai kemudian mulai berbincang beberapa hal. Beberapa kali terlihat Herga menunduk dan Steffan yang menghela napas. Bu Rasti yang khawatir memilih untuk diam di dalam mobil memperhatikan keduanya. Beberapa saat kemudian, setelah perbincangan cukup lama, tampak Herga dan Steffan saling berjabat tangan. Steffan menepuk-nepuk pundak Herga sebelum akhirnya cowok itu kembali menghampiri ibu dan adiknya di dalam taksi. Taksi berlalu meninggalkan Steffan yang masih berdiri di tempatnya. Tangannya lantas melambai seolah mengucapkan selamat tinggal saat taksi itu menghilang di tikungan. Sementara di tempat lain, yaitu di depan gerbang rumah Steffan, Sassy dan Icha hati-hati bergantian memencet bel. Setelah bunyi bel ke tiga, seorang satpam berlari tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang. Pria bernama Asep itu memperhatikan kedua gadis cantik di depannya dengan seksama. "Kalian siapa?" tanya Asep. "Mau cari siapa?""Ka
Viola membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada jam dinding di depan ranjang. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Baru saja ia hendak meraih ponsel dari atas nakas, telfon rumahan yang ada di atas nakas berdering. "Halo?" sapa Viola datar. Suaranya terdengar parau."Kamu udah bangun, Vi?" suara Steffan terdengar dari seberang. Viola melirik ponselnya yang ternyata masih nonaktif. "Baru aja. Ada apa kak?""Kamu kalau mau makan atau butuh sesuatu, minta tolong sama bibik ya. Atau kamu mau kakak bawain makanan dari luar?" Steffan menawarkan. "Aku nggak laper kok kak. Nanti kalau aku udah laper, aku cari makanannya sendiri."Terdengar gemuruh hembusan napas dari ujung telfon. "Ya sudah. Kalau gitu, kamu istirahat aja dulu. Nanti mungkin kakak pulang agak malem.""Iya kak. Nggak pa-pa kok.""Oke, bye..."Klik! Tanpa membalas, Viola langsung meletakkan gagang ponsel. Ia meraih ponselnya, mengaktifkan kembali dan merebahkan diri. Saat ponsel itu aktif, ada sejumlah noti
Tak menunggu waktu lama, begitu Bu Delia pergi Sassy dan Icha pun menyusul di belakang. Sementara dari dalam rumahnya di lantai dua Pak Brian melihat aktifitas itu dari balik jendela. Tatapannya sendu dan sayu. "Berhenti deh Cha," pinta Sassy saat mereka sudah mendapat separuh jalan tempuh menuju rumah Steffan. Icha pun menurut. Kakinya menginjak rem dan ia menepikan mobil. "Kenapa Sas?" tanya Icha. "Mending kita jangan ke rumah Kak Steffan sekarang deh. Takutnya Viola emang lagi pengen tenangin diri. Entar malah ganggu lagi.""Tapi gue penasaran sebenernya ada apa. Apa ada hubungannya sama dia mau berangkat ke Itali? Apa.... papanya maksa Viola buat ambil study itu dan sebenernya dia nggak mau trus mereka bertengkar?" Icha menerka-nerka.Sassy menghela napas. "Lo pikir gue nggak pengen tau? Tapi kan nggak harus sekarang juga. Viola pasti hubungin kita kalau hatinya udah enakan. Jangan sampai kita kesana dan malah bikin moodnya tambah hancur deh."Icha manggut-manggut. "Ya udah de
Viola menemui Steffan di rumahnya. Saat itu hanya ada Steffan di rumah karena Bu Tamara sedang berada di luar kota. Steffan tentu kaget dengan kedatangan Viola yang tiba-tiba tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan keadaan Viola yang menangis dan terlihat amat sangat sedih di wajahnya. Viola yang biasanya manis dan ceria, kini terlihat layu dan sendu. Steffan meletakkan dasinya ke kursi dan menuntun Viola ke sofa di ruang tengah. "Ada apa Vi? Kamu kenapa datang kesini pagi-pagi, trus nangis kaya gini? Ada yang nyakitin kamu? Siapa yang berani sakitin kamu?" cecar Steffan. Pikirannya sudah melayang pada sosok Herga. Awas aja kalau dia berani membuat Viola menangis, batinnya. Viola semakin terisak. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Steffan pun memilih untuk membiarkan Viola menangis dan menunggu sampai gadis itu bisa bercerita. Steffan melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, ia ada pertemuan dengan seorang client di kantor. Tapi biarlah, Steffan