LOGINUdara malam membawa aroma tanah basah ketika Alura berdiri di depan jendela kamarnya. Tirai putih bergerak perlahan ditiup angin, menyentuh kulit lengannya yang dingin. Di luar, taman tampak sunyi, tapi Alura tahu, ada sesuatu yang belum pergi.
Bayangan itu. Ia bisa merasakannya. Bukan dalam bentuk atau suara, tapi sebagai desakan samar di tengkuknya, seperti mata yang terus menatap dari balik semak gelap. Hari itu telah berakhir, tetapi pikirannya tidak bisa diam. Percakapannya dengan Arga terus berputar-putar dalam kepala. Tentang segel. Tentang api kuno. Tentang perjanjian yang tak lagi bisa dibatalkan. Tapi yang paling melekat justru satu kalimat: “Aku takut jika harus memilih antara melindungimu… atau menghentikanmu.” Alura memejamkan mata. Apa Arga benar-benar percaya ia bisa berubah menjadi sesuatu yang tak terkendali? Atau… itu hanya ketakutan yang ia proyeksikan kepada dirinya sendiri? Ia menghela napas panjang, lalu meraih buku catatan dari bawah meja. Bukan untuk mencatat pelajaran, melainkan potongan-potongan ingatan dan firasat aneh yang kerap menyusup ke dalam mimpinya. Di halaman paling belakang, ia menulis: Bayangan itu masih ada. Mungkin bukan hanya makhluk dari dunia bawah. Mungkin sesuatu yang tertinggal dari diriku sendiri. Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu. Satu kali. Dua kali. Tidak terburu-buru, tapi cukup jelas untuk membangunkan kewaspadaannya. “Siapa?” tanyanya, tidak langsung membuka. “Dion,” jawab suara dari luar. “Aku… disuruh Keysha mengantar buku pelajaranmu.” Alura membuka pintu perlahan. Dion berdiri dengan senyum gugup, satu tumpukan buku di pelukannya. “Kau… datang malam-malam begini?” Dion mengangkat bahu. “Disuruh. Tapi juga… aku merasa aneh sejak tadi siang. Jadi kupikir, mungkin kau juga merasakannya.” Alura menatap mata Dion. Bersih. Tidak ada merah, tidak ada bisikan. Tapi ada sesuatu yang bergetar di balik senyumnya seperti anak kecil yang mencoba tegar di tengah badai. “Kau percaya pada hal-hal yang tidak terlihat, Dion?” Dion mengedip, lalu tertawa pendek. “Kalau kau maksud hantu, sihir, iblis semua itu? Aku tidak tahu. Tapi aku percaya pada firasat.” “Dan apa firasatmu?” “Bahwa kau… bukan seperti siswa lain.” Keheningan menggantung sejenak. Dion segera menunduk, malu. “Maksudku, kau pintar. Serius. Fokus. Bukan yang aneh-aneh.” Alura menahan senyum tipis. “Kau tidak salah. Aku memang berbeda.” Setelah Dion pamit, Alura menutup pintu, lalu menoleh ke jendela lagi. Tapi kali ini, bayangan itu tidak ada. Ia tahu, itu bukan berarti bahaya sudah pergi. Justru sebaliknya. Bayangan itu mungkin telah menyusup lebih dalam. Bukan di taman… tapi di dalam dirinya sendiri. Pagi berikutnya datang dengan langit kelabu. Di meja makan, suasana sunyi. Hanya ada satu kursi kosong milik Keysha. Pelayan datang membawa teh, membungkuk hormat. “Nyonya masih belum pulih sepenuhnya.” Alura menyesap tehnya perlahan. Di depannya, Arga membaca dokumen dengan mata tajam seperti biasa. Tapi ada lingkaran samar di bawah matanya. “Keysha… dia melihat sesuatu, bukan?” Arga tidak menjawab langsung. Ia menurunkan dokumen, menatap Alura. “Apa yang kau rasakan malam itu?” “Aku melihat makhluk kabut. Tapi bukan itu yang membuatku takut.” “Apa yang membuatmu takut?” “Wajahku… di bayangan jendela. Tapi matanya bukan milikku. Seolah… ada versi lain dari diriku yang mengintai.” Arga terdiam. Hanya suara detik jam yang terdengar, mengisi ruang antara mereka. “Bayangan itu… bukan bagian dari iblis dunia bawah,” katanya pelan. “Itu adalah energi yang tertinggal dari segel lama. Sisa kutukan yang melekat pada darah Lilith. Pada darahmu.” Alura memejamkan mata. Dingin menjalari tulang belakangnya. “Jadi aku sedang dihantui oleh diriku sendiri?” “Bisa jadi.” Ia menatap pria