Share

Menjadi asisten sementara

Author: Liya Mardina
last update Last Updated: 2024-02-27 20:46:16

Lara tertegun. Lantas menoleh menatap Abian yang masih berfokus menatap jalanan. "Ta--"

"Aku tidak menerima alasan penolakan apa pun!" pungkas Abian dengan tegas.

Lara terdiam dan kembali menundukkan pandangannya. Sebab ia tahu, kalimat yang keluar dari mulut atasannya adalah sebuah perintah yang tak dapat diganggu gugat.

Hingga pada keesokan harinya.

Duka Lara serasa sirna begitu cepat. Entah telah merelakan, atau hanya tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan.

Wanita yang wajahnya terasa lebih muda itu terus memandangi pantulan dirinya di hadapan cermin. Tatapan kagum dengan senyum sumringah masih terasa menghiasi wajah sejak terbangun dari tidurnya.

"Tubuhku ramping sekali. Berasa jadi seorang model." Lara menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri di hadapan cermin besar.

Klek!

Lara terkesiap, tatkala hal yang paling ia takutkan benar terjadi. Yakni kehadiran sang Atasan.

Entah semalam Abian menghilang ke mana, namun mereka tak tidur satu ruangan.

Pria itu membuka pintu lemari dan mengambil jas hitam yang tergantung di dalam sana, sebelum kembali berlalu begitu saja. Tak ada sambutan pagi dari pasangan suami istri itu.

Bunyi debam pintu yang tertutup kasar membuat Lara kembali terkesiap seraya mengelus dada.

"Kenapa Pak Abian bersikap seperti ini pada Istrinya? Padahal dia cantik, lho," ujar Lara mengutarakan kebingungannya pada pantulan dirinya di cermin.

Setelah selesai bersiap, Lara gegas berjalan keluar dari dalam ruangan.

Tubuhnya kembali terkesiap, tatkala seorang pelayan wanita tiba-tiba muncul sesaat setelah dia membuka pintu.

"Selamat pagi, Nona muda. Anda telah ditunggu Nyonya dan Tuan di meja makan," ucapnya sopan seraya merundukan tubuh beberapa saat.

"Baik." Lara gegas berjalan mendahului pelayan.

Langkah Lara langsung terhenti, tatkala pandangannya tak mendapati sosok Abian di sekitar meja makan.

"Lea, ayo sarapan dulu, Sayang!" seru ibu Abian.

"Pak Abian ...."

"Abian sudah berangkat lebih dulu ke perusahaan, dia bilang ada urusan penting yang harus diselesaikan." Ibu Abian memberi jeda pada kalimatnya. "Lea, kamu tidak biasa bekerja. Terlebih lagi, Sekretaris adalah pekerjaan yang cukup berat. Tidak apa-apa jika kamu tidak mau. Biar Mama yang ngomong sama Abian nanti," terangnya.

Lara gegas melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. 'Astaga! Sudah pukul sembilan. Pantas saja Pak Abian sudah berangkat' batinnya panik.

"Ti-tidak apa-apa, Tan, eh Ma. Saya akan menggantikan posisi Sekretaris untuk sementara. Kalau begitu saya pamit." Lara bergegas pergi dengan langkah setengah berlari.

"Eh? Lho? Sarapan dulu, Lea!" teriak ibu Abian. Namun kepanikan hebat membuat Lara tak menggubris perhatian itu.

Hampir satu jam mengendarai taksi online yang ia pesan melalui aplikasi, akhirnya Lara sampai di depan halaman gedung perusahaan yang menjulang tinggi.

"Terima kasih, Pak." Lara memberikan selembar uang kertas berwarna merah yang ia temukan di dalam dompet milik pemilik raga yang Lara tempati saat ini, pada seorang pengendara taksi online yang telah mengantarnya hingga di depan halaman perusahaan.

Meski beberapa kali mendapatkan tawaran sopir rumah yang siap mengantarnya, namun Lara terus menolak. Alasannya sepele, ia tak ingin merepotkan orang lain.

Gegas Lara berlari menuju gedung pencakar langit itu. Namun langkahnya dihentikan beberapa security yang berjaga di depan pintu. "Maaf, Nona. Ada yang bisa kami bantu?"

"Lho, Pak? Saya kan La--" Kalimat itu urung terucap, tatkala rasa nyeri kembali menusuk tenggorokan.

Kini Lara baru menyadari akan sesuatu. Nampaknya semesta tak mengijinkannya untuk memberitahu identitas asli yang dia miliki.

"Apa Anda baik-baik saja, Nona?"

"Ti-tidak apa-apa. Sa-saya adalah pengganti Sekretaris Pak Abian untuk sementara," jelas Lara bersusah payah. Kedua tangannya menggenggam erat tenggorokannya yang mulai terasa lega.

"Oh, maafkan atas ketidak tahuan kami, Nona. Apa perlu saya antar ke ruangan Pak Abian?" Security merundukan tubuhnya beberapa saat sebagai tanda penyesalan.

"Tidak perlu, saya tahu tempatnya. Bisakah saya masuk sekarang?"

"Silakan, Nona."

Lara mengangguk sekilas seraya tersenyum ramah, sebelum beranjak memasuki pintu kaca.

Tanpa Lara sadari. Ia menjatuhkan sesuatu yang berkilau dari lehernya. Dipungut seorang pria yang kebetulan berjalan di belakangnya kala itu.

Setelah keluar dari dalam elevator yang ia naiki, Lara gegas berlari memasuki sebuah ruangan dengan pintu kaca.

"Selamat pagi, Pak. Maaf saya terlambat. Lain kali tidak akan saya ulangi lagi." Lara merundukan tubuhnya beberapa saat setelah kembali menutup pintu.

Namun Abian hanya meliriknya sekilas, sebelum kembali berfokus pada berkas di tangannya.

"Salin dokumen ini!" titah Abian sedikit mendorong tumpukan berkas di atas meja kerjanya. Namun pandangan matanya tak teralihkan sedikit pun.

"Se-semuanya, Pak?" Lara tertegun melihat tumpukan berkas dengan tebal hampir sepuluh senti.

"Hemm." Namun Abian hanya bergeming sebagai jawaban.

Tok! Tok! Tok!

Abian segera menatap ke arah pintu saat terdengar bunyi ketukan.

Seorang pria nampak berdiri di depan pintu kaca seraya menunjukkan kartu identitas yang menggantung di lehernya.

"Siapa?" Abian memicingkan mata berusaha mengenali.

Lara yang awalnya berdiri membelakangi pintu gegas berbalik dan membeku. Matanya membulat sempurna. Menatap kedatangan seorang pria yang sangat berpengaruh besar dalam hidupnya. 'M-mas Pra ... setya?'

Lara menautkan kedua tangannya di depan tubuh. Mencengkeram kuat ujung roknya hingga menyembulkan urat-urat halus dari punggung tangan.

Sebisa mungkin wanita itu menahan amarah yang kembali bergejolak hebat dalam dada. Ia tak ingin orang lain mengetahui tentang emosinya yang hampir tak terkendali.

"Kenapa diam saja? Cepat buka pintu!"

"Ba-baik," jawab Lara tergagap sebab tubuhnya yang tengah bergetar hebat.

Lantas Lara segera membuka pintu dan berusaha bersikap wajar.

"Selamat pagi, Nona. Saya Prasetya Abimanyu. Wartawan dari Alpha News yang akan mewawancarai Pak Abian Mahendra. Saya sudah membuat janji dengan Sekretarisnya beberapa hari yang lalu," terang Prasetya menjelaskan tujuan kedatangannya.

Beberapa hari yang lalu, Prasetya memang sudah meminta Lara untuk membujuk atasannya agar mau diwawancarai. Mengingat sang atasan adalah orang yang cukup susah untuk ditemui. Prasetya ingin memamerkan pada seluruh rekan kerjanya, bahwasanya hanya dia seoranglah yang mampu melakukan pekerjaan berat itu. Dan bodohnya lagi, Lara malah mengiyakan permintaan itu dengan mudah.

