Demi menghindari perjodohan dengan Rendra, Katha bersedia melakukan lima kali kencan buta yang diatur ayah dan kakaknya. Namun, usai kencan ketiganya gagal, Katha bertemu Sakha Atmaja. Keduanya berbincang, lantas sepakat untuk menikah karena berada dalam situasi yang serupa. Sayangnya, Katha gagal mendapat persetujuan sang ayah, karena dicurigai hendak melakukan pernikahan kontrak dengan Sakha. Kegagalan itu menyebabkan kabar perjodohan Katha sampai di telinga Rabu. Sahabatnya itu langsung menggila dan memaksa akan melamarnya dengan dalih keselamatan.
View More“Jadi, kenapa kamu mau ikut kencan buta seperti ini?”
Katha yang tadinya menyibukkan diri dengan memandangi rumput sintetis di dinding sebelah kanan, akhirnya menoleh. Dia mengulas senyum menggoda lagi, seperti tadi saat percakapan demi percakapan terlontar.
“Kamu sendiri kenapa mau?” Katha balik bertanya.
“Saya nggak bisa nolak waktu Kandara menunjukkan foto kamu. Kamu tahu, kamu sangat cantik,” puji Danu.
Danu Sanjaya namanya. Lelaki yang katanya seorang pengacara itu adalah teman futsal sang kakak—Kandara. Katha sempat menolak calon dari kakaknya itu. Sayangnya, Agung Eka Syahputra tidak mau menerima penolakan yang kesekian dari dirinya. Katha akhirnya tak bisa berkutik kala Agung mengancam akan segera mempertemukannya dengan Rendra—calon yang sangat diinginkan sang papa.
“Aman nggak?” tanya Katha saat Kandara menunjukkan foto Danu.
“Yang penting tampang oke.”
Jawaban Kandara dua hari lalu dibenarkan oleh mata Katha saat melihat sosok Danu di ambang pintu Angkasa Resto. Dia sempat menyeringai, sebelum akhirnya sadar kalau tidak boleh memanfaatkan situasi yang salah.
“Jadi, kenapa kamu mau kencan buta dengan saya?” Danu mengulang pertanyaannya.
Katha menebak bahwasannya Danu ingin diberi alasan yang sama. Lelaki itu ingin dipuji parasnya, seperti halnya dia. Sayangnya, Katha enggan sekali memuji kalau akhirnya mereka berdua tak akan melewatkan dua jam tambahan dalam kencan kali ini. Dia sudah bosan dan muak, tapi tak ingin meninggalkan kesan buruk.
“Oh, untuk uji coba,” jawab Katha asal sambil memperbaiki posisi duduknya yang melorot. Lemak perutnya tadi terlihat, hingga dia menegakkan punggung dan menyilangkan kaki kanan di atas paha kiri. Perubahan posisi itu malah membuat pahanya makin terekspos. Tapi, dia memang sengaja, bahkan dua kancing teratas blus kuning gadingnya dibiarkan terbuka.
Lelaki, memanglah lelaki. Mata Danu langsung beralih dari wajah menuju paha Katha
“Uji coba apa?” tanya Danu penasaran.
“Uji coba kesetiaan sebelum nikah,” jawab Katha setengah berbisik.
Pandangan Danu seketika kembali pada wajah cantik Katha. “Kamu sudah ada calon suami?”
Bulatan bola mata Danu membuat Katha tertawa. “Menurut kamu saya masih single? Kan kamu sendiri tadi yang bilang kalau saya cantik.” Pada kenyataannya Katha memang belum mempunyai pasangan di usianya yang ke-28 ini, hingga Agung harus menyeret nama Rendra untuk mengancam sang putri.
Wajah Danu Sanjaya yang sejak tadi terlihat angkuh dan percaya diri akhirnya pias. “Lalu, kenapa Kandara bilang kalau kamu sedang mencari calon?”
Katha menyandarkan punggungnya lagi. “Benar, kan? Saya memang mencari calon, calon percobaan.”
“Percobaan?” Dua ujung alis Danu hampir menyatu.
Katha menyesap kopinya yang sudah dingin, lalu mengembalikan cangkir ke atas meja. “Iya, seperti yang saya bilang tadi, soal kesetiaan.”
Katha pikir, Danu akan marah atas jawaban yang asal keluar dari mulutnya itu. Ternyata dia salah, jawaban itu malah membuat Danu tersenyum.
“Berarti kalau percobaan kamu gagal, kamu bisa saja jatuh ke pelukan saya?” tanya Danu.
Sial! Katha mengumpat dalam hati. Dia salah ambil strategi karena tadi kurang fokus. Melamun ternyata membuat kepalanya jadi bodoh.
“Sayang, sudah cukup main-mainnya,” tegur seseorang tiba-tiba.
Serempak Katha dan Danu menoleh ke sosok yang baru saja menghampiri meja mereka.
“Halo, saya Langit, calon suami Katharina,” ujar Langit sembari memasukkan tangan kanan ke dalam saku celana.
Melihat Langit, Katha bersorak dalam hati. Teman dekat sahabatnya itu ternyata tahu timing yang tepat untuk memberikan bantuan dan menyelamatkannya dari situasi yang keliru. Kalau saja tadi dia sampai salah menjawab, dua jam tambahan itu bisa benar-benar terjadi.
Katha nyaris terbahak kala melihat wajah Danu kali ini benar-benar pias. Lelaki itu seperti baru saja bangkrut dalam permainan monopoli setelah berhasil membeli belasan hotel. Katha pun segera berdiri dari duduknya untuk mengakhiri pertemuan ini.
“Terima kasih Danu buat obrolan yang menyenangkan tadi,” ujar Katha. Dia membungkukkan badannya dengan sengaja, hanya agar Danu semakin kebakaran jenggot kala melihat belahan dadanya.
Melihat itu, Langit langsung menyeret Katha setelah memberikan senyum pada Danu yang melongo dengan wajah memerah. Dia membawa Katha menuju ruang kerjanya.
Begitu pintu ruang kerja Langit tertutup, Katha langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa sambil terbahak-bahak. Dia benar-benar puas melihat kepercayaan diri Danu runtuh, hingga tak bisa mengatakan apa pun.
Tadinya dia sempat berpikir kalau Danu adalah lelaki yang cukup baik. Sayangnya, ketika dia memancing pembicaraan mengenai sosok istri yang bekerja, lelaki itu langsung menolak. Bagi Danu, tugas istri hanyalah mengurus rumah, suami dan anak. Maka begitulah Katha kehilangan ketertarikan, meski sebetulnya dia pun tak berniat jadi istri yang berkarir.
“Lo lihat tadi? Lihat, kan?” tanya Katha heboh.
Langit turut tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Katha. Perempuan itu kini sudah mengancingkan kembali blusnya dengan benar, meski masih sambil tertawa.
“Gila lo, Tha. Bisa marah besar si Rabu kalau lihat tingkah lo tadi,” ujar Langit.
“Ya, asal lo nggak ngadu aja,” sahut Katha. Perempuan itu kini sudah melepaskan high heels hitam dari kakinya.
“Lo belum cerita ke Rabu?” Langit kini duduk di sofa seberang Katha. Diamatinya sahabat perempuan dari sahabatnya itu. Cukup membingungkan? Ya, memang demikian.
Katha menggeleng. “Males, ntar dia resek ngejek-ngejekin gue.”
“Bukan karena lo takut Rabu marah?” pancing Langit.
“Marah apa, deh? Dia mah malah seneng kalau tahu gue dipaksa nikah sama Papa.”
“Marah kayaknya.”
“Mau taruhan?” tantang Katha.
Langit berdecak. Dia tahu akan selalu kalah taruhan dengan Katha kalau sudah menyangkut Rabu. “Nggak, nggak ada.”
“Takut, kan?” Katha tertawa, sedangkan Langit hanya mendengkus.
“Lain kali hati-hati, Tha. Tadi lo cukup keterlaluan, sih. Kalau tiba-tiba cowok itu nyerang lo karena udah terlanjur nafsu, gimana?”
