Share

6. Kencan Buta: Rakha dan Sakha Atmaja

Katha tidak pernah menyangka bahwa putra Pak Atmaja yang dijadwalkan kencan buta dengannya adalah lelaki yang pernah dia bantu di basement Atj Entertainment. Rakha Atmaja namanya. Katha cukup kecewa, karena dia merasa kalah sebelum berperang. Blus putih tipis dan rok mini merah yang dia pakai seperti tak berguna.

Sejak pertama bertemu, fokus Rakha adalah wajah miliknya. Katha sempat berpikir, Rakha akan merasa malu atas kejadian waktu itu. Namun, dia keliru. Lelaki berambut cokelat gelap itu tampak sangat senang meski mulutnya mengungkapkan kata malu.

Lantas, selama satu setengah jam pertemuan mereka, Rakha menceritakan banyak hal mengenai latar belakang kejadian di basement Atj Entertainment. Katha sendiri tak menyangka lelaki itu bisa menceritakan hal yang cukup sensitif dan pribadi pada dirinya.

“Saya tidak biasanya seperti ini. Entah kenapa bertemu kamu membuat saya jadi bisa terbuka,” ungkap Rakha.

Katha mengulas senyum tipis. Dia sudah kehilangan selera, selain karena cerita panjang Rakha, juga karena tak ada godaan yang bisa dia lakukan.

“Kalau menurut kamu, saya bagaimana?” tanya Rakha. Dia melipat lengan di atas meja dengan tubuh condong ke depan.

Seharusnya Katha bisa mengiyakan sosok Rakha dibanding harus bertemu dengan Rendra. Namun entah mengapa dia merasa tidak bisa klik. Terlebih setelah cerita panjang Rakha yang menurutnya terlalu terbuka dan suram, seakan-akan lelaki itu tak punya sisi cerah di hidupnya.

“Kalau saya tanya pendapat kamu dulu, boleh tidak?” Katha balik bertanya. Dia menyibak rambut panjangnya ke belakang, hingga bagian depan tubuhnya lebih terlihat.

“Saya rasa kamu cukup pintar untuk tahu isi kepala saya tentang kamu.” Rakha tersenyum dengan pipi yang sedikit bersemu. “Saya …” Lelaki itu menggelengkan kepala, lalu mengayunkan telapak tangan—mempersilahkan Katha menjawab tanyanya tadi.

“Saya tertarik dengan banyak lelaki,” bisik Katha pada akhinya. Dia menoleh ke kanan-kiri, seolah-olah waspada ada yang mendengar ucapannya. Tubuhnya dia condongkan ke tengah meja.

Kedua ujung alis Rakha nyaris bertemu. “Kamu sebelumnya sudah pernah ikut kencan buta?” tebaknya.

Anggukan Katha mewakilkan jawabannya. Dia menjentikkan jari. “Tepat sekali.”

“Berapa kali?”

“Dua.”

“Semua membuatmu tertarik?”

Suara Rakha kali ini terdengar sedikit memelan, namun Katha bisa mendengar setitik harapan di sana.

“Mereka semua menarik,” dusta Katha. Padahal dia masih mual kala terbayang kombinasi Dufan dan Seiya, serta muak mengingat perkataan Danu Sanjaya.

Bahu Rakha melemas. Dia menjauhi meja dan menyandarkan punggung ke kursi. “Mungkin kita harus sering bertemu setelah ini,” ujarnya. “Saya tertarik sekali sama kamu, Katharina.”

Katha diam dan mulai memikirkan hal lain yang bisa menghentikan percakapan. Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan kirinya. Jam makan siang sudah berlalu, namun Kandara sudah terlanjur mengatakan pada Rakha kalau hari ini dia dibebaskan dari pekerjaan.

Lalu, seperti menjawab kerisauannya, gawai Rakha berbunyi. Lelaki itu segera meminta izin untuk menjawab panggilan. Bola mata Katha mengikuti ekspresi wajah Rakha. Bisa dia tangkap bahwa lelaki itu mendesah kecewa. Beberapa detik kemudian, panggilan diputus.

“Ah, maaf sekali, saya harus kembali ke kantor. Ada hal mendesak.”

Raut kecewa Rakha berbanding terbalik dengan sorakan di kepala Katha. Dia langsung mengangguk dan mengulas senyum ramah. “Tidak masalah. Pekerjaan itu pasti butuh kamu dibanding saya.”

“Maaf, ya,” ucap Rakha. Dia bahkan berani menyentuh punggung tangan Katha dengan lembut.

Katha mengayun lengannya dan balas membelai punggung tangan Rakha. “Tidak masalah. Hati-hati di jalan.” Padahal, Rakha belum berdiri dari duduknya.

Sebab ucapan Katha itu, akhirnya Rakha bangkit. Dia memasang kembali jas biru tua yang tadi dilepasnya. “Senang bertemu denganmu. Saya harap kita punya kencan lain lagi biar saya jadi lebih menarik dibanding mereka.”

“Sayangnya tidak ada yang lebih menarik dibanding diri saya sendiri,” goda Katha dengan kepercayaan dirinya.

Rakha tertawa. Dia mengulurkan tangan. “Saya tidak bisa berdebat soal itu.”

Katha mengedipkan sebelah matanya, lalu membalas uluran tangan Rakha.

Saat Rakha sepenuhnya menghilang dari pintu Angkasa, Katha cepat-cepat berdiri. Dia menoleh ke sekitar untuk mencari sosok Langit. Dan di balik meja kasir Katha menemukan Langit yang sedang bersandar di dinding sambil mencibir ke arahnya. Dia pun memilih menghampiri Langit dan meninggalkan tasnya di meja.

“Lancar, nih, kayaknya,” ucap Langit.

Katha menggeleng-gelengkan kepala “Kacau. Baru ini gue ketemu cowok yang ngumbar sisi kelam hidupnya ke orang baru. Apalagi teman kencan.” Dia melipat lengan di depan dada.

Langit tertawa. “Ya, mungkin itu spesies baru. Jenis baru yang mungkin cocok untuk mengalahkan posisi Rendra di depan Om.”

“Gue nggak bisa bayangin hidup sama dia dan ikut-ikutan masuk ke lubang hitam. Bisa hancur pesona gue.” Katha mengibaskan rambutnya.

Langit cepat-cepat menarik rambut Katha ke depan lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Buset, Tha. Kancingin itu baju.”

“Eh, lupa,” kekeh Katha. Tangannya segera bergerak untuk mengancingkan blus putihnya. “Ngomong-ngomong, Rabu nggak bakal ke sini, kan?” tanyanya. Tiba-tiba dia teringat kejadian semalam di mana Rabu muncul secara mendadak.

“Lo tenang aja. Tadi gue sendiri yang antar makan siang dia ke kantor.”

Perasaan lega langsung mengaliri dada Katha. Dia bisa membayangkan betapa malu dirinya kalau Rabu sampai tahu dia melakukan kencan buta. Apalagi dia belum sempat membungkam para karyawan Langit.

“Ya, udah, gue mau tidur di situ.” Katha menunjuk mejanya. “Nanti bangunin kalau udah jam empat. Gue mau ke kantor Rabu.”

Langit berdecak. “Tidur di ruangan gue, Tha. Itu buat pelanggan.”

“Gue pelanggan, karena gue bayar,” sahut Katha cuek.

Namun, sebelum Katha beranjak meninggalkan Langit untuk kembali ke mejanya, matanya menemukan wajah Rakha Atmaja yang tahu-tahu ada di sebelahnya. Hampir saja dia terjatuh kalau Langit tidak mencengkram lengannya.

“Eh, Rakha?” tanyanya. Katha mengernyit saat menemukan keanehan. Ekspresi itu berbeda. Begitu juga dengan penampilan Rakha yang ada di sebelahnya.

“Oh, kamu yang habis kencan dengan Rakha?”

