Sebuah ruang keluarga yang didominasi warna putih dipenuhi atmosfer ketegangan yang begitu ketara. Terasa panas bagi seorang perempuan tua yang terduduk di atas sofa ruangan itu, hingga dinginnya suhu Ac tidak berhasil menaklukan panas yang menjalari sekujur tubuhnya.Di balik kacamata yang di kenakan, Mayang baru saja melihat foto putra kesayangannya sedang bergandengan tangan dengan seorang gadis cantik yang sedemikian anggun. Sebuah foto yang berhasil Ramona dapatkan dari Shasa, teman sekolahnya yang tinggal satu kosan dengan Dewi. Otaknya terasa mendidih saat dikatakan Ramona bahwa Dimas berpacaran dengan seorang pelac*ur. Langkah ini Ramona ambil agar Mayang membujuk Dimas untuk meninggalkan Dewi, si wanita tuna susila. Dengan begitu, peluangnya untuk mendapatkan Dimas kembali akan lebih besar. Mengetahui Mayang yang mulai tersulut emosi, Ramona diam-diam tersenyum licik."Mudah sekali Dimas tergoda," gumam Mayang setengah berbisik, namun telonga Ramona bisa menanggap dengan jela
Degup jantung Dimas semakin tak karuan setelah mendengar kabar dari ayahnya bahwa ibunya ditemukan pingsan saat dirumah sendirian. Diin, dinn!!!Entah sudah kali keberapa pria maskulin itu membunyikan klakson mobil dengan rasa emosi, dan menyalip setiap kendaraan yang berada di depanya. Padatnya jalanan membuatnya sedikit frustasi. Berulang kali ia memukul kemudi mobil yang dikendarainya sembari berdecah kesal. Pria itu memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi setiap kali jalanan cukup ruang untuk dilaluinya. 20 menit kemudian ia tiba di sebuah rumah sakit, yang dalam beberapa hitungan jam lalu ia tinggalkan. Ibunya dirawat di rumah sakit yang sama dengan Dewi. Derap langkahnya begitu cepat, beradu dengan jantung yang berdegup tak kalah cepatnya. Pikiranya kacau, ini kali pertama ia mengetahui perempuan yang sangat ia hormati jatuh pingsan. Langkah kakinya terhenti di ruangan bernomor Anggrek 11. Dimas masuk karena merasa yakin ibunya berada di sana, sebagaimana di informasikan s
Dimas berdiri dengan kedua tangan tersimpan di dalam saku celana bahan yang ia kenakan. Tubuh maskulin itu berdiri tegap, menarik siku kirinya untuk melihat pada angka berapa kedua jarum pada benda itu menunjuk. Waktu menunjukan pukul 07.30 p.m. Masih ada waktu untuk membelanjakan keperluan Dewi setelah urusan dengan Mona selesai. Sudah 10 menit Dimas berdiri di sana, namun batang hidung gadis yang hendak ia temui tak kunjung nampak."Kok, kayanya gelisah banget, Dim? Kelamaan ya nunggu aku?" perempuan yang di tunggu-tunggu akhirnya menampakan diri. Berjalan melenggok sedikit menggoda dengan tangan kiri menenteng tas branded. Dimas hanya diam, menunggu tubuh itu berjalan mendekat. Lenggok badan yang ditampilkan sama sekali bukan pemandangan indah bagi Dimas. "Langsung saja. Apa yang sudah kamu katakan ke Mamaku?" tanya Dimas dengan tatapan membunuh ke arah gadis bertubuh ramping di hadapanya. Menyadari kemarahan Dimas, seketika senyum gadis itu berubah. Menjadi kikuk dan ketakutan.
