Angin malam menghempas jendela kamar Alura dengan suara gemuruh halus. Di luar, hujan belum turun, tapi udara sudah terasa berat, seolah langit menggantungkan sesuatu yang tak diucapkan. Lampu gantung bergoyang pelan, cahayanya memantul di lantai marmer seperti bayangan yang belum sempurna.
Alura duduk di ranjangnya, punggung menempel pada sandaran kayu. Tangannya menggenggam liontin ibunya, benda kecil yang kini terasa lebih panas dari biasanya. Sejak malam itu, malam ketika Keysha terbaring menggigil, dan bayangan di balkon menghilang dalam kabut sesuatu dalam dirinya berubah. Bukan kekuatan baru, tapi kesadaran. Ada yang menunggunya di ambang. Bukan hanya makhluk dari dunia bawah, atau musuh yang ingin membunuhnya, tapi bagian dari dirinya sendiri. Bagian yang ia warisi dari darah Lilith yang kini mulai bangkit. Ia tak berani tidur. Dan seolah semesta merespons kecemasannya, suara langkah terdengar dari lorong. Tidak cepat, tidak terburu-buru, tapi berat, seolah membawa beban yang tak terlihat. Alura berdiri pelan, mendekati pintu kamarnya. Ia menempelkan telinga di sana. Suara langkah itu berhenti. Lalu.... Ketukan. Satu kali. Dua kali. “Alura,” panggil suara pelan dari balik pintu. Suara pelayan, Nara. Alura membuka perlahan. Nara berdiri di sana dengan wajah pucat dan mata gelisah. “Ada... tamu. Tapi dia tidak masuk lewat gerbang utama,” bisiknya. “Tuan Arga memintaku memanggilmu. Dia sedang menahan sesuatu di ruang depan.” Alura tak bertanya lebih lanjut. Ia mengenakan jubah hitam tipis dan mengikuti Nara menuruni tangga. Rumah itu gelap. Hanya cahaya dari beberapa lampu dinding yang menyala, membuat bayangan-bayangan panjang menyentuh langit-langit dan lantai seperti makhluk hidup yang bersembunyi. Ketika mereka tiba di ruang depan, Alura langsung melihatnya. Arga berdiri di antara dua pilar, tubuhnya menahan sesuatu yang tak sepenuhnya terlihat. Seperti kabut hitam yang menolak bentuk, tapi menebarkan bau darah yang menyengat. Di tengah kabut itu sepasang mata menyala merah. “Dia mencari darah,” ucap Arga tanpa menoleh. “Tapi bukan darah manusia biasa. Dia mencium segel yang terbuka… dan datang mencarinya.” Alura menelan ludah. “Mencariku?” Makhluk itu tertawa. Suaranya seperti belati yang digesekkan ke logam. “Bukan hanya mencarimu, Ratu kecil. Aku mencarimu karena kau membawanya... darah yang lama dikurung. Darah yang membara.” Arga mengangkat tangannya, memanggil simbol pelindung dari cincin di jarinya. Cahaya ungu memancar membentuk segel udara, menahan makhluk itu di tempatnya. Tapi cahaya itu bergetar, rapuh. “Segel ini tidak akan bertahan lama,” katanya cepat. “Kau harus bicara padanya. Atau… kau harus memilih.” Alura melangkah maju. “Siapa kau?” Bayangan itu menyeringai. Kini bentuknya mulai tampak. Seorang pria tinggi, berkulit kelabu, bertanduk satu. Tapi wajahnya… kosong. Seperti topeng kayu yang belum selesai diukir. “ Aku adalah yang tertinggal. Penjaga lorong darah yang dibakar. Kau membawaku bersama warisan ibumu. Dan sekarang… segel itu retak. Aku bisa lewat.” Alura menggenggam liontinnya. “Apa yang kau inginkan dariku?” “Buka pintunya. Biar aku masuk sepenuhnya. Biar aku menjadi pelindungmu.” “Tidak.” Seketika, makhluk itu meraung. Kabutnya menggila, membuat dinding bergetar dan kaca jendela memekik. Arga menarik Alura ke belakang. “Kalau dia menembus rumah ini, kita tidak bisa menahannya tanpa darahmu dijadikan tumbal.” Alura menatap makhluk itu. Dan di matanya sendiri, ia melihat pantulan sesuatu...Pantulan dirinya. Tapi dengan tanduk. Dan mata penuh api. Tiba-tiba, dari ujung lorong, suara lain terdengar. Keysha. “Jangan biarkan dia masuk!” teriaknya. Alura menoleh cepat. Keysha berdiri dengan berpegangan pada dinding, tubuhnya masih lemah, tapi matanya menyala dengan tekad. “Makhluk itu pernah mencoba menyatu denganku. Dia tidak hanya ingin menjadi pelindungmu. Dia ingin mengambil tubuhmu… menjadi pembuluhnya untuk hidup kembali.” Makhluk itu mendesis, “Kau gagal, istri pertama. Tubuhmu menolak. Tapi darah Alura… adalah darah sejati. Dia adalah pintu dan kunci.” Keysha melangkah maju meski lututnya bergetar. “Kau pikir kau bisa mengelabui gadis ini seperti aku dulu? Kau salah. Dia lebih kuat.” Makhluk itu tertawa lagi, kali ini lirih. “Kekuatan tanpa bimbingan hanyalah alat. Aku bisa memberinya kendali. Kekuatan untuk tidak takut. Untuk membakar dunia yang menyakitinya.” Alura menahan napas. Kata-kata itu… menggoda. Ia ingat tatapan Rio yang berubah. Tatapan guru-guru yang menyimpan rahasia. Pandangan sinis murid-murid. Dunia ini tidak pernah benar-benar menerima kehadirannya. Dan kini ada yang menawarkan kekuatan untuk melawan semuanya. Tapi di sampingnya, Arga menatapnya. Wajahnya serius. Dingin. Tapi di mata itu, ada harapan. Ia tidak berbicara, tapi ia percaya. Percaya bahwa Alura akan memilih. Dan Alura memilih. Ia mengangkat tangannya. Liontin ibunya bersinar, panas. Simbol di punggungnya berdenyut. Kabut itu mengerang. “Darahku bukan milikmu,” bisik Alura. “Kau bukan pelindung. Kau parasit.” Seketika, sinar dari liontin itu membesar. Segel Arga diperkuat, dan makhluk itu menjerit, kabutnya tersedot kembali ke dalam lingkar sihir yang terpaku di lantai. Sebelum menghilang sepenuhnya, ia menatap Alura dengan mata menyala. “Aku menunggumu… di ambang.” Lalu… lenyap. Ruangan menjadi hening. Hanya napas mereka yang tersisa. Alura jatuh berlutut. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Arga berlutut di sampingnya dan menyentuh bahunya. “Simbolmu… merespons sendiri.” Alura mengangguk pelan. “Aku tidak ingin jadi boneka siapa pun. Termasuk kegelapan.” Keysha menyandarkan tubuhnya ke dinding, tersenyum lelah. “Untuk pertama kalinya, aku tidak keberatan kau di sini.” Alura menatapnya. Tidak ada dendam. Hanya rasa saling mengerti yang belum sempat tumbuh.Udara di luar terasa lebih tipis.Seperti setiap helai napas harus berjuang menembus lapisan dingin yang menusuk paru-paru. Langkah Alura melambat ketika kakinya menjejak tanah lembap yang berbau logam. Rafael berada setengah langkah di depannya, bahunya tegang, matanya tajam menyapu kegelapan.Mereka telah meninggalkan lorong batu yang sempit itu, tetapi kelegaan yang seharusnya datang tidak pernah muncul. Sebaliknya, rasa terjebak kini bergeser menjadi rasa diawasi.Dan itu jauh lebih mengganggu.Suara langkah ketiga terdengar samar di belakang.Tidak keras, tapi cukup teratur untuk bukan sekadar gema dari langkah mereka sendiri. Alura menoleh sekilas, tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan yang bergerak di antara kabut tipis."Terus jalan," suara Rafael datar, tapi nada waspadanya tidak bisa disembunyikan. "Jangan menoleh terlalu lama."Alura menggenggam mantel di dadanya, bukan karena dingin semata, melainkan untuk menahan detak jantungnya yang melonjak. Setiap detik yang lewat te
Udara di ruang itu semakin padat, seperti setiap tarikan napas mencuri sebagian kekuatan dari paru-paru mereka. Cahaya dari obor yang mereka bawa hanya menjangkau beberapa langkah ke depan, sisanya tenggelam dalam kegelapan yang terasa hidup bergerak pelan, seakan menunggu saat yang tepat untuk menutup rapat jalannya. “Rafael…” suara Alura nyaris tak terdengar, tapi nada cemas di dalamnya memotong sunyi yang terlalu panjang. “Lantai ini… berbeda.” Rafael menunduk, matanya mengikuti jejak samar di permukaan batu. Bukan retakan biasa. Jejak itu seperti ukiran melingkar, membentuk pola rumit yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Namun yang membuat darahnya sedikit membeku adalah noda merah yang mengisi sebagian garis ukiran itu—terlalu segar untuk sesuatu yang seharusnya sudah terkubur selama ratusan tahun. “Itu darah,” Rafael bergumam, tatapannya menyapu ke sekeliling. “Dan ini bukan milik kita.” Alura mundur setengah langkah. “Kalau bukan milik kita… berarti ada orang lain di si
Langkah Alura terhenti.Bukan karena suara di belakang, bukan pula karena tatapan Rafael yang terfokus penuh pada lorong di depan mereka. Tetapi karena sesuatu atau seseorang baru saja bernafas di telinganya.Bukan napas manusia.Tidak teratur, tapi berirama. Hangat dan dingin bergantian, seperti ada dua musim yang bertabrakan di dalam dada satu makhluk.Alura memutar tubuhnya pelan. Lorong di belakang kosong. Batu-batunya tetap basah, udara tetap pekat. Tidak ada siapa-siapa… kecuali kilatan merah yang sempat memotong kegelapan, lalu lenyap.Rafael menatapnya. “Kau melihatnya lagi?”Alura menelan ludah. “Dia… mendekat.”“Dia tidak pernah pergi,” jawab Rafael tanpa mengalihkan pandangan ke belakang.Lalu, dari ujung lorong depan, terdengar bunyi gesekan besi. Bukan seperti pintu dibuka, melainkan seperti rantai ditarik dari dalam dinding.Rafael langsung berdiri di depan Alura, sikapnya tegang. “Itu bukan jalur yang ingin kita ambil.”“Tapi kita tidak punya pilihan lain.”Mereka berja
Lorong itu sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi yang memaksa setiap desah napas terdengar seperti gemuruh di antara dinding batu yang mengerutkan kening. Alura dan Rafael berjalan pelan, langkah mereka seolah menyatu dengan denyut detak jantung lorong yang terus berdetak, menggetarkan setiap batu yang mereka pijak. Udara pekat, berat, menyelimuti setiap inci ruang itu, seakan-akan sesuatu yang lama tertidur mulai terbangun dan mengamati mereka dari balik bayangan. Cahaya obor Rafael menari-nari, menciptakan bayangan-bayangan yang membelai dinding dengan bentuk-bentuk yang sulit dikenali, namun terasa penuh ancaman. Di setiap tikungan, ukiran-ukiran misterius menyapa mata mereka, tanda-tanda dari masa lalu yang mencoba berbicara tanpa suara. Alura merasakan sentuhan halus di belakang lehernya, sebuah hawa dingin yang menjalar ke tulang belakangnya. “Kau merasakannya juga?” bisiknya pada Rafael. Rafael mengangguk pelan. “Ini bukan tempat biasa, Alura. Kita bukan tamu yang
Udara di lorong itu menebal, seolah setiap tarikan napas membawa serpihan logam ke paru-paru. Alura menatap mata merah itu tanpa berkedip, meski setiap instingnya berteriak untuk mundur. Cahaya biru dari retakan dinding meredup, dan hanya menyisakan lingkar cahaya samar di lantai batu yang retak. Langkah makhluk itu lambat, tapi setiap pijakannya memunculkan suara basah yang membuat Rafael memiringkan pedangnya sedikit, siap memotong kapan saja. Aroma darah tua mulai memenuhi udara, bukan darah segar, melainkan seperti darah yang sudah lama membeku di tanah dan tiba-tiba diaduk kembali. Ketika sosok itu sepenuhnya keluar dari kegelapan, Alura merasa dadanya sesak. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat kebiruan, dan bekas luka dalam membelah bahunya hingga ke dada. Rambut hitamnya kusut, basah, menempel di pipi. Dan yang paling membuat napas Alura tercekat, luka di sisi perutnya masih terbuka, tapi tidak ada darah yang menetes. Luka itu seperti retakan di batu, menganga tapi membisu. Rafae
Langkah mereka semakin pelan. Lorong itu seperti sengaja memanjang tanpa ujung, memaksa siapa pun yang masuk untuk menghitung setiap detik hanya demi tetap waras. Rafael menyalakan api di telapak tangannya, cukup kecil untuk tidak mengundang perhatian, namun cukup hangat agar Alura tahu dia masih di sana. Api itu memantulkan bayangan di dinding, dan untuk sesaat, bayangan itu tampak… bernafas. Alura menghentikan langkah. “Rafael…” bisiknya. Rafael menoleh, matanya menyipit. “Aku melihatnya.” Di hadapan mereka, dinding batu seakan bergerak. Bukan bergeser secara fisik, tapi teksturnya berubah retakan-retakan kecil membentuk pola melingkar, seperti mata yang terbuka perlahan. Di tengah pola itu, udara bergetar, mengeluarkan desah rendah… seperti suara seseorang yang baru saja menarik napas panjang setelah lama tenggelam. Alura merasakan hawa itu menembus kulitnya. Tidak dingin. Tidak panas. Tapi asing. Terlalu asing. “Ini bukan lorong biasa…” Rafael melangkah maju, mengulurkan t