Bab 3 Awal Tragedi

Semakin aku mundur, bapak mertua semakin mempercepat langkahnya ke arahku.

Bagaimana ini, apa yang harus kulakukan? berteriak pun percuma, karena memang benar apa yang dikatakan manusia bej*t itu, tidak akan ada tetangga yang mendengar teriakanku.

Jarak rumahku dengan rumah tetangga memang sedikit jauh, hanya dengan rumah ibu mertua, rumahku agak sedikit berdekatan, hanya terhalang oleh kebun jagung milik pak Haji, yang rumahnya ada di kampung sebelah.

"Ayolah, Sayang, jangan takut! Nanti kamu pasti akan ketagihan jika sudah merasakannya," seringai bapak mertua, membuatku bergidik ngeri.

"Cukup, Pak. Jangan mendekat lagi! Atau, Janah akan berbuat nekat," ancam ku.

Tubuhku sudah mentok ke dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu, karena rumahku masih semi permanen, atasnya belum menggunakan batu bata seperti rumah para tetangga.

Bapak mertua semakin mendekat ke arahku, membuatku kembali merapatkan punggung ke dinding rumah, tapi kemudian terasa ada yang mengganjal di punggungku saat tubuh ini menempel ke dinding.

Seketika aku langsung meraba benda tersebut dan ternyata itu adalah go*ok, yang biasa kupakai mencari kayu bakar dan selalu kuselipkan di dinding anyaman bambu, jika sudah usai ku gunakan.

"Jangan nekat, Pak! Jika tidak ingin semua berakhir bencana, " bentak ku, akhirnya.

"Stttt, jangan teriak-teriak begitu, Sayang! Nanti tenggorokanmu jadi sakit, he he he," bukannya berhenti, tua b*ngka itu malah semakin terkekeh senang melihat tingkahku yang semakin ketakutan.

Aku yang sudah begitu kesal melihat tingkah menjijikkannya, seketika mencabut gol*k yang terselip di balik anyaman bambu dinding rumah, kuacungkan tepat di wajahnya yang sudah penuh dengan kriput itu.

"Berhentilah di sana, jika kau masih sayang dengan nyawamu!" Ancam ku, sambil ku acung-acungkan gol*k itu ke arahnya.

"Tenang, tenanglah, Janah! Jangan bertindak gegabah! Nanti kau akan menyesal," ucap bapak, mertua sambil mundur teratur.

"Jangan banyak bicara, Tua ban*ka! Keluar saja dari rumahku, cepat pergilah! Sebelum gol*k ini me*ebas habis le*her mu itu," cercaku dengan emosi yang sudah di ubun-ubun. Tidak ada lagi sapaan hormatku sebagai menantu kepada mertuanya, yang ada rasa benci yang membuncah di hati ini.

"Baiklah-baiklah, aku akan keluar sekarang, tapi simpanlah gol*k itu Janah, bahaya!" Bapak mertuaku mulai merogoh saku celananya, mungkin dia akan mengambil kunci pintu yang tadi dimasukannya ke sana.

Bruk!!

"Argh ...!"

Seketika aku berteriak kesakitan. Karena secara tiba-tiba bapak melemparkan pasir ke arah mataku.

Ternyata bukan kunci yang dirogoh manusia b*jat itu dari saku celananya, akan tetapi segenggam pasir yang telah sengaja Ia taruh di saku celananya. Sontak saja gol*k yang kupegang tadi terjatuh, begitu tanganku refleks menggosok mata yang perih, karena banyak butiran pasir yang masuk kedalam mataku.

"Lepaskan, aku breng*ek! Dasar manusia bej*t tidak tahu d*ri, jangan macam-macam kau jika tidak ingin nyaw**u mela*ang sia-sia malam ini juga! Dasar biad*b," teriakku lantang, mencaci bapak mertuaku yang tak tahu d*ri, yang kini tengah memelintir kedua tanganku kebelakang punggung.

"Teruslah berteriak sesuka hatimu, Janah! Teriakanmu itu malah membuatku tambah bersemangat, untuk menj*mah tu*uh mulus mu ini, ha ha ha," ucap bapak mertuaku, sambil tertawa terbahak-bahak.

"Dasar biadab, manusia durja*a, lepaskan aku! Jangan pernah berani menyentuh t*buhku dengan tangan kotor mu itu, sial*n!" Aku terus meronta, berusaha melepaskan cekalan tangan manusia bej*t itu dari tanganku.

Namum apalah dayaku, tenaganya jauh lebih kuat. Lagi pula aku masih lelah, karena seharian ini belum istirahat sama sekali.

Dari pagi sampai siang, tubuhku dipaksakan untuk bekerja, demi mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari.

Aku terus meronta, berusaha berontak siapa tahu ada kesempatan dan pertolongan dari Yang Maha Kuasa, untukku meloloskan diri dari jeratan manusia laknat ini. Saat dia sedikit lengah, aku gunakan kesempatan itu untuk menendang barang pusakanya sekencang mungkin.

Argh!

Dia menjerit, lalu terjungkal ke lantai dengan memegangi barang pusakanya yang tadi aku tendang, rasanya pasti sangat sakit karena aku menendangnya dengan sekuat tenaga.

Aku gunakan kesempatan itu, untuk berlari dan mengambil gol*k yang tadi sempat terjatuh dari tanganku.

"Dasar brengs*k, rasakan itu. Apa masih kurang hah, mau kutambah lagi breng*ek? " cercaku penuh emosi.

Ku tempelkan gol*k yang kupegang ke leh*r bapak mertua, yang masih tergeletak sambil meringkuk dan masih memegangi barang pusakanya itu.

"Apa perlu, ku te*as sekarang juga leh*rmu ini, agar terlepas dari tu*uhmu, Pak? " ucapku lagi sambil gantian menyeringai ke arahnya.

"Jangan, Janah! Ampuni aku, aku khilaf biarkan aku pergi sekarang! Aku janji tidak akan pernah lagi mengganggumu, Janah." Mohonnya, mengiba kepadaku.

"Apa? melepaskan, mu? apa kau pikir aku akan percaya begitu saja dengan ucapanmu itu? " bentak ku, kasar.

"Sungguh, Janah. Aku janji tidak akan pernah mengganggumu lagi, tapi aku mohon lepaskan aku, biarkan aku pergi dari sini sekarang!" Ucap bapak mertuaku, terus memohon padaku.

klomprang ...!

Suara gol*k yang terlempar dari tanganku.

"Wanita sompl*k, dasar jal*ng. Kau pikir aku akan terus merengek dan kalah darimu yang hanya wanita lemah ini? ha ha ha ... jangan mimpi kau, Janah! Bersiaplah untuk melay*niku malam ini!" Balas bapak mertua mencaci ku.

Dia menghempaskan gol*k yang kupegang, saat aku lengah dan tidak memperhatikan gerak geriknya tadi.

Cuih ...!

"Jangan mimpi, Pak," Ku lud*hi muka keriputnya, yang membuatku muak itu.

Dia semakin emosi, lalu mendorongku hingga aku jatuh tersungkur ke lantai rumah yang sebagiannya masih berlantai semen, hingga badanku kotor karena terjatuh di lantai rumah.