Tidak ada yang lebih menjengkelkan bagi Juna daripada mendapat pesan dari Tasya, pagi-pagi seperti ini. Ketika ia membuka mata, mengecek ponselnya kalau-kalau ada pesan atau panggilan telepon yang penting, dari sekian pesan yang masuk, salah satunya adalah dari Tasya. Juna tidak mengerti apa yang dipikirkan wanita itu. Sudah ditolak berkali-kali Tasya tetap kekeuh. Dia tipe wanita yang pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu. Sangat keren memang, dan sebenarnya ia membutuhkan wanita seperti itu sebagai pendamping. Dalam berbisnis, bukan sebagai pasangan hidup. Juna yakin, sepanjang harinya akan buruk nantinya. Apalagi hari ini ia tidak ke mana-mana. Maksudnya, tidak ada pertemuan yang harus dihadirinya sehingga ia akan berada di kantornya seharian. Tasya mengajaknya untuk makan siang. Ajakan yang tak bisa diterimanya. Ia tak berminat untuk makan berdua dengan wanita mana pun kecuali rekan bisnisnya, itu pun jika memang ada pembicaraan bisnis penting yang mereka lakukan. Jika tid
Diva tidak dilarikan ke rumah sakit. Dia terbangun lima belas menit kemudian, tanpa ada yang tahu apa yang sudah terjadi padanya. Tidak ada seorang pun yang mendatanginya ke dalam kamar, semuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, termasuk Mama yang katanya akan pergi keluar sebentar lagi. Kemungkinan Mama masih merias diri di kamarnya, dan Papa yang belum pulang dari kantor. Diva bangkit perlahan, tangan kanannya berpegangan pada sofa untuk menopang berat tubuhnya. Tangan kirinya terangkat mengusap hidungnya yang terasa lembap, dia ingat tadi hidungnya mimisan sebelum dia pingsan. Dia harus segera membersihkannya sebelum ada yang melihat. Tidak ada yang boleh tahu apa yang tadi dialaminya, dia tak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir. Diva menarik kakinya menuju kamar mandi dengan tergesa. Dia berdiri di depan cermin besar di atas wastafel, menatap wajahnya yang terpantul di sana. Wajahnya terlihat, darah yang mulai mengering di lubang hidungnya tampak kontras dengan
"Om Juna!" Eveline Romansa Wiraatmadja berlari kecil menghampiri pria kesayangannya. Melompat ke pelukannya ketika pria dewasa itu membungkukkan badan menyambutnya. "Om kenapa baru ke sini? 'Kan, Roma kangen."Juna tersenyum lebar melihat bibir mungil itu mengerucut. Tangannya terangkat mengacak sayang poni rata gadis kecil berusia sembilan tahun itu. Memang sudah hampir sebulan ia tidak berkunjung ke rumah sahabatnya, dan selama itu juga tidak bertemu dengan Roma, gadis kecil yang selalu mengingatkannya kepada Diva.Bukan karena kesamaan fisik, melainkan sifat Roma yang sedikit banyak mirip dengan almarhumah kekasihnya. Satu lagi, Roma lahir beberapa bulan setelah kematian Diva."Om kamu itu sibuk, nggak cuman ngurusin kamu, ya, Ro!" Helen yang menyahut. Sebagai seorang sahabat, dia mengerti bagaimana sibuknya Juna. Ke sana kemari, Juna hampir tidak pernah berdiam diri. Dia tahu, Juna sengaja menyibukkan dir
Diva terbatuk beberapa kali, tersedak air liurnya sendiri saat sedang meminta izin pada Papa untuk keluar rumah besok. Dia akan menyerahkan berkas lamaran pekerjaannya ke perusahaan milik Arsen. Dia sudah memberitahu sepupunya itu tadi sebelum makan malam, jika akan ke kantornya untuk melamar kerja. "Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ronny khawatir. Mata Diva merah berair. Ia memajukan tubuhnya mengamati wajah putrinya yang memerah. Della yang duduk di sebelah Diva langsung memberikan air minum ke tangannya. "Kamu minum dulu, ya, Sayang!" pintanya dengan suara bergetar dan tangan yang mengusap-usap punggung Diva. Della baru pulang ketika Diva menyerahkan berkas lamaran kerjanya. Dia meminta papanya untuk memeriksa. Della bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Baru saja Diva berbicara, meminta izin pada papanya, dia sudah terbatuk hebat. Tidak berhenti sampai meneteskan air mata. "Kamu kenapa, sih, Nak? Kok, batuknya sampe gini amat?" Della bertanya sambil terus mengusap punggung
Tidak ada yang lebih gila dari Juna. Fakta itu didapat Kevin setelah bosnya itu bercerita jika tadi malam dia tidur di sisi makam Diva dan anak mereka. Kalaupun ada tingkatan yang lebih tinggi dari gila, kata itu pantas disematkan pada Juna. Area pemakaman adalah tempat yang menakutkan bagi sebagian besar orang, tapi tidak berlaku bagi Juna. Entah ia harus kagum atau apa, yang pasti ia tidak dapat berkata-kata. Tercengang selama Juna menceritakan apa yang telah dilakukannya tadi malam. "Gue nggak tau harus bilang apa, Jun." Kevin menggeleng. "Tapi, kalo lu nggak keberatan gue sebut gila, gue bakalan bilang kayak gitu. Lu gila, Juna!" Tawa lirih meluncur dari mulut Juna. "Gue sama sekali nggak keberatan, Vin, karena tadi malam tuh gue ngerasa kalo gue emang udah gila." Juna menggeleng pelan beberapa kali. "Gue sadar itu, tapi gue tetap mau sama mereka. Gue kangen mereka, Vin."Suara Juna merendah. Kerinduan pada kekasihnya yang sudah tiada membuatnya nekat melakukan itu. Persetan den
"Itu udah beres semua, 'kan, Ar? Nggak ada yang kurang, 'kan? Biar aku lengkapi sekarang."Pria tampan berambut hitam berusia tiga puluh dua tahun itu mengangguk. Arkan Wijaya tersenyum, memberikan ibu jari tangan kanannya pada sepupu cantiknya yang duduk di seberangnya. Sebuah meja kerja berukuran cukup besar memisahkan mereka. Berbagai macam kertas dan alat tulis lainnya serta sebuah laptop yang menyala di atas meja. "Berarti besok aku udah bisa masuk kerja, dong!" seru Diva gembira. Mata cokelatnya melebar, selebar senyum yang menghiasi wajah cantiknya. "Kata siapa boleh besok?" Protes bernada tanya itu menyurutkan senyum Diva. Binar riang di matanya menguap. Punggungnya yang tadi tegak sekarang merosot, menempel pada sandaran kursi yang didudukinya. Bibir mungilnya yang dipoles pemulas berwarna merah, mengerucut. "Kok,nggak boleh?" tanyanya memprotes. "Terus kapan aku bisa masuk kerja?" "Lu harus ikuti prosedur dulu lah!" sahut Arkan tersenyum penuh kemenangan. Ia memang sedan
Kafe di depannya memang tak asing. Bukan karena ia sering makan atau menghabiskan waktu di sana, melainkan karena terlalu sering melewatinya. Kafe ini tidak terlalu cocok untuknya yang lebih menyukai sesuatu yang bersifat minimalis. Selain dekorasinya yang sedikit 'heboh' kafe ini juga sering dipenuhi oleh anak-anak sekolah, itu yang membuatnya paling tidak suka. Kenangan masa sekolahnya sangat buruk. Kehilangan gadis yang dicintainya untuk selamanya hingga nyaris membuatnya depresi bukanlah sesuatu yang ingin diulanginya. Namun, Juna justru menghentikan langkahnya di depan kafe ini. Beberapa saat ia masih berdiri di depan kafe dengan mata terfokus ke arah pintu masuk kafe, dan tangan kanan yang memegangi dada kirinya. Pertanyaan Kevin hanya dijawabnya sambil lalu. Ia memandangi kafe dengan konsentrasi penuh, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa jantungnya jadi berdebar seperti sekarang ini. "Lu mau kita makan siang di sini?" Juna tidak menjawab. Tidak juga memberi reak
Seandainya Juna tahu Tasya sudah menunggu di lobi kantornya, ia pasti tidak akan masuk kantor hari ini. Sebagai bos, ia bisa beralasan apa saja. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Kevin yang tadi malam menginap di unitnya, dan pagi ini mereka pergi bersama. Tidak ada juga yang memberitahunya sehingga pagi ini ia langsung bertemu dengan wanita penyihir itu, begitu ia menginjakkan kaki di lobi kantor. Lengannya terasa berat karena di ganduli lengan Tasya yang memegang tas tangannya. Udara di lobi tiba-tiba pengap, panas. Padahal penyejuk udara sudah dinyalakan. Ia berdeham satu kali mencoba untuk mengusir Tasya, tetapi wanita ini justru semakin mengeratkan pelukan di lengannya. Astaga! Mimpi apa dia tadi malam sehingga pagi ini bisa bertemu penyihir. Juna melirik Kevin yang berdiri di samping kanannya, meminta bantuannya untuk mengusir Tasya. Kevin yang memang juga tidak suka dengan kedatangan Tasya, mengubah posisinya. Ia berpindah ke sebelah kiri Tasya, berdeham untuk menging