Layla Jamie is an orphaned Omega living in a pack where she faces neglect and mistreatment from her fellow pack members. However, her life takes an unexpected turn when she meets her mate, who is revealed to be the Alpha of her pack. Unfortunately, he rejects Layla and banishes her from the pack because of her low status. Striving to survive on her own, Layla discovers a new abilities and strengths she wasn't aware of before and put them to practice. As she grows stronger, her former mate realizes his mistakes and come to seek for her forgiveness. Now faced with a difficult decision, Layla must decide if she can trust him again and give him a second chance at love. However, she must tread cautiously to protect herself from being hurt once more.
View More"Mas lagi nggak ada duit, Kasih. Beberapa bulan ini kerjaan Mas sedang kurang kondusif, jadi kerjaan banyak liburnya."
Kasih menghela napas berat, suaminya selalu saja beralasan seperti itu. Hari ini Kasih benar-benar membutuhkan uang, untuk membelikan ibunya obat, karena stok obatnya sudah habis."Mas udah nggak punya simpanan lagi, coba kamu pinjam dulu deh ke tetangga, siapa tahu dapat," sambung Danu dari ujung sana."Utang yang kemarin aja belum dibayar, ini disuruh minjam lagi, pasti nggak bakalan dikasih, Mas," keluh Kasih."Habisnya mau gimana lagi, Mas benar-benar nggak ada duit."Sudah beberapa bulan ini, Danu tidak pernah mengirimkan uang, Kasih memahami hal itu. Tapi, semakin ke sini, Kasih semakin curiga dengan tingkah suaminya yang belakangan ini tampak berbeda. Kasih merasa jika Danu tengah menyembunyikan sesuatu."Mas lagi nggak bohong sama aku, kan?" tanya wanita itu penuh selidik.Kasih mendengar dengkusan kasar dari ujung sana."Kamu nuduh Mas berbohong?""Bukan begitu, hanya--""Itu sama saja kalau kamu anggap Mas bohong. Emang susah ya kalau bicara sama kamu, ini yang Mas nggak suka dari sifat kamu, bawaannya selalu curiga terus," sentak Danu."Maksud Mas apa?""Halah! Sudahlah, teleponnya Mas matikan saja."Baru saja Kasih ingin membuka mulutnya, panggilan itu langsung terputus.Kasih menghela napas berat. Kentara sekali jika wanita itu tengah kecewa. Danu, pria satu-satunya yang selalu dia andalkan, nyatanya tak dapat membantu, lantas ke mana lagi dia harus mencari bantuan?Prang ....Kasih terperanjat kaget ketika mendengar suara benda jatuh. Buru-buru dia melangkahkan kakinya menuju kamar ibunya.Matanya membola ketika melihat serpihan gelas berhamburan di mana-mana."Ibu!" jerit Kasih.Kasih tak memedulikan bagaimana kakinya yang terkena pecahan gelas itu, yang dia khawatirkan saat ini adalah ibunya. Mutia tampak memegangi kepalanya sambil meraung kesakitan."Sakit, Kasih," erang Mutia."Iya, Bu. Secepatnya aku akan membeli obatnya, Ibu yang sabar, ya," pinta Kasih dengan mata berkaca-kaca.Kasih harus berusaha keras untuk meminjam uang. Secepatnya, kalau terus-terusan ditunda, ibunya akan semakin lama merasakan kesakitan.'Maafin aku, Ibu. Karena telah gagal menjadi anak yang membanggakan,' batin Kasih sambil meneteskan air mata.Kasih bernapas lega ketika melihat Mutia tidak lagi mengerang kesakitan. Ibunya tampak tertidur pulas. Kasih menatap ibunya cukup lama. Namun, semakin Kasih tatap, ada yang berbeda dari cara Mutia tertidur."Bu," panggil Kasih pelan, sambil menggoyangkan tubuh Mutia dengan pelan.Tak ada respon, membuat Kasih kembali menggoyangkan tubuh ibunya."Ibu, jangan bikin aku takut, Bu. Ayo bangun, aku janji akan belikan Ibu obat," ucap Kasih yang tampak ketakutan.Lagi-lagi Mutia tak menjawab, Kasih semakin cemas, tangannya gemetar, keringat dingin bercucuran. Kasih tahu bahwa saat ini Mutia tengah pingsan.Tak ada cara lain, jalan satu-satunya adalah membawa Mutia ke rumah sakit, Kasih tak ingin mengambil risiko jika terjadi sesuatu pada ibunya.***Kasih tertunduk lesu ketika melihat nominal uang yang ada di kertas itu, pihak rumah sakit tak ingin membantunya jika dirinya belum membayar biaya administrasi.Wanita itu tampak begitu frustrasi, tak ada jalan lain. Sepertinya dia harus meminjam uang lagi pada temannya, walau sebenarnya dia tahu, besar kemungkinan hasilnya nihil."Dicoba aja dulu deh," gumam wanita itu sambil merogoh ponselnya di saku celana.Kasih harap-harap cemas ketika mendengar sambungan telepon itu terhubung, berdoa dalam hati semoga saja kali ini temannya mau membantunya."Halo, Kasih. Ada apa?"Kasih tersenyum lebar ketika Diana mengangkat panggilannya."Halo, Di. Lagi sibuk nggak?" tanya Kasih pelan."Nggak terlalu sih, emangnya ada apa? Mau minjam uang lagi?"Kasih tersenyum miris ketika Diana sudah bisa menebak pikirannya, pasti Diana risih karena dirinya selalu meminta bantuan padanya."Iya, Di. Apa kamu bisa membantuku, kali ini aja. Please," mohon Kasih."Aduh, maaf ya, Kasih. Kali ini aku nggak bisa bantu kamu. Soalnya aku juga lagi butuh uang. Tapi, aku ada kerjaan nih buat kamu, siapa tahu kamu tertarik."Kasih menghela napas berat. "Aku butuh uangnya sekarang, Di," lirih wanita itu."Kamu tenang aja, kerja di sana bisa minta kasbon dulu kok. Bosnya itu baik banget. Kamu nggak tertarik kerja di sana? Daripada jualan, kan? Belum tentu dagangannya selalu laris."Siapa yang tidak mau menerima tawaran yang begitu menggiurkan. Sama seperti Kasih saat ini, wanita itu tampak berbinar senang."Aku mau," jawab wanita itu cepat. "Tapi, kalau bisa, aku minta uangnya malam ini. Aku butuh banget uang buat biaya pengobatan ibu aku. Apa kamu bisa bantu aku?""Masalah itu gampang. Oke, jadi udah fix nih kamu terima tawaran itu?" tanya Diana."Iya, aku mau," jawab Kasih mantap."Oke, nanti malam aku datang ke rumah kamu, ya. Kita akan datang ke tempat kerja itu. Kamu harus berpakaian yang menarik.""Siap, sekali lagi terima kasih ya, Di. Kamu memang teman yang sangat baik."***"Kita mau ke mana sih, Di. Memangnya ada ya, orang kerja malam-malam?" tanya Kasih heran, wanita itu tampak risih karena pakaiannya terlalu terbuka."Banyak kali, Kasih. Kamu dagang aja sampai malam, kan?""Iya, tapi kenapa harus pakai baju seperti ini?""Kamu takut? Atau kita balik aja deh, aku nggak mau kalau kamunya terkesan terpaksa.""Jangan," sergah Kasih. "Oke, oke. Aku akan diam. Nggak akan komentar lagi."Setelah itu, mereka berdua benar-benar terdiam. Sepanjang perjalanan, Kasih selalu duduk dengan gelisah. Feelingnya mengatakan jika akan terjadi sesuatu padanya.Mata Kasih mengerjap ketika mobil Diana berhenti di sebuah diskotik. Kasih langsung menatap Diana dengan horor."Santai aja kali, aku datang ke sini mau ketemu sama teman, sebentar aja. Ayo ikut masuk," ajak wanita itu."Nggak deh, aku tunggu di sini aja," tolak Kasih."Yakin? Siapa tahu aku agak lama di sana, nggak takut kalau ada yang macam-macam sama kamu?"Kasih menggigit bibir bawahnya, kentara sekali jika saat ini wajahnya pucat pasi, seumur hidupnya baru kali ini dia menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Bagaimana nanti kalau suaminya tahu? Pasti akan mencercanya habis-habisan."Oke, aku ikut. Tapi jangan lama-lama ya.""Sip, ya udah. Ayo turun."Mereka berdua pun akhirnya turun dari mobil, Kasih menelan salivanya, berjalan dengan kaki gemetar, beruntungnya ada Diana yang kini tengah menuntunnya.Semakin mereka masuk ke dalam ruangan itu, dada Kasih bergemuruh hebat. Bahkan saat ini Kasih memegang tangan Diana begitu erat."Itu dia, ayo kita ke sana," ajak Diana.Kasih mencekal tangan Diana, lalu menggeleng pelan."Kamu tenang aja, nggak usah takut. Orang-orang di sini nggak apa-apa, kok," ucap Diana sambil tersenyum tipis.Kasih diam saja, membuat Diana kembali melanjutkan langkahnya."Hai, aku datang. Sesuai yang aku janjikan, tentunya tepat waktu," sapa Diana pada sosok pria yang saat ini tengah duduk sambil menenggak sebotol minuman yang Kasih tak tahu itu minuman apa."Oke, tunggu aku di kamar nomor 15," ucap pria itu dengan suara serak, sambil menatap Kasih tajam.Kasih yang ditatap seperti itu seketika merinding, wanita itu langsung membuang pandangannya ke sembarang arah."Oke, jangan lupa komisinya."Setelah itu Diana membawa Kasih pergi, bukan ke arah luar, melainkan ke sebuah lorong yang begitu sepi."Kita mau ke mana?" tanya Kasih, kepalanya celingukan ke sana-sini, kemudian bergidik takut."Aku mau temuin teman dulu di kamarnya, katanya dia lagi ada di sana."Kasih kembali terdiam, perasaannya tiba-tiba tak enak. Dia ingin membicarakan hal itu pada Diana, tapi diurungkan karena tak enak hati.Tepat di sebuah kamar nomor 15, mereka berdua berhenti melangkah. Diana membuka knop pintu itu, lalu masuk, disusul juga oleh Kasih."Kamu duduk-duduk dulu di situ, aku mau lihat dia ada di mana."Kasih menuruti perintah Diana, wanita itu duduk di sebuah ranjang yang begitu empuk."Kasih. Kayaknya ponsel aku ketinggalan di mobil deh, kamu bisa tunggu aku sebentar di sini, sebentar aja kok."Kasih menggeleng tak setuju. "Nggak, aku mau ikut aja. Takut sendirian di sini, masa kamu tega.""Ya ampun, cuma sebentar aja kok. Habis itu aku balik lagi ke sini. Suer deh, cuma sebentar," ucap Diana meyakinkan."Tapi, Di--""Cuma sebentar aja," sela Diana cepat.Kasih menghela napas pasrah. "Ya udah deh, janji ya, cuma sebentar?""Iya," sahut Diana. Wanita itu pun akhirnya pergi dari kamar itu.Kasih mendengar pintu itu dikunci dari luar, membuat wanita itu mengerutkan keningnya."Kok pintunya dikunci?" gumam wanita itu, tapi setelah itu dia mengedikkan bahunya acuh. Mungkin saja Diana melakukan seperti itu karena tidak ingin terjadi sesuatu padanya.Selang beberapa menit, Kasih mendengar knop pintu terbuka, membuat wanita itu mengembangkan senyumnya."Sebentar banget, kamu ngambil ponselnya sambil lari-lari atau ...."Kasih menggantungkan kalimatnya, matanya mengerjap beberapa kali karena melihat bukan Diana yang ada di ambang pintu itu, melainkan seorang pria yang tadi dia lihat sedang mengobrol dengan Diana.Pria itu berjalan mendekati Kasih, tak lupa juga dia menutup pintu itu. Jelas saja membuat Kasih begitu ketakutan."Maaf, Diananya lagi nggak ada, tapi ... sebentar lagi dia akan--""Sssttttt," desah pria itu sambil membungkam bibir Kasih menggunakan jari telunjuknya. "Kamu cantik, tapi malam ini jauh lebih cantik."Kasih memundurkan tubuhnya, menatap pria itu ketakutan. Dia tahu jika pria yang ada di hadapannya ini tengah mabuk."Aku bukan Diana, aku ini temannya. Tolong jangan bersikap kurang ajar sama saya!" kata Kasih tak terima.Tiba-tiba saja pria itu tertawa keras, jenis tawa yang menurut Kasih begitu berbahaya."Ya, aku tahu hal itu. Kamu adalah Kasih, temanmu yang sudah menjualmu padaku, ngerti?"Kasih mematung di tempat, apa maksud perkataan pria itu? Menjual? Diana? Apa Diana menjualnya? Tidak, Kasih yakin Diana tidak akan pernah melakukan perbuatan sekeji itu."Itu tidak mungkin, kamu jangan mengarang cerita," tandas Kasih."Kenyataannya memang seperti itu, Kasih," kata pria itu, lalu detik berikutnya pria itu mendorong tubuh Kasih ke ranjang. "Intinya, tubuhmu saat ini adalah milikku, aku sudah membayar mahal pada temanmu. Jadi, marilah kita lewati malam panjang ini dengan malam yang begitu panas," ujar pria itu seraya tersenyum menyeringai.P.S: Dear readers, we've come a long way. Please don't forget to leave your comment in the comments section and your vote counts as well. See you in my next book' Winks'. Love Ya. Last Chapter. ***** The crisp autumn air rustled the leaves overhead as I stood with Brad by the edge of the clearing, my hand instinctively cradling the small swell of my belly. The pack had settled into a comfortable routine after the wedding, our days filled with moments of joy, laughter, and the expectation of new beginnings. Feeling the gentle kicks from our unborn child, I marveled at the miracle of life growing within me. Brad's hand rested on my stomach, his eyes filled with awe and love as he felt our baby move. The bond we shared seemed to have even deepened by the knowledge that soon, we would be welcoming a new member into our pack, and it would be a baby: a symbol of our love and the unity of our community. As I stood there, lost in the wonder of impending motherhood, Wally and Margot appro
P.s: Dear readers, we're coming to the end of this book. Please try to leave a review in the comments section. I really appreciate all your efforts thanks. ***** The sun set on the victorious battlefield, painting the sky with hues of orange and pink. Amidst the jubilant pack members and the warriors from the Black Creek pack, Brad and I found a moment of quiet to discuss our future. Erin had joined the celebrations, her eyes reflecting the relief of a battle won and the joy of newfound family bonds. We walked together along the edge of the clearing, the sounds of laughter and celebration fading behind us. Brad looked at me, his eyes filled with a mix of love and determination. "Layla," he said, his voice soft yet steady, "we've been through so much together. I can't imagine my life without you. I want to spend the rest of my days by your side, facing whatever challenges come our way, just like we did today." I smiled, my heart swelling with affection for the man beside me. "Brad,
Amidst the chaos of battle, Erin stood her ground, her eyes locked onto Rame with a mixture of anger and disgust. Brad and I, observing Erin's fierce resolve, exchanged a quick, worried glance. We knew Erin's history with Rame, how he had manipulated her in the past. We couldn't let her face him alone, but we also understood the need for Erin to confront her father. A lot of the battle had been for the pack, but a lot of it had been for Erin's sake too."Brad," I said, my voice low but urgent, "we can't just leave her alone with him. She needs our help, our support. We can't risk her getting manipulated again."I nodded, my eyes never leaving Erin. "I know, Brad. But we can't just rush in without a plan. We need to be strategic about this. If we charge in recklessly, we might inadvertently make things worse for her. We have to trust Erin, trust that she's strong enough to handle him."Brad clenched his fists, frustration evident in his eyes. "I trust Erin, but I don't trust him. He's
The air in the pack meeting hall buzzed with excitement as I stood at the front, my eyes scanning the faces of the pack members. The news of the imminent threat from Rame had spread like wildfire, and now, the entire pack was gathered to discuss our plans for the upcoming battle. Among the crowd, there was a palpable sense of fear, mixed with a touch of anxiety. The arrival of reinforcements from the Black Creek pack was eagerly awaited, not just by my pack members, but by me too. I would never admit it to anyone else, but I was terrified of what was going on. As the pack settled, Brad stood by my side, his presence a source of strength. In the last few days, I had found that I needed it a lot more, because the horror of lur wntkre situationnovertook me at the most random times. I couldn't afford for that to happen right now. Right now, I needed to convey a sense of calm and confidence to inspire our pack members. I took a deep breath, my voice projecting across the room."Thank you
The journey back to our pack was a quiet one. Brad and I walked side by side, lost in our thoughts. The encounter with Rame had shaken us to our cores. As we trudged through the dense forest, I couldn't help but glance at Brad, trying to decipher the storm of emotions that must be raging within him. Finally, unable to contain my curiosity, I broke the silence."Brad, how are you feeling?" I asked, my voice gentle. "Seeing Rame, the one who took your father away from you... it must have been incredibly difficult. I know you never speak about your father. In fact, no one in the pack does. They all act like he is some taboo topic, and hearing Rame just-”He sighed, his shoulders tense. "It's... complicated, Layla," he replied, his voice heavy with the weight of his emotions. "I never thought I'd see him again after that night. I had buried the memories deep inside, trying to move on. But now, facing him, it's like reopening an old wound. Anger, sadness, confusion... it's all mixed up ins
"You can call me someone who's not afraid of delusional villains," I retorted, my voice firm, refusing to back down in the face of Rame's anger. "Your reign of darkness ends here, Rame. We won't let you destroy our pack."Rame's eyes blazed with fury, his lips curling into a snarl. "You think your bravado will save you? I've faced stronger opponents than you, and they all fell before my power. There are many things that I can do that your small brains cannot even begin to fathom. Do you really feed into the belief that your confidence will help you?"I exchanged a shared glance with Brad, our shared annoyance fueling our speech. "Rame, your power may be formidable, but it's nothing compared to the strength of all the love that there is in this pack. Erin may be an exception, but in this pack, we protect our own," Brad said, his voice steady. "Our pack stands together, and that makes us stronger than you can ever comprehend. Get it through your little head that you are not getting your
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments