Home / Fantasi / Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin / Bab 37. Hening Sebelum Duka

Share

Bab 37. Hening Sebelum Duka

Author: Quennnzy
last update Last Updated: 2025-07-13 13:51:56

Kabut pagi menggantung di antara pepohonan mati di luar reruntuhan. Langit belum sepenuhnya biru, tapi juga tak lagi gelap. Di bawahnya, empat sosok berjalan perlahan, menyusuri jalan berbatu yang sudah lama ditinggalkan peta.

Alura memimpin di depan.

Langkahnya ringan, tapi beban yang ia bawa yang kini terpatri dalam tubuhnya sendiri, terasa seperti menara yang ikut berjalan di punggung. Bayangan pecahan Gerbang Keenam tak lagi hanya ada di tangannya. Ia telah menyatu. Ia telah menjadi nadi.

Rafael menyusul di sampingnya, langkahnya tenang, matanya tak pernah lepas dari sisi Alura. Tak ada yang ia katakan sejak mereka meninggalkan reruntuhan. Tapi dari tatapannya, dari cara ia melangkah terlihat jelas bahwa pikirannya tidak pernah tenang sejak pengakuan sang Tetua.

Arga dan Rian menyusul di belakang. Dua lelaki yang dulu pernah berselisih kini berjalan dalam diam yang sama. Ada luka yang tak sempat dijahit. Tapi juga ada tekad yang tak lagi bisa dihapus.

“Shanvalis itu bukan sek
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 38. Gerbang yang Tidak Pernah Selesai

    Langit di atas Shanvalis tidak pernah benar-benar terang. Bahkan saat pagi menjelang, warnanya tetap keabu-abuan, seperti lukisan yang dicuci hujan berkali-kali hingga warnanya hilang. Tanahnya retak, seperti kulit dunia yang sudah terlalu lama menahan luka tanpa pernah sembuh. Keempat mereka berdiri di batas tanah itu, di mana rerumputan terakhir tumbuh sebelum digantikan batu pecah, tanah liat hitam, dan kristal-kristal samar yang menyembul dari dalam bumi seperti duri dari tubuh raksasa yang terkubur. Alura mengangkat wajahnya, membiarkan angin pertama dari Shanvalis menyentuh pipinya. Tapi angin itu dingin… bukan dingin biasa. Rasanya seperti ingatan lama yang menyusup masuk ke dalam tulang. “Ini bukan tempat biasa,” gumamnya. “Bukan,” sahut Rian. “Tanah ini pernah menjadi tempat perjanjian. Tapi perjanjian itu dilanggar.” Arga berjalan lebih dulu, tanah di bawah sepatunya berderak ringan. “Perjanjian antara siapa?” “Antara para Arsitek dan sesuatu yang tidak pernah mereka b

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 37. Hening Sebelum Duka

    Kabut pagi menggantung di antara pepohonan mati di luar reruntuhan. Langit belum sepenuhnya biru, tapi juga tak lagi gelap. Di bawahnya, empat sosok berjalan perlahan, menyusuri jalan berbatu yang sudah lama ditinggalkan peta. Alura memimpin di depan. Langkahnya ringan, tapi beban yang ia bawa yang kini terpatri dalam tubuhnya sendiri, terasa seperti menara yang ikut berjalan di punggung. Bayangan pecahan Gerbang Keenam tak lagi hanya ada di tangannya. Ia telah menyatu. Ia telah menjadi nadi. Rafael menyusul di sampingnya, langkahnya tenang, matanya tak pernah lepas dari sisi Alura. Tak ada yang ia katakan sejak mereka meninggalkan reruntuhan. Tapi dari tatapannya, dari cara ia melangkah terlihat jelas bahwa pikirannya tidak pernah tenang sejak pengakuan sang Tetua. Arga dan Rian menyusul di belakang. Dua lelaki yang dulu pernah berselisih kini berjalan dalam diam yang sama. Ada luka yang tak sempat dijahit. Tapi juga ada tekad yang tak lagi bisa dihapus. “Shanvalis itu bukan sek

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 36. Darah yang Pernah di Buang

