Share

Bab V:“ First Love"

Bab V

 Pagi harinya, seperti biasa aku berangkat sekolah, tidak ada yang istimewa, segalanya berjalan sesuai rutinitas, hanya saja, aku tidak dapat pergi lebih pagi, karena si ‘anak setan’bangun lebih pagi daripada biasanya.

Sesampainya disekolah, Ida dan Irine duduk mengelilingi bangku ku. Irine sudah cerita ke Ida tentang kejadian Adit yang menghampiriku kemarin.

 “Apa? Kamu suka Aditian?” Ida hampir saja membuat teman sekelas salah paham dengan pertanyaannya itu.

 “Aku gak bilang suka ya, Da, aku  Cuma bilang, ada perasaan aneh yang menjalariku setiap kali aku bertemu dengan dia” aku berusaha menjelaskan pada kedua sohibku itu tentang apa yang aku rasakan ketika aku berhadapan dengan sosok yang bernama Aditian itu, ada berbagai macam rasa, manis, asem, gurih, nano-nano.

 “Menurutku kamu suka, bukan, memang kamu cinta Aditian, kenapa aku bisa bilang begitu? Biasanya di drama korea begitu to, kalau kamu benci orang sehingga kamu memikirkan dia dari matahari terbit sampai tenggelam lama-kelamaan pasti kamu suka dia” Irine mulai angkat suara.

 “Ah, terlalu banyak nonton drakor lu Rin! Kenapa gak sekalian saja kamu bilang kalau Aditian itu alien yang nyasar ke bumi, yang usianya sudah ribuan tahun” imajinasiku mulai tidak terkendali.

 “Kamu bilang bahwa kamu merasa bersalah setelah kejadian “anjing” itu, kamu sering mikirin dia, kamu deg-degan waktu dekat dia, kamu merasa bahagia juga kan akhir-akhir ini” jiwa analisis Ida mulai bangkit.

“Iya sih, tapi kamu jangan langsung menyimpulkan itu cinta dong, mudah sekali bicaramu, aku yang merasakan saja harus berpikir lama akhirnya malah jatuh bertanya sama kalian, aku butuh jawaban” timpalku lagi, menyangkal perasaan yang tak berdasar itu.

“Nah, terus kamu tanya, sudah ku jawab, salahnya dimana?” kata Ida dengan suara tinggi, membuat beberapa teman menoleh ke arah kami.

“Eh, sudah, malu, diperhatikan yang lain” lerai Irine berusaha menenangkanku dan Ida.

“Oke, kalau masalah merasa bersalah ya, wajarlah memang aku salah memilah kata-kata sehingga dia salah paham, kalau perasaan bahagia itu karena aku lagi good mood, kalau masalah deg-degan, mungkinkah, aku sakit jantung?” tebakku.

“Yaelah,  mana ada deg-degan itu penyakit jantung, penyakit cinta kali, kamu sudah kena virus cintanya Adit” timpal Ida tak menerima tebakkanku mentah-mentah.

“Tidak mungkin, membayangkan saja tidak pernah. Cinta? Kata orang, cinta itu indah dan ini pertama kalinya ada orang bilang aku jatuh cinta, tapi kenapa jatuhnya sama orang yang salah sih, mana ada cinta rasa musuh begini?” keluhku.

★★★★★★★★★★★★★★★★★★ 

“Main ke kosku saja yukk, daripada kalian menunggu jam eskul disini, bosan, lebih baik istirahat dulu, lagian kos ku dekat kok” ajak Lia, teman sekelasku yang sama-sama ambil ekstrakulikuler english club yang diselanggarakan di sekolah setiap hari Senin jam 3 sore.

“ Iya daripada menunggu disini, ini kan masih jam 1, bisa jamuran kita,” sahut Irma ikut nimbrung.

 Akhirnya, kami berjalan menuju kos Lia yang ada dibelakang sekolah, kami ada enam orang, aku, Lia yang tomboy itu kelihatan dari cara jalannya yang mirip cowok, Rahma, cewek tinggi yang melebihi tinggiku dengan kulit putih dan tubuh berisi (dia teman sesama penggemar korea), Ida sohibku, kemana-mana ada dia, yang paling mengerti aku, cewek berpotongan rambut bob, tinggi hampir sama denganku, tapi kulitnya lebih gelap, Irine, dia teman yang paling pintar dan logis diantara kami tentunya, Julia, posturnya pendek, namun pandai bicara alias cerewet, tak heran jika dia menjuarai lomba debat.

“Siapa?” tanya seorang wanita separuh baya setelah kami sampai dihalaman kos Lia, wanita itu kurus, pendek, dengan rambut yang setengah botak, wajahnya sudah mulai keriput, yang baru ku tahu bahwa itu adalah ibu kos Lia.

“Teman sekolah, Bu, mau main,” kata Lia sopan pada ibu kosnya.

“Oh, kalau masuk sepatunya dilepas ya, jangan berisik, jangan bikin kotor,” pinta ibu kos itu dengan UUK, Undang Undang Kosnya.

“Ya, Buuuu.” Jawab kami kompak.

“Ibu kos ku itu sedikit gila,” Lia membuka pembicaraan, lebih tepatnya membuka gosip dengan telunjuknya menyilang di dahi.

 Setelah masuk ke kos Lia, kami berpencar membentuk gerombolan, Irine dan Rahma membahas album terbaru Suju dan film atau drama yang upcoming. Sedangkan dipojok ada Julia dan Ida yang sibuk menyanyi sambil bermain gitar, sedangkan aku dan Lia yang tidak ada kerjaan lebih memilih nge-gosip di samping pintu kamar Lia, kami ada diruang tamu dengan TV yang menyala agar ibu kos mengira bahwa kami nonton Tv,  ibu kos lagi cuci piring dibelakang.

“Masa’ sih, maksudmu gila gimana? Teriak-teriak? Ketawa-ketiwi sendiri atau  kumat kalau hari jumat doang alias gila kehabisan obat?” tanyaku meminta penjelasan pada Lia karena penasaran.

“Tidak sampai begitu juga sih, tapi dia aneh, setiap pagi dia hitung cabe yang ada diteras, terus kalau hilang meski satu saja, semua anak kos kena marah, dia kira kami yang ambil, kenapa juga kita petik cabe cuma satu buah, yang paling parah pasti aku yang jadi tersangka utamanya karna kamarku paling deket dengan teras,” Lia bercerita sambil melirik kanan-kiri, meyakinkan dirinya bahwa ibu Kos tidak mendengar pembicaran kami. “ Kalau dia ngomel begini: ‘duh cabeku tadi sore lima sekarang kok tinggal empat ya, yang satu hilang kemana nih, punya anak kos kok, suka mencuri cabe!! Ini pasti Lia. Lia, Lia?’ begitu” Lia berdiri memperagakan gaya Ibu kos yang sedang marah-marah.

“Hah? Huahahahahahuahahahahaha” aku tak sanggup menahan tawa.

“Jangan ribut, saya mau tidur!!!!” teriak ibu kos dari belakang.

Kami semua otomatis mematung, mereka menatapku dengan tatapan membunuh, sedangkan aku hanya bisa mengacungkan jari telunjuk dan jari tengaku sambil cengengesan.

★★★★★★★★★★★★★★★★★★

 Aku berdiri di depan kelas sambil melihat kebawah, akhir-akhir ini aku berangkat sekolah lebih awal agar bisa bertemu Aditian di jalan, namun dia selalu berangkat siang, rumah kami sepertinya searah karena beberapa kali aku bertemu dia di jalan menuju sekolah, meskipun rute yang kami ambil berbeda. Aku mulai berpikir, apa benar aku jatuh cinta sama dia? Padahal kami bermusuhan, disaat aku mulai bersalah dan ingin berdamai malah keblabasan jatuh cinta. 

           Kemudian aku melihat dia berjalan dengan tangan yang ia masukkan di saku celananya, jaket hitam, dan kepalanya yang tertutup oleh tudung jaket itu membuat wajahnya tak begitu terlihat. Biasanya, dia sadar jika ku tatap dia dari jauh, namun kali ini berbeda dia terus saja berjalan sampai ia tiba di kelas. Aku sedikit kecewa dengan hal itu, kenapa dia tak melihatku, padahal aku berdiri disini. 

       Semarang mulai panas, apalagi ditambah dengan kemacetan, udara yang panas menjadi semakin panas. Untung, hari ini hari Sabtu, jadi besok bisa tidur dengan puas, pikirku dijalan. Sesampainya dirumah, tante sudah pergi, sedangkan om  bekerja dan biasa pulang sore, Dika main ke rumah temennya, Gaby, anak umur 5 tahun dengan rambut kribo yang mengembang melebihi kepalanya. Setelah puas bermain, Dika pulang, mungkin dia sudah bosan main sama Gaby.

“Kak, kamu pernah suka gak sama orang?” tanya Dika tiba-tiba, sontak aku kaget, anak umur 5 tahun tahu apa soal rasa?

“Memang kenapa, Dik?” tanyaku ingin menggali informasi mendalam.

“Aku suka sama temanku, aku bingung mau kasih apa buat ulang tahunnya besok,” Dika blushing ketika mengatakan hal itu. Idih.

“ Kalau kakak boleh tahu, kamu suka dia karena apa?” tanyaku nge-tes Dika, apakah anak ini tahu apa itu cinta? Kalau dia tahu, berarti aku kalah sama anak TK.

“Aku suka dia karena dia itu cantik, baik sama aku, dia sering belikan aku makanan, dia sering kasih pinjam pensil, setiap hari bermain sama aku,” katanya sambil mesam-mesem memalukan.

“Oh, kakak tahu, pasti Gaby ya,” jawabku penuh dengan keyakinan.

“Bukan, bukan dia!” jawabnya tegas, menolak bahwa dia memiliki rasa pada sahabatnya itu.

“Lah, terus sama siapa dong, kalau bukan sama Gabby, dia kan baik sama kamu,” sahutku tak mau kalah, secara logika yang mau berteman sama si ‘anak setan’ itu ya cuma Gaby.

“Namanya Bella, dia teman sekelasku, aku suka dia, itu dia!” katanya berlari sebelum melanjutkan ceritanya karena dia mengejar Bella yang kebetulan sedang berjalan di depan rumah “Bell, Bella tunggu aku!” pangil Dika ke seorang anak perempuan dengan kulit putih, badan gempal dan rambut dikucir dua, yang menyambutnya dengan senyum manis.

“Huh, jaman sekarang anak TK saja sudah mengerti cinta-cintaan,” aku hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Dika saja tahu kalau dia suka sama seseorang dan dengan alasan yang jelas pula, aku? Entah apa ini? Kalau cinta, aku gak punya alasan untuk mencintai cowok itu, apa aku sebegini bodohnya ya?” Kataku dalam hati.

“Kamu kenapa, Dik?” tanyaku pada Dika, dia kembali tak lama setelah mengejar pujaan hatinya itu.

“Aku tadi bilang suka sama Bella,” kata Dika pelan.

“Terus, terus gimana?” kataku penasaran dengan kisah anak-anak ini.

“Tapi dia bilang begini, ‘kita kan temen, suka itu apa?’ begitu” katanya, “ terus aku bilang ya, suka, suka bermain bersama kamu, suka duduk sama kamu,” tambah Dika dengan raut muka sedih, duh, kasihan benar nasib sejoli ini.

“Terus?” aku semakin penasaran.

“Terus aku bilang, aku mau nikah sama kamu,” katanya dengan tampang polos bin bloon.

“Wuahahahwuahaha kamu ajak dia nikah? Hahahah 1+1 aja kamu masih belum bisa, tulisan ayam saja kamu baca pitik (pitik adalah bahasa jawa dari ayam), hancurlah kalau kamu nikah, Dikaaa Dika, sadar kamu! Masih ingusan juga,” aku tidak bisa menahan tawa, hingga air mataku berjatuhan dan perutku kram, aku masih tertawa.

“Bella pulang, katanya dia gak mau main sama aku lagi, katanya aku jahat sudah ajak dia nikah,” tutur Dika, dengan bibir manyun  dan mata berkaca-kaca, ciri khas anak kecil yang mau menangis.

“Kakak pernah suka sama orang?” tanyanya, sambil mengusap-usap kedua matanya yang hampir saja menitikkan air.

“Pernah, emang kenapa?” ada urusan apa dia tanya, demi reputasiku aku harus terlihat sangat meyakinkan, “Ahahaha, kamu saja pernah, masa’ kakak yang sudah setua ini belum,” aku tertawa, garing.

“Sama siapa?” kini Dika yang penasaran dengan kisahku, kisah yang mana yang harus ku ceritakan sama “anak setan” ini, sebelumnya aku belum pernah dekat dan menyukai atau disukai siapapun.

“Namanya Aditian, kakak ketemu dia di sekolah …” begitu aku menceritakan semuanya kepada bocah itu, entah dia tahu, paham atau tidak, tapi dia manggut-manggut seolah mengerti semua kisah itu.

“Demikian kisah kami ya, sekarang kamu mandi sebelum mama marah sama kakak kalau ketahuan gak suruh kamu mandi” aku teringat akan tugas dan amanat dari baginda Ratu untuk terus menjaga dan mengurus ‘anak setan’ ini.

“Adit itu ganteng ya?” tanyanya lagi, dia penasaran berat rupanya.

“Sudah, besok-besok kalau kamu ke sekolah kakak, kakak tunjukkan orangnya,” ucapku mengakhiri cerita, lalu ku dorong dia menuju kamar mandi.

 Akhirnya aku mengakui bahwa aku memiliki rasa terhadap Adit, aku sering memandangnya dalam diam, senyum sendiri kalau ingat pertengakaran dan perdebatan sepele diantara kami. Entah kenapa, saat aku mengakui itu, semua sekan berubah, dulu yang kalau ketemu dia hawanya emosi terus, sekarang kalau ketemu dia hal-hal aneh terjadi, kok bisa? Hal-hal aneh yang disebabkan karena aku grogi setiap dekat dengan dia yang berujung mempermalukan diriku sendiri, misalnya saat mau ke kantin, Adit sudah duduk dimeja kantin bersama Dito dan Andy, mereka makan kecuali Adit, apalagi Adit pas banget duduk menghadap ke arahku, waktu aku lewat dia menatapku dan aku menatapnya, karena grogi aku nabrak kursi yang ada diatas meja sampa kursi itu jatuh, gubbrakkk, dia ketawa, seakan-akan dia sudah tahu hal itu akan menimpaku, semua melihat dan menertawakanku, termasuk Ida dan Irine, menyebalkan.

“Kamu kenapa sih Jan, gak ada angin, gak ada Lee Minho, kamu nabrak kursi yang anteng disitu?” Irine membawa nama aktor kesukaannya itu setiap kali melihat tingkah anehku, entah apalah maksudnya.

“A..aku juga enggak tahu ken..kenapa aku seperti ini Rin, tiba-tiba saja kalau aku lihat mata itu, tubuhku serasa bergetar dan lututku lemas,” kata-kataku terputus-putus, masih mengendalikan kegrogian yang datang tanpa permisi.

“ Mata? Siapa?” tanya Irine seolah-olah aku ini baru dikenalnya, padahal setiap waktu kita bersama-sama.

“Kamu gak tahu, apa pura-pura gak tahu sih Rin, itu tuh pangerannya ada di samping situ,” tanpa muka bersalah, ida menunjuk Adit dan gerombolannya dengan egg roll yang sudah dia gigit seperempat.

“ Aditian?” Irine menambah kekacauan hatiku saat dia bertanya dengan suara lantang.

“Gak pakai toa sekalian, biar semua pada tahu?” aku melotot kepada kedua sahabatku yang terkadang memperburuk keadaan, bukan terkadang, selalu.

Untuk lebih mengetahui situasi dan kondisi ngepetan baru, eh maksudnya gebetan baru, aku menjalin suatu relasi yang disebut “berteman”. Aku berteman dengan salah dua anak patiseri agar mendapat informasi aktual, tajam dan terpercaya tentang Aditian. 

“Dia itu sudah punya cewek, doi dia masih SMP kelas 3,” ungkap mata-mata pertama kami, Nindy, yang satu kelas dengan Aditian.

“Halah, masih bocah, gampang dong, menyingkirkan dia,” timpal Ida menepuk bahuku dan tersenyum dengan segala rencana jahatnya.

“Dia dari SMP mana? Cantik kah anaknya?” Irine melanjutkan dengan pertanyaan guna mendapatkan  detail yang lengkap.

“Cantik, putih, tinggi juga, langsing apalagi dia cina,” ungkap Nindy, sang mata-mata terpercaya.

 Mereka pun melihatku lalu mereka tertawa “Hahahahhaa” mereka melihatku lagi dan tertawa lagi, begitu seterusnya sampai mereka puas dan lelah, aku hanya bisa mengernyitkan kening.

“Kamu harus merubah penampilanmu, biar kamu tidak kalah sama dia!!!”

Nindy memberikan solusi sekaligus menjawab pertanyaan dalam benakku tentang alasan mereka tertawa.

Kamipun tertawa bersama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status