Bab 6: Tanda-Tanda Pertanda
Malam semakin larut, namun ketegangan di hati Arjuna tak kunjung reda. Dia duduk di kamarnya, dikelilingi oleh kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu meja kecil. Mimpi-mimpi aneh terus menghantuinya, dan saat ini, perasaan aneh itu semakin kuat. Dia merasa seolah ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, memanggilnya. Arjuna menutup matanya dan berusaha menenangkan pikirannya. Namun, bayangan-bayangan dari mimpi malam lalu kembali menghantuinya. Dia melihat medan perang yang luas, darah yang mengalir, dan sosoknya sendiri berdiri di tengah semua itu—seorang pejuang yang penuh kemarahan. “Kenapa ini terus terjadi?” gumamnya pelan, merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Kekuatan yang tidak dikenal itu seolah berjuang untuk bangkit, dan Arjuna merasa terjebak di antara dua dunia. Di luar, suara derak pintu terdengar. Livia muncul di ambang pintu. “Arjuna? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir. Kecemasan di wajahnya membuat Arjuna merasa sedikit lebih tenang. “Aku hanya sedikit… bingung,” jawabnya jujur, memandang Livia dengan penuh perhatian. “Mimpi-mimpiku semakin aneh. Aku merasa seolah ada sesuatu yang mengincar kita.” Livia melangkah masuk, duduk di tepi tempat tidur. “Mungkin kita harus mencari lebih banyak informasi. Jika Profesor Budi mengatakan bahwa ada kekuatan kuno yang bangkit, mungkin itu berarti kita perlu bersiap.” Arjuna mengangguk. “Aku harus belajar lebih banyak tentang siapa diriku yang sebenarnya, dan apa yang terjadi di dalam diriku.” Namun, saat mereka berbicara, Arjuna merasakan getaran lain, lebih kuat. Dia berdiri dan berjalan menuju jendela, melihat ke luar. Suasana malam yang tenang tiba-tiba terasa gelap dan mencekam. “Ada sesuatu di luar sana,” bisiknya, menatap ke arah hutan di pinggiran kota. Di hutan itu, bayangan-bayangan tampak bergerak. Arjuna merasakan ketakutan menyelimuti, tetapi ada pula rasa penasaran yang menggelora. “Kita harus pergi ke sana,” katanya, merasa tergerak oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Ke mana?” tanya Livia, bingung. “Ke hutan. Aku merasa… sesuatu memanggilku.” Livia menatapnya ragu. “Tapi itu berbahaya, Arjuna! Kita tidak tahu apa yang ada di sana.” “Aku harus melakukannya. Mungkin ini satu-satunya cara untuk menemukan jawaban tentang mimpiku,” jawabnya dengan keyakinan baru. Setelah beberapa saat, Livia akhirnya setuju. “Baiklah, tapi kita tidak pergi sendirian. Kita harus mengajak teman-teman yang lain.” Mereka memutuskan untuk mengajak Sarah, Dani, dan Bima. Saat mereka berkumpul di luar, suasana semakin mencekam. Dani, yang terlihat pucat, terus memeriksa sekeliling. “Kita benar-benar akan pergi ke hutan? Ini gila!” ujarnya. “Jangan khawatir, Dani. Kita tidak akan pergi jauh, hanya melihat apa yang terjadi di sana,” jawab Dani, berusaha memberikan semangat. Setelah berkumpul, mereka melangkah menuju hutan. Kegelapan menyelimuti mereka saat lampu senter mereka menerangi jalan setapak yang dipenuhi dedaunan. Suasana menjadi semakin aneh; suara-suara malam terasa lebih nyaring, seolah mengamati langkah mereka. “Apakah kalian merasakan itu?” tanya Sarah, tiba-tiba berhenti. “Sepertinya ada yang mengawasi kita.” Arjuna mengangguk, merasakan getaran di udara. “Kita tidak sendiri,” katanya, suaranya bergetar. “Kita harus berhati-hati.” Saat mereka semakin dalam memasuki hutan, Arjuna melihat cahaya samar di antara pepohonan. “Ke sana!” serunya, menunjuk ke arah cahaya. Tanpa berpikir panjang, mereka melanjutkan langkah. Ketika mendekati cahaya itu, mereka menemukan sebuah clearing kecil. Di tengahnya, terdapat sebuah altar kuno yang dikelilingi batu-batu besar. Arjuna merasa sesuatu di dalam dirinya bergetar. “Ini… ini tempatnya,” katanya, seolah terhipnotis. “Mau melakukan apa di sini?” tanya Livia, cemas. “Aku harus menyentuhnya,” jawab Arjuna, melangkah maju. Ketika telapak tangannya menyentuh batu altar, energi mengalir ke dalam dirinya, seolah menyatu dengan kekuatan yang selama ini terpendam. Seketika, visinya dipenuhi dengan gambar-gambar dari masa lalu: Arjuna, sebagai Ares, bertarung di medan perang, melawan musuh yang tak terhitung jumlahnya. Dia merasakan kemarahan, kehilangan, dan kekuatan yang luar biasa. Semua ini adalah bagian dari dirinya yang terpendam. Namun, saat Arjuna tenggelam dalam penglihatan itu, sesuatu yang gelap muncul dari balik bayangan pepohonan. Sebuah sosok besar, dengan tatapan tajam, mengamati mereka. “Kalian seharusnya tidak berada di sini,” suara beratnya menggema. Arjuna menoleh, jantungnya berdegup kencang. “Siapa kau?” tanyanya, berusaha menahan ketakutan. Sosok itu melangkah maju, wajahnya tersembunyi di balik hood. “Aku adalah penjaga kekuatan ini. Dan kalian telah mengganggu sesuatu yang seharusnya tidak kalian sentuh.” Teman-teman Arjuna terdiam, ketakutan memenuhi udara. Mereka terjebak di antara dua dunia, dan ancaman kini tampak semakin dekat. Arjuna merasa kekuatan Ares bergolak di dalam dirinya, siap untuk bangkit. Dia tahu, pertarungan tidak dapat dihindari. -- Malam di hutan semakin kelam, menyelimuti segalanya dalam kegelapan yang mencekam. Arjuna dan teman-temannya berdiri dalam posisi siap, merasakan energi jahat yang menyelimuti area tersebut. Sosok misterius yang berdiri di hadapan mereka adalah penguasa kegelapan, yang diketahui memiliki kekuatan lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. “Kau telah melanggar batas, manusia,” suara sosok itu berat dan penuh ancaman. “Aku di sini untuk menghancurkanmu dan mengambil apa yang menjadi milikku.” Arjuna menatap tajam, mencoba menunjukkan keberanian meskipun ketakutan mulai merayap ke dalam dirinya. “Kami tidak akan membiarkanmu melukai siapa pun! ” teriaknya, berusaha mempertahankan semangatnya. Tanpa peringatan, sosok itu mengangkat tangannya, menciptakan bola energi gelap yang meluncur ke arah mereka. “Berlindung!” teriak Livia, tetapi sudah terlambat. Energi itu menghantam mereka dengan kekuatan yang luar biasa. Arjuna terjatuh ke tanah, merasakan tubuhnya terhimpit. Sebuah rasa sakit yang luar biasa menjalar dari lengan kanannya. Dia melihat dengan ngeri saat tangannya hancur, seolah-olah terputus dari tubuhnya. Rasa sakit itu begitu menyakitkan, dan pandangannya mulai kabur. “Arjuna!” jeritan Livia menggema di telinga Arjuna, tetapi dia tidak bisa merespons. Dalam kegelapan, Arjuna merasakan kesadarannya mulai pudar. Semua suara di sekitarnya menjadi samar, dan dia terjatuh ke dalam kegelapan. Dalam keheningan itu, Arjuna mendengar suara yang dalam dan menggelegar. “Aku adalah Ares, dewa perang. Bangkitlah, anakku!” Suara itu menggema di dalam pikirannya, membangkitkan kekuatan yang selama ini terpendam. Ketika kesadarannya kembali, Arjuna merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah kekuatan baru mengalir melalui tubuhnya. Dia membuka matanya, dan cahaya terang menyilaukan, membuatnya terangkat dari tanah. Tangannya yang hancur mulai pulih, dan rasa sakit itu perlahan-lahan menghilang. “Tidak mungkin!” sosok misterius itu terkejut, mundur beberapa langkah. “Kau… kau bangkit!” “Sekarang, aku adalah Ares!” Arjuna mengeluarkan suara yang dalam, energik, dan penuh wibawa. Cahaya yang menyelimutinya semakin terang, dan sosok itu tidak bisa mengalihkan tatapannya. Arjuna meluncurkan serangan pertama, sebuah gelombang energi yang menghantam sosok itu dengan kekuatan yang luar biasa. Pertarungan semakin intens, setiap serangan Arjuna disertai dengan kekuatan yang menggetarkan tanah. Livia, Dani, Bima, dan Sarah yang sebelumnya terkapar di tanah merasakan aliran energi Ares mengalir melalui mereka, menghidupkan kembali semangat juang mereka. “Arjuna, kita bisa melakukannya!” teriak Livia, matanya berkilau penuh harapan. Bersama-sama, mereka bangkit dari keterpurukan. Namun, saat Arjuna terus melancarkan serangan, sosok misterius itu mencoba melawan. Dia mengeluarkan serangan balik, energi gelap yang berputar dan mengancam keselamatan teman-teman Arjuna. “Kekuatanmu akan menjadi kutukanmu, Ares!” teriaknya. Dengan semangat yang membara, Arjuna memfokuskan semua energi yang dimilikinya. Dia tahu ini adalah saatnya untuk mengakhiri pertempuran ini. Dengan satu ayunan tangan yang kuat, dia menciptakan gelombang cahaya yang menghancurkan segala sesuatu di hadapannya. Sosok misterius itu terlempar ke belakang, terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh ke tanah. “Ini belum berakhir!” teriaknya, sebelum menghilang dalam kegelapan. Arjuna terengah-engah, tetapi kini dia merasakan kelegaan. Namun, saat dirinya meresapi kemenangan itu, tubuhnya terasa semakin berat, seolah-olah energi yang tadi menyala kini menghilang tiba-tiba. Cahaya yang semula menyelimutinya perlahan meredup, dan rasa lelah menyerang seluruh tubuhnya. Di sekelilingnya, teman-temannya satu per satu jatuh tak sadarkan diri, kelelahan setelah mengerahkan seluruh tenaga dalam pertempuran tadi. Arjuna mencoba tetap terjaga, tetapi pandangannya semakin kabur, dan kekuatan terakhirnya menghilang. Perlahan-lahan, dia pun jatuh ke tanah, tidak sadarkan diri, bersama teman-temannya yang tergeletak di sekitar. Kegelapan malam kembali menyelimuti hutan, membawa kesunyian setelah pertempuran besar itu. ---Bab 83: Api Dendam yang Membara Arjuna berdiri terpaku di depan puing-puing rumah orang tuanya. Malam yang gelap terasa seperti neraka bagi dirinya. Bau hangus dari kayu yang terbakar masih tercium, bercampur dengan darah yang mengering di tanah. Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan oleh kemarahan yang membara. Pak Budi berdiri di sampingnya, tubuhnya penuh luka setelah pertarungan sengit melawan Kyle dan Ragnar. Meski berhasil melukai Kyle, kehadiran Ragnar yang mendadak mengubah segalanya. Kini, mereka hanya bisa berdiri di hadapan kehancuran, dengan dua tubuh tak bernyawa tergeletak di antara reruntuhan. “Arjuna...” Pak Budi mencoba berbicara, tetapi suaranya bergetar. Arjuna perlahan berlutut di samping tubuh kedua orang tuanya. Matanya menatap kosong ke arah mereka, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi. Ibunya, yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat, kini terbaring diam dengan luka mendalam di dadanya. Ayahnya, yang selalu menjadi sosok pelindu
Bab 82: Darah di Bawah Langit Malam Di tengah kegelapan ruang bawah tanah yang dingin, Sven berdiri dengan angkuh di atas lantai batu yang berlumut. Kilatan cahaya biru dari bola kristal di tangannya memantulkan wajahnya yang penuh dengan kegetiran dan kebencian. Mata merahnya menatap tajam pusaran dimensi dalam bola tersebut, menyaksikan Arjuna yang baru saja berhasil melewati ujian waktu bersama Sun Wukong dan Pak Budi. "Dia semakin kuat," gumam Sven dengan suara berat yang menggema di ruangan itu. Di sampingnya, berdiri sosok pria berotot dengan rambut pirang pendek dan wajah keras — Kyle, tangan kanan Sven yang terkenal tanpa ampun. Mata Kyle yang dingin memancarkan kekejaman yang sudah menjadi ciri khasnya. “Dia sudah melampaui ekspektasi kita,” lanjut Sven sambil mengepalkan tangan. "Tapi kekuatan yang besar tidak ada artinya kalau hati seseorang dihancurkan.” Kyle mengangguk tanpa ekspresi. “Apa perintahmu, Tuan Sven?” Sven tersenyum tipis, senyum yang lebih me
