Tidak lama kemudian, Lia sudah tertidur pulas. Karena aku tidak bisa tidur, aku putuskan untuk jalan-jalan keluar. Tidak aku sangka, ternyata di ruang tamu ada Paman Bob yang sedang memandangiku dengan serius.
"Bagaimana? Sudah bersenang-senang dengan anakku?" Paman Bob duduk santai di ruang tamu.
"Ehh, bukan seperti itu paman," aku panik sekali, bisa-bisa aku dihajar masa.
"Ahahaha bercanda, kenapa malah keluar kamar?" anehnya paman Bob malah tertawa santai.
"Karena dari tadi tidurku diganggu Lia, jadi tidak bisa tidur lagi. Ada banyak pikiran, aku mau jalan-jalan sebentar sekalian melatih sihirku." Aku berjalan menuju pintu depan dengan perasaan masih tidak yakin dengan tanggapan paman Bob.
"Sudah malam lho,"
"Malah bisa lebih tenang latihan." Aku berhenti dan melihat paman Bob.
"Oh iya, kau mau tidak aku ajari teknik berpedang? Kebetulan aku mantan prajurit kerajaan." Sambil menunjukkan otot lengannya yang besar.
"Sudah aku duga, ayo!" Aku antusias dan segera menuju keluar.
"Mau ke mana?" masih duduk santai.
"Katanya mau melatihku?" Aku yang sudah membuka sebagian pintu jadi terhenti.
"Haha besok saja, aku mau tidur." Paman Bob merebahkan badannya, aku lalu berjalan ke arahnya dan ikut tiduran di samping paman Bob.
"Ngapain di sini? Sana tidur di kamar!" Sambil dia tendang aku.
"Di kamar ada Lia!" Aku duduk sambil menjaga jarak dari paman Bob.
"Ya tidurlah sama Lia!" Mengibaskan tangannya tanda mengusirku.
"Tapikan,"
"Tapi apa? Kau takut ya?" paman Bob dengan muka ngeselin.
"Ok baiklah, aku nikmati Lia malam ini." Aku berdiri lalu segera masuk ke kamar Lia. Sebelum aku tutup pintu kamarnya, aku keluarkan kepalaku sedikit sambil menunjukkan ekspresi tersenyum mesum.
"Hahaha sok berani!"
Heran aku sama paman Bob, orangnya terlihat garang namun tidak pernah bisa serius. Aku segera tiduran di samping Lia, mungkin karena terlalu lelah berlatih sihir, aku jadi bisa tidur.
....
Paginya, aku bangun lebih dahulu daripada Lia. Padahal aku tipe orang yang tidak bisa diam saat tidur, tapi posisi tidurku tidak berubah sama sekali, malah Lia yang posisinya sudah menyilang di atasku.
"Lia, oii sudah pagi!" Aku gerak-gerakkan badannya.
"Sudah pagi ya?" Dia terbangun lalu duduk, namun dengan mata masih tertutup. Rambutnya berantakan tapi masih terlihat sangat cantik.
"Sore!" aku jawab dengan kesal.
"Hahaha,"
Saat aku ingin bangun, dia malah mendorongku kembali lalu tiduran sambil memeluk lenganku dan bantalan di pundakku. Posisi tubuhnya membelakangi aku, wangi rambutnya tercium harum, tanganku yang dipeluknya menyilang di dadanya hingga terasa sensasi kenyal.
"Woi Lia!" Rambutnya aku gigit menggunakan bibirku lalu aku tarik.
"Berisik ih, mau tiduran sebentar lagi." Sambil mencubit lenganku.
"Lepaskan aku dulu!"
"Diam!"
"Kamu taruh tanganku di mana? Bodoh!" Aku cubit pipinya menggunakan tangan kananku. Lia membalikkan badannya, kemudian bantalan di dadaku sambil memeluk tubuhku. Mampus aku, kepala Lia tepat di atas dadaku jadi kemungkinan besar dia tau kalau jantungku berdebar.
"Hehehe kenapa berdebar-debar?" Dia mendongakkan kepalanya, menatap ke arahku sambil tersenyum.
"Karena kamu lah! Memangnya siapa lagi?" Aku pandangi dia dengan kesal namun malah membuat dadaku tambah berdebar kencang.
"Ehh, aku tidak menyangka kamu akan jawab begitu hahaha." Dilanjutkan memeluk tubuhku dengan erat.
"Sudah ayo bangun!"
____
Siang harinya, aku dilatih berpedang oleh paman Bob. Ternyata paman Bob mempunyai beberapa pedang panjang, ada yang dari besi dan kayu dengan berbagai ukuran. Aku diberi pedang besi berukuran sedang, sedangkan paman Bob mengambil pedang kayu berukuran besar.
"Kenapa aku menggunakan pedang asli dan paman pedang kayu?" Aku berjalan menuju tempat pedang yang ditaruh di kolong rumah.
"Ya, kau takkan bisa mengenaiku, jadi kenapa aku khawatir?" Sambil mengangkat kedua tangannya seperti Khaby Lame.
"Biar adil, aku juga pakai pedang kayu," hanya alasanku saja sih, sebenarnya aku phobia darah dan juga saat melihat logam tajam pikiranku jadi kemana-mana.
"Pakai saja, kalau kau bisa membuat pedang kayuku rusak, aku juga akan memakai pedang asli." Sambil mengacungkan jempolnya.
"Hahh malah tambah parah, kita berdua pakai pedang kayu saja." Saat aku akan mengambil pedang, tiba-tiba saja paman Bob melesat ke arahku, untung saja aku reflek menggunakan penghalang. Walau dapat aku tangkis, namun hempasan anginnya membuat pasir berhamburan.
"Ohh mau pakai sihir juga?" Paman Bob melompat ke belakang membuat jarak.
"Reflek,"
Ada aura energi menyelimuti pedang kayu paman Bob, lalu dia serang aku lagi. Serangannya kali ini jauh lebih kuat dibanding sebelumnya dan aku hanya bisa bertahan dari serangannya.
"Paman, katanya mau melatihku, kenapa malah membantaiku?" Aku berbicara disela-sela menahan serangan yang bertubi-tubi.
"Hahaha pikirkan saja caramu menyerang balik." Sambil terus menyerangku, aku lalu berteleport di belakangnya dan menendangnya dengan cepat, namun paman Bob bisa menyadari dan menangkis seranganku.
"Tidak buruk juga," ujarnya.
Aku lakukan berulang dan masih saja bisa ditangkis. Saat aku teleport mencari jarak, paman Bob dengan cepat mengejarku. Saat hampir mengenaiku, aku teleport di belakangnya dan dia tidak sempat bisa menangkis. Sayangnya, tendanganku tidak bisa membuatnya jatuh.
"Percepatan pikiran!" gerakan paman Bob terlihat lebih lambat, walau aku tidak bisa mempercepat gerakanku. Saat paman Bob mengangkat pedangnya, aku segera tangkis dengan penghalang. Pedangnya terhenti, namun paman Bob segera menendangku dan aku tidak sempat menghindar. Tendangannya tepat di perutku hingga membuatku tersungkur dan terlempar.
"Hahaha kesempatan tidak datang dua kali." Paman Bob mendatangiku dan berdiri di sampingku yang sedang memegangi perut sambil meringis kesakitan.
"Aduhh sakit."
"Ayo berdiri lagi!" Paman Bob menarik tanganku agar segera berdiri, kami melanjutkan latihan atau lebih tepatnya paman Bob menghajarku sih. Aku sama sekali tidak menggunakan pedang dan membuat tubuhku babak belur penuh memar.
"Kalian berdua sudah mulai gelap," nenek memanggil kami, tidak kami sadari ternyata hari sudah mulai gelap.
