Home / Fantasi / Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin / Bab 8. Hutan yang Tidak Pernah Tidur

Share

Bab 8. Hutan yang Tidak Pernah Tidur

Author: Quennnzy
last update Last Updated: 2025-06-26 14:20:57

Pagi itu dingin, lebih dingin dari biasanya.

Kabut tebal menyelimuti halaman rumah Klan Bayangan, membuat matahari tampak seperti cahaya redup yang tersesat di balik awan. Alura berdiri di depan jendela kamarnya, memperhatikan tetes embun yang turun dari dedaunan. Sesuatu dalam dirinya merasa tidak tenang sejak peristiwa semalam.

Bayangan yang mencoba menyusup. Suara yang berkata, “Aku menunggumu di ambang.”

Arga memutuskan pagi ini mereka harus pergi.

“Ke Hutan Senja,” katanya singkat sambil menyiapkan pedang panjang yang biasa tersembunyi di dalam lemari dinding. “Kita harus memastikan jalur antara dunia ini dan dunia bawah belum terbuka sepenuhnya.”

Alura menoleh cepat. “Hutan Senja…?”

Arga mengangguk. “Penduduk lokal menyebutnya Hutan yang Tidak Pernah Tidur. Karena tidak ada waktu di sana. Siang dan malam tak berarti. Jika kita terlalu lama berada di dalamnya, kita bisa lupa siapa kita.”

Alura diam sejenak. “Dan kau ingin aku ikut ke sana?”

“Aku takkan pergi tanpa kau. Segelmu bereaksi pada makhluk dari dunia bawah. Itu artinya kau bisa merasakan celah antara dunia. Kau satu-satunya yang bisa membedakan apakah perbatasan itu sudah retak.”

Mereka meninggalkan rumah saat kabut masih menggantung. Tak ada pelayan yang bicara. Keysha hanya mengamati mereka dari balkon atas, matanya tak lagi penuh sindiran, tapi juga belum sepenuhnya percaya. Hanya diam… dan menunggu.

Perjalanan ke hutan memakan waktu satu jam.

Mereka melewati jalan setapak berbatu, melewati dusun-dusun kecil yang sepi. Setiap rumah yang mereka lewati seperti tak berpenghuni, meskipun asap tipis naik dari cerobong dapur. Mata-mata tertutup tirai memperhatikan mereka diam-diam. Seolah semua orang tahu bahwa sesuatu sedang bergerak di balik kenyataan, tapi tidak ada yang berani menanyakannya.

Ketika mereka tiba di depan gerbang hutan, Alura mengerti mengapa tempat ini disebut tidak pernah tidur.

Pohon-pohonnya tinggi menjulang seperti pilar dunia. Daun-daunnya tidak bergerak meski angin berhembus, dan kabut menggantung rendah di antara akar-akar raksasa. Tapi yang paling mengganggu, tidak ada suara. Tidak ada kicau burung. Tidak ada gesekan ranting. Hutan ini diam. Terlalu diam.

Arga berhenti sejenak, lalu menoleh ke Alura. “Dari titik ini, aku butuh kau mengikuti nalurimu. Jika segel itu bereaksi, beri tahu aku segera.”

Alura menggenggam liontinnya, lalu mengangguk pelan. “Baik.”

Mereka masuk bersama.

Langkah demi langkah, kabut terasa semakin pekat. Alura bisa merasakan suhu udara menurun, meski matahari seharusnya sudah tinggi di atas kepala. Ia memeriksa simbol di punggungnya, namun sejauh ini masih diam. Belum ada getaran, belum ada rasa terbakar.

Tapi… pikirannya mulai kabur.

Setelah berjalan sekitar setengah jam, ia menyadari bahwa pohon yang dilewati… terlihat sama. Tidak, persis sama.

Arga berhenti dan meletakkan penanda dari benang merah di batang pohon. “Kita baru saja berputar.”

Alura memejamkan mata, mencoba merasakan sesuatu. Dan saat itulah… ia mendengarnya.

Bisikan.

Lirih, tertahan. Seperti anak kecil yang menangis dari jauh.

Ia menoleh ke kiri, tatapannya mengarah ke semak berduri. Di balik sana, terlihat lorong kecil yang seolah tidak ada sebelumnya.

“Ke sini,” bisiknya.

“Alura?” Arga mengernyit.

“Percayalah.”

Mereka mengikuti lorong kecil itu, menunduk dan melewati akar-akar besar yang tampak seperti lengan membatu. Semakin jauh mereka berjalan, suara bisikan itu semakin jelas.

“…kunci… darah… ratu…”

Alura berhenti.

“Dengar itu?” bisiknya.

Arga menatapnya, wajahnya menegang. “Ya.”

Lalu, mereka tiba di sebuah celah tanah seperti bekas gempa, di mana bumi terbelah membentuk jurang kecil. Dan di dasar jurang itu…

Ada darah.

Segar, mengalir perlahan seperti mata air merah tua.