itu, mencoba menembus segala rahasia yang tersimpan di balik sorot matanya yang selalu tenang. “Lalu… kau masih akan berada di sisiku?” Arga menatap balik. “Selama kau tidak menyerah pada bayangan itu, aku tidak akan pergi.” *** Malam kembali turun dengan lambat. Alura berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia mengamati refleksinya: mata lelah, wajah tenang, tubuh yang membawa beban dua dunia. Ia menyalakan lilin kecil, lalu menggambar simbol kecil dengan jarinya di udara, simbol yang muncul dalam mimpinya beberapa malam terakhir. Cahaya lilin bergetar, dan untuk sesaat, ia melihatnya lagi. Bayangan. Bukan makhluk asing. Tapi dirinya. Versi lain, lebih dingin, lebih kejam, berdiri dalam cermin dengan tatapan tak berkedip. Alura menggenggam liontin kecil di lehernya pemberian ibunya yang tidak pernah ia pahami sebelumnya. Kini, benda itu terasa hangat. “Aku tidak akan kalah,” bisiknya. Bayangan itu tersenyum atau meniru senyumnya, lalu menghilang. Dan untuk pertama kalinya… Alura merasa dirinya mulai terbagi dua. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan membiarkan bayangan itu menjadi dirinya yang utuh. Alura kembali duduk di tepi ranjang, memandangi cermin yang kini hanya menampilkan bayangannya sendiri seperti biasa. Tapi ia tahu, sesuatu telah berubah. Ia meraih buku catatannya dan membuka halaman paling belakang. Di bawah tulisan yang ia buat semalam, ia menambahkan : Bayangan itu bukan sekadar ancaman luar. Ia adalah sisi lain dari diriku yang menunggu celah untuk mengambil alih. Jika aku lengah… dia akan menang.Langit Velthara hari itu berwarna lembut — bukan lagi perak, bukan ungu, tapi putih keemasan. Udara hangat berembus dari lembah, membawa aroma bunga liar yang tumbuh dari tanah yang dulu pernah hangus. Tidak ada lagi suara perang. Tidak ada jeritan, tidak ada kutukan. Hanya desiran angin, dan suara dunia yang bernafas dalam ritme tenang. Kael berjalan di jalan setapak menuju dataran tinggi, tempat menara putih berdiri sendirian di antara kabut. Dulu tempat itu jadi singgasana Ratu Dunia — kini, menara itu kosong, tapi masih bersinar lembut seolah menyimpan denyut kehidupan di dalamnya. Ia berhenti di kaki tangga, menatap langit. Dua matahari yang dulu menyatu kini berputar pelan, membentuk cincin cahaya yang menggantung di cakrawala. Di tengahnya, warna biru dan ungu masih menari samar — warna yang tak pernah pudar, warna yang menjadi tanda bahwa Lyra belum sepenuhnya pergi. “Dunia ini tumbuh lebih cepat dari yang kubayangkan,” gumam Kael pelan. “Tapi setiap kali angin berhembus,
Langit Velthara berwarna keperakan hari itu — bukan biru, bukan ungu, tapi perpaduan lembut yang seperti napas dari dunia itu sendiri. Lyra berdiri di tepi menara tertinggi, rambutnya menari pelan dihembus angin hangat. Dari sana ia bisa melihat semuanya: lembah cahaya, hutan yang perlahan tumbuh dari tanah hitam, dan lautan yang kini mulai berkilau seperti kaca cair. Setiap sudut dunia itu berdenyut pelan. Setiap batu, daun, dan embusan angin mengandung kehidupan yang pernah ia pertaruhkan. Ia tidak hanya memerintah Velthara — ia adalah Velthara. “Dunia ini sudah bernapas lagi,” suara Kael memecah keheningan di belakangnya. Lyra tersenyum tanpa menoleh. “Ya. Tapi setiap napasnya terasa seperti lagu yang belum selesai.” Kael berjalan mendekat, langkahnya ringan di atas batu putih. “Mungkin karena dunia masih menunggu kau menyanyikan bait terakhirnya.” Lyra menatap jauh ke cakrawala, tempat dua matahari perlahan bergerak menyatu. “Kau tahu, dulu aku pikir akhir dari semua ini ad
Pagi itu, kabut di lembah selatan Velthara menggulung lebih tebal dari biasanya. Embun menggantung di udara seperti benang perak yang melayang tanpa arah. Lyra berjalan sendirian melewati padang rumput bercahaya. Setiap langkahnya disambut oleh bisikan halus dari tanah — bukan suara manusia, bukan roh, tapi sesuatu yang lebih tua dari keduanya. Ia berhenti di dekat batu besar yang separuh tenggelam di tanah. Dari celahnya, terdengar getaran pelan, seperti detak jantung dunia. “Sudah dimulai lagi,” gumamnya. “Tidak,” suara Kael datang dari belakang. “Mungkin dunia hanya bernapas.” Lyra menatapnya, mata ungunya tampak berkilau lembut di balik kabut. “Kalau dunia bernapas, berarti ia hidup. Dan kalau ia hidup, ia bisa bermimpi. Pertanyaannya — apa yang ia impikan?” Kael terdiam, lalu tersenyum samar. “Mungkin tentang masa depan yang tak kita tahu.” “Mungkin juga tentang masa lalu yang belum selesai,” jawab Lyra perlahan. Ia berjongkok, menempelkan telapak tangannya pada tanah. Ge
Cahaya pagi menembus lembah Velthara, membelah kabut lembut yang menggantung di atas danau kristal. Dua matahari kecil memantulkan warna emas dan ungu di permukaan air, seperti dua jiwa yang saling menyapa setelah lama berpisah. Di tepi danau, Lyra berdiri diam, jubahnya berkilau samar tertiup angin. Di matanya, pantulan dua matahari itu menari lembut — biru dan ungu, seimbang, tidak saling menelan. Kael datang dari belakang, langkahnya pelan tapi mantap. “Kau sudah berdiri di sini sejak fajar pertama muncul,” katanya. “Dunia baru lahir, tapi kau belum beristirahat.” Lyra tersenyum tipis, tanpa menoleh. “Aku hanya… mendengarkan.” “Dengarkan apa?” “Dunia,” jawabnya pelan. “Dulu aku mendengar teriakan. Sekarang aku mendengar bisikan. Dunia ini belum tenang, Kael. Ia masih mencari bentuknya.” Angin berembus lagi, membawa aroma tanah muda dan bunga kristal yang baru tumbuh di sekitar mereka. Dari kejauhan, suara anak-anak terdengar — mereka bermain di antara bebatuan bercahaya, tert
Udara pertama yang menyentuh kulit Lyra terasa asing. Hangat, tapi tidak membakar. Dingin, tapi tidak menusuk. Ia berdiri di tepi dataran tinggi, memandangi cakrawala yang belum pernah ia lihat sebelumnya — langitnya bukan lagi hitam dan merah, melainkan campuran lembut antara ungu, biru, dan keemasan. Seolah dunia sedang belajar bernapas lagi setelah berabad-abad tertahan dalam kegelapan. Kael berdiri di sampingnya, diam, menatap bentangan itu dengan mata yang belum percaya. “Apakah ini… benar-benar dunia yang sama?” Lyra tersenyum kecil. “Tidak. Tapi juga bukan dunia yang berbeda. Ini adalah sisa dari keduanya — yang memilih untuk tidak saling memusnahkan.” Angin bertiup pelan, membawa butiran cahaya seperti debu bintang. Setiap butiran menyentuh tanah, tumbuh menjadi bunga kristal kecil yang berpendar lembut. Dari bawah dataran tinggi, sungai-sungai cahaya mengalir, memantulkan warna langit. Di tengah gemerlap itu, seekor burung dari bayangan dan cahaya terbang melintas — se
Tidak ada cahaya, tidak ada bayangan. Hanya keheningan yang menelan segalanya. Lyra membuka mata dan menyadari bahwa ia tidak lagi berdiri di dunia yang sama. Udara di sekelilingnya tidak bergetar, tapi mengalir seperti air. Langit berwarna abu yang lembut, tanah di bawah kakinya berdenyut pelan seperti nadi. Ia menatap sekeliling — Kael sudah tidak ada. “Kael?” Tidak ada jawaban. Hanya gema suaranya sendiri yang memudar, lalu larut seperti dihisap waktu. Ia tahu. Ini bukan sekadar ruang. Ini ujian — dunia di dalam Gerbang Ketujuh yang menilai isi jiwanya. Setiap Ratu yang lahir dari bayangan harus melewatinya, atau lenyap bersama kegelapan yang ia tolak. Langkahnya terayun perlahan. Setiap kali ia melangkah, bayangan hitam muncul di tanah, mengikuti, meniru… lalu berubah bentuk. Bayangan itu bukan lagi dirinya, tapi sosok lain — Alura, berdiri dengan api biru-ungu menyala di matanya. “Jadi kau akhirnya sampai juga.” Suara itu bukan gema, melainkan sesuatu yang hidup. Ly







