Home / Horor / Rawon Daging Ayah Mertua / Bab 7 Berburu Bumbu

Share

Bab 7 Berburu Bumbu

last update Last Updated: 2024-04-20 23:45:29

Setelah berkutat dengan semua pekerjaan di rumah Bu Dewi, menjelang pukul 3 sore akhirnya semua sudah beres dan rapi, aku berniat untuk pulang, tapi aku ingat harus membeli bumbu untuk memasak daging si t*a ba*gka di rumah.

Bagaimana caranya ya agar aku punya uang? sedangkan uang gajiku minggu ini sudah habis, untuk membayar kasbonku minggu lalu.

"Bu Dewi, pekrjaan saya sudah selesai, Bu, " ucapku.

"Hemmm ...." Bu Dewi, hanya berdehem menjawab ucapanku, sungguh sangat menyebalkan sekali.

"Em ... anu, Bu. Bolehkah jika saya kasbon lagi, Bu? suami saya ada proyek di desa tetangga dan dia tidak meninggalkan uang sama sekali untuk kebutuhan saya sehari-hari, Bu. Jadi kalau diperbolehkan saya mau kasbon dulu dan bayarnya minggu depan, Bu, " pintaku kepada Bu Dewi sungkan.

"Apa aku tidak salah dengar, Janah? bukankah gajimu minggu ini sudah habis untuk membayar hutangmu minggu kemarin? maaf Janah, aku tidak bisa lagi memberikan kasbon untuk minggu ini kebiasaan nanti kamu, Janah. " bukannya memberikan pinjaman, Bu Dewi malah menceramahi ku. Ah sial sekali, aku.

"Lagi pula, jika suamimu tidak meninggalkan uang untuk kebutuhanmu, itu bukan urusanku, itu adalah nasibmu menjadi istrinya, Janah," timpal Bu Dewi lagi.

Kesal sekali aku mendengarnya, setidaknya kalau dia tidak ingin memberikan pinjaman tidak usahlah sampai mengejekku segala.

'Bagaimana, ini? mana di rumah tidak ada bumbu sama sekali, uang pun sekarang aku tidak punya. Bagaimana aku bisa membeli bumbu untuk memasak daging si t*a ba*gka itu, sekarang? apa, aku minta saja sama ibu mertuaku, ya? ya sudah, aku coba saja nanti minta pada beliau,' batinku.

"Baiklah, Bu, kalau begitu saya permisi pulang dulu." Aku pun Pamit, lalu beranjak meninggalkan rumah Bu Dewi, tak kudengar lagi beliau menggerutu apa tentangku dan aku pun tidak perduli sama sekali beliau mau ngomong apa lagi, rasanya sudah lelah semua, badanku.

Aku langsung ke rumah ibu mertuaku setelah selesai bekerja, berniat meminta bumbu untuk masakanku hari ini, kalau dari ibu pun aku tidak mendapatkan apa-apa, terpaksa aku harus berhutang lagi di warung Bu Ida, nanti.

"Assalamualaikum, Bu." Aku mengucap salam, sebelum masuk kerumahnya.

"Masuk saja, Janah! Mau apa kau kemari?" tanya ibu mertuaku, bukannya menjawab salamku terlebih dahulu.

"Itu, Bu, bolehkah Janah minta sedikit saja bumbu dapur untuk masak hari ini, Bu? Bang Herman tidak meninggalkan uang sepeser pun di rumah, jadi Janah tidak bisa membeli bumbu untuk masak hari ini, Bu" pintaku sungkan.

"Kamu kira aku tuh warung apa, Janah? kenapa Kamu tidak berhutang saja di warungnya si Ida, sana! Maunya yang gratisan saja, kamu tuh," gerutu ibu mertuaku sambil ngeluyur pergi kedalam.

'Dasar, mertua medit. Kalau kamu tahu untuk memasak apa, bumbu yang kuminta ini, pasti Kamu akan nangis darah,' batinku.

Aku melengos, pergi meninggalkan rumah ibu mertua. Tanpa pamit, aku langsung saja beranjak dari rumah bak neraka itu, kesal sekali aku, 2 hari ini rasanya.

Lelah badanku, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan lelah batin yang kurasakan.

"Eh Janah, tunggu!" Panggil, ibu mertuaku, ketika aku sudah sampai di ambang pintu.

"Ada apa, Bu? apa Ibu mau memberikan Janah bumbu, yang Janah minta, tadi? " tanyaku.

"Kamu itu tidak sopan sekali, Janah. Pergi main ngeluyur saja, tidak pamit sama sekali," ketus ibu mertua, membuatku tambah muak saja.

Apa kabarnya dia yang tadi saja tidak menjawab salamku sama sekali, dasar aneh.

"Apa kamu tidak melihat suamiku seharian ini, Janah? sejak pergi ke rumahmu tempo hari, sampai sekarang dia belum pulang, " kemudian beliau menanyakan kembali keberadaan suaminya, yang sekarang sudah menjadi daging rebus dalam dandang di rumahku.

