Jemari Lara menjeberkan isinya—sepotong celana dalam pria berwarna merah menyala. Dan di dalam sana masih ada beberapa dengan warna yang berbeda.“Krisss…” suaranya parau, separuh masih kantuk, separuh lagi tak percaya. “Kau tidak salah kirim?” Ia menjeberkan benda itu di depan wajah, rambut kusutnya ikut terayun. Ekspresi wajahnya antara ingin marah, dan ingin tertawa.Kris menunduk makin dalam, wajahnya memerah. “A-anu, nyonya… jangan salah paham. Itu benar-benar dari Pak Abian. Anda bisa menelponnya jika tidak percaya.” Suaranya begitu hati-hati, seolah setiap kata bisa menjadi bom yang meledak kapan saja.“Aku percaya,” Lara menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya berat. “Hanya saja… untuk apa dia mengirimiku… benda ini?” Celana dalam merah itu kembali ia gantung dengan jarinya, berayun-ayun di udara pagi yang dingin.Kris menyingkap sedikit benda itu dengan telunjuknya, sebab menghalangi pandangannya, nyaris tak berani menyentuh. “Pak Abian bilang, tadi pagi dia menelpon An
“Kamu tidak takut aku akan melaporkanmu ke polisi?” suara Prasetya terdengar dingin, tapi samar bergetar. Matanya memicing, seperti binatang liar yang terpojok dan hanya bisa mengaum untuk menakut-nakuti.Pria muda itu—dengan jas rapi dan senyum congkak, hanya terkekeh. “Beranikah kamu?” cibiran itu meluncur pelan, seperti duri kecil yang menusuk telinga.Prasetya terdiam. Kata-kata sederhana itu menamparnya dengan kenyataan yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat. Dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup liar, sementara bayangan masa lalu berkelebat tanpa ampun. Kenangan kelam ketika ia menabrak istrinya sendiri hingga napas terakhir perempuan itu hilang, masih jelas tergambar. Darah di tangannya, jeritan yang teredam, dan wajah Lara yang selalu menghantuinya dalam mimpi buruk.Dan kini, setelah pencurian berkas saham Alpha News hari ini, ia semakin terperangkap. Sekali saja namanya tercium polisi, semua kebusukan itu akan menyeruak keluar. Ia bukan hanya akan kehilangan kebebasa
Sore itu, bayangan pepohonan memanjang di tanah, seperti garis-garis hitam yang menutup sebagian cahaya matahari. Angin membawa aroma tanah lembap, dan di balik batang pohon besar yang berdiri tak jauh dari halaman rumah Lara, seorang pria bersembunyi dengan gelisah.Prasetya.Wajahnya pucat, keringat dingin menetes dari pelipis meski sore itu tidak terlalu terik. Jemarinya menggenggam batang pohon dengan kaku, seperti seseorang yang setengah tercekik. Matanya menatap tajam ke arah rumah yang berdiri angkuh dengan pagar megah dan para pengawal bersetelan hitam yang berjaga di depan gerbang."Tck! Penjagaan terlalu ketat."Mobilnya terparkir tidak jauh dari sana. Sebuah kendaraan yang bukan hanya sekadar benda, melainkan harga diri dan sisa kebanggaan yang masih dimiliki. Mobil itu bisa dijual, bisa menopang hidupnya untuk beberapa tahun ke depan—jika memang benar akhirnya ia harus terusir dari rumah istrinya sendiri.Namun, untuk mengambil mobil itu, ada risiko besar. Prasetya menimba
“Nyonya, tetaplah di mobil. Saya akan membantu mengejarnya.”Kris sudah siap berlari, tubuh tegapnya menegang, jas hitamnya terayun dihembus angin. Namun sebelum langkahnya melesat, jemari lentik menahan lengannya.Kris menoleh. Di sana, wajah Lara tampak tenang dalam bayangan cahaya pagi menjelang siang. Rambutnya berkilau samar tertiup angin. Ia hanya menggeleng pelan, isyarat tegas yang membuat Kris mengurungkan niat.“Biarkan saja,” suara Lara datar, nyaris dingin, namun di baliknya ada keyakinan yang menusuk. “Kita tidak akan kehilangan dia.”Kris mengangkat alis, tak mengerti. Nafasnya terhenti sejenak, tak percaya pada ketenangan sang nyonya. Namun sebelum ia sempat bertanya, Lara mengeluarkan ponsel. Cahaya layar ponsel itu memantul di matanya, tajam namun penuh rahasia.“Aku menempelkan GPS di sepatunya,” ujar Lara datar sambil menunjukkan titik merah di layar map.Kris terpana. “Kapan itu terjadi, Nyonya?”“Sejak dia memberiku berkas itu. Tanpa sadar, ia menginjak GPS yang a
Prasetya berdiri tertegun. Matanya membesar, tubuhnya gemetar, bibirnya bergetar namun tak sanggup mengeluarkan kata selain bisikan parau yang pecah di ujung nafasnya.“Lea… kenapa begini? Apa yang salah dengan berkas ini? Kau tahu bagaimana aku mempertaruhkan hidupku untuk mencurinya?”Suara itu parau, penuh luka, seperti seruling retak yang dipaksa meniup melodi. Tangannya gemetar, berusaha meraih lengan Lara. Namun Lara dengan cepat menghindar, gerakannya dingin dan tegas.Prasetya membeku di tempat, matanya berkaca, sementara tubuhnya nyaris roboh oleh beban yang tak terlihat.Wajah Lara berubah drastis—dari datar menjadi bengis. Matanya berkilat seperti pisau, menusuk tanpa ampun. Amarah yang selama ini ia pendam meledak perlahan, namun berbahaya. Langkahnya maju perlahan, sementara Prasetya justru mundur, dadanya naik turun cepat, rasa takut mencengkeram hingga jemarinya gemetar tak terkendali.“Kau tidak mengerti juga, ya?”Senyum miring menggores wajah Lara, getir, meledek, me
“Aku sudah bilang kalian akan menyesal setelah memperlakukanku seperti ini.”Cibiran Prasetya pecah di udara seperti retakan kaca. Suaranya penuh keangkuhan, menohok telinga semua orang yang berdiri di halaman itu. Ia melangkah mendekat pada Lara, sorot matanya menyala dengan rasa puas yang menusuk.Namun Lara hanya membalas dengan tatapan dingin, sinis, begitu menusuk hingga para pengawal di sekitarnya menundukkan kepala. Kris, yang berdiri paling depan, merasakan hatinya diremuk rasa kecewa. Jemarinya yang terkepal di sisi tubuh bergetar pelan, menahan amarah yang berusaha meledak. Ia tak percaya, nyonya yang selama ini ia lindungi dengan segenap jiwa, lebih memilih membela seorang selingkuhan ketimbang dirinya—tangan kanan yang dipercaya Abian untuk menjaganya.Sesak menjalari dada Kris. Dalam sekejap, ia sadar: bagi Lara, Abian bukan lagi pusat dunia. Ada seseorang yang lebih berharga di matanya sekarang—Prasetya.“Sayang, lihatlah cara mereka memperlakukanku.” Suara rengekan Pras