Buk!Di luar dugaan, satu bogem mentah mendarat tepat di pipi kiri Abian. Membuat pria tampan itu berdiri terhuyung dengan tatapan penuh tanya yang mengarah sepenuhnya ke sang ayah."Papa!" teriak Sita tak mengira jika suaminya tega menempeleng anaknya sendiri.Seluruh pelayan yang menyaksikan kejadian di dapur kala itu seketika menundukkan kepala. Tak berani sedikit pun mencampuri urusan keluarga sang majikan."Berani kamu bilang begitu tentang Lea! Asal kamu tahu, dia belakangan ini selalu bangun pagi hanya untuk memasak sarapan untukmu. Menyiapkan seluruh keperluanmu seperti baju, sepatu dan lain sebagainya. Lantas, di mana letak kekanak-kanakannya?" protes Zaki tidak terima. Matanya melotot tajam menatap sang putra yang tak sekali pun memiliki keberanian menatap wajahnya, diiringi napas yang memburu hebat.Abian diam membisu. Mungkin ucapan sang ayah tak sepenuhnya salah. Tapi mau bagaimana pun juga, kesan Lea sudah jelek di mata Abian dari dulu. Sebab itu, sampai kapan pun Abian
Lara mengerucutkan bibir menahan rasa dongkol.Sedangkan Abian gegas mendorong tubuh sang istri menjauh darinya dan segera bangkit. Rasa gusar membuatnya melangkahkan kakinya cepat keluar dari dalam ruangan."Dia datang!" suara tipis yang terdengar samar membuat langkah Abian terhenti selang selangkah melewati garis pintu.Sadar tengah diperhatikan diam-diam, Abian memutar bola matanya menyisir seluruh penjuru ruangan. Namun tak membuat pria itu menggerakkan kepalanya. Hal itu ia lakukan agar si pengintai tak tahu jika Abian mengetahui keberadaan mereka.Sebuah siku terlihat bergerak dari balik vas bunga keramik yang letaknya tak jauh dari tempat Abian berdiri kala itu. Vas bunga yang tak terlalu besar, tak dapat menutupi dua tubuh orang dewasa yang tengah bersembunyi di balik sana.Bisa Abian pastikan, jika mereka adalah mertua Abian yang tengah menguping di depan kamar. Terlihat dari gelang emas yang dipakai mama mertuanya sebelum ini.Abian menghela nafas panjang, sebelum beranjak
Sadar sesuatu menyembul dari balik resleting celana, mata Abian yang sebelumnya memejam tiba-tiba melebar. Ia gegas mendorong tubuhnya menjauhi Lara.Tautan bibir yang dipaksa terlepas membuat napas Abian dan Lara memburu. Kedua pandangan mata itu saling bertemu untuk beberapa saat, sebelum Abian memutuskan untuk bangkit dan melawan hawa nafsu yang mulai menguasai dirinya.Lara diam mematung. Merasakan kekecewaan yang mulai menyesakkan dada."Se-sepertinya orang tuamu sudah pergi. Aku akan cek ke luar," ujar Abian tergagap sebab salah tingkah. Matanya mengedar, seakan tak ingin teralih pada tubuh sang istri lagi, yang kini pakaiannya acak-acakan sebab ulahnya sendiri. Mungkin kejantanannya akan kembali bangkit jika hal itu benar terjadi.Abian gegas melangkah pergi tanpa menunggu jawaban. Namun bukan untuk mengecek keberadaan kedua mertuanya, Abian justru memasuki ruang kerjanya.Abian lantas buru-buru menutup pintu dan bersender di dinding ruangan. Mencoba menjernihkan pikirannya seb
Lara mengangguk ragu sebagai jawaban. Ada rasa tak percaya mendapatkan respon baik seperti yang ia harapkan. Namun ia melupakan sesuatu. Yakin kehadiran kedua orang tuanya yang menjadi sebab sikap Abian berubah."Tetaplah di rumah hari ini. Aku akan meminta seseorang untuk menggantikan tugasmu untuk sementara. Istirahatlah sejenak," ujar Abian seraya menyuapkan roti ke dalam mulutnya.Seluruh pasang mata yang menatap mulai mematung, seakan tak percaya dengan apa yang telah telinga mereka dengar."Aku harus berangkat sekarang, ada meeting dengan Klien penting hari ini." Setelah menghabiskan roti dalam sekali suap, Abian gegas bangkit. Mencium tangan kedua orang tuanya dan kedua mertuanya.Setelahnya Abian menghampiri Lara. Mengambil tangan kanan Lara paksa dan menempelkan punggung tangannya di dahi sang istri."Tetaplah di rumah, jangan keluyuran," pesan Abian singkat seraya menyentuh sedikit hidung Lara dengan telunjuknya.Lara sontak diam mematung. Bahkan kecupan kecil pada dahinya m
