Share

Bab 1, Kent Bigael

Tingginya 190 sentimeter, bahu lebar dan besar, tangan yang kokoh dan kasar yang pastinya menjanjikan sebuah peringatan besar bagi orang-orang yang ingin berurusan dengannya.

Rambutnya coklat gelap, tapi akan terlihat terang saat berada di bawah matahari. Konon orang-orang bilang itu karena kekurangan pigmen. Tapi bagi Kent Bigael rambut coklat pirangnya adalah sebuah simbol bahwa dirinya berada lebih lama di luar ruangan. Itu adalah sebuah mahkota atas nama pengabdian. 

Sorot matanya tajam, dengan lingkar emerald berwarna abu-abu. Saat ia sedang emosi, lingkar emerald itu akan berubah menjadi putih seperti perak. Menyilaukan siapa saja yang menantang.

Ia mengenakan mantel kulit panjang yang warnanya sudah sangat lusuh. Akan tetapi, tetap tidak mengurangi kegagahannya. Otot-ototnya yang kekar tampak menyembul di beberapa area terbuka. Bahkan jaket kulit itu pun terlihat meregang karena tertarik oleh otot-ototnya yang mengembang.

Ia melangkah masuk ke dalam kelab malam itu, duduk di meja sudut, lalu memindai seisi ruangan dengan sepasang netranya yang tajam. Hari ini adalah ke tiga kalinya ia datang ke kelab itu untuk mengintai seorang tersangka kasus perkosaan bernama Paul Joke.

Bukan hanya sekadar pelaku perkosaan Paul Joke merupakan bangsat di atas para bangsat. Kejahatannya segunung, mulai dari pencurian, perampokan, hingga narkoba.

Selama ini Kent tidak begitu ambil pusing dengan semua kejahatannya. Namun, begitu nama Paul Joke muncul dalam daftar tersangka kasus perkosaan anak di bawah umur, Kent tidak bisa lagi tinggal diam. Ia bertekad akan menyeret Paul Joke ke pengadilan dengan semua barang bukti yang tidak bisa ia bantah.

Jika bisa disamakan dengan binatang, maka Paul Joke adalah belut yang licin. Ia sudah beberapa kali berhasil meloloskan diri. Namun, kali ini Kent bersumpah, tidak akan pulang sebelum pria bejat bernama Paul Joke itu berhasil ia tangkap dengan tangannya sendiri.

Kali ini Kent telah memiliki umpan yang jitu. Ia tahu Paul adalah seorang pecandu yang menyukai gadis-gadis muda. Malam ini, jika pria itu datang ia akan memakan umpannya, dan saat itu juga Kent akan membekuknya.

Pukul 3 dinihari, orang yang ditunggu-tunggu memasuki kelab itu. Mata kelamnya memindai seluruh ruangan, dan langsung bertemu pandang dengan Kent. Ia mengerti, mereka saling memahami. Tanpa komando, mereka pun bertemu di meja paling sudut itu.

"Apa yang bisa kau tawarkan padaku?" tanyanya tanpa basa basi.

Ketika berada dalam posisi penjual dan pembeli begini, Kent tahu betul sebagai penjual ia harus bisa mengatur irama agar pembeli tertarik dengan dagangannya. Kent merogoh kantong sebelah kirinya, dengan perlahan mengeluarkan selembar kertas lalu menyerahkannya kepada Paul.

Paul mengamati gambar yang ada di kertas itu. Seorang gadis remaja berwajah manis tampak sedang memasang pose mengundang. Hasrat Paul langsung terbaca pada wajahnya. Pipinya merona, senyuman pun tidak lepas dari bibirnya yang tebal.

"Hmm ... cantik ... dan menggoda sekali," ujarnya dengan suara yang terdengar tercekat di tenggorokan.

"Dimana dia sekarang?" tanyanya lagi tak sabar.

"Kau mau sekarang?" Kent balik bertanya.

"Ya, jika bisa secepatnya saja. Untuk apa ditunda-tunda," jawabnya sambil menyeringai.

"Bagus. Dia ada di bawah. Menunggu dengan pasrah di dalam mobil," jawab Kent dengan memasang senyum misteri.

Sepasang netra Paul bersinar.

"Kau mengikatnya?" tanyanya lagi.

Kent menggeleng.

"Trivam propofol, setengah dosis," jawabnya.

"Ayolah. Tunggu apa lagi," ujar Paul tak sabar, lalu bangkit memberi isyarat pada Kent untuk turut bangkit bersamanya.

Kedua pria itu keluar dari kelab malam, berjalan menuju mobil Kent yang terparkir di antara dua bangunan besar. Beberapa langkah dari mobilnya, Kent berbalik, lalu bertanya pada Paul.

"Kau membawa uangnya?"

Paul mengangguk sambil menepuk saku bajunya. Ia terus melangkah mendekat ke mobil yang Kent maksud. Kepalanya melongok lewat jendela, melihat sesosok gadis berbaju seragam terbaring pasrah dalam tidur pulasnya. Paul mengacungkan jempol, memberi isyarat oke kepada Kent.

Kent tersenyum. Ia mengeluarkan sebundel kunci dari sakunya, memilih satu anak kunci lalu memasukkannya ke slot kunci pintu depan. Namun, belum sepenuhnya anak kunci itu masuk, kunci itu justru jatuh ke tanah.

Kent menunduk, lalu dengan gerakan secepat kilat ia meraih batang besi yang memang sudah ia sembunyikan sejak awal. Ia bangkit, lalu melayangkan batang besi itu ke wajah Paul. Pria itu tidak sempat mengelak, batang hidungnya patah, gumpalan darah merah dan tulang rawan bertonjolan keluar.

Pukulan itu tidak mematikan, tapi bisa dipastikan bisa melumpuhkan untuk beberapa saat dan berhasil membuat cacat seumur hidup. Kemudian dengan gerakan secepat kilat, Kent menyambar revolver yang tersembunyi di pinggang kiri Paul. 

Paul sangat marah dan frustasi. Sebisa mungkin ia tunjukkan amarahnya di depan Kent. Namun, sia-sia. Kent bergeming dengan tatapannya yang tajam. Aura membunuh mencuat tajam lewat tatapannya.

"Kamu ... sssssi-sssiapa?" tanya Paul terbata dengan ekspresi ketakutan.

Kent tidak menjawab. Ia justru berjalan menuju bagasi belakang, mengeluarkan tali tambang berukuran besar, lalu melangkah mendekati Paul.

"Aku? Aku adalah malaikat mautmu," jawab Kent dengan seringai mengerikan.

Tangan-tangannya yang kekar mulai membelit tubuh Paul dengan tambang itu, mengikatnya kuat hingga ia menyerupai kepompong, lalu mengikatkan ujungnya ke bumper belakang mobil.

"Malam ini mari kita pesta karnaval. Tidak perlu jauh-jauh. Dari sini sampai instalasi gawat darurat RS. Santa Maria," kata Kent lagi.

"Kau sudah gila! Kau psycho!" cecar Paul panik. Kepanikannya semakin menjadi ketika sosok tinggi besar itu masuk ke mobil, menyalakan mesin, lalu menginjak pedal gas. Paul tahu neraka dunianya baru saja dimulai.

Setelah berjalan 100 meter, Kent menghentikan mobilnya, lalu turun mendekati Paul. 

"Bagaimana, Bung? Karnavalnya cukup seru?" tanya Kent sambil menjambak rambut lelaki itu.

Paul tidak menjawab, hanya mampu memasang wajah mengiba berharap Kent akan berbaik hati dan mengurangi kekejamannya.

Akan tetapi, menghukum paul dengan menyeretnya di jalanan itu sebenarnya masih belum cukup untuk membayar kejahatannya. Kent bahkan telah merelakan beratus-ratus jam kehidupan pribadinya hanya untuk mengintai keberadaan setan berwujud manusia itu. Lalu kini, di saat mentari bersiap untuk meninggalkan peraduannya, jerih payah Kent itu terbayar juga.

***

Tiga puluh menit kemudian, mereka telah berada di ruang gawat darurat RS. Santa Maria. Paul duduk di atas ranjang, sementara Kent berdiri bersisian dengan dokter muda bernama Peter yang siap mencatat semua yang ia lihat, temukan, dan rasakan. 

Peter memeriksa semua luka Paul, lalu mencatatnya dengan detail. Usai memeriksa semua luka, ia lanjut menurunkan celana Paul Joke berikut pakaian dalamnya. Kent mendebas kasar. Paul Joke telah mencukur bersih rambut kemaluannya. 

Sepertinya ia sudah menduga para penegak hukum akan berusaha keras untuk mendapatkan sample DNA-nya.

Namun, seberapa bersihkah dirimu mampu bercukur?

Kent tersenyum, berjalan santai ke arah Paul. Ia mendekatkan mulut ke telinga lelaki itu lalu membisikkan kata.

"Rumput yang kau cabut pun masih meninggalkan akarnya, Bung. Lantas apa yang membuatmu merasa yakin bisa mencukurnya sampai bersih?"

Peter mengacungkan ujung pingset di tangannya ke arah Paul. Pendek, tidak sampai setengah sentimeter, tapi segitu sudah cukup untuk melakukan uji DNA. Kent bersumpah, ia tidak akan gagal lagi. Kali ini Paul Joke benar-benar sudah berada di dalam genggamannya.

Paul mendesah. Hatinya berkecamuk antara kesal dan kecewa.

"Lagi pula apa susahnya menunggu rambut itu tumbuh lagi?" ujar Kent melangkah pergi dengan senyum kemenangan terpatri di wajahnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status