Home / Romansa / Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin / Bukti yang tak sengaja terungkap

Share

Bukti yang tak sengaja terungkap

Author: Liya Mardina
last update Last Updated: 2024-02-27 20:46:42

Prasetya mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku celananya. "Nah! Kalungmu terjatuh di depan pintu saat masuk tadi." Prasetya mengulurkan tangan.

Lara bernapas lega. Ternyata pikirannya terlalu berlebihan. "Terima kasih," ucapnya mengambil kembali kalung itu.

"Hanya ucapan terima kasih? Bagaimana jika lain kali makan bersama? Anggap sebagai ucapan terima kasihmu padaku?" Prasetya tersenyum tipis dengan memasang wajah penuh harap.

'Pria ini memang benar-benar tidak tahu malu. Baru kemarin menikah, sekarang ingin mencari mangsa baru' geram Lara dalam batinnya.

"Ehem!" Abian berdehem keras guna menyudahi obrolan antara Prasetya dengan sekretarisnya.

Sontak Prasetya gegas menghampiri Abian untuk melangsungkan sesi wawancara.

Tatapan sengit yang terkesan mengintimidasi membuat Prasetya tak berani menatap langsung ke arah mata petinggi perusahaan itu, dan berakhir merundukan wajah selama sesi wawancara berlangsung.

Setelah selesai melakukan sesi wawancara, Prasetya segera menyimpan kembali perekam suaranya.

"Terima kasih atas kerja samanya, Pak. Kalau begitu saya permisi," pamit Prasetya hendak bangkit dari tempat duduknya.

"Serahkan alat perekam itu ke Sekretaris saya! Dia yang akan menulis artikel dan beritanya," titah Abian.

"Apa?" Prasetya berdiri mematung sebab tak paham.

"Saya tidak percaya dengan siapa pun untuk menulis berita tentang saya," jawab Abian lugas. Bersender pada senderan kursi seraya menyilangkan kaki.

"Tidak bisa begitu, Pak. Ini sudah menjadi tugas saya sebagai seorang Wartawan. Jika perusahaan tahu, saya akan dipecat."

"Saya tidak peduli. Serahkan atau tidak ada berita sama sekali."

Prasetya terdiam. Kebingungan terasa berkecamuk dalam kepala.

Ini adalah momen yang langka. Tak mungkin baginya memiliki kesempatan kedua untuk kembali mewawancarai seorang Abian Mahendra atas kesuksesannya di usia muda.

Prasetya menatap Lara yang masih diam mematung di samping pintu untuk sekilas. "Kalau begitu, baiklah. Saya serahkan alat perekam suara ini." Prasetya berjalan ke arah meja sekretaris dan meletakkan sebuah benda berbentuk persegi panjang di atas sana.

"Ini nomor saya, Nona. Jika ada kendala dalam hal kepenulisan, Anda bisa langsung hubungi saya secepatnya." Prasetya meletakkan selembar kertas yang baru ia bubuhi nomor ponsel di atas alat perekam.

Lara hanya mengangguk sebagai jawaban. Siapa sangka, sang atasan justru memberi celah untuknya agar bisa berkomunikasi lebih intens dengan Prasetya. Mungkin inilah salah satu alasan Tuhan memilih raga ini untuk Lara.

Akan Lara gunakan kesempatan ini dengan sebaik mungkin.

Setelah kembali berpamitan, Prasetya gegas keluar dari dalam ruangan.

"Salin berkas ini dan kerjakan berita itu! Kedua tugas itu harus selesai hari ini!" tegas Abian memberi perintah.

Lara tertegun. Jangankan untuk pemula, bahkan dirinya yang dulunya merupakan sekretaris lama perusahaan pun, tak yakin bisa melakukan keduanya sekaligus dalam kurun waktu dua puluh empat jam.

Sadar perintah sang atasan tak dapat dibantah, akhirnya Lara duduk di kursi kerjanya dengan wajah tak berdaya.

Waktu berjalan dengan cepat. Denting jam menunjukkan pukul tujuh malam. Namun salinan berkas masih tersisa tiga lembar lagi. Belum lagi tentang berita itu. Benar-benar frustasi Lara dibuatnya.

'Kapan selesainya ...?!' keluh Lara dalam hati. Menyenderkan punggungnya yang terasa patah ke senderan kursi untuk sejenak.

"Jangan pulang sebelum pekerjaanmu selesai!" titah Abian seraya pergi berlalu. Wajah dinginnya kembali bersikap acuh.

Mata Lara yang terbelalak mengikuti langkah Abian yang mulai hilang setelah melewati pintu.

"Di-dia benar-benar meninggalkanku sendirian di kantor ini? Tega sekali," gumam Lara menangis dalam hati.

Suasana sunyi di sekitarnya membuat bulu kuduk Lara meremang. Namun sebisa mungkin Lara abaikan. "Aku sudah pernah mati. Untuk apa takut hantu? Seharusnya hantu yang akan takut padaku!" terangnya meredam rasa takutnya sendiri.

Setelah selesai menyalin seluruh berkas, Lara gegas memutar alat perekam suara milik Prasetya yang dipercayakan padanya, selagi tangannya mengetik biodata Abian Mahendra di laptop. Kedua aktivitas itu ia lakukan dalam satu waktu, agar waktu yang ia gunakan tak terbuang sia-sia.

Meski tak pernah menulis sebuah artikel, namun kurang lebih Lara mengerti bagaimana bahasa dan tata cara kepenulisannya lewat artikel-artikel artis yang pernah ia baca.

"Mas! Bagaimana ini? Kalau kita tidak bisa menjual rumahmu, bagaimana caraku melunasi hutang perusahaan Papa?"

Lara tertegun dengan tubuh membeku, tatkala suara dari alat perekam itu berubah menjadi suara seorang wanita.

"Kita susul dia sekarang! Aku punya rencana." Dalam rekaman suara itu, muncul sahutan dari suara seorang pria.

Lara semakin menajamkan telinga, saat terdengar suara hentakan kaki dan deru mesin mobil dari alat perekam itu.

"Apa rencanamu, Mas?"

"Bukankah Lara meminta kita untuk melangkahi mayatnya sebelum menjual rumah? Kita akan lakukan sekarang!"

"Kamu gila, Mas! Aku tidak mau. Turunkan aku sekarang! Aku tidak mau menjadi buronan Polisi."

"Tidak! Kita sudah setengah jalan! Jangan tanggung-tanggung untuk melakukan sesuatu."

Brak!

Suara benturan keras membuat Lara menyudahi suara rekaman itu dengan tangan gemetaran hebat.

Suara benturan keras seakan mengembalikan ingatannya saat kecelakaan maut itu terjadi. Bahkan rasa sakitnya kembali terasa.

Lara memegangi kepalanya yang terasa nyeri, bagai tertusuk tombak tak kasat mata. Bulir bening berjatuhan deras tanpa suara.

Bisa Lara simpulkan, jika itu adalah sebuah rekaman yang tak sengaja terekam sebelum kecelakaan itu terjadi.

"Aku tak bisa tinggal diam. Ini adalah bukti pembunuhan berencana. Aku harus menyimpannya lebih dulu." Lara menyalin rekaman itu ke dalam ponselnya dan menghapus rekaman yang asli.

"Ini akan berguna suatu saat nanti. Tenang saja, Mas. Aku tidak akan menyerahkan rekaman ini ke Polisi sekarang. Karena balasanmu harus lebih berat dari hanya mendekam di dalam jeruji besi."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Sepuluh hari

    Lara menundukkan kepala, matanya sayu. Sorot sendu itu memantulkan kepedihan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bibirnya bergerak pelan, seolah takut suaranya terdengar oleh siapa pun.“Banyak hal yang ingin aku tanyakan tentang kesempatan hidupku yang sekarang. Tapi aku pun tidak tahu harus bertanya pada siapa. Sungguh malang nasibku,” gumamnya lirih, seakan berbicara hanya kepada bayangannya sendiri.Raut wajahnya mengeras sejenak, lalu melembut ketika ingatannya menyeret kembali sosok seorang kakek yang pernah ia temui di dalam bus. Kenangan itu begitu jelas—kakek itu duduk di bangku belakang, memandang keluar jendela dengan mata yang separuh tertutup, lalu menoleh padanya sambil menutup satu matanya dengan telapak tangan."Jika ingin melihat orang yang bernasib sama sepertimu, lakukan ini," begitu katanya, suaranya serak namun penuh misteri.Lara menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tanpa sebab berdegup cepat. Ia merapatkan duduknya, memperbaiki pos

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Sepuluh kelopak

    Lara meremas erat selimut yang menutupi kakinya. Amarah di dadanya menggelora, menghanguskan sisa-sisa kesabaran. ‘Aku benar-benar tidak mengerti apa isi otak pria ini. Sebelumnya aku sudah menjelaskan dengan sangat jelas, tapi masih saja menyebut Mas Prasetya sebagai selingkuhanku…’ batinnya penuh kekesalan.Kris, setelah mempertimbangkan sesuatu dalam pikirannya, akhirnya melangkah mendekat. “Nyonya, saya akan pergi mendampingi Pak Abian menghadiri rapat perusahaan. Dokter bilang tubuh Anda masih terlalu lemah. Saya akan menjemput Anda setelah rapat selesai,” ucapnya dengan nada hormat, membungkukkan badan sedikit sebelum berbalik pergi, mengikuti Abian yang sudah lebih dulu menghilang di balik pintu.Lara tidak menjawab. Ia hanya duduk diam, hatinya berkecamuk. Ada kebingungan, ada kemarahan, ada kekecewaan yang bercampur jadi satu. Perubahan sikap Abian yang tiba-tiba kembali dingin padanya menusuk seperti es di tengah musim panas. Ia marah karena Abian begitu tertutup soal masala

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Batas kesabaran

    “Abian!” teriak Lara dengan nada panik. Tubuhnya terlonjak bangun, duduk di atas ranjang rumah sakit dengan napas terengah.‘Mimpi?’ batinnya lega. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan degup jantungnya yang memburu. Tarikan napasnya panjang dan berat, lalu ia embuskan perlahan. Namun, ketika kelopak matanya kembali terbuka, pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang hanya menatapnya datar — pria yang baru saja ia panggil dalam mimpi itu.Lara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seorang pria berjas putih berdiri di dekat ranjangnya, menatapnya dengan raut heran. Di sisi lain, Kris — dengan perban membalut kepalanya — memandangnya penuh kepanikan.Tiba-tiba, rasa nyeri menusuk hebat di kepalanya. “Akh…” keluhnya lirih. Tangannya terangkat memegangi kepala yang telah dililit perban. Tubuhnya goyah, membuat seorang perawat segera membantunya kembali berbaring.Kris, yang melihat istri atasannya sudah sadar, tergesa mendekat. “Nyonya, syukurlah Anda sudah sadar. Pak Abi

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Ingatan masa lalu

    Sejak beberapa kali ketahuan mengirimkan makanan saat jam makan siang untuk Lara, gosip pun mulai beredar di seluruh sudut kantor. Hampir semua karyawan menyimpulkan bahwa Kris menaruh hati pada Lara. Desas-desus itu terus beredar, dibumbui tawa kecil dan lirikan jahil setiap kali keduanya terlihat bersama.Lara, pada awalnya, tidak begitu peduli. Menjadi bahan ejekan rekan-rekan kantor bukanlah hal baru baginya. Namun, kali ini berbeda. Kris—pria yang sebenarnya hanya berniat baik kepadanya—ikut terseret dalam pusaran gosip itu. Membayangkan nama baik Kris tercoreng oleh candaan rekan kerja, membuat Lara sedikit khawatir.Sejak kabar miring itu merebak, Lara mulai menghindar. Setiap kali Kris datang dengan sebungkus makanan, ia selalu punya alasan untuk menolak: entah mengaku sudah makan, pura-pura sibuk, atau bahkan sengaja tidak berada di tempat.Lara menarik napas lega. 'Ternyata begitu? Aku hampir mengira gosip-gosip di perusahaan itu benar' Namun, pikirannya belum tenang sepenuh

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Kebingungan Lara

    Kris menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk singkat. “Ah, begitu rupanya. Apa Pak Abian tahu tentang ini?”Sejenak Lara terdiam, menghela napas sebelum menggeleng. “Tidak. Dia belum kembali,” jawabnya, sekali lagi memutar kebenaran.“Pasti masih mengantre di sana…” gumam Kris, nyaris tidak terdengar.“Apa?” Lara mengerutkan kening.Kris tersenyum canggung. “Em… anu. Tadi, pulang dari restoran setelah bertemu klien luar negeri, Pak Abian mampir ingin membeli sate dan iga bakar di warung Pak Slamet.”Wajah Lara tetap datar, membuat Kris mengira ia tidak mengenal tempat itu. “Anda tahu? Yang di samping pom bensin itu, loh. Antriannya mengalahkan kendaraan yang mengantre bensin bersubsidi,” guraunya sambil terkekeh. Namun tawanya meredup ketika Lara hanya diam, tak menanggapi.“Kalau begitu, biar saya antar Anda ke rumah sakit. Ayo!” Kris melangkah cepat, namun baru beberapa langkah, ia menoleh dan mendapati Lara masih berdiri diam di tempat.“Nyonya, ada apa? Kepala Anda pusing? Sakit s

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Hamburger untuk hadiah ulang tahun

    Lara menunduk, jemarinya yang gemetar menggenggam telapak tangan yang berlumuran darah. Kulitnya perih, tertusuk pecahan kaca yang masih menempel tipis di sana. Namun rasa nyeri itu terasa begitu kecil dibandingkan dengan perih yang kini menghantam hatinya.Rasa sakit pada pelipisnya yang juga berdarah hanyalah luka luar—yang bisa sembuh dengan waktu. Luka di hatinya jauh lebih dalam, mengendap bersama rasa kecewa yang membakar. Ia menggigit bibir, berusaha menahan gejolak emosi yang meluap. Namun tetap saja, air matanya jatuh, mengalir pelan, membasahi pipinya.Bukan hanya sakit hati, ada juga rasa penasaran yang mencengkeram pikirannya. Mengapa foto itu begitu berarti bagi Abian? Mengapa ia menjaganya sedemikian rupa, bahkan rela melukai dirinya sendiri untuk melindunginya? Pertanyaan itu berputar di kepalanya, namun jawaban tetap terkunci rapat di balik sikap dingin sang suami.Tanpa sepatah kata pun, Lara melangkah pergi. Tumitnya menapak lantai dengan bunyi yang tegas, namun lang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status