"Mama pulang dulu, Lea. Jaga kesehatanmu."Belum sepenuhnya pertanyaan Lara terjawab, tanpa Lara sadari, Calista telah melambaikan tangan dari kaca mobil yang perlahan menghilang dari pandangan mata.Entah kenapa, namun ada rasa tidak rela yang tiba-tiba menghantam. Seolah alam bawah sadar memerintahkan Lara untuk menghentikan mobil itu. Namun tak Lara sanggupi. Ia hanya diam menatap jalanan yang baru dilewati mobil kedua orang tuanya dengan tatapan sendu.Hingga dirinya hampir melupakan sesuatu. Yakin pesan singkat yang baru Abian kirimkan padanya.Lara pun buru-buru berlari kembali memasuki rumah tanpa menghiraukan tatapan heran dari kedua mertuanya."Aku harus cepat pergi ke perusahaan!" gumamnya lirih di tengah-tengah langkah kakinya yang tak henti menapaki lantai rumah.Setelah bersiap, Lara gegas kembali keluar rumah guna menunggu taksi online langganannya."Lea. Mau pergi ke mana? Abian menyuruhmu di rumah hari ini, kan?" Pertanyaan Sita seketika menghentikan langkah Lara setel
***Lara yang telah menyelesaikan makan siangnya, berdiri dari tempat duduk dan hendak membuang wadah bekas makanan ke tempat sampah.Tanpa lara sadari sebelumnya, salah seorang karyawati yang tak jauh dari tempat Lara gegas berdiri dan mengekor ke mana pun Lara memijakkan kaki.Bak seorang penguntit, wanita itu semakin mendekatkan dirinya ke arah Lara yang kala itu tengah membelakangi.Sadar dan merasa tak nyaman, Lara seketika menghentikan langkah kaki dan hendak berbalik badan dengan wajah kesal. Meminta penjelasan pada karyawati yang seakan membuntutinya ke mana pun ia pergi.Namun belum sempat mengucapkan sepatah kata, bahu Lara seketika diputar cepat kembali pada posisinya semula. Lara pun mengerinyitkan dahi tak mengerti."Sttt!" Karyawati meletakkan jari telunjuk di ujung bibirnya."Siapa kamu? Apa maumu?" tanya Lara cemas, selagi tubuhnya yang masih membelakangi, sebab kedua bahunya ditahan paksa oleh wanita asing yang tidak pernah ia lihat dalam perusahaan sebelumnya."Janga
Medina seketika meraih kalung di lehernya dan menatapnya sekilas."Kalung seperti ini kamu bilang bagus?" Medina menelengkan kepala dengan tatapan meremehkan.Kalung itu memang terlihat cukup usang, namun jika tidak menyukainya, seharusnya Medina menjual atau menyimpannya saja, kenapa harus dipakai?"Model kalung itu terlihat seperti punya Mamaku. Tapi sekarang sudah hilang karena dicuri seseorang. Tapi sudahlah, mungkin orang itu miskin, dan jauh lebih membutuhkan dari keluargaku." Lara menggidikkan bahu seraya tersenyum kecil.Sindiran itu tanpa sadar membuat darah Medina mendidih hingga naik ke puncak ubun-ubun.Sebagai seorang wanita yang mudah tersulut emosi, Medina merasa sindiran itu memang ditujukan padanya. Sebab kalung itu sebenarnya memang bukanlah miliknya. Namun sang suami selalu meminta dirinya memakai kalung itu tanpa sebab yang jelas. Ketika Medina bertanya pun Prasetya tak mengatakan alasannya dan memilih untuk pergi. Secara tidak langsung Medina beranggapan jika sang
"Berbalik!" titah Abian memutar jari telunjuk sebagai isyarat."Ta-tapi, Pak--""Berbalik!" Abian mengulangi kalimatnya dengan lantang, tatkala Lara tak kunjung menuruti perintahnya.Mendapatkan tatapan tajam membuat Lara gegas menurut tanpa banyak bertanya."Menunduk! Posisikan kedua tanganmu di depan seperti kelinci."Lara mengerinyitkan dahi, dan memutuskan untuk menurut saja tanpa banyak bertanya. Jika hari ini dia kembali membuat masalah, tidak menutup kemungkinan jika hukumannya akan ditambah semakin berat.Namun di sisi lain Lara merasa bingung. Ini pertama kali untuknya. Sebab biasanya, Abian hanya menghukum para pekerjanya dengan skorsing atau menghanguskan bonus bulanan.Mungkin status Lara saat ini membuat hukuman itu berubah."Lompat! Katakan, aku kelinci, sampai aku perintahkan untuk berhenti," titah Abian datar. Menyenderkan punggungnya di senderan kursi seraya menyilangkan kaki.'Apa? Aku kelinci? Apa orang ini sudah gila?' batin Lara heran."Tidak dengar perintahku? Ma