"Tidak, Bu. Janah belum melihat bapak lagi, sejak beliau pergi dari rumah, Janah kemarin malam, Bu, "

"Kalau kamu bertemu dengan suamiku, suruh dia secepatnya pulang, Janah! Akan ku cincang barang pusakanya, jika dia berani mengkhianati ku, dengan wanita lain."

'Tenang saja, Bu! Keinginanmu sudah ku wakili, aku sudah mencincang suamimu yang be*at itu," batinku.

"Baik, Bu," sahutku, lalu aku bergegas pergi dari rumah ibu mertuaku yang pelit itu.

'Carilah suamimu itu sampai ke ujung dunia, Bu! Dan pastinya kau tidak akan pernah menemukannya, karena dia saat ini berada dalam dandang di rumahku,' gumamku lirih.

Karena ibu mertua tidak memberikanku bumbu dapur sedikit pun, akhirnya terpaksa mau tidak mau aku harus berhutang kembali di warung, Bu Ida.

Dengan percaya diri, aku berjalan ke arah warungnya yang kebetulan sedang begitu ramai pembeli.

"Assalamualaikum, Bu Ida, "

"Iya, Janah, mau beli, apa mau ngutang?" sahutnya judes, tanpa menjawab salamku sama sekali.

"Itu, Bu Ida, aku mau berhutang bumbu dapur, besok suamiku pulang dari desa sebelah, pasti akan kubayar langsung hutangnya, begitu suamiku sampai rumah nanti," pintaku sungkan.

Bu Ida, tidak menanggapi apa yang kuminta, dia malah asik sendiri dengan ponsel yang dipegangnya dari tadi.

"Bu Ida, bagaimana, bolehkan aku berhutang dulu? besok pasti kubayar, Bu. "

"Kalau boleh, berikan aku bawang merah, bawang putih, masing-masing satu kilo, gula merah, kluek, kemiri sama santan, juga jangan lupa minyaknya satu kg, Bu Ida!"

Kesal karena tidak dihiraukan, akhirnya aku sedikit mengeraskan suaraku dan membuat, Bu Ida menatapku tajam, mungkin karena dia tidak suka dengan nada suaraku yang meninggi.

"Heh, Janah sudah miskin, tukang ngutang, kasar banget lagi! Kamu itu mau berhutang apa mau merampok?"

Bu Ida, menggerutu karena kesal, sambil mengambilkan barang-barang yang tadi ku sebutkan.

"Nih, semua jadi 125 ribu. Jangan sampai lupa besok dibayar ya, Janah! Bikin bangkrut punya langganan kayak gini, nih," cerocos Bu Ida, lalu kembali mengambil ponselnya.

"Iya, Bu Ida. Besok pasti saya bayar, kalau sudah ada uangnya, terima kasih."

Aku bergegas pergi dari warung, setelah mendapatkan apa yang aku butuhkan, walaupun dapat berhutang. Rasanya kesal sekali, kalau tidak butuh, aku lempar semua bumbu dapur ini, ke wajahnya yang jutek itu.

"Janah, tumben kamu belanja banyak, mau ada pesta ya?" tanya seorang tetangga, yang berada tidak jauh dari warung, Bu Ida.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Anah
bagus cerita nya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 41

    Akhirnya dengan perasaan yang tak karuan, aku pun menganggukan kepalaku sebagai jawaban atas lamaran Pak Beni waktu itu. Dengan bismillah aku akan mencoba kembali mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki yang telah memilihku, dan harapanku semoga bahtera yang akan mulai kubina ini, tidak kembali karam untuk kedua kali seperti sebelumnya.Sebulan setelah penerimaan ku atas lamaran Pak Beni tersebut, Kami akhirnya melangsungkan pernikahan di sebuah gedung yang tidak jauh dari terminal. Alasannya karena banyak teman-teman juga kenalan Pak Beni, yang di harapkan datang untuk mendoakan pernikahan Kami berdua.Betapa bahagianya aku mendapatkan suami yang begitu perhatian, juga baik hati. Bukan hanya kepadaku atau kepada orang-orang yang di kenalnya, tetapi kebaikannya itu Ia berikan juga kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongannya. Sungguh Tuhan maha adil dengan semua rencananya, dibalik semua kesedihan yang berkepanjangan aku mendapatkan kebahagiaan yang menyongsong di depan m

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 40

    Aku langsung tertegun melihat ke arah yang ditunjukan Dian padaku. "Ya ampun apa ini Di, siapa mereka?" Tanyaku berbisik ke arah Dian."Mereka adalah keluarganya dan itu orang tua angkatnya Pak Beni," sahut Dian pelan.Mereka ber empat datang menghampiri Kami dengan membawa beberapa parcel buah dan juga makanan lainnya, aku semakin kebingungan dibuatnya, ada apa ini sebetulnya pikirku."Silahkan duduk, Pak, Bu! Maaf jika harus mengobrol di teras seperti ini, di dalam tempatnya sempit takut tidak muat," ucapku merasa tidak enak, takut mereka tidak nyaman harus berbincang di luar seperti ini."Tidak apa, Nak. Kami mengerti kok tidak usah sungkan," sahut Ibu angkat Pak Beni.Dian membawa beberapa gelas air dalam nampan untuk para tamu kemudian di letakkan nya di atas meja, serta sedikit camilan yang kebetulan belum kami buka sama sekali."Janah kenalkan mereka adalah Bapak dan Ibu angkat ku, seperti yang Kamu ketahui jika orang tua kandungku sudah meninggal sejak lama. Nah mereka ini ada

