Share

Bab VI: "Kau menatapku seolah tiada jarak diantara kita, seakan tiada yang lain selain kita"

      Enam bulan sudah kami lalui di sekolah ini, setelah ujian semester usai kami libur selama beberapa minggu, menghabiskan libur semester sekaligus natal dan tahun baru. Aku memutuskan untuk pulang, menikmati waktu libur bersama keluarga di rumah. Tak banyak yang aku lakukan, hanya di rumah dan sesekali jalan-jalan. Rumahku berada diluar kota Semarang, disebuah desa kecil nan permai, aku sangat menikmati liburan semester ini, terbebas dari setiap beban tugas di sekolah, bebas dari si ‘anak setan’, tapi ada terselip rindu untuk sahabat-sahabatku, Irine dan Ida.

 Komunikasi di desaku tidak lancar, sebab keterbatasan jaringan internet. Oleh karena itu aku jarang telpon atau sms Ida dan Irine, aku tak tahu kabar mereka. Begitu liburan usai, aku senang karena dapat berkumpul dengan mereka, hanya mereka yang mengerti diriku, selain orangtua. Beberapa hari kami masuk sekolah, masih belum ada mata pelajaran yang diajarkan, hanya regristasi dan penetapan jadwal pelajaran. Kemudian di Minggu berikutnya diumumkan bahwa akan ada perayaan natal dan tahun baru untuk semua siswa, ini merupakan tradisi sekolah, yang katanya menjadi momen yang tak terlewatkan untuk ujuk kecantikan. 

 “Kamu punya dress?” tanya Irine padaku, kami bertiga nongkrong di Ciputra setelah pulang sekolah.

“Memangnya harus pakai dress?” aku bertanya balik pada kedua sahabatku yang sedang menikmati Ice Cream.

“Iya lah, ini kan momen penting, kamu gak mau terlihat berbeda didepan Adit?” Ida menimpaliku, sambil memasukan satu sendok besar Ice Cream ke dalam mulutnya.

“Berbeda? Ah, aku tidak suka jadi pusat perhatian, aku lebih suka membaur,” ungkapku secara jujur meletakkan tangan didadaku untuk mendramatisir suasana.

“Dasar! Justru kamu harus tampil beda, harus jadi pusat perhatian, siapa tahu kan, Adit jatuh hati sama kamu.” Irine kekeuh supaya aku tampil beda.

“Ih, sudahlah, apapun yang aku pakai itu urusanku, kalian pikirkan diri kalian sendiri aja,” kataku kepada Ida dan Irine yang keras kepala itu.

“Terserah anda ya beb, yang penting kita sudah kasih saran sama kamu,” kata Ida menyendok Ice Cream terakhir ke dalam mulutnya, “Aku harus tampil mempesona, demi mendapatkan hatinya Ditoku sayang, hihihihi,” lanjut Ida.

                             🍁🍁🍁

 Acara natal bersama diadakan lapangan sekolah, acara dimulai jam 5 sore, tetapi kelas kami harus kumpul sebelum itu karena sesuai kesepakatan, kami akan tukar kado, sebagai acara tambahan khusus kelas kami. Aku datang lebih awal karean tante Ana tidak bisa mengantarku selain jam 3. Aku masuk kemudain mendaftarkan namaku, lalu naik kelantai 4, belum ada tanda-tanda Irine, Ida atau teman sekelasku yang lain. Aku berdiri menatap langit sore itu dari ketinggian, imajinasiku sudah berputar-putar memenuhi kepala.

“Hei.” Aku terlonjak, Ida sudah datang ternyata, dia tampak anggun dengan dress merah menyalanya, yang begitu pas dengan tubuhnya.

“Wah, kamu beda banget sih, keren!” Pujiku padanya, ia hanya senyum menunjukkan deretan giginya.

“Iya dong, harus tampil cantik, demi dia,” bola mata Ida berbinar ketika menyebut kata ”dia”.

“Hello guys, kalian datangnya awal banget sih,” Ima, teman sekelasku datang, ia mengenakan dress hitam selutut yang kontras dengan kulitnya yang putih, membuatnya bersinar dengan balutan dress cantik itu. “Kalian tidak lupa membawa kado kan?” tanya Ima sambil menyisir anak rambut yang jatuh ke wajah ayunya. Aku dan Ida serempak mengangkat bungkusan yang sudah kami persiapkan. 

“Oke, aku masuk kelas duluan ya,” Ima memutuskan untuk menunggu yang lain didalam kelas, sedangkan aku dan Ida masih berdiri dilorong. Kami sama-sama menikmati senja sore itu, matahari yang hampir terbenam membiaskan semburat jingganya yang indah. Hiruk pikuk dibawah bertambah seiring dengan bertambahnya siswa yang datang. Mereka semua cantik dengan setelan dress indah yang membalut tubuh mereka yang proporsional dan putih. Aku hanya datang dengan blouse polkadot, celana jeans hitam, rambutku hanya ku kucir kuda, dengan make up tipis. Yeah, apalah aku ini jika dibandingkan mereka, yang memiliki selera dan standar kecantikan yang tinggi.

“Astaga!” Ida menatapku sambil menutup mulut dengan kedua tangannya.

“Kamu kenapa?” Tanyaku memastikan bahwa dia baik-baik saja.

“Lihat ke arah jam 12,” ucapnya lagi. Aku menoleh ke arah jam 12, pada gedung tepat diseberang kami, 4 lantai.

“Apa? Aku tidak melihat apapun selain lorong kosong diseberang sana,” kataku dengan mata yang masih menyapu lorong tanpa penghuni di gedung seberang.

“Maaf, bukan dilantai 4, arah jam 12 dilantai 3,” koreksi Ida, aku menurunkan pandangan dengan arah yang sama. Aku mematung, tak bisa berkutik, dia mengenakan kemeja merah maroon dengan dasi hitam terpasang rapi, bukan penampilannya yang mengejutkanku, namun sosok yang menatap tepat kearahku. Jarak kami hanya lapangan basket dibawah, gedung tempatku berdiri tepat ada dihadapannya. Dia berdiri mematung, dia mendekatkan dirinya ke arah pembatas, menopangkan kedua tangannya pada pembatas itu dengan terus menatap ke arahku, seolah tidak ada jarak diantara kita, seolah tidak ada oranglain selain kita. Aku berdiri dengan Ida disampingku, dan Adit berdiri dengan Dito disampingnya. 

“Dito ganteng banget dengan kemeja merahnya, pasti akan serasi denganku,” Ida membenarkan poni kotaknya yang menutupi sebagian dahinya. 

Aku tak kuasa menahan desiran hati yang meluap dibalik dada, aku tak kuasa menahan senyum bahagia ketika dia menatap seperti itu. Aku langsung menyembunyikan diri dibalik tembok yang ada didekatku. Aku memegang dadaku, detak jantungku tak karuan, aku tersenyum, bahkan tertawa. Aku bisa gila jika terus-terusan begini!

Acara dimulai tepat jam 5, dibuka dengan doa yang dipanjatkan oleh Romo. Aku mengambil tempat duduk baris ketiga dari depan, tapi tiba-tiba panitia menyuruhku untuk mengisi bangku paling depan yang masih kosong. Aku, Ida dan Irine duduk dibangku paling depan dengan canggung. Tempat duduk kami sangat strategis, tepat disamping panggung. Tak segaja aku melihat sepasang mata yang mungkin sudah sedari tadi menatapku dengan cara yang misterius, dia duduk dibangku paling depan di seberang, Aditian. Aku semakin canggung dan salah tingkah malam ini, karena sepanjang acara ku pergoki beberapa kali dia menatapku. Ia duduk dengan teman satu gengnya, Dito dan Andy, ku lihat Ida juga salah tingkah karena Dito ada tepat diseberangnya, hanya panggung acara ini yang memisahkan kami. Aku tidak mengerti kenapa dia terus menatapku, apakah penampilanku norak? Ataukah ada yang aneh denganku? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar dikepalaku, apakah Dia sudah mengetahui bahwa aku Rena? Atau Dia hanya penasaran terhadapku? Entahlah! Apapun yang ada dalam benaknya, aku tidak tahu, aku hanya ingin menikmati malam ini, malam yang cerah, dengan sinar rembulan yang indah, ditambah matanya yang selalu terarah padaku. Malam ini, malam natal oertama di sekolah ini, malam dengan waktu yang berjalan lebih lambat dari biasanya, suatu saat aku akan selalu terkenang akan malam ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status