LOGINSetelah mengetik seluruh biodata lengkap milik sang Atasan, terbesit pikiran jahat yang mulai menguasai kepala Lara. "Bagaimana jika seluruh dunia tahu kebusukanmu selama ini, Mas? Aku sungguh penasaran, bagaimana reaksi orang-orang di sekitarmu," gumam Lara menyeringai.
Dengan tangan gemetaran menahan gejolak amarah yang menyesakkan dada, Lara kembali melanjutkan tulisannya. Namun alih-alih menulis tanya jawab yang terekam selama sesi wawancara, Lara justru menyelipkan kebusukan sang suami dalam artikel tersebut.Setelah menjadikan tulisannya sebagai file dokumen , Lara gegas menghubungi nomor ponsel Prasetya."Halo," sapa suara berat dari seberang telepon."Selamat malam, Pak Prasetya. Saya Lea Faranisa, Sekretaris Pak Abian Mahendra. Saya sudah selesaikan tulisan saya, apakah saya bisa langsung kirimkan filenya sekarang? Barangkali Anda ingin mengeceknya terlebih dahulu sebelum diterbitkan.""Ah, iya-iya, bisa kirimkan langsung ke nomor ini. Tidak perlu pengecekan lagi. Sekelas Sekretaris Nirvana Wastu Pratama, kinerjanya tentu tak dapat diragukan."'Bagus. Sesuai harapanku' batin Lara menyeringai tipis."Anda terlalu menyanjung. Kalau begitu saya akan kirim filenya sekarang." Lara tersenyum puas."Tu-tunggu! Jangan tutup teleponnya dulu. Bagaimana dengan rencana makan kita? Sudah kamu pertimbangkan?"Lara diam sejenak guna berpikir. "Cafe Hallyu, besok sepulang kerja," pungkas Lara sebelum memutus sambungan telepon. Biarlah terkesan tidak sopan. Prasetya adalah seorang bajingan yang tak pantas mendapatkan sopan santun darinya.Terlalu lelah bekerja hingga larut malam membuat Lara tanpa sadar terhanyut ke dalam alam mimpi.Hingga pada keesokan harinya.Byur!"Akh! Hujan! Hujan! Atapnya bocor!" Lara gelagapan tatkala sebotol air mengguyur wajahnya.Lara terkesiap, mendapati Abian yang tengah berdiri di hadapannya. Wajah garangnya menatap tajam tanpa berkedip. Berdiri tegak dengan satu tangan bersarang di saku celana, sedangkan tangan lainnya memegangi botol kosong."Jangan tidur di jam kerja!" terangnya tanpa merasa bersalah. Melengos pergi dan kembali duduk di kursi kerjanya.Wajah datar tanpa ekspresi kembali Lara dapati dari atasannya itu. Sungguh suguhan pagi yang menjengkelkan.'Aku menyelesaikan tulisanku sampai jam sebelas malam! Bahkan aku tak ingat pulang. Dasar Psikopat!' umpat Lara dalam hati.Di tengah-tengah kedongkolannya, Lara gegas pergi ke kamar mandi guna mencuci wajah. Tak ia hiraukan tatapan penuh tanya dari beberapa karyawan yang dilewatinya.Lara menyalakan keran air pada wastafel dan mengguyur wajahnya dengan air dingin beberapa kali.Namun sinar yang sekilas muncul di leher, yang terlihat dari pantulan bayangannya di cermin, membuat Lara terdiam mematung."Apa hanya perasaanku saja? Sepertinya liontin bunga ini tadi bersinar," gumam Lara lirih seraya memperhatikan liontin bunga berkelopak merah jambu yang menggantung di lehernya dari pantulan cermin."Sepertinya memang hanya perasaanku saja," pungkas Lara tatkala tak mendapati kembali sinar terang pada kalungnya. Lantas wanita itu kembali ke ruang kerjanya."Mama mencarimu semalam. Bilang padanya jika kamu pulang ke rumah karena rindu orang tuamu. Aku tidak ingin kena marah karena menyuruhmu lembur," ujar Abian sesaat setelah Lara kembali duduk di kursinya. Namun pria itu tak sedikit pun mengalihkan pandangan matanya dari berkas di tangannya."Baik," jawab Lara singkat.Abian tertegun, dan kembali merasa jangal dengan sikap sang istri yang baru ia nikahi beberapa hari yang lalu.Lea adalah seorang wanita manja yang tak pernah bekerja. Hidupnya selalu terjamin dengan kemewahan sejak kecil, itulah salah satu alasan wanita itu memiliki sifat perfeksionis dan gila kebersihan. Bahkan ia selalu membantah dan tak jarang berdebat dengan Abian hanya karena hal-hal kecil.Namun belakangan ini sifatnya sungguh berbanding terbalik. Bahkan wanita itu tak segan mengiyakan perintah yang ia berikan untuknya dengan mudah.Namun di balik kejanggalan-kejanggalan itu, Abian masih berpegang teguh pada prinsipnya, yakni diam dan tak peduli.Waktu berlalu begitu cepat. Hingga denting jam telah menunjukkan pukul lima sore."Kenapa diam saja di sana? Cepat masuk! Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggumu," sungut Abian dari kemudi mobilnya. Menatap sengit pada Lara yang masih berdiri mematung di trotoar jalan, seolah tengah menunggu seseorang."Pak Abian pulang saja duluan. Saya ada janji dengan seseorang."Abian terdiam sembari mencengkeram erat kemudi mobilnya. 'Seseorang? Kenapa gelagatnya mencurigakan?'Abian terus memperhatikan kegelisahan dari raut wajah sang istri dari kejauhan.'Akh! Aku ini kenapa?! Biarkan saja dia membuat janji dengan orang lain, apa urusannya denganku?' geram Abian dalam hati. Lantas pria itu segera memacu mobilnya meninggalkan halaman perusahaan tanpa berpamitan.Tak berselang lama, sebuah mobil berwarna hitam nampak berhenti di depan Lara.Perlahan kaca mobil bergerak turun. Seorang pria paruh baya pengemudi taksi itu menyembulkan kepalanya dari celah kaca yang terbuka. "Mbak Lea Faranisa?" tanya pria itu seraya menatap layar ponsel."Benar," jawab Lara membenarkan, sebelum beranjak menaiki mobil.Semenjak kecelakaan yang terjadi hari itu, menaiki motor seakan menjadi trauma tersendiri untuk Lara. Sebab itu ia lebih memilih untuk menaiki taksi online hari ini.Taksi itu melaju membelah kebisingan kota. Mengantar Lara ke cafe hallyu, tempat di mana dirinya akan kembali bertemu dengan Prasetya sebagai orang lain.Setelah turun dari dalam mobil, Lara gegas memasuki pintu cafe.Dari kejauhan nampak seorang pria mengangkat tangan, seolah menunjukkan kehadirannya pada Lara seraya tersenyum lebar.Gegas Lara berjalan cepat menghampiri."Maaf, aku terlambat," ucap Lara menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Prasetya dalam satu meja."Tidak, aku juga baru datang, kok. Mau pesan makanan dulu?""Boleh."Prasetya mengangkat satu tangan guna memanggil pelayan cafe.Tak lama, seorang wanita datang menghampiri meja mereka."Mau pesan apa?" Prasetya menunjukkan buku menu pada Lara."Terserah, tapi jangan yang pedas. Aku tidak bisa makan pedas."Prasetya tertegun sejenak."Kenapa?" tanya Lara ketika menyadari ekspresi wajah Prasetya yang tak biasa."Ah, ti-tidak apa-apa. Kamu hanya mengingatkanku pada seseorang," ucap Prasetya tergagap.Lara baru sadar, jika tanpa sengaja ia mengatakan hal yang tak bisa ia lakukan di kehidupan sebelumnya. "Bukankah itu hal yang wajar untuk seseorang yang memiliki masalah lambung?" jawabnya berusaha bersikap tenang. Ia tak ingin menunjukkan kepanikan di depan Prasetya."I-iya, kalau begitu pesan yang ini saja."Setelah selesai memesan makanan, pelayan cafe berlalu pergi meninggalkan meja."Bagaimana tulisanku? Apakah bagus?" Lara berbasa-basi guna mengetahui perkembangan berita yang ia tulis."Malam ini akan diterbitkan. Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?""Silakan.""Apakah kamu sudah menikah? Atau saat ini sudah memiliki pacar?"Lara terdiam. Kedua tangannya diam-diam mencengkeram kuat ujung roknya di bawah meja."Aku sudah menikah. Tapi hubunganku dengan Suamiku sangat buruk," jawab Lara menyelipkan maksud lain."Begitukah? Kenapa kita bernasib sama? Aku pun begitu. Tak ada kata harmonis dalam rumah tangga kami." Prasetya memasang wajah tak berdaya."Sayang sekali, kita tak bertemu di waktu yang tepat."Prasetya tertegun. Kalimat ambigu yang ia dengar membuat degup jantungnya terasa berpacu kencang."Apakah kamu juga berpikir begitu? Apakah kamu juga tertarik denganku?" tanya Prasetya dengan antusias tinggi.Namun Lara hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.Pria yang tengah duduk di hadapan Lara terlihat salah tingkah. Wajahnya terlihat sumringah. Sungguh pemandangan yang menjijikkan untuk Lara."Ba-bagaimana jika ... kita menjalin hubungan secara diam-diam? Aku sungguh ingin mengenalmu lebih jauh." Prasetya diam-diam mendekatkan tangannya dan menggenggam erat tangan Lara.Lara gegas menarik tangannya kasar. Diam-diam mengelap tangannya dengan tisu basah di bawah meja. Kontak fisik ini sungguh menjijikkan."Boleh saja, tapi jangan terlalu mencolok. Aku tidak ingin menambah konflik dalam rumah tanggaku sekarang," terang Lara berkilah."Oke."'Kamu menaruh duri dalam rumah tangga kita dulu, Mas. Sekarang akulah duri dalam rumah tanggamu. Aku pastikan, kamu akan hancur bersama orang-orang terkasihmu'Keesokan harinya.Kantor Alpha News.Plak!Prasetya yang baru datang dan duduk di kursi kerjanya, dikejutkan dengan tumpukan kertas yang menimpa wajahnya kasar dari tangan sang atasan atau ayah mertuanya saat ini."Jelaskan! Berita macam apa ini?! Huh?!"Kris merasa ada sesuatu yang baru ia sadari.Ingatan itu muncul tiba-tiba, seperti film yang diputar ulang di benaknya. Tepat sebelum ia mengetuk pintu tadi, ia sempat melihat sesuatu di balik dinding koridor, sepasang sepatu hak tinggi berwarna krem, bergetar kecil seperti kaki seseorang yang berusaha menahan rasa kesemutan. Ia sempat melihat bayangan kain di lantai, lalu gerakan kecil, seperti seseorang yang sedang bersembunyi untuk menguping.Dan saat Lara meneleponnya untuk menyampaikan pesan tamparan itu, ia ingat jelas, Lara sedang memegang ponsel.Semuanya mulai tersambung dalam pikirannya.“Pak,” ucap Kris akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Coba… coba cek riwayat panggilan di ponsel Anda.”Abian yang sejak tadi masih memegangi pipinya menatap Kris ragu. Keningnya berkerut, matanya mencari alasan di balik permintaan itu. Tapi ada keyakinan dalam nada Kris yang tak bisa ia abaikan.Perlahan, Abian menoleh ke meja di samping kursinya. Ponsel miliknya tergeletak di sana, benda
Rapat baru saja berakhir. Ruangan kembali sepi, hanya terdengar detak jarum jam dan sisa dengung pendingin udara. Tapi ketenangan itu pecah begitu Abian membuka pintu dan mendapati sosok yang tak seharusnya ada di sana.“Selina?” suaranya berat, tapi sarat nada curiga. “Kenapa kamu di sini?”Gadis itu menegakkan tubuhnya dengan canggung. Wajahnya menegang sejenak sebelum memaksakan senyum tipis. Ada sesuatu yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya.“Ah, anu…” Selina tergagap. “Aku cuma… mau cari kamu. Tapi kamu nggak ada, jadi aku tunggu di sini.”Abian mengernyit. Pandangannya turun ke meja, lalu kembali ke wajah Selina. Ada kilatan gugup di mata gadis itu.“Oh, eh, aku lupa ada urusan!” ujarnya tiba-tiba, setengah berlari ke arah pintu. Tapi sebelum keluar, tangannya dengan cepat meletakkan sesuatu di atas meja, ponsel Abian, lalu menutup pintu dengan terburu-buru.Abian menatap benda itu. Sekilas ia tak berpikir apa pun, hanya menghela napas panjang. Ia tidak tahu, di balik pintu y
Di dalam kamar dengan suasana sunyi, Lara mondar-mandir di depan ranjang, langkahnya resah.Ponsel di tangannya sudah panas, layar terus menyala, namun tak juga menampilkan satu nama yang dia tunggu.Abian.Nama itu terus berputar di pikirannya, memantul di dinding, menyesaki dada.Dia menatap layar ponselnya sekali lagi. “Cie... udah kangen aku ya?”Kalimat itu menggema di kepalanya, suara Abian saat terakhir kali dirinya berinisiatif menelponnya terlebih dahulu, kalimat itu terasa seperti ejekan, menelan keinginannya kembali untuk menghubungi pria itu.Lara menatap nama ‘Suamiku’ di daftar kontak. Jari telunjuknya sempat menyentuh ikon hijau itu, namun berhenti di udara.Dadanya berdesir. Ada sesuatu yang menahan. Harga diri yang mengalahkan rasa rindu.“Kenapa aku jadi pengecut begini, sih?” gumamnya lirih.Dia menghela napas panjang, lalu menunduk, menatap bayangan dirinya sendiri di layar ponsel. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya menolak kalah.“Tck! Tumben banget, seharian gak
“Akan aku lakukan!”Prasetya mengucapkannya dengan mata membara, mata yang Lara kenal betul, dulu pernah menjadi tempatnya berlabuh.Lara tercekat. Untuk sesaat, seluruh tubuhnya membeku. Namun sebelum logikanya sempat bekerja, Prasetya telah berdiri tegak, berbalik menghadap dinding kelabu di belakangnya.Duk!Sebuah suara benturan keras menggema di ruangan itu. Kepala Prasetya menghantam tembok tanpa ragu.Tubuh Lara terguncang hebat, refleks tangannya terulur di udara. Tapi gerakan itu menggantung, tak jadi menyentuh.Rasa iba sempat datang, menembus lapisan amarah, tapi dengan cepat ia menepisnya.Ingatan tentang kecelakaan yang merenggut nyawanya, jeritannya sendiri, dan tawa keji Prasetya muncul kembali, menelan semua sisa rasa peduli.Duk!Benturan kedua terdengar lebih keras. Lara memejamkan mata, menahan debar yang meronta di dada.Kenangan-kenangan kecil yang dulu hangat kini berkelebat seperti potongan film yang rusak.Tangan Prasetya yang dulu membantunya menata rambut. Ta
“Tidak mungkin, kamu Lara. Aku yakin tidak akan salah mengenali istriku,” ujar Prasetya penuh keyakinan yang seolah tak dapat digentarkan.Namun setiap nada yang keluar dari bibir pria itu bagai anak panah beracun. Kata “istriku” meluncur ringan, seolah suci, seolah bersih, padahal maknanya telah busuk dan basi. Lara tersenyum miring, senyum yang ia pelajari setelah bertahun-tahun ditikam oleh pengkhianatan.“Istrimu?” suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk menusuk udara yang mulai padat. “Bahkan jika yang berdiri di hadapanmu bukanlah aku, melainkan Lara yang gembrot, kucel, dan tidak menarik itu, kau yakin masih akan menyebutnya istrimu?” Lara menekan setiap kata, seolah setiap huruf adalah pisau yang ia ukirkan pada dada Prasetya.Ruangan itu mendadak kedap. Sesak. Suhu dingin menggerogoti tengkuk. Tarikan napas Prasetya tercekat di kerongkongan. Ia menatap wajah di depannya, wajah yang dulu begitu dikenalnya, namun kini bagai asing, penuh bayangan luka dan api dendam.Dul
Prasetya tercekat. Napasnya tertahan di tenggorokan, serupa awan pekat yang menggantung tanpa hujan. Jemarinya gemetar di udara, menahan rasa takut yang merayap dari ujung kaki hingga ke tengkuknya. Ia tak pernah mengira Lara, perempuan yang selama ini ia kenal lembut dan penyabar, bisa melontarkan kata-kata setajam itu. Di matanya, Lara selalu sosok yang menundukkan nada bicara ketika ia marah, yang akan menyelipkan senyum di sela setiap rengekan. Namun kini, di depan matanya, wanita itu seolah menjadi sosok asing.'Mungkinkah dia memang bukan Lara?' batin Prasetya lirih.“Lara, tolong… jangan katakan itu,” suaranya pecah seperti kaca yang jatuh di lantai. “Aku bersalah. Aku tak seharusnya melakukan hal itu padamu. Tolong… ampuni aku. Aku mencintaimu,” bisiknya, tubuhnya merosot berlutut di hadapan wanita itu.Di hadapannya, Lara berdiri tegak. Cahaya lampu redup dari langit-langit hanya mempertegas garis wajahnya yang kini keras, matanya berkilat seperti pecahan kaca. Senyum sinisny