"Si-silakan masuk." Lara menepi beberapa langkah dari hadapan pintu, guna memberi jalan untuk Prasetya memasuki ruangan.

Namun Prasetya hanya diam. Pria itu malah menelisik wajah Lara untuk beberapa saat. "Oh, ternyata kamu."

Lara sontak mematung dengan wajah menegang. 'Mungkinkah Mas Prasetya mengenaliku dengan raga baru ini?'

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Sepuluh hari

    Lara menundukkan kepala, matanya sayu. Sorot sendu itu memantulkan kepedihan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bibirnya bergerak pelan, seolah takut suaranya terdengar oleh siapa pun.“Banyak hal yang ingin aku tanyakan tentang kesempatan hidupku yang sekarang. Tapi aku pun tidak tahu harus bertanya pada siapa. Sungguh malang nasibku,” gumamnya lirih, seakan berbicara hanya kepada bayangannya sendiri.Raut wajahnya mengeras sejenak, lalu melembut ketika ingatannya menyeret kembali sosok seorang kakek yang pernah ia temui di dalam bus. Kenangan itu begitu jelas—kakek itu duduk di bangku belakang, memandang keluar jendela dengan mata yang separuh tertutup, lalu menoleh padanya sambil menutup satu matanya dengan telapak tangan."Jika ingin melihat orang yang bernasib sama sepertimu, lakukan ini," begitu katanya, suaranya serak namun penuh misteri.Lara menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tanpa sebab berdegup cepat. Ia merapatkan duduknya, memperbaiki pos

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Sepuluh kelopak

    Lara meremas erat selimut yang menutupi kakinya. Amarah di dadanya menggelora, menghanguskan sisa-sisa kesabaran. ‘Aku benar-benar tidak mengerti apa isi otak pria ini. Sebelumnya aku sudah menjelaskan dengan sangat jelas, tapi masih saja menyebut Mas Prasetya sebagai selingkuhanku…’ batinnya penuh kekesalan.Kris, setelah mempertimbangkan sesuatu dalam pikirannya, akhirnya melangkah mendekat. “Nyonya, saya akan pergi mendampingi Pak Abian menghadiri rapat perusahaan. Dokter bilang tubuh Anda masih terlalu lemah. Saya akan menjemput Anda setelah rapat selesai,” ucapnya dengan nada hormat, membungkukkan badan sedikit sebelum berbalik pergi, mengikuti Abian yang sudah lebih dulu menghilang di balik pintu.Lara tidak menjawab. Ia hanya duduk diam, hatinya berkecamuk. Ada kebingungan, ada kemarahan, ada kekecewaan yang bercampur jadi satu. Perubahan sikap Abian yang tiba-tiba kembali dingin padanya menusuk seperti es di tengah musim panas. Ia marah karena Abian begitu tertutup soal masala

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Batas kesabaran

    “Abian!” teriak Lara dengan nada panik. Tubuhnya terlonjak bangun, duduk di atas ranjang rumah sakit dengan napas terengah.‘Mimpi?’ batinnya lega. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan degup jantungnya yang memburu. Tarikan napasnya panjang dan berat, lalu ia embuskan perlahan. Namun, ketika kelopak matanya kembali terbuka, pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang hanya menatapnya datar — pria yang baru saja ia panggil dalam mimpi itu.Lara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seorang pria berjas putih berdiri di dekat ranjangnya, menatapnya dengan raut heran. Di sisi lain, Kris — dengan perban membalut kepalanya — memandangnya penuh kepanikan.Tiba-tiba, rasa nyeri menusuk hebat di kepalanya. “Akh…” keluhnya lirih. Tangannya terangkat memegangi kepala yang telah dililit perban. Tubuhnya goyah, membuat seorang perawat segera membantunya kembali berbaring.Kris, yang melihat istri atasannya sudah sadar, tergesa mendekat. “Nyonya, syukurlah Anda sudah sadar. Pak Abi

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Ingatan masa lalu

    Sejak beberapa kali ketahuan mengirimkan makanan saat jam makan siang untuk Lara, gosip pun mulai beredar di seluruh sudut kantor. Hampir semua karyawan menyimpulkan bahwa Kris menaruh hati pada Lara. Desas-desus itu terus beredar, dibumbui tawa kecil dan lirikan jahil setiap kali keduanya terlihat bersama.Lara, pada awalnya, tidak begitu peduli. Menjadi bahan ejekan rekan-rekan kantor bukanlah hal baru baginya. Namun, kali ini berbeda. Kris—pria yang sebenarnya hanya berniat baik kepadanya—ikut terseret dalam pusaran gosip itu. Membayangkan nama baik Kris tercoreng oleh candaan rekan kerja, membuat Lara sedikit khawatir.Sejak kabar miring itu merebak, Lara mulai menghindar. Setiap kali Kris datang dengan sebungkus makanan, ia selalu punya alasan untuk menolak: entah mengaku sudah makan, pura-pura sibuk, atau bahkan sengaja tidak berada di tempat.Lara menarik napas lega. 'Ternyata begitu? Aku hampir mengira gosip-gosip di perusahaan itu benar' Namun, pikirannya belum tenang sepenuh

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Kebingungan Lara

    Kris menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk singkat. “Ah, begitu rupanya. Apa Pak Abian tahu tentang ini?”Sejenak Lara terdiam, menghela napas sebelum menggeleng. “Tidak. Dia belum kembali,” jawabnya, sekali lagi memutar kebenaran.“Pasti masih mengantre di sana…” gumam Kris, nyaris tidak terdengar.“Apa?” Lara mengerutkan kening.Kris tersenyum canggung. “Em… anu. Tadi, pulang dari restoran setelah bertemu klien luar negeri, Pak Abian mampir ingin membeli sate dan iga bakar di warung Pak Slamet.”Wajah Lara tetap datar, membuat Kris mengira ia tidak mengenal tempat itu. “Anda tahu? Yang di samping pom bensin itu, loh. Antriannya mengalahkan kendaraan yang mengantre bensin bersubsidi,” guraunya sambil terkekeh. Namun tawanya meredup ketika Lara hanya diam, tak menanggapi.“Kalau begitu, biar saya antar Anda ke rumah sakit. Ayo!” Kris melangkah cepat, namun baru beberapa langkah, ia menoleh dan mendapati Lara masih berdiri diam di tempat.“Nyonya, ada apa? Kepala Anda pusing? Sakit s

  • Reinkarnasi Menjadi Istri Presdir Dingin   Hamburger untuk hadiah ulang tahun

    Lara menunduk, jemarinya yang gemetar menggenggam telapak tangan yang berlumuran darah. Kulitnya perih, tertusuk pecahan kaca yang masih menempel tipis di sana. Namun rasa nyeri itu terasa begitu kecil dibandingkan dengan perih yang kini menghantam hatinya.Rasa sakit pada pelipisnya yang juga berdarah hanyalah luka luar—yang bisa sembuh dengan waktu. Luka di hatinya jauh lebih dalam, mengendap bersama rasa kecewa yang membakar. Ia menggigit bibir, berusaha menahan gejolak emosi yang meluap. Namun tetap saja, air matanya jatuh, mengalir pelan, membasahi pipinya.Bukan hanya sakit hati, ada juga rasa penasaran yang mencengkeram pikirannya. Mengapa foto itu begitu berarti bagi Abian? Mengapa ia menjaganya sedemikian rupa, bahkan rela melukai dirinya sendiri untuk melindunginya? Pertanyaan itu berputar di kepalanya, namun jawaban tetap terkunci rapat di balik sikap dingin sang suami.Tanpa sepatah kata pun, Lara melangkah pergi. Tumitnya menapak lantai dengan bunyi yang tegas, namun lang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status