Beranda / Fantasi / Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin / Bab 121. Mata dari Kegelapan

Share

Bab 121. Mata dari Kegelapan

Penulis: Quennnzy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-24 15:38:16

Langkah mereka terhenti.

Bukan karena lelah, tapi karena udara di sekitar berubah.

Sosok itu berdiri tidak jauh dari lingkaran batu bercahaya. Tubuhnya tinggi, terlalu kurus seolah dagingnya sudah lama ditinggalkan. Kain lusuh yang membalutnya bergerak pelan meski angin tidak berhembus. Dari wajah yang hampir tenggelam dalam bayangan, hanya dua mata merah menyala yang terlihat.

Rafael langsung bergerak, tubuhnya menutup Alura. Tangannya meraih gagang pedang di pinggang, dan tatapannya tidak pernah lepas dari makhluk itu.

“Jangan mendekat,” katanya datar. Suaranya seperti baja yang ditarik keluar dari sarung.

Makhluk itu tidak bergerak. Hanya berdiri. Mata merahnya menyapu mereka berdua, seolah menilai. Ketika ia akhirnya berbicara, suaranya bukan suara biasa. Bukan suara tunggal, melainkan gema berlapis, seperti banyak lidah yang berbicara serempak.

“Kalian… bukan milik dunia ini.”

Alura merasakan bulu kuduknya meremang. Kata-kata itu bukan sekadar kalimat. Ada sesuatu yang men
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 122. Jejak yang Tidak Seharusnya Ada

    Langkah-langkah itu masih terasa bergema di dinding lorong batu yang baru saja mereka lewati. Sosok asing yang muncul, dengan mata berkilat samar seperti bara yang belum padam, masih menatap lurus ke arah mereka, seolah ia sudah tahu siapa yang sedang dihadapinya. Alura merasakan jantungnya berdegup lebih keras dari biasanya, bukan karena takut, tapi karena ada sesuatu dalam sosok itu yang terasa… familiar. Bukan wajah, bukan suara, melainkan sesuatu yang lebih dalam, seperti gema dari masa lalu yang tidak pernah ia miliki. Rafael berdiri setengah langkah di depannya, tubuhnya kaku namun setiap otot di bahunya tegang, siap menyerang atau melindungi kapan saja. “Apa maumu?” suaranya rendah, nyaris bergumam, tapi gema dari dinding batu membuatnya terdengar seperti perintah yang tak bisa dibantah. Sosok itu tidak langsung menjawab. Senyum samar melintas di bibirnya, lalu hilang, berganti dingin yang menusuk. “Kalian… bukan bagian dari tempat ini. Dunia ini menolak kalian. Dan aku, aku

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 121. Mata dari Kegelapan

    Langkah mereka terhenti. Bukan karena lelah, tapi karena udara di sekitar berubah. Sosok itu berdiri tidak jauh dari lingkaran batu bercahaya. Tubuhnya tinggi, terlalu kurus seolah dagingnya sudah lama ditinggalkan. Kain lusuh yang membalutnya bergerak pelan meski angin tidak berhembus. Dari wajah yang hampir tenggelam dalam bayangan, hanya dua mata merah menyala yang terlihat. Rafael langsung bergerak, tubuhnya menutup Alura. Tangannya meraih gagang pedang di pinggang, dan tatapannya tidak pernah lepas dari makhluk itu. “Jangan mendekat,” katanya datar. Suaranya seperti baja yang ditarik keluar dari sarung. Makhluk itu tidak bergerak. Hanya berdiri. Mata merahnya menyapu mereka berdua, seolah menilai. Ketika ia akhirnya berbicara, suaranya bukan suara biasa. Bukan suara tunggal, melainkan gema berlapis, seperti banyak lidah yang berbicara serempak. “Kalian… bukan milik dunia ini.” Alura merasakan bulu kuduknya meremang. Kata-kata itu bukan sekadar kalimat. Ada sesuatu yang men