Pertanyaan itu membuat Katha mengingat satu cerita Rakha tadi: saudara kembar. “Kamu Sakha Atmaja?” tanya Katha.

Lelaki itu mengangguk, lalu tersenyum. “Dia cerita soal aku atau kamu tahu kalau Pak Atmaja punya anak kembar?”

“Dia cerita,” jawab Katha. “Jadi, ada apa?” Keheranan itu menyergap kala ia sadar betul bahwa Sakha memang datang menghampirinya.

“Ah, enggak. Aku mau duduk di kursi itu, tapi ada tas. Aku pikir itu pasti tasmu,” sahut Sakha sambil menunjuk meja yang tadi diduduki Katha.

“Oh, aku kira kamu menghampiriku karena tahu aku teman kencan kembaranmu.”

Sakha tertawa renyah, lalu dia menggeleng-gelengkan kepala sambil mengibaskan lengan. “Tidak. Aku tidak tahu. Aku hanya tahu dia ada kencan di sini. Dan siapa sangka kita malah bertemu.”

Tawa Sakha menulari Katha. “Sebuah kebetulan yang menarik.” Dia melirik Langit, lalu memberi kode dengan ekor matanya agar lelaki itu pergi.

Langit mendengkus, lantas beranjak ke arah dapur. Dalam hati ingin sekali dia melaporkan Katha pada Rabu agar kegilaan anak perempuan Agung itu cepat berakhir.

“Ngomong-ngomong, kamu ada urusan apa di sini? Jam makan siang sudah berlalu, kan?” tanya Katha.

“Sama seperti Rakha, aku juga ada jadwal kencan buta.”

Katha mengangkat kedua alisnya. “Sebuah pilihan yang unik, kencan di restoran keluarga seperti ini.”

“Bukannya kamu juga begitu?” kekeh Sakha.

“Aku selalu kencan di sini. Ini tempat favoritku. Makanannya juara.” Katha mengacungkan jempolnya.

“Sepertinya rumor yang kudengar benar. Kalau tidak keberatan, boleh aku duduk di meja yang sama? Kamu bisa merekomendasikan makanan yang menurutmu bisa memenangkan lidah semua orang,” ujar Sakha.

Katha dengan cepat mengangguk. Percakapan singkat yang tak terduga itu membuat Katha tiba-tiba jadi bersemangat. Apalagi, Sakha Atmaja memiliki penampilan yang berbeda. Lelaki itu tampak unik dengan kemeja kerja yang dibungkus jaket denim.

Keduanya lantas melangkah menuju meja, di mana tas Katha masih diam dengan aman. Meja sepenuhnya telah bersih. Gelas kosong yang tadi tersisa juga sudah diangkut.

“Teman kencanmu mana?” tanya Katha.

Sakha tiba-tiba menggeleng. Dia membuat gesture seakan-akan sedang berbisik, padahal suaranya bisa didengar dalam radius satu meter. “Sebetulnya, aku sudah muak kencan buta.”

Tawa Katha langsung menyembur. Ucapan Sakha itu juga mewakilkan dirinya. “Berapa kali?” tanyanya.

“Lebih dari sepuluh?” jawab Sakha tidak yakin. “Jadi, bisa kita kencan dadakan? Aku merasa oke ngobrol sama kamu.”

Katha mengedipkan sebelah matanya. “Aku juga oke.”

Lantas keduanya bertukar nama, mengobrol dan menghabiskan beberapa makanan setelah Sakha membatalkan kencannya secara sepihak. Dia sempat mematikan sambungan telfon saat Katha bisa mendengar teriakan dari lawan bicaranya.

“Aku pernah bertemu Rendra. He is a nice person,” ungkap Sakha.

Ucapan Sakha membuat Katha sedikit merasa geli. Namun, dia hanya mengangkat bahu. “Entah. Aku merasa akan ada hal buruk kalau aku ketemu dia.”

“Seperti diseret ke KUA?” goda Sakha.

“Bagaimana kamu bisa tau apa yang kupikir?” kekeh Katha.