"Ayah pasti berlebihan!" Lia mendatangiku lalu membantuku berjalan.
"Hahaha dia saja yang lemah." Sambil membereskan pedang.
"Tuan Al kemarilah!" Nenek melambaikan tangan kepadaku, aku dibantu Lia mendekati nenek. Ternyata nenek menggunakan sihir kepadaku, padahal hanya mengulurkan tangannya saja, memar di tubuhku hilang dan badanku terasa segar kembali.
"Nenek bisa menggunakan sihir? sihir apa ini nek?"
"Ini sihir penyembuhan, saya bisa menggunakan sihir karena cincin pemberian Tuanku dulu." Diperlihatkan cincinnya yang terbuat dari kristal transparan dan berkilau membentuk ranting tanaman.
"Oooo cincin?" cincin perhiasan yang dipakai di jari lho ya. Mungkin lain kali bisa aku coba sihir itu.
"Al mandi duluan sana, aku mau menghilangkan keringat dulu." Paman Bob duduk di depan pintu, tepatnya di tangga rumah sambil menyeka keringatnya.
"Okey paman,"
....
Malamnya, aku diajak untuk berjaga di mercusuar, letak mercusuar ternyata lumayan jauh dari rumah Lia.
"Ahh kalau seperti ini, kami para nelayan akan kehilangan mata pencaharian," gerutu paman.
"Apa tidak ada bantuan dari kerajaan?"
"3 hari yang lalu ada yang diserang monster itu dan berhasil selamat, namun para warga tidak mempercayainya. Karena kemarin aku juga melaporkan kejadiannya, warga sedikit lebih percaya adanya monster,"
"Jadi, berapa hari akan tiba bantuan?"
"Perjalanan menggunakan kuda dalam waktu 4 hari,"
"Hahh? Gila jauh banget, berarti butuh waktu 8 hari?"
"Mengurus ijin dan lain-lain jadi minimal 10 hari bari sampai kemari,"
Bangunan mercusuar ternyata masih terbuat dari kayu setinggi 20 meter. Walau terbuat dari kayu, namun terlihat sangat kokoh. Di samping mercusuar ada beberapa kapal yang bersandar di pelabuhan.
"Jean, sejak kapan kau pulang?" Paman bob menyapa pria berbadan besar seperti dirinya. Banyak juga warga yang berjaga di sana, mungkin saja ada belasan orang.
"Tadi pagi, siapa anak muda itu?" Jean menunjuk ke arahku.
"Bapak-bapak perkenalkan ini Al, anak muda yang telah menolongku." Paman Bob memperkenalkan aku kepada para warga di sana sambil merangkulku.
"Anak seumur putrimu ini? Bagaimana bisa?" Jean seorang pria dengan badan tinggi besar penuh otot memandang rendah kepadaku.
"Memang benar begitu adanya, apa aku pernah berbohong?" ujar paman Bob.
"Seberapa hebatnya dia?" Jean.
"Maaf bapak-bapak, memang benar kalau saya yang menolong paman, tapi saya tidaklah hebat. Saya tidak bisa menggunakan sihir serangan, hanya sihir teleportasi," ujarku.
"Hah apa itu?" Mereka semua terlihat kebingungan, karena nenek dan Lia mengetahuinya jadi aku kira mereka bakal tau.
"Intinya sihir yang membuat kita berpindah tempat,"
"Ohh jadi kau hanya bisa melarikan diri seperti pengecut?" Jean menertawaiku namun aku diamkan saja.
"Seperti itu juga tidak apa, bolehkah saya melihat dari atas mercusuar?"
"Kalau memang ada monster seperti itu, aku Jean akan menghabisinya," ujar Jean sombong, memang dia memiliki kekuatan fisik yang jauh melebihi para nelayan di sini, namun dia masih jauh di bawah paman Bob. Dia mengajak anak buahnya menuju kapal yang berada di samping mercusuar.
"Jangan gegabah Jean! Sebagai nelayan seharusnya kau tahu kalau gurita aktif mencari makan pada malam hari, tunggulah hingga besok siang,"
Tanpa menghiraukan peringatan dari paman Bob, pria itu pergi ke tengah laut dengan kapalnya bersama beberapa anak kapal dan hanya bersenjata 2 panah besar di dek kapal.
"Paman, panah apa itu?" Aku tunjuk panah besar yang ada di kapal Jean.
"Oh panah besar itu? Itu panah yang biasa kami gunakan untuk menombak ikan besar,"
"Ada banyak kah di sini?"
"Lihat kapal itu, hampir setiap nelayan memilikinya, memangnya kenapa?" Paman Bob menunjukkan kapal yang bersandar di pelabuhan dekat mercusuar. Di bagian depan dan belakang kapal ada panah besar tersebut.
"Hmm tidak, cuma ada yang terlintas dalam pikiranku." Aku lalu menaiki tangga dan sesampainya di atas, ternyata pencahayaan terbuat dari api bakaran kayu yang disorotkan oleh kaca berbentuk lingkaran cekung.
"Apa tidak berbahaya membuat api di sini?"
"Lihat lah pasir di bawah api itu, ada pasir sedalam setengah meter untuk meredam panasnya." Paman Bob menunjuk ke arah kotak pasir.
"Ohhh pantesan." Aku coba pandangi lautan, karena gelapnya malam, jadi tidak terlihat apapun.
-Pandangan malam-
Wohh berhasil, ternyata memang hanya butuh imajinasi saja untuk membuat sihir. Namun kok hanya kapal jean yang terlihat? ohh baiklah selanjutnya.
-Penglihatan hawa panas-
Aktif juga tapi kok lautannya masih kosong? Bodohnya aku, ikan sama gurita mana ada suhu tubuh. Lalu bagaimana ya? Berpikirlah berpikirlah.
-Sihir pendeteksi-
Dengan sihir pendeteksi, aku dapat merasakan aura makhluk hidup baik hewan maupun manusia hingga lokasi tepat mereka berada dengan radius ratusan meter di sekelilingku. Namun radiusnya bertambah jauh kalau aku fokuskan pada satu titik saja.
"Monster itu mendekati kapal Jean," ucapku saat melihat ada gurita besar yang berenang menuju kapal Jean dari bawah laut.
"Benarkah? Tidak terlihat apapun dari sini." Paman Bob mencoba melihat, namun apa boleh buat. Ternyata jean pun menyadarinya, saat gurita itu muncul di permukaan, langsung dia panah tepat mengenai pangkal tentakelnya. Tertusuknya panah itu membuat gurita marah dan menyerang kapal. Dililitnya haluan kapal Jean dan diremas sampai bagian-bagian kapal hancur. Semua kru kapal berlarian menuju tempat nahkoda yaitu tempat Jean berada.
"Tolonggg tolongg!"
"Woi, kembali di posisi masing-masing!" Jean berteriak.
"Tapi, bagian depan kapal sudah hancur,"
"Anak buah gak guna!" Jean berjalan menuju panah yang satu lagi.
Cetass. Haaarrrrrrk
Monster itu terkena panah Jean saat akan menyerang, jadi tentakelnya tertembus oleh panah lalu menancap tepat di kepalanya.
"Hahaha rasakan! Berani-beraninya melawan Jean,"
"Woooh tuan Jean hebat!" para kru kapal bersorak.
Krrrrtak. suuuut
Kayu yang digunakan untuk tiang layar kapal patah, dengan arah jatuhnya menuju bagian nahkoda. Mereka sempat berpikir untuk melompat, tapi siapa sangka, tentakel gurita itu sudah berada di samping mereka. Jean panik, apalagi dengan anak buahnya karena tidak ada jalan untuk kabur.
Bruuussshh byuurr Tiang itu jatuh sampai mengenai air laut, ombak besar terbuat karena hentakannya. "Kenapa kita di sini?" "Kita selamat?" Jean, anak buahnya dan beberapa bagian kapalnya berhasil aku pindahkan menuju daratan. "Woyy! Apa yang kau lakukan!? Gurita tadi sudah terkena seranganku!" Jean berteriak kepadaku yang masih di atas mercusuar. "Tidak kah kau lihat kondisi kapalmu? Kalau aku diamkan, semua kru kapal termasuk dirimu hanya akan menjadi santapannya!" aku sedikit kesal, bukannya berterima kasih malah menyalahkanku. "Bersyukurlah Jean karena masih selamat," Bob "Asssh sial! Jadi bagaimana rencana kalian selanjutnya?" Jean "Menyerangnya dari atas air sangatlah berbahaya." Paman Bob kemudian turun dari mercusuar. "Aku punya ide, aku akan pindahkan gurita itu men
Setelah aku selesai mandi, kami segera berangkat menggunakan kereta kuda. Walau ini dunia sihir, namun sepertinya lebih maju dari bayanganku. Rumah dengan atap seng, lalu kereta kuda ini, sudah menggunakan ban dari besi dan karet, dilengkapi per seperti truk. Walau sisi kiri dan kanannya hutan lebat, tapi jalanan di sini sudah dikeraskan menggunakan beton semen. "Sering ada monster yang menyerang pemukiman?" aku bertanya agar tidak bosan karena paman Robert mengendarai dan aku duduk di bagian belakang. "Biasanya tidak ada, tapi beberapa hari yang lalu kami kehilangan ternak lalu hari berikutnya ada yang memergoki serigala yang mencurinya. Kami takutnya jika para serigala itu sampai menyerang warga lagi," Robert. "Memangnya tidak bisa kalian usir sendiri? kan hanya serigala," "Mau dilawan pun tidak mungkin sanggup, mereka bukan serigala biasa tapi monster tingkat atas,"
"Tuan Al?" Serigala paling besar itu berubah menjadi wujud manusia lalu berlutut di hadapanku diikuti serigala lainnya. "Bagaimana kamu tahu namaku?" "Oh maaf, saya hanya mendengar rumor tentang anda," Wah Segawon, sesat ini yang ngasih nama. "Kau pemimpin mereka? Siapa namamu?" Padahal aku sudah tahu, tapi untuk basa-basi saja. Karena penampilan dia berbeda sendiri, yang lainnya setengah badan bagian bawahnya masih berwujud serigala sedangkan dia seperti manusia seutuhnya. "Iya tuan, nama saya Segawon. Maafkan kami karena telah menyerang manusia, kami dikendalikan oleh lich (undead penyihir),"
"Bangsawan Slosom meminta perjodohan dengan cucu saya," nenek Lona terlihat panik sekali. "Cucumu Lia? Hahaha apa hubungannya dengan kami?" Erin menyilangkan tangannya di dada. "Cari mati dia! Bangsawan bangsawan apaan? Beraninya mengaku bangsawan di negara ini!" Violet berdiri dan mengangkat tangannya sambil mengeluarkan energi sihir di tangannya. "Tenanglah Violet!" Noe. ____ "Waduh aku kebablasan." Saat aku bangun, kami berdua masih telanjang dan Lia masih tidur sambil memelukku dengan erat. "Woh iya, koin kemarin." Aku lupa menaruhnya di mana, aku lihat di sekelilingku tapi tidak terlihat. Saat aku ingin berdiri, kakiku mengenai sesuatu. Crikk.. Ternyata kantong koin itu ada di pojokan kasur. "Al ada apa?" Lia terbangun karena suara berisik dari sekantong koin.
Saat aku sadar, posisiku sudah diikat di kursi. "Darling, akhirnya bangun juga." Cewek tadi berada di pangkuanku, tiba-tiba saja dia menciumku sambil terus menatap mataku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya, aroma wangi dari tubuhnya begitu harum. Matanya berkaca-kaca, aku merasakan ada perasaan yang mengalir. Saat aku sedang menikmati ciumannya, aku dikagetkan dengan teriakan seseorang. "Nia apa yang kau lakukan!?" teriak seorang cewek yang mukanya sangat mirip dengannya. "Hahh kembar 4!?" Ternyata cewek yang menciumku bukanlah cewek yang tadi menyerangku. Ada 6 orang di sini, 4 cewek memiliki muka dan warna rambut yang sama persis. Namun 2 diantaranya memiliki telinga runcing seperti Elf dan 2 lainnya seperti manusia, ke-empatnya memiliki gaya rambutnya berbeda. Tidak hanya kembar 4 saja, namun ada 2 cewek lagi yang tidak kalah cantiknya. Ada yang tinggi dengan kulit putih, rambut hitam k
"Iya karena cincin ini." Noe menunjukkan cincin di jari manisnya, cincin dari kristal yang mungkin saja berlian dengan ukiran seperti ranting tanaman yang melilit. Aku langsung ingat cincin yang dipakai nenek Lona, persis sekali. "Cincin apa itu?" tanyaku penasaran. "Mmm cincin apa ya." Noe dengan nada menggodaku. "Lah kok tanya balik?" "Cincin pemberian dari orang spesial," Erin "Aku laper, kamu mau masakan apa?" Nia berdiri sambil memandang ke arahku. "Aku!?" Aku tunjuk diriku sendiri untuk memastikan. "Siapa lagi!?" Nia ketus. "Nasi goreng pasti enak," "Oke." Nia segera beranjak meninggalkan ruangan ini namun tiba-tiba berteriak. "Pakai daging ayam, sapi apa seafood?" Nia. "Udangg," jawabku. "Aku mau ba
"Ehh tunggu dulu!" "Tapi tuan." Membalikkan badannya menghadap ke arahku namun tidak berusaha melepaskan tanganku. "Duduk dulu, dengarkan aku!" "Maaf tuan." Violet duduk kembali. "Aku lanjutkan ceritanya, di sana aku sempat melawan dan ada wyvern yang terluka, tapi para dwarf sama sekali tidak ada yang terluka," "Kalau belum diberi pelajaran, izinkan saya yang melakukannya." Violet memotong pembicaraan lagi sambil berdiri, aku tarik dia di pangkuanku dan aku peluk erat. Posisinya membelakangi aku, jadi tangannya bisa aku pegangi. "Licik! Kenapa Violet saja yang dipeluk?" Erin berdiri sambil menggebrak meja. Aku baru sadar kalau di sini ada banyak pelanggan yang memperhatikan kami, segera aku lepas pelukanku. "Kan kemarin kamu sudah menghisap darah tuan Al banyak sekali, gantian lah!" Violet malah membalikkan badan samb
Di lantai kedua rumah mereka, terdapat tempat untuk bersantai dan menikmati pemandangan. "Itu gunung berapi selalu ngeluarin api biru?" tanyaku, soalnya aku lihat dari awal kemari sampai sekarang selalu saja menyala. Apalagi saat malam seperti ini, cahayanya bisa terlihat dari seluruh sudut kota. Posisi rumah ini memang spot terbaik, dapat melihat semua spot menarik dari kota ini dalam satu tempat. "Iya, tidak pernah padam," ucap Noe yang sedang duduk santai di sofa sambil menyilangkan kakinya "Walau masih mengeluarkan api, namun tidak akan meletus lagi kok," Nay di sisiku. "Baru saja mau tanya," dan dibalasnya dengan senyuman, lalu mengambil tanganku dan ditaruh di atas kepalanya. Aku usap kepalanya sambil aku mainkan rambut putihnya yang halus dan sangat harum itu. "Tuan, saya juga saya juga!" Violet melakukan hal sama, kelakuan mereka berdua setiap saat pasti di kedu