Prasetya mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku celananya. "Nah! Kalungmu terjatuh di depan pintu saat masuk tadi." Prasetya mengulurkan tangan.
Lara bernapas lega. Ternyata pikirannya terlalu berlebihan. "Terima kasih," ucapnya mengambil kembali kalung itu."Hanya ucapan terima kasih? Bagaimana jika lain kali makan bersama? Anggap sebagai ucapan terima kasihmu padaku?" Prasetya tersenyum tipis dengan memasang wajah penuh harap.'Pria ini memang benar-benar tidak tahu malu. Baru kemarin menikah, sekarang ingin mencari mangsa baru' geram Lara dalam batinnya."Ehem!" Abian berdehem keras guna menyudahi obrolan antara Prasetya dengan sekretarisnya.Sontak Prasetya gegas menghampiri Abian untuk melangsungkan sesi wawancara.Tatapan sengit yang terkesan mengintimidasi membuat Prasetya tak berani menatap langsung ke arah mata petinggi perusahaan itu, dan berakhir merundukan wajah selama sesi wawancara berlangsung.Setelah selesai melakukan sesi wawancara, Prasetya segera menyimpan kembali perekam suaranya."Terima kasih atas kerja samanya, Pak. Kalau begitu saya permisi," pamit Prasetya hendak bangkit dari tempat duduknya."Serahkan alat perekam itu ke Sekretaris saya! Dia yang akan menulis artikel dan beritanya," titah Abian."Apa?" Prasetya berdiri mematung sebab tak paham."Saya tidak percaya dengan siapa pun untuk menulis berita tentang saya," jawab Abian lugas. Bersender pada senderan kursi seraya menyilangkan kaki."Tidak bisa begitu, Pak. Ini sudah menjadi tugas saya sebagai seorang Wartawan. Jika perusahaan tahu, saya akan dipecat.""Saya tidak peduli. Serahkan atau tidak ada berita sama sekali."Prasetya terdiam. Kebingungan terasa berkecamuk dalam kepala.Ini adalah momen yang langka. Tak mungkin baginya memiliki kesempatan kedua untuk kembali mewawancarai seorang Abian Mahendra atas kesuksesannya di usia muda.Prasetya menatap Lara yang masih diam mematung di samping pintu untuk sekilas. "Kalau begitu, baiklah. Saya serahkan alat perekam suara ini." Prasetya berjalan ke arah meja sekretaris dan meletakkan sebuah benda berbentuk persegi panjang di atas sana."Ini nomor saya, Nona. Jika ada kendala dalam hal kepenulisan, Anda bisa langsung hubungi saya secepatnya." Prasetya meletakkan selembar kertas yang baru ia bubuhi nomor ponsel di atas alat perekam.Lara hanya mengangguk sebagai jawaban. Siapa sangka, sang atasan justru memberi celah untuknya agar bisa berkomunikasi lebih intens dengan Prasetya. Mungkin inilah salah satu alasan Tuhan memilih raga ini untuk Lara.Akan Lara gunakan kesempatan ini dengan sebaik mungkin.Setelah kembali berpamitan, Prasetya gegas keluar dari dalam ruangan."Salin berkas ini dan kerjakan berita itu! Kedua tugas itu harus selesai hari ini!" tegas Abian memberi perintah.Lara tertegun. Jangankan untuk pemula, bahkan dirinya yang dulunya merupakan sekretaris lama perusahaan pun, tak yakin bisa melakukan keduanya sekaligus dalam kurun waktu dua puluh empat jam.Sadar perintah sang atasan tak dapat dibantah, akhirnya Lara duduk di kursi kerjanya dengan wajah tak berdaya.Waktu berjalan dengan cepat. Denting jam menunjukkan pukul tujuh malam. Namun salinan berkas masih tersisa tiga lembar lagi. Belum lagi tentang berita itu. Benar-benar frustasi Lara dibuatnya.'Kapan selesainya ...?!' keluh Lara dalam hati. Menyenderkan punggungnya yang terasa patah ke senderan kursi untuk sejenak."Jangan pulang sebelum pekerjaanmu selesai!" titah Abian seraya pergi berlalu. Wajah dinginnya kembali bersikap acuh.Mata Lara yang terbelalak mengikuti langkah Abian yang mulai hilang setelah melewati pintu."Di-dia benar-benar meninggalkanku sendirian di kantor ini? Tega sekali," gumam Lara menangis dalam hati.Suasana sunyi di sekitarnya membuat bulu kuduk Lara meremang. Namun sebisa mungkin Lara abaikan. "Aku sudah pernah mati. Untuk apa takut hantu? Seharusnya hantu yang akan takut padaku!" terangnya meredam rasa takutnya sendiri.Setelah selesai menyalin seluruh berkas, Lara gegas memutar alat perekam suara milik Prasetya yang dipercayakan padanya, selagi tangannya mengetik biodata Abian Mahendra di laptop. Kedua aktivitas itu ia lakukan dalam satu waktu, agar waktu yang ia gunakan tak terbuang sia-sia.Meski tak pernah menulis sebuah artikel, namun kurang lebih Lara mengerti bagaimana bahasa dan tata cara kepenulisannya lewat artikel-artikel artis yang pernah ia baca."Mas! Bagaimana ini? Kalau kita tidak bisa menjual rumahmu, bagaimana caraku melunasi hutang perusahaan Papa?"Lara tertegun dengan tubuh membeku, tatkala suara dari alat perekam itu berubah menjadi suara seorang wanita."Kita susul dia sekarang! Aku punya rencana." Dalam rekaman suara itu, muncul sahutan dari suara seorang pria.Lara semakin menajamkan telinga, saat terdengar suara hentakan kaki dan deru mesin mobil dari alat perekam itu."Apa rencanamu, Mas?""Bukankah Lara meminta kita untuk melangkahi mayatnya sebelum menjual rumah? Kita akan lakukan sekarang!""Kamu gila, Mas! Aku tidak mau. Turunkan aku sekarang! Aku tidak mau menjadi buronan Polisi.""Tidak! Kita sudah setengah jalan! Jangan tanggung-tanggung untuk melakukan sesuatu."Brak!Suara benturan keras membuat Lara menyudahi suara rekaman itu dengan tangan gemetaran hebat.Suara benturan keras seakan mengembalikan ingatannya saat kecelakaan maut itu terjadi. Bahkan rasa sakitnya kembali terasa.Lara memegangi kepalanya yang terasa nyeri, bagai tertusuk tombak tak kasat mata. Bulir bening berjatuhan deras tanpa suara.Bisa Lara simpulkan, jika itu adalah sebuah rekaman yang tak sengaja terekam sebelum kecelakaan itu terjadi."Aku tak bisa tinggal diam. Ini adalah bukti pembunuhan berencana. Aku harus menyimpannya lebih dulu." Lara menyalin rekaman itu ke dalam ponselnya dan menghapus rekaman yang asli."Ini akan berguna suatu saat nanti. Tenang saja, Mas. Aku tidak akan menyerahkan rekaman ini ke Polisi sekarang. Karena balasanmu harus lebih berat dari hanya mendekam di dalam jeruji besi.""Pak, Nyonya masuk ke sebuah ruangan bersama wartawan itu." Kris yang bisa melihat dengan jelas dari balik kaca kemudi melapor pada atasannya, sontak Abian segera menepis tubuh Kris karena menutupi pandangannya, dan mendekatkan wajahnya ke arah jendela.Kris terkejut hingga terjepit di antara Abian dan senderan kursi kemudi, namun dia tidak bisa protes atau pun menunjukkan reaksi yang menonjol, sebab tak ingin menjadi sasaran kemarahan atasannya. Akhirnya, Kris hanya diam, bahkan untuk bernapas saja dia berusaha sepelan mungkin."Tck! Wanita itu!" decak Abian hampir tak terdengar, kedua tangannya mengepal erat menahan rasa geram.Setelah itu, Abian buru-buru mengambil ponselnya dan berinisiatif menelpon istrinya, dia ingin melihat apakah istrinya akan berkata jujur atau malah berbohong padanya.Setelah berdengung beberapa kali, akhirnya Lara mengangkat teleponnya, namun Abian hanya mendapati keheningan dari sana.Abian mengatur napasnya berulang kali, dia mencoba menahan diri dan bers
"Apa?" Prasetya tertegun dengan mata melebar, dia hampir tidak percaya dengan apa yang baru keluar dari mulut kekasihnya itu."Aku tidak memaksamu, hanya saja ... jika aku membawa mobil dengan nama orang lain, mungkin keluargaku, atau bahkan suamiku akan curiga," timpal Lara berkilah. Sejak kematiannya hari itu, Lara menjadi seorang wanita yang pandai bersilat lidah, bahkan dia sendiri pun hampir tidak mengenali dirinya sendiri."Memang ada benarnya." Prasetya terdiam sambil berpikir. 'Jika aku membeli mobil atas nama Lea, bagaimana aku menjelaskan tagihan kartu kredit yang akan datang pada Medina?'Di detik berikutnya, Prasetya dikejutkan dengan kedatangan pemilik showroom yang hendak melayaninya secara eksklusif."Pak Ronald." Prasetya buru-buru menjabat tangan pria paruh baya yang tengah tersenyum ramah ke arahnya, setelan jas hitam yang dia kenakan menunjukkan statusnya yang bukanlah orang biasa."Apakah Anda sudah memilih model yang Anda sukai, Pak Pras?" tanyanya."Belum, pacar
Mobil sedan tua itu mulai meninggalkan halaman parkir restoran, Abian dan Kris bergegas mengikuti dari belakang."Pak, saya tahu ini urusan pribadi Anda, saya juga tahu jika sebenarnya saya tidak berhak untuk ikut campur, tapi saya sudah ikut terjebak dalam situasi ini. Bisakah Anda menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Dalam kebingungan itu, Kris berusaha berkonsentrasi pada jalan raya dan mobil sedan Prasetya yang melaju semakin cepat.Dalam situasi tegang itu Abian terdiam sejenak. "Singkatnya, Lea menanggapi ajakan makan wartawan itu dengan serius, mungkinkah Lea memiliki perasaan padanya?" Abian menatap Kris dengan wajah penasaran seakan menunggu jawaban.Kris tercengang, hingga kemudi mobil yang sedang dia pegang hampir memutar 60 derajat dari posisi semula. Beruntungnya, Kris dapat dengan cepat mengendalikan kemudi dan menyelamatkan dua nyawa yang hampir melayang.Plak!Abian menepuk keras bagian kepala belakang asistennya, sembari mendengus kesal. "Apa kau sudah gila?! Kit
Plak!Lara menepis kasar kedua lengan kekar yang hendak merengkuhnya."Jaga tingkah lakumu! Di sini banyak orang," bisik Lara memperingati dengan tatapan sengit.Namun alih-alih merasa bersalah, pria yang akrab disapa Prasetya itu hanya tersenyum tipis tanpa rasa malu.Abian melonggarkan simpul dasinya kasar. Berusaha menghilangkan sesaknya dada akibat pemandangan yang membuatnya kepanasan itu.Ternyata ajakan makan sebagai rasa terima kasih yang pernah jurnalis itu ucapkan ditanggapi sungguh-sungguh oleh sang istri.Sempat terbesit rasa bingung. Apa sebenarnya yang terlihat lebih baik dari wartawan itu jika dibandingkan dengan Abian? Mungkinkah selera sang istri sungguh rendahan?Melihat dua pasangan sejoli yang tengah berjalan memasuki cafe, membuat Abian memutuskan menghubungi sang asisten dengan ponselnya."Kris, sekarang temui aku di Cafe Hallyu. Bawa topi dan masker hitam. Aku menunggumu di parkiran," pungkas Abian sebelum memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban.Hampir
Dengan cepat, Abian menyuapkan satu sendok sup ayam buatan Lara ke dalam mulutnya.Sup ayam adalah satu-satunya makanan berkuah favorit Abian. Ia tak tahu dari mana sang istri mengetahui makanan kesukaannya. Mungkinkah sang ibu yang memberitahunya sebelum ini?Daging ayam yang lembut berpadu dengan kuah kental itu terasa menyatu dalam mulut. Memberikan sensasi rasa yang berbeda pada lidah. Sebuah kenikmatan yang belum pernah Abian rasakan dalam setiap makanan yang pernah ia nikmati selama ini.Setelah suapan pertamanya, tanpa sadar tangan Abian terus menyuap tanpa henti. Ia bahkan hampir tak percaya jika hidangan ini dibuat oleh tangan seorang putri bangsawan manja yang bahkan tak pernah menginjakkan kaki di dapur sekali pun.Penyesalan seakan mulai menghantam. Rasanya ia telah menyia-nyiakan makanan enak selama ini dengan mengabaikan bahkan membuangnya ke tempat sampah."Pak, makannya pelan-pelan. Di dapur masih ada semangkuk lagi jika Anda masih mau." Ucapan Lara seakan menyadarkan
Lara membeku dengan mata melebar. Dia tak percaya jika Abian berani mengatakan hal itu di depannya.Akhirnya, Lara pasrah. Membiarkan Abian bertingkah sesukanya, termasuk mengompres perutnya hingga rasa nyeri perlahan mereda."Apa sudah mendingan?" Abian bertanya sebelum mengambil handuk yang sudah beberapa kali ia basahi dengan air hangat di atas perut sang istri.Namun Lara hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, lantas kembali menunduk. Sekedar menatap wajah Abian pun ia terlalu malu.Abian tersenyum tipis, pertanda mengerti, sebelum bangkit dan beranjak pergi membawa baskom dan handuk basah di tangannya.****Keesokan harinya.Bunyi denting peralatan dapur terdengar saling beradu. Dimainkan dengan lihai oleh kedua tangan pemiliknya.Para pelayan hanya mampu menyaksikan dengan rasa was-was dari kejauhan. Mengingat peringatan yang diberikan majikannya kemarin, jika sang nona muda dilarang menginjakkan kaki di dapur. Namun sang nona muda seakan tak menggubris larangan mereka. Sementa