“Ara!” Adnan yang pertama kali menyadari kehadiran sesosok wanita di balik pintu yang sedikit terbuka. Merasa keberadaannya telah terpergok, Ara membuka pintu lebih lebar, lantas masuk ke ruangan dengan pencahayaan remang itu. “Hai.” Dengan refleks, Adnan berdiri dan memberikan tempatnya semula untuk Ara. Karena selama bertahun-tahun di situlah posisi Ara—di samping Gama. “Kapan nyampe Jakarta?” “Kemaren,” jawab Ara sambil tersenyum. Ia pun sama sekali tak canggung untuk duduk di samping Gama, seperti yang selalu ia lakukan sebelum hubungan mereka berakhir. Gama membeku di tempat. Ia tidak sepenuhnya bisa mengerti apa yang sedang dirasakannya. ‘Oh, jadi gini rasanya kecewa, lega, seneng, kesel, campur semua jadi satu!’ “Apa kabar, Gam?” Ara mengambil kesempatan selagi Adnan dan Arga memesan camilan dan minum untuk mereka. “Baik. Nggak pernah lebih baik dari hari ini.” Arabella yang biasa dipanggil Ara—seorang perempuan muda dengan karir sebagai salah satu aktor yang mulai meramb
“Leen!” Vania mengulang sekali lagi memanggil Aileen karena Aileen tak kunjung menyahutinya. “Bu Aileen.” Kali ini Vania menambahkan ketukan di meja kerja Aileen agar atasannya itu sadar akan keberadaannya.“Eh? Apa?”Vania menarik napas dalam-dalam. Meskipun mereka berteman, di dalam kantor Aileen tetap atasannya dan ia selalu (sebisa mungkin) menjaga profesionalitas di lingkup pekerjaan. “Ada yang lagi dipikirin? Ada yang perlu kukerjain lagi?”Aileen menggeleng cepat. Ia tadi memang sedang melamunkan sesuatu yang mengganggu pikirannya.Apalagi kalau bukan sosok perempuan yang hendak membeli unit apartemennya. Andai papanya belum memberitahukan daftar mantan pacar Gama kepadanya, ia pasti hanya akan mengenali sosok perempuan itu sebagai seorang aktris yang mulai merambah dunia internasional. Akan tetapi, karena ia telah membaca daftar mantan pacar Gama, jelas ia tak hanya melihat Arabella tanpa menyangkutpautkannya dengan Gama.Apa salah kalau ia memiliki kecurigaan karena Arabella
“Aileen, kamu di mana?”Aileen sontak terkesiap saat mendengar pertanyaan Gama dari seberang sambungan telepon. Ia mengedarkan pandangan melalui kaca jendela mobil, lantas mengumpat sejadi-jadinya. “Shit! Shit! Oh, God! Ngapain gue di sini?”“Leen!”“Gam—”Di ujung sambungan telepon, Gama mengernyit mendengar Aileen mengumpat lantas memanggilnya seperti orang kehilangan arah.Entah mengapa sepulang kerja, Aileen malah mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit di mana Bara sedang dirawat. Sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan? Apa ia terlalu khawatir sampai-sampai membuatnya kembali ke rumah sakit?“Leen. Di mana sih?”“Gam, kamu di mana? Bisa jemput aku nggak?”Saat menghubungi Aileen, Gama masih berada di kantornya. Ia memang berniat mengajak Aileen untuk makan malam bersama sembari membicarakan beberapa detail tentang acara pernikahan mereka. Siapa sangka Aileen justru bereaksi seperti itu dan justru membuat Gama khawatir. “Kamu di mana? Aku jalan sekarang.”“Jangan bawa mobil. Aku
"Aku tadi lewat restoran langganan kita. Aku inget kamu, jadi aku beliin ravioli kesukaan kamu." Ia mengangkat sedikit paper bag di tangannya untuk menunjukkan kalau ia benar-benar membawa sesuatu untuk Gama. Gama sama sekali tidak berminat, bahkan untuk melirik apa yang ditenteng perempuan di hadapannya itu. "Dari mana kamu tau aku tinggal di sini? Kak Beta?" Harusnya Gama tidak perlu pusing-pusing menebak, karena pasti kakaknya yang memberi tahu perempuan itu. "Gam. Aku cuma pengen kita tetep jadi temen baik meskipun hubungan kita udah berakhir." "Buat apa aku nurutin keinginan kamu kalau keinginanku dulu juga nggak pernah kamu turutin." "Sorry, Gam. I'm really sorry.Can we talk about it? Aku bisa nemenin kamu makan malam sambil--" "Ada calon istriku di dalam. Dan aku nggak mau dia salah paham." Gama menyentuh kotak sensor di handle pintu, hampir menekan pin sebelum ia berpesan sekali lagi kepada perempuan itu. "Jangan pernah lagi datang ke sini! Cuma calon istriku yang bebas ke
“Aku ingetin sekali lagi! Jangan muncul lagi di depanku atau keluargaku.”Yang pertma kali Gama lakukan begitu masuk ke dalam kamarnya adalah menghubungi seseorang yang sudah hampir satu tahun belakangan tidak pernah dihubunginya.Di awal hubungan mereka berakhir, Gama masih beberapa kali menghubungi Arabella. Banyak hal yang mendorongnya untuk melakukan tindakan seimpulsif itu, seperti mabuk, atau yang paling mengerikan adalah … hanya ingin mendengarkan suara Arabella saja. Sebagian besar sambungan teleponnya dulu terputus tanpa mereka bicara sesuatu yang bermakna.“Jauh sebelum kamu ngenalin aku sebagai pacarmu ke ibu kamu, aku udah kenal Ibu kamu sebagai ibunya Beta. Apa aku nggak boleh ketemu ibu sahabatku?”“Iya, aku nggak suka kamu ketemu ibuku. Terserah kalau kamu masih mau ketemu sama Kak Beta, tapi nggak dengan anggota keluargaku yang lain! Aku nggak yakin sama apa yang akan aku lakukan kalau kamu muncul lagi di depanku!”“Kita kerja di bidang yang sama, kayaknya nggak mungki
“Are you ok, Leen? Nggak ngerasa awkward atau apa kan?” tanya Gama begitu mereka mendapatkan kursi dan menunggu pemutaran film dimulai. Beruntung itu bukan film yang diproduksi Gama, atau Aileen harus duduk sendiri, membiarkan Gama untuk naik panggung dan mempromosikan filmnya.“Nggak sih, fine-fine aja, aku kan cuma nemenin kamu.”“Makasih, Sayang,” ucap Gama sambil mengusap pelan pipi Aileen.Andai tidak ada orang di sekitar mereka, Aileen pasti akan memukul Gama atau setidaknya membentak Gama. Namun, karena beberapa orang tengah memperhatikan mereka, Aileen terpaksa memasang senyumnya untuk Gama.Gama balas tersenyum, tahu kalau Aileen tidak bisa membalasnya selama mereka berada di depan umum.“Aiiish, show off banget mentang-mentang dateng sama pasangan.”Gama menoleh ke asal suara dan hanya terkekeh membalas sindiran dari Kemala—yang malam itu hadir mewakili kantor model agency and artist managemenet tempatnya bekerja.“Mala! Sini aja.” Aileen merasa terselamatkan dengan kehadira
“Sah!” Seruan itu bergema di dalam ballroom yang pagi itu menjadi tempat perhelatan akad nikah antara Aileen dan Gama. Gama menarik tangannya yang masih gemetar setelah genggaman tangan dari lelaki yang kini sah menjadi mertuanya terlepas. Ia melirik ke perempuan yang duduk di sebelahnya, yang masih menunduk. Untaian doa masih terucap oleh penghulu dan diaminkan para tamu undangan. Dan di antara semua orang itu, Aileen mungkin adalah orang yang paling serius melantunkan doa. Ini pernikahan yang mungkin tidak diawali dengan cinta menggebu seperti jutaan pasang pengantin di luar sana, tetapi boleh kan kalau Aileen tetap berharap jika pernikahannya akan membawa kebahagiaan dan (kalau bisa) bertahan seumur hidup? Selesai dilantunkannya doa, Aileen dan Gama masih harus menandatangani beberapa dokumen yang disodorkan penghulu. Aileen sama sekali tidak menoleh ke Gama, meskipun dari ekor matanya bisa melihat beberapa kali Gama melirik atau menoleh kepadanya. Dalam hitungan menit, keduan
“Kamu jadi ngundang semua mantanmu?” Aileen benar-benar lupa menanyakannya tadi saat mereka ganti pakaian, hingga saat ini—saat berada di atas pelaminan—Aileen malah teringat dan menanyakannya.“Jadi dong.”“Biar apa coba?”“Biar kayak lagu, ‘Biar mantan tau kisah cintaku kini jauh lebih bahagia’,” jawab Gama sambil menyanyikan lagu yang belakangan ini sering didengarnya.“Norak, Gam.”“Memangnya kamu nggak ngundang?”“Nggak,” jawab Aileen santai. Lagipula ia sudah lama lost contact dengan mantan-mantan pacarnya. Untuk apa membuka percakapan hanya untuk mengundang mereka datang ke pernikahannya.“Itu?” Gama menunjuk seseorang dengan dagunya.Aileen mengikuti arah pandang Gama dan mendapati Bara yang tengah berbicara dengan seorang laki-laki yang Aileen kenal sebagai Direktur Utama Acasa Candra, anak perusahaan dari Candra Group.“Yang ngundang Papa ya. Ya kan kamu tau jabatan dia. Aneh malahan kalo nggak diundang.”“Ada niatan buat kabur sama dia?” tanya Gama penasaran, saat melihat A