Arga langsung turun lebih dulu, memeriksa dengan sihir pelindung. Alura mengikutinya pelan.

“Ini… bukan darah biasa,” gumam Arga “Darah dari dunia bawah. Tapi… mengapa bisa muncul di sini?”

Alura menatap dinding jurang. Di batu-batu itu, ukiran kuno tampak samar 'simbol iblis, lambang bulan hitam, dan satu tanda yang dikenalnya dari mimpi-mimpinya.'

Simbol itu lambang keluarga ibunya.

“Apa ini… makam?” tanyanya pelan.

Arga mendekat, menyentuh simbol itu. Dan seketika, hawa panas meledak dari dalam batu. Alura terlempar beberapa langkah, punggungnya menghantam akar besar.

“ARGA!”

Namun pria itu tetap berdiri. Simbol di tangannya yang biasanya redup kini menyala terang.

“Kita… terlalu dekat dengan celahnya. Tapi tempat ini menyimpan bagian dari masa lalu Lilith.”

Alura bangkit, menahan rasa nyeri di pundak. Ia menatap kembali pada darah yang terus mengalir dari tanah.

“Kalau ini terus mengalir… maka batasnya sudah terbuka.”

Arga menatapnya tajam. “Bukan. Batasnya sudah di terobos.”

Tiba-tiba, kabut mulai berputar. Hutan bergemuruh. Dari balik pepohonan, muncul bayangan tidak berbentuk, tidak bernapas. Tapi mereka bergerak.

Makhluk-makhluk kabur itu mulai mengelilingi mereka.

Arga menarik Alura ke belakangnya. “Jangan biarkan mereka menyentuhmu. Ini bukan makhluk biasa. Ini… kenangan dari dunia bawah.”

Alura menelan ludah. Tapi ia tidak takut. Simbol di punggungnya menyala sendiri. Hangat.

Dan untuk pertama kalinya… ia tahu arah keluar dari hutan ini.

“Percaya padaku,” katanya pada Arga.

Tanpa menunggu persetujuan, ia menggenggam tangan pria itu dan berlari menembus kabut.

Kabut melawan. Akar-akar menahan. Bisikan mencoba mengacaukan pikirannya.

Tapi ia terus maju.

Hingga akhirnya… cahaya.

Mereka terlempar ke luar hutan. Napas mereka terengah. Dan ketika menoleh… pintu kabut itu sudah tertutup kembali.

Sore menjelang. Mereka kembali ke rumah tanpa bicara banyak. Tubuh mereka lelah, tapi pikiran mereka lebih berat.

Di kamar, Alura duduk di tepi ranjang. Tangannya memegangi liontin.

“Kenapa darah itu mengalir sekarang? Siapa yang membukanya?” bisiknya sendiri. Tapi tidak ada jawaban.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 190. Nama yang Tidak Pernah Mati

    Api biru yang sebelumnya padam menyala kembali satu per satu, namun cahaya yang biasanya membawa kesan agung kini terasa asing, seperti mata ratusan makhluk yang mengintip dari balik kegelapan. Aula Obsidian berdiri dalam keheningan yang berat. Tidak ada yang berani bicara, seolah gema nama yang baru saja diucapkan kabut tadi masih menggantung di udara. Silvanna. Nama itu bergaung di kepala semua yang hadir. Sebagian besar utusan memang tidak memahami arti sebenarnya, namun getaran gaib yang menyertainya cukup untuk membuat mereka tahu: itu bukan sekadar nama. Itu adalah panggilan yang membawa beban sejarah, beban yang bahkan para imam paling tua tidak berani sebut. Alura berdiri di singgasananya, wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya berkilat merah emas. Dalam dadanya, jantungnya berdegup keras. Ia tidak pernah membiarkan siapapun menyebut nama itu di hadapannya. Bahkan ia sendiri menguburnya jauh di bawah lapisan ingatan. Rafael melangkah maju, suaranya dingin tapi tegas. “Apa a

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 189. Nama yang Tidak Pernah di Panggil

    Kegelapan merayap ke seluruh aula Obsidian. Api biru yang tadi menyala di sepanjang dinding telah padam satu per satu, seperti dipadamkan oleh tangan tak kasatmata. Udara menjadi berat, dingin, dan sarat dengan desisan halus yang terdengar seperti bisikan ribuan mulut. Para utusan merapatkan formasi, sebagian gemetar, sebagian lain mulai melantunkan doa. Tapi kata-kata mereka tenggelam oleh kegelapan yang semakin menekan dada. Rafael berdiri di depan Alura, pedang hitamnya berkilau samar meski nyaris tak ada cahaya. Matanya tajam, menembus gelap, mencoba menangkap gerakan sekecil apa pun. Arga, di sisi lain, sudah menyalakan api gelap di tangannya, wajahnya menegang penuh kewaspadaan. “Ini bukan ujianmu, bukan juga permainanku,” desis Arga lirih. “Ada sesuatu yang masuk bersama sumpah itu.” Alura tetap berdiri tegak di singgasananya. Gaunnya bergelombang ringan, rambut hitamnya jatuh menutupi sebagian wajah. Namun matanya terbuka lebar, berkilat merah emas, menatap lurus ke dalam

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 188. Bisikan dari Darah

    Aula Obsidian masih diselimuti keheningan yang berat. Aroma darah dan asap hitam dari ritual sumpah belum juga hilang, menempel di dinding dan mengendap di napas siapa pun yang ada di dalamnya. Para utusan berdiri kaku, sebagian berusaha mengatur napas, sebagian lain masih pucat dan gemetar, seolah baru saja melihat neraka. Alura duduk di singgasananya, tubuhnya tegak namun pandangannya tajam menusuk ke setiap wajah. Matanya berkilat merah emas, memantulkan cahaya api biru yang masih berkobar di sepanjang dinding. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang hanya dia yang merasakan. Sebuah suara. Bukan suara manusia. Bukan suara iblis yang dikenalnya. Suara itu datang dari dalam darahnya sendiri. "Ikatan sudah terjalin… darah telah menetes… pintu telah terbuka." Alura menutup matanya sebentar, lalu membukanya lagi dengan ekspresi dingin. Tidak ada satu pun yang boleh tahu bahwa sumpah yang ia ciptakan tidak hanya mengikat para utusan, tapi juga memanggil sesuatu yang lebih

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 187. Harga Sebuah Pengkhianatan

    Api hitam yang melahap tubuh utusan pertama masih bergema dalam ingatan semua orang yang hadir di Balairung Obsidian. Bau daging terbakar bercampur dengan desisan jiwa yang terpecah membuat udara terasa semakin berat. Tak ada yang berani bergerak terlalu cepat; bahkan napas pun ditahan seolah takut api itu berpaling pada mereka. Alura berdiri tegak di tengah lingkaran darah yang kini berdenyut samar, bagai jantung yang baru saja terbangun. Gaunnya yang hitam berkilauan diterpa cahaya api biru, membuatnya tampak seperti sosok yang lahir dari kegelapan itu sendiri. Tatapannya menyapu satu per satu wajah para utusan, hingga tak seorang pun berani menurunkan pandangan. “Lihatlah,” suaranya dingin, nyaring, namun tenang, “itulah harga sebuah pengkhianatan. Sumpah ini bukan sekadar kata-kata, bukan pula hanya simbol. Ia adalah kehidupan yang kalian berikan kepada takhta ini. Dan kehidupan, jika dikhianati, akan menuntut balasan.” Tak ada yang berani menjawab. Beberapa wajah pucat, bebera

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 186. Harga dari Sumpah Darah

    Aula Obsidian masih bergetar meski raungan dari langit sudah mereda. Api biru di sepanjang dinding menari liar, kadang redup, kadang meledak, seolah terhubung langsung dengan sesuatu yang jauh lebih tua daripada benteng itu sendiri. Udara berat, dipenuhi aroma besi dan belerang yang menusuk hidung. Para utusan berdiri dalam lingkaran, tubuh mereka tegang, mata terbelalak ke arah tanda hitam di lantai yang baru saja meminum darah mereka. Lingkaran itu kini berdenyut perlahan, seperti jantung yang hidup, memancarkan cahaya merah samar dari retakan-retakan kecil yang menyebar. Alura berdiri tegak di singgasananya. Ia tampak anggun, tapi tatapannya tajam, bagai pisau yang siap menusuk siapa pun yang berani goyah. Rafael berdiri tidak jauh dari sisi kanan singgasana, pedang hitamnya sudah tersarung kembali, meski tangannya masih berada di gagang. Arga bersandar pada pilar batu, wajahnya sinis namun matanya memperhatikan dengan penuh kewaspadaan. “Dengan darah kalian,” suara Alura mengge

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 185. Bayangan dalam Sumpah

    Aula Obsidian masih dipenuhi sisa gema sumpah darah. Api biru di dinding yang tadinya tenang kini bergetar, seolah ikut menahan napas. Para utusan berdiri dalam diam, beberapa masih menatap tanda hitam di telapak tangan mereka dengan wajah pucat. Tak seorang pun yang berani bicara duluan. Bahkan Liora yang biasanya lantang, kini hanya menggenggam tongkatnya erat, tatapannya beralih dari simbol di kulitnya ke wajah Alura. “Ini…” salah seorang imam berbisik, suaranya nyaris patah, “…ini bukan sekadar perjanjian saja. Ada sesuatu yang ikut masuk.” Alura berdiri dari singgasananya. Gaun hitamnya berdesir ringan, namun setiap langkahnya terdengar jelas, menekan dada mereka. “Kalian baru saja mengikat diri dengan darah kalian sendiri. Itu adalah harga paling jujur yang bisa dibayar.” “Bukan hanya darah kita!” Liora akhirnya bersuara. Matanya menyala oleh kilatan panik dan marah. “Aku merasakan mata yang lain… mengawasi. Sesuatu yang bukan dari ruangan ini.” Rafael menoleh cepat. T

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status