Bab 81: Ujian Waktu dan Bayangan Masa Lalu Arena kosmik berputar seperti pusaran dimensi tanpa akhir. Arjuna berdiri di tengahnya, tubuhnya diliputi rasa lelah yang menusuk, tetapi tekadnya tetap membara. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri tak jauh darinya, memperhatikan dengan cermat persiapan ujian berikutnya. “Ujian waktu adalah ujian terakhir sebelum kau sepenuhnya layak disebut pewaris kekuatan para dewa,” kata Sun Wukong dengan suara berat. Pak Budi menambahkan, “Ini bukan sekadar perjalanan melawan elemen. Waktu adalah musuh yang tidak terlihat, yang bisa menghancurkan jiwa siapa pun.” Arjuna menarik napas dalam-dalam. Setelah semua yang ia lewati—kematian teman-temannya, kekacauan yang ditinggalkan Sven, serta kehilangan besar yang menghantam hatinya—ia tahu bahwa ujian ini mungkin yang paling berbahaya. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Arjuna sambil menatap lurus ke pusaran waktu yang berkilauan di depannya. “Kau harus melangkah ke dalam waktu itu sendiri,” j
Bab 80: Ujian Kekosongan Arena Kosmik kembali hening. Hanya gema napas Arjuna yang terdengar saat ia berdiri di tengah ruang tak berujung itu. Rasa lelah mulai menjalari tubuhnya setelah menghadapi dua elemen pertama, angin dan api. Namun, tekadnya tetap tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan ujian yang lebih berat sedang menantinya. Sun Wukong berdiri di tepi arena, tongkat emasnya menciptakan suara ketukan pelan saat ia menyentuh lantai kaca hitam dengan ujung tongkatnya. Wajahnya serius, sebuah ekspresi yang jarang terlihat dari raja kera yang biasanya ceria. Pak Budi berdiri di sampingnya, tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh perhatian. "Elemen berikutnya akan benar-benar menguji inti jiwamu, Arjuna," kata Pak Budi, suaranya bergema lembut di dalam arena. "Ini bukan soal kekuatan fisik atau bahkan pengendalian energi semata. Ini tentang seberapa kuat hatimu menghadapi kehampaan
Bab 79: Awal Perjalanan Baru Keesokan paginya, langit di Alam Para Dewa dihiasi warna keemasan yang memukau, seperti lukisan hidup yang tak ada bandingannya di dunia fana. Sinar mentari lembut menyentuh setiap sudut istana, membawa ketenangan sekaligus kekuatan baru bagi siapa pun yang merasakannya. Arjuna berdiri di balkon kamarnya, mengenakan pakaian tempur ringan yang diberikan para dewa. Angin sejuk mengelus wajahnya, namun pikirannya jauh dari damai. Ia memikirkan kata-kata Amaterasu semalam. Bayangan Livia yang berlatih untuk menjadi lebih kuat terus menghantui benaknya. Di satu sisi, ia merasa bangga atas keberanian Livia, namun di sisi lain, ia khawatir. Livia adalah bagian terpenting dalam hidupnya, dan gagasan bahwa ia harus menghadapi bahaya membuat Arjuna tidak bisa tenang. “Sudah siap?” Suara Sun Wukong yang khas membuyarkan lamunan Arjuna. Ia menoleh dan mendapati sosok raja kera itu berdiri di depan pintu kamar, dengan tongkat emasnya yang bersandar di bahu.
Bab 78: Ketenangan Sebelum Badai Setelah pertemuan panjang dengan para dewa, Arjuna merasa tubuh dan pikirannya lelah. Langkahnya berat saat ia mengikuti Sun Wukong dan Pak Budi melalui lorong-lorong megah di istana Alam Para Dewa. Dinding-dindingnya penuh ukiran indah, menceritakan kisah-kisah kuno tentang peperangan, cinta, dan pengorbanan. “Kau butuh istirahat,” kata Pak Budi lembut. “Pikiranmu harus jernih untuk apa yang akan datang.” Arjuna hanya mengangguk, terlalu lelah untuk menjawab. Mereka akhirnya tiba di sebuah kamar besar yang disediakan untuknya. Pintu besar dari kayu berukir terbuka dengan sendirinya saat mereka mendekat. Di dalamnya, ruangan itu memancarkan aura ketenangan. Tempat tidurnya besar, dihiasi kain sutra berwarna biru dan emas. Di sudut ruangan, sebuah jendela besar menghadap ke langit ungu Alam Para Dewa, memberikan pemandangan yang memukau. “Ini tempatmu untuk malam ini,” kata Sun Wukong sambil melirik sekeliling. “Manfaatkan waktumu. Besok,