Home / Urban / Rayuan Maut Para Tetanggaku / Bab 39. Di balik sikap dingin Mbak Renata

Share

Bab 39. Di balik sikap dingin Mbak Renata

last update Last Updated: 2025-09-20 21:27:26

Meeting diadakan di kantor klien, sebuah gedung modern di kawasan bisnis Sudirman. Ruangannya luas, meja konferensi kayu jati mengkilap, dinding kaca menghadap skyline kota. Klien ada empat orang: tiga pria dan satu perempuan.

Dua pria sudah berumur sekitar 50-an, berjas formal dengan dasi polos, wajah mereka serius seperti eksekutif bank. Yang satu lagi seumuran denganku, memakai pakai kemeja biru lengan digulung, tersenyum ramah.

Perempuan itu sepantaran Mbak Renata, rambut pendek rapi, mengenakan blazer hitam ketat yang memeluk tubuh proporsionalnya.

Mbak Renata memulainya dengan salam profesional, “Terima kasih sudah menyempatkan waktu. Kami dari tim arsitektur hadir untuk presentasikan desain perumahan minimalis dengan sentuhan Eropa.”

Aku berdiri, memproyeksikan denah di layar besar. “Ini layout utama, Pak, Bu. Setiap unit mempunyai balkon kecil untuk ventilasi alami, taman depan fungsional dengan elemen hijau ramah lingkungan seperti saran Bu Sandra. Biaya estimasi per unit sek
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab. 40. Janda genit

    Dia mengangguk pelan, matanya tetap fokus ke jalan tapi ada kilau di sana. “Mereka yang membuat hari-hariku indah dan tidak merasa sendiri. Melihat senyuman mereka membuatku semakin bersemangat. Di kantor kadang capek, tapi pas ke sini… semuanya hilang.”Aku ingin bertanya lagi, apa maksud dari perkataannya itu? Kenapa dia mengatakan 'sendiri' bukannya orangtuanya masih lengkap? Bukan hanya itu, Mbak Renata dari keluarga berada punya segalanya, tapi aku urungkan. Hingga kami sampai di kantor, renovasi masih berlangsung, tapi lantai atas sudah lumayan rapi.Aktivitas di kantor seperti biasanya, kami membahas tentang meeting tadi pagi pada mereka. Aku duduk di meja sementara di lantai atas ini, melanjutkan gambar detail balkon, sesekali diskusi email dengan Mbak Renata tentang masukan klien.Hingga tidak terasa sebentar lagi jam waktu pulang tiba, Mbak Vania mendekati mejaku, tas di bahu, senyumnya lebar seperti biasa.“Bim, besok kan hari libur, jadi jangan lupa ya setengah tujuh pagi

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 39. Di balik sikap dingin Mbak Renata

    Meeting diadakan di kantor klien, sebuah gedung modern di kawasan bisnis Sudirman. Ruangannya luas, meja konferensi kayu jati mengkilap, dinding kaca menghadap skyline kota. Klien ada empat orang: tiga pria dan satu perempuan.Dua pria sudah berumur sekitar 50-an, berjas formal dengan dasi polos, wajah mereka serius seperti eksekutif bank. Yang satu lagi seumuran denganku, memakai pakai kemeja biru lengan digulung, tersenyum ramah.Perempuan itu sepantaran Mbak Renata, rambut pendek rapi, mengenakan blazer hitam ketat yang memeluk tubuh proporsionalnya.Mbak Renata memulainya dengan salam profesional, “Terima kasih sudah menyempatkan waktu. Kami dari tim arsitektur hadir untuk presentasikan desain perumahan minimalis dengan sentuhan Eropa.”Aku berdiri, memproyeksikan denah di layar besar. “Ini layout utama, Pak, Bu. Setiap unit mempunyai balkon kecil untuk ventilasi alami, taman depan fungsional dengan elemen hijau ramah lingkungan seperti saran Bu Sandra. Biaya estimasi per unit sek

