Share

Bab IV:“Aku tersentak, wajah kami berdekatan, begitu berdekatan bahkan ”

      Hari ini aku sengaja berangkat pagi-pagi, padahal biasanya telat bahkan aku tidak memandikan Dika dan tidak mengambil uang saku. Aku ingin lihat dia, ya, dia  hanya demi lihat cowok sinis nan sombong itu.

        Dari lantai 4 gedung Farmasi kulihat dia berjalan melangkahkan kaki masuk lingkungan sekolah, ku lihat dia, sejak dia mulai memarkirkan sepeda putihnya, dengan cool dia berjalan menuju kelasnya. Dia memakai jaket hitam dan memakai penutup kepalanya sehingga wajahnya tidak begitu terlihat, biasa orang  seperti ini ingin tampil sok misterius, dan dia berhasil. Bola mataku mengikuti kemana Adit berjalan, deg, tiba-tiba dia berhenti dan memutar badannya, beberapa saat kemudian seperti di film-film horor, ah, bukan, film romantis, dunia serasa milik kita berdua bang, hah? Bang? sejak kapan aku manggil dia abang? Slow motion, dunia serasa berhenti, hanya terdengar suara nafasku yang terengah-engah seperti habis lari maraton, dia mendongakkan kepalanya, bola matanya persis menatap tajam kearahku, tatapan yang belum pernah ku lihat dan belum pernah ku rasakan sebelumnya, namun mataku serasa tertahan dan tak bisa berpaling darinya. 

        Detik-detik yang menegangkan, sampai dia memutar badannya lagi dan melanjutkan perjalanannya. Aku masuk ke dalam kelas, untung kelas masih kosong jadi aku bebas mau ngapain aja tanpa ada yang mengetahui.

“Apa ini? Kok, rasanya aneh?” tanyaku dalam hati sambil memegang dada yang masih berdegup kencang “Tidak mungkin ini serangan jantung kan?” lanjutku.

Sekarang aku sudah tidak bisa lagi bicara atau sms Adit dengan kata-kata kasar, justru itu tidak membuat dia berubah, malah semakin menjadi, aku berpikirr, kemudian lagu I’ll be waiting for you milik Seo Hyun SNSD terdengar dari hpku,  ada sms, dari teman SMPku:

 Jika aku terjatuh, bangunkanlah aku, obati lukaku

 Jika aku lemah, kuatkanlah aku

 Jika aku bersedih, tersenyumlah untukku

 Jika aku buta, tuntunlah dan terangilah jalanku

 Tapi

Jika aku mati, janganlah menangis, bersedih ataupun kecewa karena aku tak akan mampu bangun untuk hapus air matamu

Aku sejenak diam, lalu mendapat ide, ku kirimkan kata-kata itu ke beberapa teman termasuk Adit (Adit pengecualian, meskipun dia bukan teman)

      Orang pertama yang merespon smsku adalah Adit, layar hpku menyala dan tertulis 1 pesan baru, Adit, tak sabar aku membaca responnya, dan ini responnya yang membuatku setengah gila, hampir aku mengumpat di dalam kelas, yang sudah terisi oleh sebagian siswa lainnya.

 Jika kamu terjatuh akan ku tendang mukamu!

 Jika kamu lemah, akan ku hina kamu sampai tahu diri

 Jika kamu buta, sungguh bahagianya aku

 Jika kamu bersedih, kenapa gak mati saja sekalian?

 Tetapi

 Jika kamu mati akan kusediakan uang receh dan aku akan bahagia selamanya.

Tuhan, apakah ini manusia? Jahat banget, akhirnya gak tanggung-tanggung lagi emosiku ku balas pula smsnya itu dengan penuuhhh, penuh kasihan.

 Jika kamu terjatuh akan ku tendang mukamu

 (Ku tendang mukamu juga, emang aku tidak bisa balas!!)

 Jika kamu lemah, akan ku hina kamu sampai tahu diri

(Aku berdoa kepada Tuhan, semoga Tuhan mau mengampunimu, ya, kalau Dia berkenan mengampunimu karena dosamu terlalu besar )

 Jika kamu buta, sungguh bahagianya aku

 (Untung aku gak buta ya)

 Jika kamu bersedih, kenapa gak mati saja sekalian?

 (huahhaahahha mengharukan, tersungging aku)

 Tetapi

 Jika kamu mati akan ku sediakan uang receh dan aku akan bahagia selamanya.

(Pelit banget kamu kasih uang receh, gak ada gunanya. Nih ya, kalau kamu mati. Ya, aku kasih sumbangan, peti mati, bendera kuning, dan lubang kuburan yang sempit karena kamu pelit plus batu nisan bertuliskan wafat Aditian S 19-02-2014)

     Kata-kata balasanku benar-benar mantaapp, ahh, biar dia gila juga. Aku hanya dapat membayangkan reaksinya saat membaca pesan dariku, bukankah kita sama-sama kejam dalam hal ini? Apakah dia pikir aku perempuan yang akan tinggal diam saat dia hina? Tentu Tidak!

★★★★★★★★★★★★★★★★★★★

 Farmasi adalah kelas tersibuk dan terumit, berbeda dari yang bayanganku. Sederetan hafalan nama-nama obat dengan fungsinya atau nama-nama simplisia kering dengan bahasa latin yang terdengar cantik itu misal Orthosiphonis Folium, ku rasa passion ku memang ada dalam farmasi. Apalagi kalau praktek di laboratorium resep, bagiku itu sebuah tantangan tersendiri. Segala kesibukan itu membuatku sedikit lupa akan masalah jantung tadi pagi.

       Setelah pesan itu terkirim kepada Adit, tidak ada lagi balasan. Bunyi bel sekolah memenuhi seluruh kelas, semua siswa berhamburan masuk ke dalam kelas, kemudian menempati kursi masing-masing. Pelajaran pertama lumayan berat, metematika Pak Kris yang penuh dengan rumus dan logika. Dia adalah guru yang tak pernah terlambat masuk kelas, namun ini sudah 15 menit sejak bel berbunyi dan dia belum muncul menyapa kami. Kemudian kami mendapat kabar bahwa dia absen karena anaknya sakit.

“Jan, kamu lapar gak?” Ida yang sedari tadi mondar-mandir mencari contekan untuk tugas matematika dari Pak Kris menghampiriku yang duduk termenung dan memutar-mutar hp di atas meja.

“Kenapa?” jawabku.

“Beli jajan ke kantin yuk!” Ida menjawab dengan seringainya, “aku lapar nih, tidak sempat sarapan tadi, gara-gara ‘anak setan’ itu”

Aku pun tertawa mendengar keluhannya, sekaligus kasihan sebab aku mengerti keadaannya, karena aku pun demikian. “Okelah, ajak Irine juga.”

Kamipun jajan bertiga ke kantin di lantai 1, tidak ada siswa sama sekali, karena ini memang masih jam pelajaran, sehingga kami leluasa jajan tanpa mengaantri. 

“Gila ya, tugasnya Pak Kris, soalnya cuma 2 tapi jawabannya bisa berlembaar-lembar,” keluh irine, yang notabene paling jago matematika.

“Kamu kerjakan baik-baik ya Rin, nanti kita nyontek punyamu,” kata Ida lalu merangkul Irine dengan muka bahagia.

“Enak ya, punya teman sepintar Irine, kamu memang terbaik!” kataku sambil mengacungkan jempol dihadapannya. Kami pun tertawa.

Blakk, terdengar suara pintu yang ditutup dengan keras. Tanpa menghiraukan hal itu Ida dan Irine tetap berjalan dengan santai dan masih banyak bicara. Sedangkan aku berdiri mematung, rasanya ingin menghilang dari dunia ini, berdiri dengan posisi mangap mau masukkan makanan kedalam mulut tapi berhenti  menoleh ke arah kamar mandi cowok yang ada di sebelah kananku.  Orang yang menutup pintu itu juga berhenti dengan posisi tangannya yang masih memegang knop pintu sedangkan kepalanya menengok ke arahku. Krikk…krikkk.....krikk, sunyi, sepi, kemanakah orang-orang didunia ini? Naik Haji berjamaah? Ida dan Irine yang merasa aneh dengan ketidakberadanku menoleh kebelakang,  kemudian berbalik menghampiriku.

“Woy, melamun kamu?” tegur Ida mengagetkanku, seakan ada guntur menyambar, baru aku dan cowok itu sadar dan bergerak, aku masukkan makanan ke dalam mulut dan jalan lagi, cowok itu tetap dengan posisi semula, hanya saja dia tidak menoleh lagi. Sedangkan kini giliran Ida dan Irine yang mematung.

“Oh Adiittt,” Ucap Irine dengan tampang polos sambil manggut manggut “hah, Adit?” katanya lagi seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

 Semenjak hari itu segalanya tentang dia berbeda, sepertinya aku dan Adit selalu bertemu, namun aku masih belum tahu, apakah dia sudah tahu kalau aku adalah Rena yang suka neror dia selama ini atau tidak? 

 Adit ternyata satu kelas dengan Dito, mereka jurusan patiseri atau pembuat kue yang terdengar seperti “segerombolan orang dengan celemek warna pink dan suka masak” Dari hal itu kupikir patiseri hanya ada cewek dan kalaupun ada cowok pasti cowoknya kecewek-cewekan (mengerti?), yah, semacam cowok tapi feminin gitu (loh??), tapi itu ga sepenuhnya bener, nyatanya cowok-cowok di patisserie ku akui lebih ganteng daripada yang ada di 3 prodi lain dan gaya mereka keren.

★★★★★★★★★★★★★★★★★★★

 UTS pertamaku di SMK ini, kami para adik kelas duduknya diacak dengan jarak kursi yang berjauhan (kursi aja LDR-an) dan disandingkan dengan kakak kelas, dengan pengawas yang killer. Membayangkan hal itu membuatku harus belajar jika tidak ingin tewas dengan sukses dalam segala mata pelajaran. 

 Setiap malam aku ngeronda atau lembur malam sampai lupa cara tidur gara-gara indeks prestasi jeblok. Untung selama satu minggu UTS ku persiapkan dengan baik, jadi aku tidak perlu remidial alias mengulang segalanya dari awal.

 “Eh, Jan, lihat tuh, Adit!!!” kata Irine sambil menunjuk ke arah Adit dan Andy yang hendak pulang, karena Adit menuntun sepeda kesayangannya ke arah gerbang. 

“Aduh Rin, semenjak salah paham “anjing” itu aku merasa bersalah sama dia, gimana nih, aku takut sekali kalau identitasku sampai terbongkar, sini pinjam novelmu dulu,” pintaku mau menggunakan novel itu untuk menutupi mukaku yang ketakutan.

Mereka berjalan ke arah gerbang dan kebetulan kami duduk di kursi samping gerbang, sudah sangat terlambat bagi kami, terkhusus bagiku untuk kabur, karena mereka sudah melihat kami dan akan semakin mencurigakan jika aku terang-terangan “menghindar” dari dia.

“Rin, sudah pergi belum si Aditnya?” tanyaku setengah berbisik.

Namun Irine tidak menjawab pertanyaanku, dia diam, aku masih menyembunyikan wajahku dibalik novel berjudul “The Mint” dan tak berani memantau Adit.

“Rin, dia sudah pergi belum?” tanyaku dengan volume yang lebih keras dari sebelumnya, mungkin Irine tidak mendengarku.

 

Bukannya jawab setiap pertanyaanku, Irine justru menginjak kakiku.

“Aduh, kamu kenapa sih, Rin?” aku menoleh ke arah Irine dengan tatapan tajam.

“Itu” katanya dengan suara yang setan pun tidak sanggup mendengar kata-katanya.

“Apa? Itu apa?” suaraku meninggi dengan tatapan tajam yang tak lepas dari Irine.

“Itu, Adit didepanmu!!!” katanya dengan nada sebal pula.

Ku lihat ke bawah, menunduk, tampaklah ada sepasang kaki disitu, waduh, aku bahkan tidak berani mendongak ke atas, apakah penyamaranku akan terbongkar secepat ini?

“Ayo, Dit, buruan bicara, mumpung orangnya di depanmu, tunggu apa lagi?” teriak Andy dengan senyum lebar dibibirnya, entah apa maksud dia berkata seperti itu. Tunggu dulu, “orangnya didepanmu?” batinku, bukankah, aku orang yang berada didepannya? Astaga! Mampus!

“Rin, ayo pergi dari sini, penyamaranku sudah terbongkar”  kataku dengan gemetar menggenggam tangan Irine, suara setengah gila, sedangkan satu tangan lainnya masih berusaha menutupi muka dengan novel.

“Dengar dulu dia mau bicara apa sama kamu, jangan memperlihatkan ketakutanmu” bisik Irine tanpa menghiraukanku yang sudah setengah mati menahan degupan jantung, tangan yang gemetar dan keringat dingin yang bercucuran. Suasana sekolah juga sepi lagi, kebanyakan masih mengikuti remidial di kelas, bahkan yang ada di sekitar lapangan basket, voly sampai ke gerbang hanya ada kami berempat.

“Oke, jujur aku takut, please bawa aku pergi dari sini, rasanya gak karuan banget nih,” suaraku mulai memelas.

 Tidak ada respon sama sekali dari Irine, malah dia mengambil novel dari depan mukaku dan dengan santai dia mulai membacanya. Kampret! Daripada gak jelas begini, Adit juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun bahkan kakinya tidak bergerak seinchi pun, maka ku putuskan  untuk berdiri dan kabur, ketika aku berdiri aku tersentak, Adit tampak terkejut, pula diriku, wajah kami berdekatan, sangat dekat bahkan, mungkin dia bisa merasakan hembusan napasku dan mendengar detak jantungku. Tak lama kemudian dengan gaya cool-nya dia tersenyum tipis.

        Dengan muka malu aku berlari dan pergi, sumpah, aku berlari begitu cepat, seperti dikejar kereta, aku harus menghindar, aku harus menghilang dari hadapannya, sebelum kewarasanku yang sirna.

Sayup-sayup ku dengar Irine berteriak dibelakangku “ Jana, tunggu aku!” serta suara tawa dari Adit dan Andy. Aku langsung terduduk lemas dibangku kantin, lututku terasa terlepas dari tulang-tulangnya, kupandangi kedua lututku yang masih gemetar.

“Terimakasih telah menyelamatkan aku” ucapku lalu mengusap kedua lututku, sekilas terbayang senyum tipis Adit dibenakku, tanpa sadar aku tertawa.

"Hahaha, Sial!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status