Share

Bab VII: Pengakuan

Pagi ini aku bangun dengan perasaan was-was, karena hari ini adalah hari penting, yakni pembagian rapot. Aku mencemaskan nilaiku di semester pertamaku disini, orangtuaku tidak bisa datang untuk pengambilan raport, jadi yang mewakili mereka adalah tante Anna. Tante Anna adalah orang yang tegas, bisa kena marah kalau ternyata nilaiku dibawah standar. Tante Anna membawa Dika, karena tidak ada orang dirumah, kami berangkat pukul 8.00 WIB karena acara dimulai pukul 09.00, kami menaiki motor menuju sekolah.

 Setibanya kami disekolah, parkiran diluar sudah penuh, jadi kami masuk ke parkiran dalam. Suasana sekolah saat itu sudah penuh sesak dengan para wali murid bersama dengan siswa. Ada satu panggung besar ditengah lapangan basket, dan ada kursi yang sudah disediakan didepan panggung itu agar para tamu dapat menikmati penampilan siswa berbakat, tentu bukan diriku, mereka adalah orang dengan suara yang bagus, bisa dance bahkan ada yang lihai menari tarian tradisional. Panggung itu dikelilingi berbagai stand sesuai dengan segala jurusan yang ada di sekolah kami, mulai dari patiseri dengan dua calon chef gantengnya, Dito dan Adit, mereka memamerkan keahlian mereka dalam memasak, aku tidak tahu persis apa yang mereka masak, hanya saja ada api yang keluar dari penggorengan dan itu menjadi daya tarik orang untuk mengunjungi stand mereka, dari siswa-siswi sampai pada emak-emak mereka, bahkan ada yang histeris. 

 “Jan, pengambilan Raportnya nanti dimana?” Tanya tante Anna yang baru menghadiri pengambilan raport.

“ Nanti dikelas, Tante, di lantai 4, jam 09.00,” aku menjelaskan kepada tanteku sesuai dengan arahan wali kelas.

“Masih setengah jam lagi, tante mau keliling stand dulu ya, kamu mau ikut?” Tentu saja aku menolaknya, siapa yang mau keliling dengan tante dan Dika, pasti nanti aku yang disuruh jaga Dika.

“Emm, enggak Tan, aku mencari teman-temanku dulu,” pamitku, kemudian berlalu, aku mengedarkan pandangan ke sekeliing mencari Ida dan Irine.

“Jana!” Ida memanggilku, aku pun menghampirinya, ia datang bersama mamanya, mamanya begitu sederhana, namun elegan dengan balutan terusan batik yang melekat ditubuhnya.

“Halo, tante,” sapaku ramah dan mengulurkan tangan.

“Halo, ini Renjana ya?” Tanyanya sambil menjabat uluran tanganku dengan senyum yang hangat.

“Iya, Tan, saya Renjana, temannya Ida,” terangku sedikit menjelaskan.

“Ma, aku jalan sama Jana dulu ya, terserah Mama, mau keliling stand atau duduk menikmati acara, yang penting nanti jam 9.00 kita masuk ke kelas,” Aku dan Ida berjalan keliling stand, menyaksikan masing-masing stand dengan semua yang ditawarkan. 

Kami tidak bisa menembus pertahanan emak-emak yang mengerumuni stand patiseri, Adit dan Dito yang sebelumnya ku lihat berdiri dengan atraksi disana tidak lagi terlihat. Kami pun berjalan melewati stand patiseri dan menuju stand lainnya yang lebih sepi daripada stand patiseri itu. Stand farmasi menawarkan berbagai jenis obat, terutama obat-obatan yang di racik oleh siswa, kemudian kami menuju stand farmasi industri, mereka menawarkan berbagai produk buatan mereka, mulai dari tablet, handwash, shampo, sabun untuk cuci piring dan masih banyak lagi. Kedua stand ini tergolong sepi, hanya beberapa saja yang melihat dan sekadar bertanya-tanya lalu pergi.

 Sedangkan stand yang tak kalah ramainya dengan stand patiseri adalah stand analis kesehatan, bagaimana tidak? Mereka menawarkan tes kesehatan secara gratis, mulai dari cek tekanan darah, kolesterol, asam urat, gula darah dan lainnya, orangtua mana yang tidak memanfaatkan kesempatan emas ini. 

 “Kak Jana, mama panggil,” entah muncul darimana si ‘anak setan’ ini, tiba-tiba mengampiriku.

“Halo, kamu pasti yang namanya Dika ya,” Ida mengusap puncak kepala si Dika dengan lembut.

“Iya, ayo Kak, mama cari kakak disana,” ucap bocah itu sambil menunjuk stand patiseri, tempat yang ku hindari sedari tadi.

“I-iya, iya,” Dika segera menarik tanganku karena ketidaksabarannya, untung ini ditempat umum, coba saja dia memperlakukanku begini di rumah, bisa ku jitak kepalanya, Ida hanya tersenyum melihat kami, tetapi dia mengikuti kami dari belakang.

Tante Anna kini ada dibarisan terdepan mengalahkan emak-emak yang lain.

“Jan, kira-kira pembagian raportnya nanti lama enggak ya?” Tanya tante Ana, sambil memperhatikan cara Adit dan Dito memasak dengan lincahnya. Ku lirik ke arah Adit dan Dito sebentar, mereka masih sibuk dengan bahan masakan mereka, tidak menyadari kehadiranku.

“Kurang tahu ya, Tan, seharusnya sih, tidak lama,” aku hanya bisa memperkirakan tanpa keyakinan apapun, karena ini juga kali pertama untukku. Mata tante Ana beralih ke Adit, dan bertanya, “pembuatan kue sus-nya nanti jam berapa?”

Adit yang sedari tadi sibuk mengutak-atik penggorengannya kini melihat ke arah tante Anna,  sekaligus ke arahku, tanpa sadar aku langsung memalingkan wajahku.

“Jam 3 sore, Tante,” ucapnya dengan suara bassnya yang khas, aku memalingkan wajah lagi, kini menatapnya, ini pertama kali aku mendengar suaranya secara dekat, terimakasih tante, love you full deh.

 Kami bergegas naik kelantai 4 setelah melihat waktu yang menunjukkan jam 9.00 tepat. Aku menunggu diluar bersama teman-teman lain, sedangkan para orangtua masuk kedalam kelas mendengarkan kata sambutan dari Bu Rahayu, wali kelas tercinta kami. Setengah jam mereka didalam, kemudian satu per-satu orangtua keluar dengan membawa map berwarna hitam ditangannya. Tante Anna keluar dengan si ‘anak setan’.

“Nilaimu sudah bagus Jan, hanya perlu ditingkatkan dibeberapa mata pelajaran,” ungkap tante Ana setelah keluar kelas, aku masuk 20 besar, peringkat 11, yah, tidak begitu mengecewakan.

“Wih, nilaimu sudah bagus itu Jan, kalau aku, mungkin bisa masuk 30 besar sudah bagus banget,” Ida menyela setelah melihat nilaiku, Ida dan Irine belum mendapat nilai mereka karena raport diberikan sesuai absen.

“Ayo, Jana, Tante mau melihat perkembangan kue sus dibawah,” tante Ana langsung berjalan menggandeng Dika.

“Aku duluan ya, nanti aku kabari perkembangannya,” aku mengucapkan kata-kata perpisahan dengan Ida dan Irine.

“Yah, padahal aku pengen ikut, lihat Dito,”sesal Ida karena dia tertahan karena 

“Kayak besok tidak ada hari saja,” tegur Irine yang jengkel dengan kebucinan Ida.

                            🍁🍁🍁

Saat aku, tante dan Dika sampai dibawah, kue sus belum jadi, kami harus menunggu beberapa jam lagi. Satu per satu siswa beserta orangtua meninggalkan sekolah, termasuk Ida dan Irine yang terpaksa pulang terlebih dahulu.

“Oh, iya, Tante, ini ada dua kupon makan soto, kita makan dulu ya?” usulku, karena cacing-cacing diperut ini sudah meronta-ronta.

“Iya, tante juga sudah lapar, ayo, Dika,” kami menuju stand makanan yang letaknya persis berhadapan dengan stand patiseri, hanya ada dua kupon, jadi otomatis si ‘anak setan’ itu tidak bisa makan. Penjaga stand makanan adala ibu Risa, guru kewirausahaan yang memiliki suara sangat lembut dan sangat ramah, tanpa perlu banyak waktu, dia sudah ngobrol seru dengan tante Anna. 

“Adik manis, kalau mau makan soto ambil saja, tidak perlu pakai kupon,” dengan kerendahan hati Ibu Risa menawarkan Dika untuk makan soto.

“Ndak ah, aku ndak mau makan soto,” dan dengan sombongnya Dika menolak tawaran emas itu, awas aja kalau nanti dia rewel karena lapar.

“Loh, kenapa, nanti lapar lho, masih lama ini, mama masih tunggu kue mama jadi,” tante Anna berusaha membujuk si’anak setan’ untuk makan, dia tidak tahu, betapa sulitnya membujuk anak satu ini, lebih mudah memindahkan gunung ke laut daripada membujuk anak itu.

Tante Anna lanjut ngobrol dengan Ibu Risa, sampai mereka tertawa, entah apa yang mereka perbincangkan.

“Jan, titip Dika dulu ya, jaga dia, jangan sampai kemana-mana,” pintanya padaku sambil melepaskan genggaman tangannya dari Dika. Sebenarnya aku juga tidak mau menjaga anak ini, tapi tidak ada pilihan lain, aku menggandeng tangannya di kanan kiri, dan tangan kananku meracik soto mulai dari jeruk, sambal, sampai …kecap, ketika aku hendak meraih kecap, ada tangan lain yang juga berusaha menggapainya, otomatis aku mendongak untuk melihat sang empunya tangan itu, Astaga! Itu Adit. Berdiri tepat dihadapanku.

“Dit, tolong bawakan punyaku, Dito dan Alin juga ya,” seseorang meminta tolong padanya lalu pergi meninggalkan kami, aku kurang tahu siapa orang itu, mungkin teman sekelasnya, Adit hanya menjawab dengan anggukan. Sekarang hanya ada aku dan dia di meja yang penuh dengan soto-soto ini, tante Anna dan Ibu Risa pergi ke ujung dan melanjutkan obrolan mereka. Aku benar-benar tidak berani mendongakkan wajah untuk melihat dia, tanganku sudah bergetar, apakah aku segugup itu? Kenapa dengan diriku ini?

“Kak,” aku terkaget mendengar suara Dika, bahkan aku lupa kalau masih ada Dika disampingku.

“I-ya, kenapa?” aduh, aku sudah terbata-bata lagi, sekilas ku lirik dia, dia masih sibuk meracik mangkok-mangkok sotonya.

“Mana yang namanya Adit, katanya kalau Dika ke sekolah kakak, kakak akan tunjukkan kak Adit, katanya kakak suka sama dia, katanya …” buru-buru ku tutup mulut anak setan itu, ku lepaskan genggamanku dan ku suruh ia pergi. Aku mendongak, Adit kini mematung, menatapku, sendok sambal masih ada ditangannya yang tak bergerak, aku harus bagaimana? Dasar anak setan! Aku tidak tahu harus berkata apa atau melakukan apa untuk menghilangkan kecanggungan ini, aku tersenyum, tapi dia tak bergeming, aku menarik lagi sudut bibirku kembali keposisi semula. Aku membawa dua mangkuk soto dan bergegas menyiramnya dengan kuah, menuju ke tempat tanteku berada.

“Loh, Dika mana?” itu kata pertama yang terucap dari tante Ana saat melihat Dika tak ada bersamaku. 

“Oh, em, di-di …,” aku juga bingung, anak itu pergi kemana ya.

“Aduh, kamu ini bagaimana to, disuruh jaga Dika saja ndak bisa,” protes tanteku setelah melihat mimik bingung dari wajahku.

“Aku cari dia ya, Tan, tunggu dulu,” aku meletakkan dua mangkuk soto kembali ke meja ditempat Adit berada, aku mencoba untuk tidak menghiraukannya.

“Dika? Dika?” aku mencari dan memanggilnya di segala sudut, anak itu cepat juga perginya. Aku mencarinya di kelas-kelas, sampai dilantai 4, menanyakan kepada siapapun yang masih ku temui, tapi nihil, Dika tidak ada, mampus! Aku gak bisa pulang sebelum dia ketemu. Aku kembali ke bawah, menyelinap ke stand-stand yang sudah sepi.

“Permisi, ini anaknya siapa ya?” tanya seseorang dengan suara lantang, aku langsung menoleh ke arah suara, benar saja, Dika ada disana. Pak Budi yang menemukan anak itu, Dika, dengan penuh percaya diri bergabung dengan para guru yang sedang berfoto di depan panggung.

“Maaf pak, ini adik saya,” aku langsung bergegas menariknya, meskipun dia sudah siap berpose dengan dua jari. Bisa-bisanya ya, hari ini aku sial sekali, semua terjadi karena anak setan ini.

“Ah, kenapa to, aku cuma mau foto,” rengeknya berusaha melepas genggaman tanganku.

“Tidak ada foto! Kamu ini bisa gak sih, sehari saja, gak cari masalah sama kakak,” omelku, Dika langsung terdiam.

 Setelah makan, aku tidak punya nyali untuk sekadar ikut tante Ana yang masuk ke laboratorium patiseri melihat proses pembuatan kue sus, aku hanya duduk di termenung di depan laboratorium.

Di dalam lab ada Dito, Adit, Andy dan beberapa teman mereka, stand patiseri tidak ada yang jaga, mungkin karena sudah tidak banyak orang. Baguslah, aku bisa datang melihat-lihat kue-kue mereka. Aku berjalan menuju stand patiseri, melihat cupcake yang lucu-lucu, ada tulisan “boleh dimakan” aku mengambil salah satu, cupcake berbentuk doraemon, sayang sekali untuk dimakan, tapi sepertinya juga enak.

“Jangan dimakan!” kata seseorang saat aku membuka mulut hendak melahap cupcake ditanganku, kamvret, Adit lagi, aku mati kutu, aduh, mau bicara apa nih, mau pergi kemana.

“Itu hanya pajangan, nih,” dia mengambil cupcake doraemon itu dari tanganku, aku tak bisa berkata apa-apa, membeku, kemudian ia menggantinya dengan cupcake baru, doraemon diganti dengan stich.

“Te-terimakasih,” kenapa aku gugup sih, mau bilang terimakasih saja. Aku langsung pergi, mencari tempat tersembunyi untuk meredakan semua hal tak normal dalam diriku, mulai dari ingin tersenyum, teriak, loncat-loncat, guling-guling, dan lain sebagainya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status