Seorang gadis berulang kali mengerjapkan matanya saat saat sinar matahari menerobos masuk melalui celah fentilasi sebuah ruangan, cukup menyilaukan. Ia pun menggeliat untuk meregangkan otot tubuhnya di atas ranjang sembari menguap.Salah satu tanganya menyenggol tubuh, yang entah sedari kapan berbaring tepat di sebelahnya, ia pun kaget. Dan saat menyibak selimut, ia mendapati seluruh pakaian yang membalut tubuhnya kemarin sudah tanggal, berada di bagian bawah ranjang.Ia mulai panik, dengan gelisah ia menggoyang-goyangkan bahu pria tua yang masih terlelap di atas ranjang tersebut. Sekuat tenaga ia mengguncang bahu gemuk Risman, cukup lama. Pada akhirnya pria itu memicingkan mata melihat ke arahnya, dengan perasaan kantuk yang masih melekat pada kedua netranya."Hem?" Risman mengedikkan dagunya ke arah gadis yang bermimik gelisah itu."Apa yang sudah Papa lakuin, Pa?!" pekik Ramona mulai terisak dan penuh kegelisahaan. Dia nampak kusut dan acak-acakan, dengan air mata yang mulai mengana
Waktu menunjukan pukul 18.30 WIB. Suara alat makan yang saling menghantam memenuhi ruang makan yang disesakki oleh suasana hening. Mayang menatap tajam pada anak laki-lakinya yang tengah menyantap hidangan tanpa menghiraukan pandangannya, meskipun Dimas tau sang ibu terus memperhatikannya sedari tadi. "Sudah baikan dengan Ramona?" tanya Mayang setelah sebelumnya meneguk air putih dari gelasnya.Dimas mengangkat kepala dan menoleh ke arah ayah dan ibunya secara bergantian. "Mama ngomong sama Dimas?" Dimas balik bertanya dengan mengangkat kedua alis."Mama tidak sedang bercanda, Dimas," ucap Mayang yang tetap bertahan pada ekspresi wajah datarnya."Baikan yang gimana maksudnya? Hubungan Dimas sama Mona baik-baik aja ko, Ma." jawab Dimas seadanya kemudian meneguk air."Mama nggak mau tau ya, kamu harus balikan sama Mona. Jauhi gadis kotor itu jika kamu masih menganggap Mama sebagai ibumu!" sarkas Mayang dengan sorot mata tajam di balik kacamatanya.Rasa lezat masakan yang ia kunyah berub
Seorang wanita tua menatap tajam seorang pemuda yang baru menampakkan batang hidungnya pagi ini. Dimas memutuskan untuk bermalam di kosan Dewi tadi malam. "Baru pulang?! Jangan bilang semalam kamu tidur dirumah gadis jalang itu ya!" hardik Mayang yang sama sekali tidak digubris oleh pemuda tersebut.Dimas memasuki kamarnya yang berada di lantai dua, dan bersiap sekedarnya untuk bekerja. Pria itu membasuh wajah dan menggosok gigi, dia memilih untuk melewatkan ritual mandi paginya. Dia berjalan keluar dari kamarnya begitu pakaian kerja rapi membalut tubuh."Dimas berangkat, Pa," pamitnya kepada sang ayah yang tengah membaca koran di teras. "Loh, nggak sarapan dulu, Dim?" pria tua itu mengangkat kedua alisnya."Nanti aja, Pa," jawab Dimas kemudian menghambur ke arah mobil miliknya. Tak berselang lama mobil itu melaju meninggalkan rumah. Mayang yang menyaksikan kepergian Dimas di ambang pintu, kini berjalan dan mengambil posisi duduk di kursi teras yang bersebelahan dengan suaminya. "A
Erin terjaga saat sebuah dorongan mengguncang bahunya. "Bangun, Rin, kamu ngga kerja?! Sudah jam enam," ucap seorang perempuan yang sedari tadi berusaha membangunkannya. "Emh? Sudah pagi?" tanya Erin sembari mengucek kedua matanya. Megan hanya memutar bola mata menanggapi ucapan Erin. Mood Megan berubah 180° semenjak ia mengetahui kebusukan Erin semalam. Ingin sekali Erin segera pergi dari ruangannya.Erin bergegas pulang untuk bersiap berangkat kerja, waktu masih tersisa 1 jam. Sepeda motornya dipacu dengan kecepatan tinggi agar segera tiba dirumah. "Bu ... kenapa semalam Ibu tidak pulang? Abel kangen Ibu." ucap lirih seorang gadis kecil berusia 3 tahun begitu Erin tiba dirumah. "Dari mana saja kamu?! Udah nggak ingat anak?! Abel nangis nyariin kamu semalaman!" hardik perempuan paruh baya yang mengenakan daster batik."Berisik! Baru juga masuk rumah, udah ngajakkin berantem!" sarkas Erin tak mau disalahkan.Perempuan paruh baya itu berjalan mendekat sembari mengendus-endus ke ara
Seorang wanita tua berjalan mondar-mandir sembari mengepalkan kedua telapak tanganya. Wajahnya nampak begitu gelisah. 10 menit yang lalu ia mendapat kabar bahwa Lusi sahabatnya akan pulang. Sudah menjadi sebuah tradisi, mereka berdua akan mengkhususkan 1 hari untuk bersenang-senang. "Nggak cape, Ma? Mondar-mandir, sudah seperti setrikaan," seru seorang pria dengan rambut yang mulai dipenuhi uban. Mayang mencebik ke arah suaminya. Perasaan gelisah itu kian menjadi, ia siap meluapkannya kepada sang suami kalau-kalau suaminya hendak berjalan mendekatinya.Dan benar saja, pria tua itu menuruni tangga dan memutuskan untuk mendaratkan pantatnya di sofa yang terletak tak jauh dari Mayang saat ini berpijak. Tanpa menghiraukan lagi sang istri, ia mulai membuka lembaran koran yang datang pagi itu. Sang istri yang merasa kesal berjalan mendekatinya dengan kaki yang dihentakkan. Dengan kasar Mayang merebut koran dari tangan suaminya."Papa itu harusnya peka! Istri lagi gelisah begini malah bikin