    Kabut di reruntuhan mulai mengendap. Anggota Ordo yang tadi terlempar kini tak sadar di tanah, jubah mereka tercabik, sihir mereka membisu. Pilar cahaya dari langit telah runtuh. Hanya satu yang masih berdiri: sang Tetua bermata tertutup. Tapi wajahnya kini bukan wajah dewa yang menjatuhkan hukuman. Ia... takut. Alura berdiri dalam lingkaran sihir yang kini berubah warna menjadi kelabu pekat, bergaris perak. Matanya masih dua warna, tapi pandangannya lebih tenang, bahkan lembut. Luka kecil di pelipisnya mengering dengan cepat. Pecahan Gerbang masih berdenyut di telapak tangannya bukan sebagai alat, tapi sebagai bagian dari tubuhnya sendiri. Rafael berdiri di dekatnya, wajahnya campur aduk antara kekaguman dan kekhawatiran. Arga menatap dalam-dalam, seolah mencoba menyesuaikan logikanya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Rian... tertunduk. Seakan menyesal terlalu banyak tahu, tapi terlalu lambat bertindak. Alura melangkah ke arah Tetua. Suaranya tak meninggi, tapi setiap kat

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 35. Suara yang Tidak Ingin di Dengar

    Pecahan Gerbang Keenam di tangan Alura bergetar, makin kuat tiap detik. Denyutnya tak lagi lembut, ia kini memukul-mukul udara seperti genderang perang yang hanya bisa didengar oleh jiwa-jiwa tertentu. Di sekeliling altar reruntuhan itu, cahaya mulai menggambar lingkaran yang merambat ke dinding, seperti arus listrik menyusuri urat batu yang telah lama tidur. Arga mundur beberapa langkah, tatapannya tajam. “Apa kau yakin akan membangunkannya?” “Aku tak membangunkan apa pun,” jawab Alura pelan. “Aku hanya... berhenti berpura-pura tidak mendengarnya.” Pecahan itu, meski kecil, kini seolah menarik udara. Kabut di dalam ruangan bawah tanah itu berputar. Rian yang tubuhnya masih limbung meraih lengan Rafael, berbisik, “Kalian harus menghentikannya. Kalau tidak…” Tapi Rafael tak bergerak. Matanya hanya terpaku pada Alura. Rian mengatupkan rahangnya. “Rafael. Dengarkan aku. Ini bukan hanya tentang kekuatan. Ini tentang ingatan yang dikunci oleh darah. Dia akan...” Namun kalimat itu tak

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 34. Tangga Menuju yang Dilupakan

    Langkah mereka menuruni tangga batu tua dipenuhi keheningan. Bukan sekadar sunyi… tapi seperti suara dari dunia luar perlahan-lahan terputus, tergantikan oleh bisikan yang tidak datang dari telinga, melainkan dari dalam dada. Tangga itu sempit, dindingnya lembap dan berlumut, dipahat dari batu hitam yang terasa terlalu tua untuk diberi nama. Alura melangkah paling depan. Cahaya dari telapak tangannya pancaran lembut hitam dan putih yang kini menyatu menjadi satu-satunya penerang. Rafael mengikutinya dari dekat, pedang di tangan, tak mengatakan apa pun sejak mereka masuk. Matanya awas, tapi sorotnya lebih dari sekadar siaga, ada kekhawatiran yang tak ia ucapkan. Di belakang mereka, Arga menutup barisan, satu tangan menelusuri dinding, seolah mencoba membaca sejarah yang disembunyikan di dalam retaknya. Tangga itu seolah tak berujung. Tapi akhirnya, lorong membuka ke sebuah ruang yang lebih luas. Mereka tiba di sebuah ruangan bawah tanah berbentuk bundar. Di tengahnya berdiri sebua

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 33. Reruntuhan yang Menolak Lupa

    Udara di Pegunungan Thalyr dingin, menggigit, dan terlalu sunyi. Kabut menggantung di sela-sela batuan curam, seolah gunung itu menahan napasnya sendiri. Cahaya sore menembus tipis melalui celah awan, menyinari reruntuhan kuil tua di lereng timur. Alura berdiri di bibir tebing, jubahnya berkibar ditiup angin. Napasnya berembun, dan untuk pertama kalinya sejak keluar dari menara, ia merasa tubuhnya benar-benar letih. Bukan karena luka. Tapi karena beban yang kini tidak bisa lagi ia lepaskan. Rafael muncul dari balik reruntuhan yang hancur sebagian, membawa kantung air dan selembar kain usang. “Yang ini cukup bersih untuk alas tidur. Tidak nyaman, tapi cukup kering.” Ia menaruhnya di atas batu besar yang sedikit terlindung angin. Arga duduk agak jauh, di bawah lengkungan batu yang dulunya gerbang utama kuil. Ia diam, seperti menyatu dengan bayangan. “Kau masih gemetar,” kata Rafael, memandangi tangan Alura yang belum benar-benar diam. “Tubuhku belum terbiasa dengan kekuatan ini,”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status