Lara tertegun. Lantas menoleh menatap Abian yang masih berfokus menatap jalanan. "Ta--"
"Aku tidak menerima alasan penolakan apa pun!" pungkas Abian dengan tegas.Lara terdiam dan kembali menundukkan pandangannya. Sebab ia tahu, kalimat yang keluar dari mulut atasannya adalah sebuah perintah yang tak dapat diganggu gugat.Hingga pada keesokan harinya.Duka Lara serasa sirna begitu cepat. Entah telah merelakan, atau hanya tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan.Wanita yang wajahnya terasa lebih muda itu terus memandangi pantulan dirinya di hadapan cermin. Tatapan kagum dengan senyum sumringah masih terasa menghiasi wajah sejak terbangun dari tidurnya."Tubuhku ramping sekali. Berasa jadi seorang model." Lara menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri di hadapan cermin besar.Klek!Lara terkesiap, tatkala hal yang paling ia takutkan benar terjadi. Yakni kehadiran sang Atasan.Entah semalam Abian menghilang ke mana, namun mereka tak tidur satu ruangan.Pria itu membuka pintu lemari dan mengambil jas hitam yang tergantung di dalam sana, sebelum kembali berlalu begitu saja. Tak ada sambutan pagi dari pasangan suami istri itu.Bunyi debam pintu yang tertutup kasar membuat Lara kembali terkesiap seraya mengelus dada."Kenapa Pak Abian bersikap seperti ini pada Istrinya? Padahal dia cantik, lho," ujar Lara mengutarakan kebingungannya pada pantulan dirinya di cermin.Setelah selesai bersiap, Lara gegas berjalan keluar dari dalam ruangan.Tubuhnya kembali terkesiap, tatkala seorang pelayan wanita tiba-tiba muncul sesaat setelah dia membuka pintu."Selamat pagi, Nona muda. Anda telah ditunggu Nyonya dan Tuan di meja makan," ucapnya sopan seraya merundukan tubuh beberapa saat."Baik." Lara gegas berjalan mendahului pelayan.Langkah Lara langsung terhenti, tatkala pandangannya tak mendapati sosok Abian di sekitar meja makan."Lea, ayo sarapan dulu, Sayang!" seru ibu Abian."Pak Abian ....""Abian sudah berangkat lebih dulu ke perusahaan, dia bilang ada urusan penting yang harus diselesaikan." Ibu Abian memberi jeda pada kalimatnya. "Lea, kamu tidak biasa bekerja. Terlebih lagi, Sekretaris adalah pekerjaan yang cukup berat. Tidak apa-apa jika kamu tidak mau. Biar Mama yang ngomong sama Abian nanti," terangnya.Lara gegas melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. 'Astaga! Sudah pukul sembilan. Pantas saja Pak Abian sudah berangkat' batinnya panik."Ti-tidak apa-apa, Tan, eh Ma. Saya akan menggantikan posisi Sekretaris untuk sementara. Kalau begitu saya pamit." Lara bergegas pergi dengan langkah setengah berlari."Eh? Lho? Sarapan dulu, Lea!" teriak ibu Abian. Namun kepanikan hebat membuat Lara tak menggubris perhatian itu.Hampir satu jam mengendarai taksi online yang ia pesan melalui aplikasi, akhirnya Lara sampai di depan halaman gedung perusahaan yang menjulang tinggi."Terima kasih, Pak." Lara memberikan selembar uang kertas berwarna merah yang ia temukan di dalam dompet milik pemilik raga yang Lara tempati saat ini, pada seorang pengendara taksi online yang telah mengantarnya hingga di depan halaman perusahaan.Meski beberapa kali mendapatkan tawaran sopir rumah yang siap mengantarnya, namun Lara terus menolak. Alasannya sepele, ia tak ingin merepotkan orang lain.Gegas Lara berlari menuju gedung pencakar langit itu. Namun langkahnya dihentikan beberapa security yang berjaga di depan pintu. "Maaf, Nona. Ada yang bisa kami bantu?""Lho, Pak? Saya kan La--" Kalimat itu urung terucap, tatkala rasa nyeri kembali menusuk tenggorokan.Kini Lara baru menyadari akan sesuatu. Nampaknya semesta tak mengijinkannya untuk memberitahu identitas asli yang dia miliki."Apa Anda baik-baik saja, Nona?""Ti-tidak apa-apa. Sa-saya