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 120. Dunia yang Tidak Sama

    Udara pertama yang menyambut mereka ketika menembus batas itu bukanlah udara kebebasan yang mereka bayangkan. Alura menarik napas panjang, tapi paru-parunya terasa seolah menghirup sesuatu yang asing, dingin, tipis, dan berbau besi. Bukan aroma tanah basah, bukan pula wangi pepohonan seperti yang biasa ia kenal di hutan atau lembah. “Ini...” suara Alura tercekat. Ia menoleh pada Rafael, yang berdiri di sisinya dengan wajah tegang. Rafael tidak langsung menjawab. Matanya menyapu ke sekeliling, menilai setiap detail. Di depan mereka terbentang hamparan tanah luas, tapi warna tanahnya pucat, hampir kelabu. Tak ada rerumputan, tak ada pohon, hanya retakan kering seperti kulit yang mengelupas. Langit di atas mereka berwarna abu-abu gelap, seolah matahari enggan muncul, dan kabut tipis bergulir perlahan di permukaan tanah. “Seharusnya kita sudah keluar,” bisik Rafael, tapi nada suaranya tak menunjukkan kepastian. Alura memeluk lengannya sendiri, mencoba menahan rasa dingin yang menusuk

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 119. Jalan yang Tidak Pernah di Janjikan

    Udara di sekitar mereka terasa semakin padat. Setiap tarikan napas seolah menelan debu tak kasat mata, membuat dada mereka berat dan langkah semakin terseret. Alura merasakan kakinya mulai kehilangan tenaga, tapi ia memaksa dirinya untuk terus berjalan. Rafael, yang berjalan setengah langkah di depan, menoleh sekilas kepadanya. Pandangannya tajam, namun juga menyimpan kekhawatiran yang jarang sekali ditunjukkannya dengan terang. “Bertahanlah sedikit lagi,” ucap Rafael lirih, nyaris hanya berbisik. Alura mengangguk pelan. Bibirnya kering, tapi ia tahu tidak ada gunanya mengeluh. Sejak awal, tempat ini memang tidak memberi ruang bagi kelemahan. Lorong yang mereka susuri terus berubah. Dinding yang tadi bertekstur batu perlahan merata seperti logam, kemudian retak-retak seperti kayu lapuk, lalu kembali lagi menjadi permukaan hitam polos. Semuanya seakan hidup, bergerak mengikuti langkah mereka. Alura sempat merasakan ngeri, seolah ada sesuatu yang sedang mempermainkan mereka dari bali

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 118. Di Ambang Keluar

    Langkah-langkah mereka terasa semakin berat, seakan setiap inci dari lorong itu dipenuhi dengan sesuatu yang sengaja menghisap tenaga. Dinding yang sejak tadi tampak kokoh kini seperti berdenyut halus, hidup, bernafas bersama udara yang menekan dari segala sisi. Alura menggenggam jubahnya lebih erat, jemarinya bergetar bukan hanya karena dingin yang merambati tulang, tetapi juga karena kesadaran bahwa lorong ini tidak mungkin terbentang tanpa maksud. Dari jauh, samar-samar, ia melihat sebuah cahaya. Bukan cahaya dari api, bukan pula pantulan kristal. Itu lebih menyerupai seberkas sinar putih keperakan yang memantul dari ujung lorong, tipis namun memanggil. “Rafael,” bisiknya, suaranya nyaris lenyap tersedot ruang yang sepi. “Kau melihat itu?” Rafael berhenti sejenak, matanya yang tajam menyipit ke arah sumber sinar. “Aku melihatnya,” jawabnya pelan. Tidak ada ketergesaan dalam nadanya, hanya kewaspadaan. Ia tahu, di tempat seperti ini, setiap tanda harapan bisa saja hanya umpan. N

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 117. Ruangan yang Menolak Diam

    Langkah kaki mereka berdua menggema pelan, seperti gema itu tak ingin hilang, melainkan mengikuti mereka dari belakang. Alura menatap dinding-dinding batu di sekelilingnya, tapi ia merasa seolah dinding itu bernapas. Retakan-retakan kecil di batu mengalirkan hawa dingin, seperti ada sesuatu di baliknya yang menunggu untuk keluar. "Ruangan ini … tidak biasa," gumam Alura, suaranya hampir hilang ditelan gaung. Rafael berjalan di sampingnya, tatapannya lurus ke depan. Mata kelamnya meneliti setiap detail tanpa menoleh. Ia tidak banyak bicara, tapi dari rahangnya yang mengeras, Alura tahu suaminya itu juga merasakannya. Udara makin berat. Setiap napas seperti melewati air yang kental. Lantai di bawah kaki mereka tidak rata, beberapa batu terasa lebih hangat dibandingkan yang lain, seolah baru saja dilewati sesuatu. "Apakah kau mendengarnya?" tanya Alura tiba-tiba, berhenti sejenak. Rafael memutar kepalanya sedikit. "Suara apa?" Alura menggigit bibir. "Seperti … bisikan. Sangat jauh,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status