Manhattan, 2010
Derap langkah stiletto warna merah itu menggema ke seluruh ruangan. Mengalahkan derasnya suara hujan yang menyentuh atap.
Di dalam ruangan yang minim cahaya, ketukan tapak sepatu yang menyentuh ubin itu menghadirkan suasana mencekam, terutama bagi makhluk-makhluk kecil yang tengah bersembunyi di bawah selimut.
Mereka berdebar, wajah memucat, jantung terasa menciut, sambil menebak-nebak giliran siapa kali ini?
"Malaikat-malaikat kecilku, apakah kalian sudah tidur?" Suara itu bertanya dengan nada setengah berbisik.
Sekujur tubuh langsung meremang seketika. Suara yang dibunyikan dalam bisikan itu terdengar bagaikan panggilan malaikat maut yang siap untuk mencabut nyawa.
Tubuh mereka menegang, tidak berani membuat gerakan sekecil apapun. Karena mereka tahu pasti, satu gerakan saja bisa membawa mereka ke neraka.
Namun malang bagi si kecil Billy. Anggota termuda yang belum mengerti besarnya bahaya yang akan merenggut nyawanya. Dengan polos, suara mungil itu menjawab.
"Belum, Madam. Billy belum mengantuk."
Derap langkah itu kembali terdengar. Bergerak dengan irama yang lebih cepat, lalu berhenti di samping ranjang si bocah malang itu.
"Oh, ya? Kenapa? Mau madam bantu agar bisa mengantuk lebih cepat?" Sosok itu menyeringai, lalu menarik selimut itu dengan satu hentakan kuat.
Selimut itu melayang ke udara, memampang tubuh kecil tanpa ada satu pun yang menutupi.
Di bawah selimut itu, Billy berbaring memandang dengan tatapan polos tidak mengerti.
Kedua tangan sosok yang dipanggil Madam itu dengan cepat mengangkat tubuh mungil Billy, menyampirkan ke bahu, lalu berjalan meninggalkan kamar.
"Lepaskan Billy!"
Tiba-tiba dari arah belakang seorang bocah lainnya datang, menarik pakaian sang Madam sekuat tenaga hingga koyak.
Langkah madam itu terhenti. Tatapan tajamnya menghujam seketika. Lalu entah dari mana asalnya, tiba-tiba sebuah pisau sudah berada di genggamannya. Dia melayangkan tangan dengan cepat. Dan ....
Kress ....
Darah segar menyembur dari luka sayatan di leher bocah itu. Dalam hitungan detik, ia ambruk meregang nyawa.
Sementara itu, dari bawah selimut lainnya, sepasang mata sendu tengah mengamati semua kejadian itu dengan tatapan penuh dendam.
Ada genangan yang mengambang di kedua netranya.
"Tunggu pembalasan kami, Madam, tidak akan lama lagi," bisiknya pelan. Lalu ia pejamkan mata, kembali memasuki alam mimpi.
Tingginya 190 sentimeter, bahu lebar dan besar, tangan yang kokoh dan kasar yang pastinya menjanjikan sebuah peringatan besar bagi orang-orang yang ingin berurusan dengannya. Rambutnya coklat gelap, tapi akan terlihat terang saat berada di bawah matahari. Konon orang-orang bilang itu karena kekurangan pigmen. Tapi bagi Kent Bigael rambut coklat pirangnya adalah sebuah simbol bahwa dirinya berada lebih lama di luar ruangan. Itu adalah sebuah mahkota atas nama pengabdian. Sorot matanya tajam, dengan lingkar emerald berwarna abu-abu. Saat ia sedang emosi, lingkar emerald itu akan berubah menjadi putih seperti perak. Menyilaukan siapa saja yang menantang. Ia mengenakan mantel kulit panjang yang warnanya sudah sangat lusuh. Akan tetapi, tetap tidak mengurangi kegagahannya. Otot-ototnya yang kekar tampak menyembul di beberapa area terbuka. Bahkan jaket kulit itu pun terlihat meregang karena tertarik oleh otot-ototnya yang mengembang. Ia melangkah masu
Besok, tepat sepuluh tahun peristiwa itu. Telingaku berdengung, potongan-potongan peristiwa itu kembali bermunculan. Menyesakkan napas. Menyiutkan nyali. Dorongan iblis itu terasa nyata kembali. Derap langkah berwarna darah itu terngiang kembali, membuat sekujur tubuh kembali meremang terbayang kekejamannya. Ahh ... sial. Selalu begini. Selalu menyakitkan seperti ini.Aku tidak sanggup lagi menahan diri lebih lama. Sekarang aku sudah cukup kuat untuk melakukannya. Aku harus segera bersihkan kota ini dari para pemuja iblis, seperti orang itu. Oh ... Iya. Orang itu. Sekarang pasti sudah menjadi debu, kan? Suatu saat dia harus berterimakasih padaku, karena telah membebaskannya dari pengaruh iblis yang terkutuk itu. Kalian yang memakai sepatu warna darah, bersiaplah. Aku juga akan segera bebaskan kalian dari kutukan itu segera. *** Sabtu malam di sudut kota.
Angela Joey, wanita tiga puluh dua tahun dengan wajah cantik dan body proporsional. Siapa saja pasti setuju jika Angela mengaku dirinya seorang artis. Namun, siapa sangka jika di balik wajah menawan itu Angela merupakan pemegang sabuk juara MMA? Angela merupakan petinju elit yang di usia tiga puluh tahunnya telah mengantongi 18 gelar juara tanpa kalah. Tujuh di antaranya merupakan menang KO. Tubuh seksi yang dimilikinya merupakan modal besar yang pastinya memuluskan langkah kakinya di dunia selebritis. Namun, Angela memiliki impian yang berbeda. Besar sebagai anak dari pensiunan detektif terkenal membuat Angela bermimpi untuk mengikuti jejak ayahnya sebagai polisi. Namun, impian Angela tidak pernah tercapai di saat ayahnya masih hidup. Hal itu membuat Angela harus menimba ilmu di lain tempat. Angela telah mencoba menjadi dokter dengan masuk fakultas kedokteran. Hasilnya, di semester ke-4 ia mengundurkan diri. Lalu ia mengambil jurusan hukum. Itu pun hanya ber
Sakura Park, terletak di antara Gereja Riverside dan International House, merupakan taman yang nyaman dan hijau. Dilengkapi dengan gazebo-gazebo indah, sehingga ketika sakura bermekaran para pengunjung bisa menikmati piknik dengan menggelar tikar di bawah pohon. Keindahan taman ini semakin memesona ketika musim semi tiba, karena sakura mulai bermekaran memperlihatkan kemolekan parasnya. Namun, pemandangan indah sakura yang bermekaran itu harus terusik dengan ditemukannya sesosok mayat tanpa identitas di tengah-tengah rerumputan yang hijau. Mobil patroli tampak berkilatan di bahu jalan Sakura Park. Beberapa polisi berseragam berjaga-jaga di sekitar mayat itu ditemukan. Kent dan Angela tiba di lokasi kejadian, menyusul Brad Jewel yang langsung berlari memeriksa tempat kejadian. Bukan hal yang baru bagi Kent, Brad akan selalu menjadi orang pertama mengunjungi TKP setelah mereka menerima laporan. Pria yang seharusnya duduk tenang di balik meja itu faktanya tidak
Brian Wale, pria bertubuh tegap dengan wajah rupawan. Rambutnya kemerahan, sepasang netra berwarna coklat, tapi senyumnya terlihat kikuk. Ia terlihat seperti orang yang sedang ketakutan karena saat berbicara terdengar gugup. Gerak tubuhnya pun selalu terlihat gelisah. Kent dan Angela memperkenalkan diri, lalu duduk di depan meja kerja lelaki itu. "Apakah Anda mengenal liontin ini?" tanya Kent. Langsung tanpa basa-basi, dengan nada mengintimidasi. Ia membuka telapak tangannya, sebuah liontin tergantung pada jari-jarinya. Brian mengenakan kacamatanya, lalu mencondongkan wajah, memangkas jarak antara dirinya dengan liontin itu. "Sepertinya buatan sanggar ini. Maaf ... boleh saya memegangnya? Jika memang buatan kami ... pasti ada kode ... di belakangnya," jawab Brian dengan gugup. Kent menyerahkan liontin itu ke tangan Brian. Bergegas pria itu membalikkan liontin itu, lalu menyorotnya menggunakan kaca pembesar. "1717," gumamnya. "S
Dengan langkah ringan aku menuju tempat itu. Hari ini aku merasa berbahagia, karena satu malaikat telah kubebaskan dari belenggu iblis berwujud sepatu merah itu. Aku buka pintu sambil bersenandung kecil, gadis lainnya langsung menyambutku dengan tatapan memelas. Dia Valencia, yang masih berada di bawah pengaruh obat itu. "Halo, Cia Cantik. Apa kabar? Kau menungguku?" sapaku dengan senyum ramah. Mata indahnya bergetar, aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi pengaruh obat itu masih kuat. Melumpuhkan semua syarafnya sehingga ia tak mampu bergerak dan berkata-kata. "Kau lapar?" tanyaku. "Bertahanlah, sayang. Kau harus puasa agar ritual pembebasanmu berjalan lancar," kataku memberi penjelasan, sambil membelai rambutnya. Aku meraih tas kecil yang berisi hipodermis, kembali mengisi tabung kecil itu hingga setengahnya. "Hari mulai larut, tidurlah C
Keluarga Heitcher tidak bisa dikatakan kaya, bahkan mungkin terlalu berlebihan jika dikatakan sederhana. Kediaman mereka terletak di kawasan kumuh, dimana rumah-rumah berjejer rapat dengan halaman yang sempit. Tidak ada yang benar-benar menyolok dari rumah-rumah itu, kecuali satu dan dua di antaranya berusaha memberikan sentuhan berbeda seperti cat yang norak dan ornamen-ornamen natal yang ditempelkan di pintu. Rumah keluarga Heitcher adalah salah satu yang menyolok itu. Bagian pintu di cat warna oranye, kusen pintu dan jendela berwarna biru tua. Lupakan tentang aturan nuansa warna dan gradasi warna yang membuat matamu nyaman. Bisa terlihat berbeda saja bagi mereka sudah cukup bagus. Matthew Heitcher, pria paruh baya dengan tubuh ringkih. Badannya tinggal kulit pembalut tulang, tanpa ada satu pun otot yang terlihat. Sesekali terdengar batuk yang sangat menyiksa dadanya. Setiap kali ia terbatuk, air matanya pasti keluar, sementara jari-jarinya yang kurus akan memegang
Olivia membeku dengan wajah pucat. Ia tahu, saat ini dirinya benar-benar telanjang di hadapan Kent Bigael. Memang benar gosip yang ia dengar selama ini, Kent Bigael adalah "Malaikat Maut-nya para Tersangka". Tidak ada satu pun tersangka yang bisa lolos dari mata elangnya yang tajam. Dan kali ini Olivia membuktikan sendiri semua gosip itu bukanlah rumor tak berdasar. "Aku bertanya, Olivia," tegur Kent, masih dengan suara rendahnya. "T-t-t-ti-dak ada y-y-yang aku sembunyikan, Pak," jawab Olivia gugup. Getaran suaranya sangat jelas terdengar. Kent tersenyum sinis, menatap Olivia dengan tatapan tajam menukik. "Aku sudah bilang, kan? Coba sebutkan lagi, siapa aku, Olivia?" "Kent Bigael, Malaikat Maut-nya para tersangka," cicit Olivia. "Nah! Kau sudah tahu. Mengapa masih belum berkata jujur?" desak Kent. Olivia masih diam, duduk mematung tanpa suara. Namun, keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. "Jadi kau memilih u