“Kehebatan seorang Sakha,” ujar lelaki itu sambil menyugar rambut hitam legamnya.

Rambut hitam yang sebenarnya sudah diperhatikan Katha sejak keduanya duduk di meja yang sama itu, tiba-tiba memanggil ingatannya pada beberapa peristiwa. “Sakha, kamu punya kenalan yang namanya Tiara?”

“Ada,” jawab Sakha diiringi kernyitan di dahinya.

“Kamu pernah datang ke pesta ulang tahunnya?”

Anggukan Sakha membuat Katha tiba-tiba tersenyum lebar. Dia menepuk tangan dengan semangat karena keyakinan yang menguat. “Kamu waktu itu bantu perempuan yang lagi mabuk, bukan?”

Sakha mengingat jelas kejadian yang dimaksud Katha, karena waktu itu dia terpaksa memberikan sebotol air mineral yang tersisa di rumah Tiara. “Yang pakai gaun merah?”

Katha menjentikkan jarinya. “Tepat.”

“Kalau seingatku itu bukan kamu.”

“Memang bukan aku. Itu sahabatku.” Katha tertawa kala Sakha meresponnya dengan menaikkan kedua alis. “Dan, ya, aku mengingat rambut yang kelihatan sangat gelap itu.” Dia menunjuk rambut Sakha. “Belum lama ini, kamu juga ke Dufan, kan?”

Kernyitan Sakha kian mendalam. “Iya. Apa saat itu kamu juga di sana?”

Katha tertawa sekaligus merasa mual. “Astaga aku malu banget. Waktu itu teman kencanku muntah di sepatumu.”

“Ah, itu.” Sakha mengacungkan jarinya dan menepuk-nepukkannya ke tulang pipi. “Aku ingat,” kekehnya. “Kamu nunduk terus waktu itu.”

Katha berdecak. “Sumpah, aku malu banget. Tapi uniknya, aku bisa ingat sekali sama rambutmu.”

“Karena terlalu hitam?”

Katha mengangguk. “Itu kamu cat, atau ….” Katha tidak bisa melanjutkan ucapannya karena matanya menangkap sesuatu. "Turun!” pekiknya terlahan. Dia sendiri langsung turun ke bawah meja sambil menarik tas.

Sakha menoleh sambil kebingungan. Namun, saat Katha menarik-narik celananya, dia pun akhinya ikut bersembunyi di bawah meja.

“Ada apa?” Sakha otomatis berbisik.

Katha mendesis sambil menempelkan jari telunjuk di depan bibir. Mata perempuan itu mengikuti pergerakan kaki seseorang yang baru memasuki Angkasa. “Sial si Langit!” umpatnya.

“Kenapa?” tanya Sakha lagi. Dia masih tidak mengerti alasan Katha menyeretnya bersembunyi di bawah meja seperti orang yang ketahuan selingkuh. Atas pemikiran itu, matanya tiba-tiba terbelalak. “Kamu sudah menikah?” tanyanya.

Katha langsung menoleh dan melotot. “Itu ada sahabat aku.” Dia menunjuk ke arah kaki yang sedari tadi dia perhatikan. Sosok itu memang Rabu, lelaki yang dipastikan Langit tidak akan datang ke Angkasa hari ini. Namun, ternyata ucapan Langit keliru.

“Memangnya kenapa kalau ada dia?” Sakha bertanya heran.

“Dia bakal ngetawain kalau tahu aku mau dijodohin Papa dan harus ikut kencan buta untuk menghindari itu,” jawab Katha masih dengan suara lirih.

Namun, tiba-tiba saja atas ucapannya sendiri, terbersit suatu ide di kepala Katha. Dia menoleh ke arah Sakha yang masih mengernyit. Lelaki itu hendak menanyakan sesuatu, tapi dia dengan cepat mendahului.

“Sakha, aku tiba-tiba punya ide yang bagus buat kita berdua,” celetuknya sambil tersenyum lebar, seolah-olah menemukan solusi paling tepat.

“Apa?” tanya Sakha.

“Bagaimana kalau kita menikah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status