adalah pengganti Sekretaris Pak Abian untuk sementara," jelas Lara bersusah payah. Kedua tangannya menggenggam erat tenggorokannya yang mulai terasa lega."Oh, maafkan atas ketidak tahuan kami, Nona. Apa perlu saya antar ke ruangan Pak Abian?" Security merundukan tubuhnya beberapa saat sebagai tanda penyesalan."Tidak perlu, saya tahu tempatnya. Bisakah saya masuk sekarang?""Silakan, Nona."Lara mengangguk sekilas seraya tersenyum ramah, sebelum beranjak memasuki pintu kaca.Tanpa Lara sadari. Ia menjatuhkan sesuatu yang berkilau dari lehernya. Dipungut seorang pria yang kebetulan berjalan di belakangnya kala itu.Setelah keluar dari dalam elevator yang ia naiki, Lara gegas berlari memasuki sebuah ruangan dengan pintu kaca."Selamat pagi, Pak. Maaf saya terlambat. Lain kali tidak akan saya ulangi lagi." Lara merundukan tubuhnya beberapa saat setelah kembali menutup pintu.Namun Abian hanya meliriknya sekilas, sebelum kembali berfokus pada berkas di tangannya."Salin dokumen ini!" titah Abian sedikit mendorong tumpukan berkas di atas meja kerjanya. Namun pandangan matanya tak teralihkan sedikit pun."Se-semuanya, Pak?" Lara tertegun melihat tumpukan berkas dengan tebal hampir sepuluh senti."Hemm." Namun Abian hanya bergeming sebagai jawaban.Tok! Tok! Tok!Abian segera menatap ke arah pintu saat terdengar bunyi ketukan.Seorang pria nampak berdiri di depan pintu kaca seraya menunjukkan kartu identitas yang menggantung di lehernya."Siapa?" Abian memicingkan mata berusaha mengenali.Lara yang awalnya berdiri membelakangi pintu gegas berbalik dan membeku. Matanya membulat sempurna. Menatap kedatangan seorang pria yang sangat berpengaruh besar dalam hidupnya. 'M-mas Pra ... setya?'Lara menautkan kedua tangannya di depan tubuh. Mencengkeram kuat ujung roknya hingga menyembulkan urat-urat halus dari punggung tangan.Sebisa mungkin wanita itu menahan amarah yang kembali bergejolak hebat dalam dada. Ia tak ingin orang lain mengetahui tentang emosinya yang hampir tak terkendali."Kenapa diam saja? Cepat buka pintu!""Ba-baik," jawab Lara tergagap sebab tubuhnya yang tengah bergetar hebat.Lantas Lara segera membuka pintu dan berusaha bersikap wajar."Selamat pagi, Nona. Saya Prasetya Abimanyu. Wartawan dari Alpha News yang akan mewawancarai Pak Abian Mahendra. Saya sudah membuat janji dengan Sekretarisnya beberapa hari yang lalu," terang Prasetya menjelaskan tujuan kedatangannya.Beberapa hari yang lalu, Prasetya memang sudah meminta Lara untuk membujuk atasannya agar mau diwawancarai. Mengingat sang atasan adalah orang yang cukup susah untuk ditemui. Prasetya ingin memamerkan pada seluruh rekan kerjanya, bahwasanya hanya dia seoranglah yang mampu melakukan pekerjaan berat itu. Dan bodohnya lagi, Lara malah mengiyakan permintaan itu dengan mudah."Si-silakan masuk." Lara menepi beberapa langkah dari hadapan pintu, guna memberi jalan untuk Prasetya memasuki ruangan.Namun Prasetya hanya diam. Pria itu malah menelisik wajah Lara untuk beberapa saat. "Oh, ternyata kamu."Lara sontak mematung dengan wajah menegang. 'Mungkinkah Mas Prasetya mengenaliku dengan raga baru ini?'Prasetya mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku celananya. "Nah! Kalungmu terjatuh di depan pintu saat masuk tadi." Prasetya mengulurkan tangan.Lara bernapas lega. Ternyata pikirannya terlalu berlebihan. "Terima kasih," ucapnya mengambil kembali kalung itu."Hanya ucapan terima kasih? Bagaimana jika lain kali makan bersama? Anggap sebagai ucapan terima kasihmu padaku?" Prasetya tersenyum tipis dengan memasang wajah penuh harap.'Pria ini memang benar-benar tidak tahu malu. Baru kemarin menikah, sekarang ingin mencari mangsa baru' geram Lara dalam batinnya."Ehem!" Abian berdehem keras guna menyudahi obrolan antara Prasetya dengan sekretarisnya.Sontak Prasetya gegas menghampiri Abian untuk melangsungkan sesi wawancara.Tatapan sengit yang terkesan mengintimidasi membuat Prasetya tak berani menatap langsung ke arah mata petinggi perusahaan itu, dan berakhir merundukan wajah selama sesi wawancara berlangsung.Setelah selesai melakukan sesi wawancara, Prasetya segera menyimpan kembal
Setelah mengetik seluruh biodata lengkap milik sang Atasan, terbesit pikiran jahat yang mulai menguasai kepala Lara. "Bagaimana jika seluruh dunia tahu kebusukanmu selama ini, Mas? Aku sungguh penasaran, bagaimana reaksi orang-orang di sekitarmu," gumam Lara menyeringai.Dengan tangan gemetaran menahan gejolak amarah yang menyesakkan dada, Lara kembali melanjutkan tulisannya. Namun alih-alih menulis tanya jawab yang terekam selama sesi wawancara, Lara justru menyelipkan kebusukan sang suami dalam artikel tersebut.Setelah menjadikan tulisannya sebagai file dokumen , Lara gegas menghubungi nomor ponsel Prasetya."Halo," sapa suara berat dari seberang telepon."Selamat malam, Pak Prasetya. Saya Lea Faranisa, Sekretaris Pak Abian Mahendra. Saya sudah selesaikan tulisan saya, apakah saya bisa langsung kirimkan filenya sekarang? Barangkali Anda ingin mengeceknya terlebih dahulu sebelum diterbitkan.""Ah, iya-iya, bisa kirimkan langsung ke nomor ini. Tidak perlu pengecekan lagi. Sekelas Sek
Suasana huruk pikuk di dalam kantor seketika hening. Seluruh pasang mata nampak mengamati ke arah satu titik.Prasetya menatap wajah sengit sang atasan dengan kertas yang bercecer di bawah tubuhnya secara bergantian. Tanda tanya besar seketika terlintas dalam benak pria itu.Perlahan, Prasetya ambil beberapa lembar kertas dan mulai membacanya dengan seksama.Betapa terkejutnya ia, mendapati tulisan yang menunjukkan kebusukannya dan sang istri. "A-apa ini?""Seharusnya aku yang tanya begitu padamu!" Atasan Prasetya kembali mengambil beberapa lembar kertas dan melemparnya kasar sebagai tanda kekesalan."Karena tulisanmu ini, saham perusahaan anjlok! Secara tidak langsung kamu mengatakan pada dunia, jika Alpha News memiliki hutang yang dilunasi dengan cara merampas harta milik pekerjanya! Lebih parahnya kamu tulis jika harta itu hasil rampasan dari Putri pemilik yang merayu karyawan kaya!" terang sang atasan dengan intonasi yang semakin meningkat."Ta-tapi saya--""Cukup! Sekarang kamu h
Prasetya kembali melayangkan tatapan penuh selidik. Rasa penasaran seakan mengganggunya sedari awal sejak tak sengaja mengetahui identitas suami dari kekasihnya itu."Benar," jawab Lara datar."Lantas mengapa?"Lara mengerinyitkan dahi ketika tak sepenuhnya mengerti pertanyaan yang diajukan padanya. "Kenapa apanya?""Kenapa mau menjalin hubungan denganku secara diam-diam? Sementara Suamimu adalah seorang pria yang begitu luar biasa di kalangan wanita. Bahkan kekayaannya sungguh tak dapat ku tandingi."Lara terdiam sejenak guna memikirkan jawaban. Ia harus bersikap seolah tak diinginkan, yang mana akan membuat Prasetya iba dan menuruti seluruh permintaannya dengan mudah."Memangnya kenapa jika dia tampan dan populer di mata wanita? Toh dia juga tidak menyukaiku. Lantas, banyak harta juga buat apa? Kalau untuk kebutuhan pribadiku saja aku harus banting tulang sendiri mencari uang?" Lara menjelaskan dengan lugas tanpa terselip sedikit pun keraguan di dalam sana. Ia tak ingin membuat Prase
Selang beberapa menit.Lara dikejutkan dengan dering telepon kabel yang terletak di atas meja kerjanya. Lantas wanita cantik itu gegas meraih gagang telepon."Nona, seseorang mengirim makanan atas nama Anda," ucap seseorang dari seberang telepon."Bisa minta tolong antarkan makanannya ke atas?""Baik."Lara segera meletakkan kembali gagang telepon. Melirik sang atasan yang terlihat beranjak dari tempat duduknya setelah menutup layar laptop."Tutup laptopmu! Waktunya istirahat makan siang," ujar Abian dingin sebelum keluar dari dalam ruangan."Baik, Pak."Namun langkah pria itu terhenti di ambang pintu, setelah resepsionis wanita yang hendak masuk ke dalam ruangan menghalangi jalannya."Ma-maaf, Pak. Saya ingin mengantar ini untuk Nona Lea." Resepsionis wanita nampak beberapa kali membungkukkan tubuh sebagai tanda penyesalan."Apa itu?" Abian melirik sekilas kotak kardus dalam kantung keresek dengan tatapan tajamnya."Ma-makanan, Pak.""Berikan padaku!" Abian merebut paksa kotak makana
Detik berikutnya, bus kembali berhenti di sebuah halte yang tak jauh dari halte sebelumnya.Lara tak menyadari. Ketika suasana semakin sesak sebab beberapa orang yang mulai memasuki bus, sang kakek tua yang duduk berhadapan dengannya tiba-tiba menghilang.Lara gegas mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru, dan berhasil menemukan sang kakek tua yang telah berjalan membungkuk melewati bus yang perlahan kembali melaju.Nampaknya sang kakek telah turun dan tak disadari oleh Lara sebelumnya.Banyak pertanyaan yang kini menghantui Lara. Membuat wanita itu pada akhirnya berteriak kencang pada pengemudi bus, "Berhenti!"Sontak pengemudi bus yang terkejut menginjak rem kuat, hingga mengakibatkan para penumpang hampir terpental ke depan.Abian menatap heran ke arah sang istri yang terlihat panik dan gegas turun dari dalam bus. Sontak ia pun mengejar dan menarik kasar tangan sang istri di ambang pintu masuk. "Apa yang sedang kamu lakukan?!" bentaknya lirih namun penuh penekanan. Matanya
"Seperti Ibuku," jawab Abian singkat.Meski terkesan lambat, namun jawaban itu mampu membuat Lara diam mematung. Sebab tak ia dapati intonasi tinggi yang tak enak didengar pada kalimat itu.Detik berikutnya, sebuah alphard berwarna hitam berhenti di bahu jalan. Tepat di depan Lara dan Abian yang gegas berdiri.Pintu mobil itu terbuka dengan sendirinya, seolah mempersilakan sang pemilik untuk segera beranjak masuk.Gegas Lara dan Abian memasuki pintu belakang dan duduk berjejer.Keheningan kembali menyelimuti perjalanan itu. Hingga hampir setengah jam berlalu, mobil mewah itu berhenti di halaman rumah.Setelah memasuki kediaman dan membersihkan diri, Lara yang kala itu ingin mengambil minuman di dapur, dikejutkan dengan kehadiran sang ibu mertua."Lea? Kenapa pulangnya malam sekali? Apa Abian menyuruhmu lembur? Anak ini benar-benar! Mama akan memarahinya nanti," ujar Sita ketika menyadari kehadiran Lara di belakangnya."Ti-tidak kok, Ma. Mobil Pak Abian tadi mogok, jadi harus menunggu
Meski tak dihiraukan, Lara tak menyerah begitu saja. Wanita itu gegas menuju dapur untuk membuat sarapan berupa nasi goreng seafood.Namun langkah Lara dihentikan kepala pelayan yang merupakan seorang pelayan wanita bertubuh tambun di ambang pintu dapur."Selamat pagi, Nona muda," sapa kepala pelayan sopan seraya merundukkan tubuhnya sejenak."Pagi. Bisa beri saya jalan? Saya ingin memasak sesuatu," ujar Lara sopan, tatkala akses masuk ke dalam dapur tertutup tubuh tambun kepala pelayan tersebut.Entah mengapa, namun seluruh pasang mata menatap aneh ke arah Lara setelah mendengar kalimat yang ia ucapkan.Bahkan kepala pelayan nampak saling bertukar pandang dengan rekannya seraya menampakkan wajah bingung."Apa yang Anda butuhkan, Nona? Saya akan memasaknya untuk Anda.""Tidak perlu, saya ingin memasaknya sendiri," jawab Lara lugas. Tetap pada pendiriannya."Ta-tapi, sebelumnya Anda tidak pernah menyentuh peralatan dapur. Saya takut jika nanti Anda akan terlu--""Ini perintah! Minggir!