“Nggak bakal,” sahut Katha santai.
Langit menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. “Yang penting lo nggak berbuat kayak gitu di depan Rabu. Bisa kesetanan dia.”
Katha berdecak kesal, hingga dia bangun dari posisi bersandarnya yang nyaman. “Apaan, sih, dari tadi ngomong Rabu mulu. Nggak ada dia marah-marah atau resek, asal lo tutup mulut dengan benar.”
“Gue, sih, bisa tutup mulut. Tapi, kan, anak-anak lihat kelakuan lo tadi.” Langit menepuk-nepuk apron di pinggannya.
Seketika Katha berdiri. “Astaga! Gue harus sumpal mulut mereka.” Dia cepat-cepat berlari keluar dari ruangan Langit dengan bertelanjang kaki menuju meja kasir.
***
“Nggak ada oleh-oleh!” bentak Rabu pada gawai yang melekat di telinga kanannya.
Di seberang sana, Katha sedang merengek. “Ayolah, Bu. Beliin oleh-oleh. Lo kan hobi beli oleh-oleh. Tapi, tiap pergi selalu nggak bawain gue oleh-oleh kalau gue nggak memohon kayak begini.”
“Nggak ada, Katha. Gue capek,” sahut Rabu.
“Halah, gitu terus alasan lo. Kemarin pas lo ke Pontianak, lo udah nggak beliin gue oleh-oleh. Sekarang pokoknya harus!”
Rabu mengulas senyum. Sebenarnya dia sekarang ada di salah satu toko perhiasan, bahkan tangan kanannya sudah meneteng bungkusan. Memang sudah cukup lama dia tidak membawakan oleh-oleh untuk sahabat perempuannya yang kurang ajar itu. Maka kali ini, dia berinisiatif sendiri sebelum Katha melayangkan protesnya.
“Lihat nanti,” ucap Rabu sambil menahan tawa kala mendengar teriakan Katha lagi. Samar-samar dia bisa mendengar alunan musik di antara napas kasar Katha. “Lo lagi di tempatnya Langit?”
“Iya.”
“Ngapaian? Nggak kerja?”
Butuh dua detik sebelum akhirnya terdengar jawaban dari Katha. “Nggak, gue diliburin sama Kandara.”
Rabu memicingkan mata. “Bukan lo yang maksa libur?” tuduhnya. Sebab, Katha memang sering meminta libur dari Kandara kalau dia sedang penat dengan pekerjaan.
“Enak aja. Kalau nggak percaya, lo bisa tanya langsung ke dia.” Nada suara Katha terdengar meninggi lagi.
Rabu menahan tawa sambil melirik tas kecil di tangannya. “Ya, udah. Jangan teriak-teriak, bisa kabur ntar pelanggan Langit.”
“Langit lo bawain oleh-oleh?” tanya Katha.
“Iya.”
“Tuh, kan, lo pilih kasih banget. Tanpa minta aja, Langit selalu di ….”
Rabu tidak menjawab, melainkan langsung mematikan sambungan telfon. Sengaja dia biarkan Katha marah-marah di sana. Sahabatnya itu memang suka sekali teriak-teriak seperti Tarzan. Langit bahkan menjuluki Katha petasan pasar malam kalau sudah kesal.
Terik matahari jam dua siang membuat Rabu akhirnya menggerakkan badan menuju parkiran. Dia merogoh saku celana untuk mengambil kunci mobil sewaannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuhnya ditabrak seseorang dengan keras dari arah depan, sampai-sampai dia limbung dan jatuh terlentang di atas trotoar.
“Astaga, maaf, maaf,” ujar sosok itu sambil cepat-cepat berdiri dari atas tubuh Rabu.
Rabu mengerutkan dahi untuk menghalau silau. Begitu matanya bisa melihat dengan jelas, dia menemukan orang yang menabraknya tadi mengulurkan tangan. Saat dia telusuri tangan itu, matanya seketika terbelalak menyadari wajah yang sangat tidak asing di ingatannya.
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments