Setelah menerima pengkhianatan dan diceraikan, Lara Anggraini di bunuh dengan kejam oleh mantan suaminya dan selingkuhannya. Dendam membara yang Lara rasakan membawanya berpindah jiwa ke dalam raga seorang wanita. Siapa sangka, setelah Lara mendapatkan kehidupan baru, ia berubah menjadi seorang istri dari sosok Presdir dingin, yang tak lain adalah atasannya di masa lalu. Lantas, bagaimana cara Lara membalaskan rasa sakit hatinya di masa lalu pada sang mantan suami?
View More"Sayang, apa yang ini bagus?"
"Bagus, belilah yang ini!"Lara terhenyak, tatkala mendapati suara berat yang begitu mirip suaminya.Wanita dengan tubuh tambun itu lantas menoleh ke samping. Tepatnya pada sepasang suami istri yang tengah sibuk memilih model cincin."Mas Prasetya?" Sekali lihat saja Lara sudah bisa mengenali suaminya meski pria itu membelakanginya kala itu.Pria yang awalnya membelakangi Lara pun pada akhirnya berbalik badan, saat mendengar suara wanita yang tengah memanggil namanya.Lara diam mematung dengan tatapan tak percaya. Begitu pula sang suami yang langsung menunjukkan wajah tegangnya."La-lara, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Prasetya terbata."Bukankah harusnya aku yang tanya begitu padamu, Mas? Bukankah dua hari yang lalu kamu pamit ke luar kota atas perintah Atasanmu? Dan siapa dia?" Lara menunjuk wanita di belakang suaminya dengan dagu."Berhubung kamu sudah mengetahuinya, maka aku akan sekalian menjelaskan." Prasetya merangkul wanita di sampingnya. "Dia Medina, Atasanku sekaligus calon Istriku. Kamu tahu? Akhirnya aku akan segera memiliki keturunan darinya." Prasetya memamerkan senyum lebar seraya mengusap lembut perut datar Medina beberapa kali."Hay," sapa Medina melambaikan tangan tanpa rasa malu.Lara membeku. Hatinya bagai tertusuk ribuan sembilu. Begitu nyeri.Niat hati ingin membeli cincin untuk menggantikan cincin pernikahan yang sempat ia jual di awal tahun pernikahan, Lara malah mendapati suguhan kebusukan suaminya di toko perhiasan."Jadi, kamu berselingkuh di belakangku selama ini?" Lara mengepalkan kedua tangannya menahan amarah. Bahkan kelopak matanya yang mulai memanas kini terasa basah."Cih! Lihatlah perbandingannya denganmu! Dia juga wanita pekerja, tapi tidak gembrot dan kucel sepertimu. Dan kabar baiknya, dia tidak mandul," cebik Prasetya. Tatapan matanya menyiratkan rasa jijik."Aku kucel seperti ini karena tak memiliki waktu untuk merawat diri, Mas! Setiap pagi sampai--""Cukup! Intinya sekarang aku menceraikanmu. Urus berkas-berkasnya sendiri di pengadilan!" pungkas Prasetya.Rasa sesak dalam dada membuat Lara hampir tak dapat mengendalikan diri. Ingin rasanya menjabak dan mencakari wajah wanita yang tengah dirangkul mesra suaminya itu. Namun Lara sadar. Perbuatan brutal semacam itu pun tak akan mengubah keadaan."Aku akan menjual rumah besok. Tenang saja, kamu masih akan mendapatkan bagian dua puluh persen dari hasil jual rumah itu," ucap Prasetya memberitahu sebagai formalitasnya saja."Tidak! Itu rumahku. Apa hakmu untuk menjualnya?! Jika kamu ingin menghidupi Istri barumu, setidaknya bekerja keraslah! Jangan terus menumpang hidup pada wanita!" teriak Lara hampir mengumpat. Tak ia pedulikan beberapa pasang mata yang mulai memperhatikan mereka dari jauh."Apa maksudmu dengan menumpang hidup? Selama kita menikah aku juga bekerja. Hanya karena aku memberi sedikit gajiku padamu, lantas kamu menganggapku menumpang hidup?!"Lara tak sempat menimpali, tatkala suara dering ponselnya terdengar dari dalam tas di gendongannya.'Pak Abian' batin Lara membaca nama kontak pada layar ponselnya."Halo?""Lara, sekarang kamu ke kantor! Ada meeting mendadak.""Ba--" Dengungan sambungan telepon yang terputus, membuat Lara tak sempat menuntaskan kalimatnya.Lara gegas meletakkan kembali ponselnya di dalam tas. "Ingat baik-baik, Mas! Jika kamu ingin menjual rumahku, maka langkahi dulu mayatku!" pungkas Lara sebelum melengos pergi.Mengurungkan niatnya semula untuk membeli cincin. Baginya yang terpenting saat ini adalah bekerja. Karena pekerjaan bisa membuat Lara melupakan sejenak perkara rumah tangganya.Lara tak peduli akan pendapat orang lain yang menyaksikan pertengkarannya kala itu. Ia gegas menuju ke arah jalan besar. Menunggu ojek online yang telah ia pesan sebelumnya.Sebagai seorang sekretaris perusahaan yang diberikan kepercayaan lebih oleh atasannya, Lara harus memanfaatkan kepercayaan itu baik-baik. Secepat mungkin dia harus sampai di perusahaan sebelum atasannya sampai di sana lebih dulu.Tak butuh waktu lama, seorang pria dengan sepeda motor butut berhenti di depan Lara. "Mbak Lara?""Benar, Pak," ujar Lara membenarkan, lantas segera menaiki sepeda motor dan memakai helm yang diberikan tukang ojek.Motor dipacu dengan kecepatan tinggi. Menembus kemacetan panjang di jalanan ibu kota.Hari ini tak seperti biasanya. Mobil-mobil besar melaju di satu jalur, sebab ada perbaikan jalan di jalur lain."Mbak, saya pelankan sedikit motornya ya? Terlalu berbahaya kalau ngebut di jalanan ramai seperti ini.""Saya sedang buru-buru, Pak. Mungkin satu menit saja saya telat datang ke kantor, saya akan langsung dipecat."Tak memiliki pilihan lain, tukang ojek pada akhirnya memacu motor bututnya dengan kecepatan yang lebih tinggi.Namun di tengah perjalanan, sebuah mobil berwarna kelabu nampak menyusul. Dengan sengaja menyerempet body motor beberapa kali. Hingga pada akhirnya motor oleng ke kanan dan menghantam truk besar yang melintas.Brak!Lara terpental keras hingga beberapa meter dari jalan raya. Nahasnya, helm yang Lara gunakan terlepas akibat benturan keras. Menyebabkan pendarahan hebat pada kepalanya yang berbenturan langsung dengan jalan beraspal."Sakit ...." lirih Lara mengadu kesakitan.Di separuh kesadarannya yang tersisa. Lara melihat dari celah matanya yang tak terbuka sempurna. Prasetya yang turun dari dalam mobil, gegas melangkahi tubuhnya beberapa kali seraya tertawa lepas. "Sekarang aku sudah melangkahi mayatmu, jadi aku bebas menjual seluruh aset yang kamu tinggalkan, Lara. Sungguh malang nasibmu.""Ti ... dak ...." Suara Lara lemah tak berdaya. Bahkan hampir tak terdengar jelas oleh telinga.Ingatan demi ingatan masa lalu atas segala jerih payahnya, membuat Lara tak rela meninggalkan dunia dengan cara keji ini.'Aku tidak terima! Aku tidak mau mati sia-sia seperti ini! Aku akan menghancurkanmu, Prasetya!' batin Lara penuh amarah yang berkobar, sebelum Lara benar-benar kehilangan kesadarannya.Keesokan harinya."Hah ... hah ...!" Lara terbangun dengan napas terengah. Mengusap dahinya yang berkeringat dingin."Mimpi?" gumam Lara sembari mengatur napas.Tak ada hal aneh yang Lara rasakan, sebelum pandangan matanya menelisik setiap sudut dalam ruangan yang begitu asing.Gegas Lara turun dari tempat tidurnya. Namun hal aneh kembali