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 39

    Setelah perbincangan itu, tak ada lagi yang bersuara diantara Kami yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan mangkuk bakso yang aku makan.Setelah selesai menyantap satu mangkuk bakso serta segelas es teh manis aku beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan rasa lelah dan menunggu hingga perut ini tidak terasa begah, untuk kembali melanjutkan perjalanan walaupun belum tahu hendak kemana kaki ini melangkah."Janah, jika memang Kamu belum ada tujuan atau pekerjaan yang akan di tuju, bagaimana jika Kamu kembali membantu saya saja berjualan? kebetulan saya sedang memerlukan satu pekerja lagi," tanya Pak Beni padaku.Tentu saja bagaikan mata air di Padang pasir yang gersang, tawaran Pak Beni barusan tak akan pernah ku pikir dia kali atau ku sia-siakan.."Benarkah Pak, saya boleh kembali bekerja membantu Bapak seperti dulu?" Tanyaku merasa tak percaya."Tentu saja benar, Janah untuk apa saya bercanda," sahutnya sambil tersenyum ke arahku."Baik Pak, saya bersedia kembali beke

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 38

    Setelah aku bisa melepaskan cengkraman tangan Ibu, bergegas aku keluar dari rumahnya. "Janah pulang dulu ya Bu, selamat tinggal semoga kedepan nanti kehidupan Kita akan berubah lebih Indah, jaga diri baik-baik ya, Bu!" Setelah berpamitan bergegas aku pulang untuk kembali ke rumah ku.Setelah sampai di rumah aku berbenah mengepak sedikit barang yang hendak kubawa, aku pergi ke kebun jati di belakang rumah karena mengingat dulu pernah mengubur perhiasan Ibu yang di curi oleh Dewi simpanan Bang Herman, yang telah lebih dulu ku Bunuh dan mayatnya ku kubur di dalam kebun jati sana. Sejenak terbayang-bayang kenangan butuk di tempat itu seolah tengahenari di pelupuk mata.Setelah berhasil ku ambil emas itu aku pergi meninggalkan rumah, rumah pertama saat aku berumah tangga dengan Bang Herman, rumah dimana penuh dengan kenangan pahit dan kesengsaraan di dalamnya, kenangan yang mungkin akan tetap utuh dalam sanubari sampai akhir hayat."Mau kemana Janah, kenapa Kamu membawa tas segala," tanya

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 36

    "Ibu ....!"Aku tercengang melihat kondisi Ibu mertuaku saat ini, Dia duduk di kursi roda dengan sebelah tangan yang terlihat menekuk kedalam, mulutnya terlihat miring sebelah, entah mulai kapan keadaannya berubah seperti ini, mungkin ini akibat obat yang sering ku teteskan ke dalam makanannya dulu, atau karena darah tingginya naik sehingga menyebabkan Dia terkena struk ringan. Namun entah karena apapun itu, yang pasti mungkin itu adalah karma dari semua kejahatannya yang telah dia lakukan padaku dulu."Sejak kapan kondisi Ibu memburuk, seperti ini?" tanyaku.Ku dorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. "Apa Ibu sudah makan?" tanyaku padanya.Ia menggeleng lemah, matanya sayu seolah menyiratkan kesedihan yang teramat sangat."Baiklah ayok makan dulu, tadi sebelum ke sini Janah memasak dulu makanan kesukaan Ibu, ini ada balado telur, ada tumis daun ubi juga kerupuk udang, mau Janah suapi?"Lagi-lagi Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah."Miris sekali hidupmu saat ini, Bu suami

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 35

    Setelah kejadian buruk siang tadi, kini rumah ini terasa sunyi, senyap tak ada lagi suara cacian atau makian suamiku, rasanya sangat nyaman hening bagai di duniaku sendiri.semua jejak sudah ku amankan, seprai yang penuh darah, lantai dan juga dapur sudah ku poles agar terlihat lebih rapi dan juga bersih.tubuh kedua manusia la*nat itu kini ada di bawah tungku perapian, seperti panasnya bara api neraka maka seperti itulah tubuh kalian merasakan rasa panas kayu bakar ku di dunia ini.Hooaamm ...!Rasanya pagi ini tubuhku sudah sangat bugar kurasa, walaupun kemarin aku sudah kembali menghabisi dua nyawa namun rasanya tak ada perasaan mengganjal ataupun perasaan menyesal dalam diri ini.Aku segera memasak air, lalu pergi ke warung Bu Ida untuk sekedar membeli bumbu dan telur untuk membuat nasi goreng, sepertinya enak membuat nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, selama ini semua masakanku selalu di habiskan oleh Bang Herman, sekarang aku bisa menikmatinya sendiri tak payah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status