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 38. Meeting

    Aku keluar dari unitku, di koridor pagi ini cukup sepi. Saat akan masuk lift, tiba-tiba Mbak Dini muncul dari belakang, tas besar di bahu, sepertinya dia akan pergi ke salon.Pagi ini dia mengenakan blazer ketat berwarna hitam dan rok pendek seperti biasanya. Rambut pendeknya rapi dengan riasan tebal yang membuatnya terlihat segar.“Pagi, Mas Bima,” sapanya ceria, masuk lift bersamaku.“Pagi, Mbak,” balasku, tersenyum sopan.Lift bergerak turun pelan. Mbak Dini melirikku, matanya menatapku. “Mas, sekali lagi maaf ya semalam. Barang-barangnya sudah ada yang beresin." Lalu dia memperhatikanku lebih dekat, "Oh ya, kelihatannya hari ini kamu sangat senang, ada apa nih?"Aku tersenyum, mengingat pagi tadi. “Gak ada apa-apa, Mbak. Mungkin karena hari ini di kantor ada proyek besar, jadi seneng bisa dapat bonus.”Mbak Dini mengangguk, tapi tatapannya masih penuh arti. “Lumayan ya, buat ibumu di kampung. Eh, Nadira masih belum pulang ya? Aku kemarin sempat nanya ke Pak Jamal, katanya dia pula

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 37. Seperti punya istri

    Pagi harinya, aku terbangun karena mencium aroma harum. Aku bangkit dari tempat tidur, aku masih memakai celana dalam saja mengingat peristiwa semalam yang cukup panas bersama Nadira.Aku buru-buru memakai celana pendek dan kaus oblongku, lalu berjalan keluar kamar. Suara gemericik dari dapur membuatku penasaran.Nadira berdiri di sana, punggungnya membelakangiku, sibuk mengaduk sesuatu di wajan. Pagi ini, dia memakai daster longgar berwarna biru muda yang jatuh sampai lutut, tapi kainnya tipis dan sedikit transparan di bawah cahaya pagi, memperlihatkan siluet tubuhnya yang sempurna.Rambut panjangnya tergerai basah, seolah dia sudah mandi lebih dulu, dan aroma sabun strawberry-nya bercampur dengan bau nasi goreng yang menggoda.Dia menoleh saat mendengar langkahku, tersenyum manis dengan wajah polos tanpa riasan pipinya sedikit merona, matanya lentik dan cerah.“Selamat pagi, Mas,” katanya lembut, suaranya seperti angin pagi yang menyegarkan. Dia memegang spatula di tangan kanan, yan

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 36. Gairah panas berakhir nikmat

    Sebelum aku bisa menjawab, Nadira melangkah lebih dekat, tubuhnya kini menempel padaku. Dadanya yang montok terasa hangat, gaun tipis itu seolah tidak ada. Dia menarik wajahku mengangkat wajahnya, bibirnya hanya beberapa senti dari bibirku. Napasnya hangat, bercampur aroma mint dari permen yang tadi dia kunyah. Aku bisa merasakan tarikan magnet yang hampir mustahil untuk dilawan. “Mas… cuma malam ini,” bisiknya, suaranya hampir seperti permohonan. “Aku gak minta apa-apa lagi. Aku cuma ingin merasakan kehangatan tubuhmu… " Aku menutup mata sejenak, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kendali yang masih ada. Pikiranku berlomba-lomba, Nadira sedang rapuh, dia butuh perlindungan, bukan seperti ini. Tapi tubuhku sebaliknya, sialan, si Gatot malah bereaksi. Jantungku berdetak kencang, tanganku tanpa sadar meraih pinggangnya, merasakan kelembutan kulitnya di bawah kain satin yang tipis. “Nad, kita gak—” kata-kataku terputus saat bibirnya menyentuh bibirku, lembut tapi penuh hasrat. Ciumannya

  • Rayuan Maut Para Tetanggaku   Bab 35. Dihangatkan Nadira

    "Kalau jam segitu, orang-orang kan belum datang. Jadi kita bisa bebas berdua," jawabnya, matanya mengedip. "Ma-maksudnya Mbak?" tanyaku tidak mengerti. "Maksudnya latihannya biar fokus," katanya cepat, nada suaranya agak mendesah. Aku hanya mengangguk kaku."Oh i-iya, Mbak. Nanti kita atur." Hingga terlihat Pak Hadi kembali ke ruangannya dan mbak Vania kembali ke tempat duduknya. Pak Hadi sesekali keluar ruangannya, memberikan instruksi tentang proyek, dan Bu Sandra menambahkan detail teknis. Mbak Renata tetap berada di meja kerjanya, hanya memberikan arahan lewat email. Hari ini berjalan cukup lancar di kantor, walaupun keberadaan Mbak Vania membuatku cemas seharian ini. Hingga jam pulang tiba, ponselku bergetar pesan dari Mbak Renata. [Bim, aku duluan. Aku tunggu di tempat tadi kamu turun. Agar mereka tidak curiga] Aku balas cepat pesannya: [ya Mbak, nanti aku kesana] Satu per satu karyawan mulai pulang. Pak Hadi, Bu Sandra, dan Mbak Vania juga sudah pulang lebih dulu, diik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status