Sebuah coffee shop di daerah jalan Sulawesi menjadi tempat persinggahan Olivia dan Dante malam ini. Perasaan keduanya seperti bebas tanpa beban setelah pengakuan yang mereka lakukan tadi. Rasa lapar pun tanpa terasa juga hinggap di perut keduanya. Olivia mengikat rambutnya menjadi cepolan sederhana saat makanan yang mereka pesan satu per satu tiba di meja. Suapan pertama langsung memanjakan lidah Olivia.
“Dari dulu kamu nggak berubah, Via. Selalu nasi goreng yang menjadi list teratas di daftar menu makananmu,” kata Dante ketika melihat Olivia menikmati suapan keduanya.
Lift dari parkiran basement menuju kantor lumayan sesak pagi ini. Menjelang weekend para pekerja malah semakin giat menyelesaikan pekerjaan mereka jika tidak ingin menghabiskan waktu libur dengan lebur. Olivia melenggang ringan dengan tas jinjing di tangan kanan dan beberapa map di tangan kirinya. “Eh, Bu Bos kita sudah datang,” sapaan pertama langsung menggelitik telinga Olivia. Olivia hanya bisa tertawa sebagai balasan atas candaan rekan kerjanya. Akibat pernyataan Yusa di ballroom waktu itu tentu tidak heran jika dirinya mendapat julukan baru di kantor.
Pulang dari kantor Olivia menyempatkan mampir ke rumah Elok untuk menemui Si Kembar. Namun sayangnya saat Olivia tiba di sana kedua putra Lussi sudah terlelap ke alam mimpi—membuat Olivia harus menelan kekecewaan. “Via, kamu sudah makan malam?” tanya Elok saat bertemu pandang dengan Olivia di ruang tamu. “Kamu malam ini tidur di sini kan, Via? Tante sudah bersihkan kamar tamu yang biasa kamu pakai eits … Tante nggak mau dengar alasan apapun. Mumpung Si Kembar ada di sini. Sering-seringlah kemari.”
Gigitan roti panggang dengan nutella melumer di mulut Olivia. Pagi itu benar-benar menjadi pagi yang sempurna bagi Olivia. Dante duduk di depannya sembari mengedipkan mata. Laki-laki itu sepertinya belum bisa menghilangkan kelakuannya yang suka tidak pandang tempat jika ingin bermain mata. Untung saja hanya ada Elok yang menemani mereka berdua di meja makan karena Lussi dan Reihan jelas baru saja terlelap menjelang subuh setelah memergoki mereka berdua semalam. Ah … Olivia benar-benar malu sekali dibuatnya. “Apa
“Tolong jangan bilang siapapun ya, Mbak.” Olivia tidak bisa mengartikan tatapan Lana di depannya. Lana terdiam mematung saat Yusa tersungkur setelah pukulan cukup keras ditengkuknya. Lana membawa Olivia ke ruangannya di mana hanya ada mereka berdua saja yang tersisa di kantor. Lana meremas tangan Olivia seerat mungkin. Olivia tahu betapa Lana juga takut hal buruk yang paling ditakutkan terjadi kalau saja ia tidak masuk ke ruangan Yusa saat itu. “Biadab itu memang pantas menerimanya,” tukasnya penuh kebencian. “Besok kamu nggak perlu datang kemari lagi, Via. Ini demi keselamatanmu, ok?” Olivia mengangguk pelan sembari merapikan pakaiannya yang berantakan. “Terus nasib Yusa, gimana? Mbak akan membiarkannya begitu saja di sana?” “Selagi dia nggak mati, itu bukan masalah besar. Lebih baik kamu pulang sekarang, Via.” Olivia pun mengangguk tanpa membantahnya lagi. *** Dante menunggunya tepat di parkiran. Tidak ada angin, tida
Pemandangan yang Olivia lihat pertama kalinya adalah senyuman hangat milik Ambar dengan garis-garis wajah yang terbilang sudah tidak muda lagi. Ambar mengusap kepalanya lembut dengan mata yang masih basah oleh bekas airmata. Olivia tidak mengerti kenapa Ambar bisa menangis sesunggukan saat melihatnya membuka mata. Ditambah lagi kenapa juga ia bisa berada di atas ranjang rumah sakit. Olivia tidak paham apa yang menimpanya. Tiba-tiba rasa sakit datang menyerang kepala Olivia. Olivia menoleh sejenak, dan menemukan selang infus yang menempel manis di punggung tangannya dengan balutan perban dipergelangan tangan. Ada apa ini? Batin Olivia. “Bude—" Suara Olivia terdengar parau persis seperti orang yang habis menangis. “Bude, kenapa Via bisa ada di sini?” “Harusnya Bude yang tanya sama kamu. Kenapa kamu nekat mengiris pergelangan tanganmu sendiri? Apa yang membuatmu nekat melakukan itu, Via?” Olivia mengamati perban di pergelangan ta
Lima tahun lalu … Perpustakaan kampus tampak sepi pengunjung hari ini. Cuaca di luar yang terlihat mendung sehingga membuat siapapun malas dan memutuskan betah di kosan masing-masing. Namun tidak berlaku dengan mahasiswa tahun akhir seperti Olivia. Hari itu bertepatan dengan hari terakhir perpustakaan dibuka karena musim liburan tiba. Olivia harus bergegas mengambil buku referensi yang akan ia gunakan untuk tambahan materi penelitiannya kelak. Buku yang dipinjam Olivia terbilang cukup banyak peminatnya, untuk itu Olivia sengaja menitipkannya ke salah seorang teman dan rencananya akan ia ambil setelah perpustakaan ini tutup. Olivia meregangkan punggungnya yang lelah. Sedari pagi hingga petang, tidak ada satu paragraf pun yang berhasil ia ketik di layar notebook. Rasanya tumpukan buku di depannya sekalipun tidak bisa membantunya menemukan inspirasi untuk memulai tulisan. Ponsel Olivia tiba-tiba berdering. Nama ‘Alicia’ muncul di sana. “Eh, sudah mau tutup? Ok, ok, aku
Hidup itu adalah sebuah pilihan. Terdengar mudah, kan? Tapi nyatanya tidak. Memilih tidak semudah itu untuk Olivia. Keinginan terdalamnya tidak semudah itu dikabulkan oleh Sang Maha Kuasa. Setelah peristiwa tragis itu, kehidupan Olivia tidaklah sama. Ia menutup semua komunikasi dengan siapapun. Olivia bahkan tidak sudi bertatapan muka dengan lawan jenis. Tragisnya lagi ia akan menjerit dan berteriak membabi buta apabila anggota tubuhnya tidak sengaja disentuh. Bahkan yang lebih ekstrimnya, Olivia pernah mencoba bunuh diri dengan menyayat nadinya berulang kali. Tidak hanya sekali, tapi berulang kali. Sampai-sampai pihak rumah sakit harus mengikat kedua tangannya di tempat tidur. Kenyataannya korban pemerkosaan tidak banyak yang melapor ke pihak yang berwajib atau ke badan hukum lainnya. Kenapa? Karena mereka malu dengan tatapan masyarakat yang seolah mencemooh, menyalahkan diri Si Korban yang seharusnya butuh pertolongan. Secara mental mereka terguncang. Secara fisik mereka h
Yogyakarta menjadi salah satu tujuan yang sengaja dipilih Olivia untuk menyendiri. Setelah memberikan uang fee pada petugas yang mengantarkan mereka menuju kamar villa, Olivia meletakkan tas yang sedari tadi menempel dipundaknya di atas meja bundar tidak jauh dari posisinya berada. Keheningan sekaligus indahnya kota Yogyakarta di malam hari yang dilihat Olivia dari balik pintu geser, seolah-olah menyeret jiwa terdalam Olivia untuk ikut melebur dalam bayangan malam. Olivia sama sekali tidak banyak bicara sejak pesawat hengkang dari Surabaya menuju ke Yogyakarta. Olivia benar-benar tidak ingin membahas apapun saat ini, detik ini, bahkan tidak ingin terlibat apapun lagi nantinya setelah pikirannya sempat berlari pada kenangan pahit yang telah lama tersimpan bertahun-tahun lamanya. Olivia pun tahu. Tinggal menunggu waktu saja sampai Dante berhasil menemukannya. Jujur saja Olivia tidak ingin pergi dengan cara seperti ini. Jika memang harus berpisah, Olivia ingin perpisahannya kali ini di