terjadi, tatkala Lara berdiri menatap kakinya sendiri. "Aku jadi lebih tinggi? Atau hanya perasaanku saja?"Dalam kebingungan itu Lara tak sengaja menatap ke arah cermin besar dalam ruangan.Wajahnya tercengang, tatkala mendapati pantulan orang asing dalam cermin tersebut.Sosok wanita cantik bertubuh tinggi. Rambut sepinggang yang tergerai indah dan tonjolan di bagian dada dan bawah pinggangnya membuat daya tarik bayangan dalam cermin itu semakin indah.Lara beberapa kali memegangi wajahnya. Menelusuri setiap bagian tubuh dengan tangannya. Dan anehnya, pantulan bayangan dari cermin itu mengikuti setiap gerakan tubuhnya."Ada apa denganku?! Siapa dia? Kenapa aku berada di tubuh orang lain?!"“Kamu tidak takut aku akan melaporkanmu ke polisi?” suara Prasetya terdengar dingin, tapi samar bergetar. Matanya memicing, seperti binatang liar yang terpojok dan hanya bisa mengaum untuk menakut-nakuti.Pria muda itu—dengan jas rapi dan senyum congkak, hanya terkekeh. “Beranikah kamu?” cibiran itu meluncur pelan, seperti duri kecil yang menusuk telinga.Prasetya terdiam. Kata-kata sederhana itu menamparnya dengan kenyataan yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat. Dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup liar, sementara bayangan masa lalu berkelebat tanpa ampun. Kenangan kelam ketika ia menabrak istrinya sendiri hingga napas terakhir perempuan itu hilang, masih jelas tergambar. Darah di tangannya, jeritan yang teredam, dan wajah Lara yang selalu menghantuinya dalam mimpi buruk.Dan kini, setelah pencurian berkas saham Alpha News hari ini, ia semakin terperangkap. Sekali saja namanya tercium polisi, semua kebusukan itu akan menyeruak keluar. Ia bukan hanya akan kehilangan kebebasa
Sore itu, bayangan pepohonan memanjang di tanah, seperti garis-garis hitam yang menutup sebagian cahaya matahari. Angin membawa aroma tanah lembap, dan di balik batang pohon besar yang berdiri tak jauh dari halaman rumah Lara, seorang pria bersembunyi dengan gelisah.Prasetya.Wajahnya pucat, keringat dingin menetes dari pelipis meski sore itu tidak terlalu terik. Jemarinya menggenggam batang pohon dengan kaku, seperti seseorang yang setengah tercekik. Matanya menatap tajam ke arah rumah yang berdiri angkuh dengan pagar megah dan para pengawal bersetelan hitam yang berjaga di depan gerbang."Tck! Penjagaan terlalu ketat."Mobilnya terparkir tidak jauh dari sana. Sebuah kendaraan yang bukan hanya sekadar benda, melainkan harga diri dan sisa kebanggaan yang masih dimiliki. Mobil itu bisa dijual, bisa menopang hidupnya untuk beberapa tahun ke depan—jika memang benar akhirnya ia harus terusir dari rumah istrinya sendiri.Namun, untuk mengambil mobil itu, ada risiko besar. Prasetya menimba
“Nyonya, tetaplah di mobil. Saya akan membantu mengejarnya.”Kris sudah siap berlari, tubuh tegapnya menegang, jas hitamnya terayun dihembus angin. Namun sebelum langkahnya melesat, jemari lentik menahan lengannya.Kris menoleh. Di sana, wajah Lara tampak tenang dalam bayangan cahaya pagi menjelang siang. Rambutnya berkilau samar tertiup angin. Ia hanya menggeleng pelan, isyarat tegas yang membuat Kris mengurungkan niat.“Biarkan saja,” suara Lara datar, nyaris dingin, namun di baliknya ada keyakinan yang menusuk. “Kita tidak akan kehilangan dia.”Kris mengangkat alis, tak mengerti. Nafasnya terhenti sejenak, tak percaya pada ketenangan sang nyonya. Namun sebelum ia sempat bertanya, Lara mengeluarkan ponsel. Cahaya layar ponsel itu memantul di matanya, tajam namun penuh rahasia.“Aku menempelkan GPS di sepatunya,” ujar Lara datar sambil menunjukkan titik merah di layar map.Kris terpana. “Kapan itu terjadi, Nyonya?”“Sejak dia memberiku berkas itu. Tanpa sadar, ia menginjak GPS yang a
Prasetya berdiri tertegun. Matanya membesar, tubuhnya gemetar, bibirnya bergetar namun tak sanggup mengeluarkan kata selain bisikan parau yang pecah di ujung nafasnya.“Lea… kenapa begini? Apa yang salah dengan berkas ini? Kau tahu bagaimana aku mempertaruhkan hidupku untuk mencurinya?”Suara itu parau, penuh luka, seperti seruling retak yang dipaksa meniup melodi. Tangannya gemetar, berusaha meraih lengan Lara. Namun Lara dengan cepat menghindar, gerakannya dingin dan tegas.Prasetya membeku di tempat, matanya berkaca, sementara tubuhnya nyaris roboh oleh beban yang tak terlihat.Wajah Lara berubah drastis—dari datar menjadi bengis. Matanya berkilat seperti pisau, menusuk tanpa ampun. Amarah yang selama ini ia pendam meledak perlahan, namun berbahaya. Langkahnya maju perlahan, sementara Prasetya justru mundur, dadanya naik turun cepat, rasa takut mencengkeram hingga jemarinya gemetar tak terkendali.“Kau tidak mengerti juga, ya?”Senyum miring menggores wajah Lara, getir, meledek, me
“Aku sudah bilang kalian akan menyesal setelah memperlakukanku seperti ini.”Cibiran Prasetya pecah di udara seperti retakan kaca. Suaranya penuh keangkuhan, menohok telinga semua orang yang berdiri di halaman itu. Ia melangkah mendekat pada Lara, sorot matanya menyala dengan rasa puas yang menusuk.Namun Lara hanya membalas dengan tatapan dingin, sinis, begitu menusuk hingga para pengawal di sekitarnya menundukkan kepala. Kris, yang berdiri paling depan, merasakan hatinya diremuk rasa kecewa. Jemarinya yang terkepal di sisi tubuh bergetar pelan, menahan amarah yang berusaha meledak. Ia tak percaya, nyonya yang selama ini ia lindungi dengan segenap jiwa, lebih memilih membela seorang selingkuhan ketimbang dirinya—tangan kanan yang dipercaya Abian untuk menjaganya.Sesak menjalari dada Kris. Dalam sekejap, ia sadar: bagi Lara, Abian bukan lagi pusat dunia. Ada seseorang yang lebih berharga di matanya sekarang—Prasetya.“Sayang, lihatlah cara mereka memperlakukanku.” Suara rengekan Pras
Lara berlari kecil memasuki kamarnya, langkahnya tergesa namun penuh gairah, seperti seorang gadis yang baru saja menerima kabar bahagia. Senyum yang sedari tadi dia tahan akhirnya pecah, mengalir bersama tawa riang yang terlepas begitu saja. Pintu yang ditutup rapat menjadi saksi, bagaimana ia menempelkan punggungnya sambil memeluk erat ponsel yang terus berdering di genggaman.Detak jantungnya berpacu, seakan berlomba dengan waktu. Jemari yang sempat bergetar segera merapikan rambut kusut, lalu wajahnya yang semula lelah kini dipoles senyum manis. Tanpa menunda lebih lama, ia menyentuh layar—dan di hadapannya, muncul sosok yang begitu ia rindukan.“Kenapa? Sudah merindukanku?” suara Lara meluncur ringan, menggoda, seolah ia bukanlah seorang wanita yang tengah menanggung kerinduan besar.Di seberang layar, Abian terkekeh kecil. Senyumnya membias, hangat sekaligus nakal. “Akhirnya, orang yang aku tunggu seharian muncul juga.”Lara memperhatikan sekitar tempat Abian berada. Ia mengenal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments