Share

Bab 7

last update Dernière mise à jour: 2025-10-29 17:03:21

Sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayang-bayang, tertarik pada kekuatan rasa yang baru saja ia bangkitkan.

Pikiran rasional Radit berusaha memberontak, mencari-cari penjelasan logis di tengah lautan teror yang mulai menenggelamkannya. Trik mata. Kelelahan ekstrem. Pantulan cahaya lampu jalan yang aneh dari kaleng kerupuk yang penyok. 

Ya, pasti itu. Bayangan itu hanyalah produk dari otaknya yang sudah terlalu lelah, sama seperti suara di kepalanya yang mengaku sebagai Sistem Citarasa Ilahi.

Ia mencoba mengalihkan pandangannya, memaksa dirinya untuk melanjutkan pekerjaan. Ia meraih kain pel, mencelupkannya ke dalam ember, dan mulai menggosok lantai dengan gerakan kaku. 

Namun, matanya seperti ditarik oleh magnet tak kasat mata, terus-menerus melirik ke sudut gelap itu. Bayangan itu masih di sana. Tidak bergerak, tetapi kehadirannya terasa begitu padat, begitu nyata, seolah memiliki gravitasi sendiri yang membengkokkan ruang dan waktu di sekelilingnya.

Aroma dupa itu kembali menguar, kali ini lebih pekat, menusuk hidungnya dengan bau kemenyan dan kayu cendana yang dibakar di atas arang yang terlalu panas. Bau ritual. Bau persembahan. Bau yang sama sekali tidak pantas berada di warung nasi goreng.

“Cuma imajinasi… cuma imajinasi…” bisiknya pada diri sendiri, suaranya serak dan gemetar.

Tiba-tiba, bel kecil yang tergantung di atas pintu warungnya berdentang pelan. Sebuah bunyi yang seharusnya normal, tetapi di tengah keheningan yang mencekam ini, bunyinya terdengar seperti lonceng kematian. Radit terlonjak kaget, nyaris menjatuhkan gagang pelnya. Jantungnya serasa melompat ke tenggorokan.

Ia menoleh ke arah pintu. Sosok yang masuk bukanlah pelanggan biasa yang kelaparan atau tetangga yang ingin mengobrol. Sosok ini adalah sebuah anomali, sama seperti Luna tadi malam, tetapi dengan aura yang seribu kali lebih mengintimidasi.

Seorang pria berperawakan besar, nyaris mengisi seluruh kusen pintu, melangkah masuk dengan keanggunan yang aneh untuk ukuran tubuhnya. Ia mengenakan beskap berwarna hitam pekat dengan benang emas yang ditenun membentuk motif naga samar di bagian kerahnya, dipadukan dengan kain batik tulis bermotif parang rusak yang warnanya begitu dalam seolah mampu menyerap cahaya. 

Di kepalanya bertengger sebuah blangkon yang terpasang sempurna. Wajahnya bulat, dengan kulit sawo matang yang licin dan sepasang mata kecil yang berkilau tajam di bawah alis yang tebal. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibirnya, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. Matanya dingin, analitis, dan kuno—seperti mata seekor buaya purba yang sedang mengamati mangsanya.

Kehadirannya seketika mengubah atmosfer warung. Udara yang tadi dingin karena teror supernatural, kini terasa berat dan menyesakkan, seolah pria itu membawa medan gravitasinya sendiri. Aroma dupa yang tadi samar kini menjadi begitu kuat, seolah sumbernya adalah pria itu sendiri.

“Selamat malam, Anak Muda,” sapanya. Suaranya dalam, berat, dan beresonansi seperti gilingan batu, setiap katanya diucapkan dengan artikulasi yang lambat dan penuh wibawa.

Radit hanya bisa mengangguk kaku, lidahnya kelu. “Se-selamat malam, Pak. Maaf, warung sudah tutup.”

Pria itu mengabaikan ucapan Radit. Matanya menyapu sekeliling warung dengan tatapan menilai. Namun, tidak seperti Luna yang menunjukkan sedikit ekspresi jijik, pria ini justru tersenyum lebih lebar. Seolah ia melihat sesuatu yang ia kenali, sesuatu yang ia pahami, di tengah kekumuhan ini.

“Tutup untuk manusia, mungkin,” gumamnya lebih pada diri sendiri, sebelum matanya akhirnya berhenti dan terkunci pada Radit. “Tapi energi yang terpancar dari tempat ini… wah, ini baru saja terbuka lebar.”

Radit menelan ludah. “Energi? Maksud Bapak?”

“Jangan pura-pura tidak tahu, Nak,” kata pria itu, melangkah lebih dekat. Setiap langkahnya nyaris tak bersuara. “Aku sudah berkeliling puluhan tahun, mencicipi ribuan rasa. Tapi aroma yang lahir dari tempat ini semalam… itu bukan sekadar aroma masakan. Itu adalah sebuah panggilan. Sebuah suar yang menyala di tengah kegelapan.”

Jantung Radit berdebar semakin kencang. Orang ini tahu. Tapi bagaimana?

“Saya… saya tidak mengerti, Pak. Saya cuma tukang nasi goreng biasa,” dalih Radit, suaranya nyaris berbisik.

Pria itu tertawa kecil, suara tawanya serak dan dalam. “Biasa? Anak muda, buaya tidak akan pernah menyebut dirinya buaya. Ia hanya diam di dalam air, menunggu. Kau punya kekuatan di dalam tanganmu. Kekuatan rasa yang murni. Kekuatan yang bisa menarik perhatian dari dua dunia.” 

Ia mengendus udara dalam-dalam. “Dan kau sudah menggunakannya. Kau sudah memberi makan ‘mereka’ yang menunggu di persimpangan.”

Darah serasa surut dari wajah Radit. Setiap kata pria itu adalah konfirmasi dari mimpi buruknya. Ia bukan sekadar berhalusinasi. Semua ini nyata. Dan pria di hadapannya ini, entah bagaimana, adalah bagian dari dunia gila itu.

“Si-siapa Bapak?” tanya Radit, akhirnya berhasil mengeluarkan pertanyaan yang paling penting.

Pria itu tersenyum lagi, kali ini senyumnya menunjukkan deretan gigi yang rapi namun berwarna kekuningan karena tembakau. “Orang-orang memanggilku banyak nama. Tapi kau, kau bisa memanggilku Ki Gendeng.”

Nama itu sendiri sudah cukup membuat bulu kuduk Radit meremang.

“Aku datang bukan untuk mengganggumu, Nak Radit,” lanjut Ki Gendeng, menyebut nama Radit seolah mereka sudah lama saling kenal.

 “Aku datang untuk menawarkan bantuan. Kesuksesan mendadak seperti yang kau alami ini selalu membawa dua hal: rezeki dan dengki. Rezeki dari yang terlihat, dengki dari yang tak terlihat. Kau sudah memberi makan yang satu, tapi kau belum punya pagar untuk melindungi diri dari yang lain.”

“Pagar?” ulang Radit bingung.

“Perlindungan spiritual,” jelas Ki Gendeng sabar. “Warungmu ini sekarang seperti rumah tanpa pintu. Aromanya mengundang siapa saja untuk masuk. Yang baik, dan yang… lapar. Seperti yang bersembunyi di sudut sana.”

Ki Gendeng melirik sekilas ke arah sudut gelap tempat bayangan aneh itu berada. Seketika, bayangan itu bergetar hebat seolah tersengat listrik, lalu lenyap ditelan kegelapan, meninggalkan sudut itu kembali normal. Radit terkesiap, matanya membelalak ngeri. Bayangan itu nyata, dan pria ini baru saja mengusirnya hanya dengan lirikan mata.

“Lihat, kan?” kata Ki Gendeng tenang. “Mereka tertarik pada sumber kekuatan. Kau butuh penjaga.”

Radit mundur selangkah, punggungnya menabrak dinding. Otaknya berputar kencang. Ia tidak mau berurusan dengan hal-hal seperti ini. Cukup sudah ritual persembahan semalam membuatnya trauma. Tapi pria ini jelas memiliki kekuatan nyata. Menolaknya bisa jadi lebih berbahaya.

“Saya… saya tidak punya uang untuk hal-hal seperti itu, Ki,” jawab Radit jujur, mencoba mencari alasan yang paling masuk akal.

Ki Gendeng terkekeh. “Aku tidak butuh uangmu, Nak. Anggap saja ini investasi. Aku suka melihat bibit-bibit unggul sepertimu tumbuh. Dunia kuliner butuh lebih banyak ‘rasa’ yang jujur, bukan?” Kata ‘jujur’ diucapkannya dengan penekanan aneh yang membuat Radit merasa tidak nyaman.

Tanpa menunggu persetujuan Radit, Ki Gendeng merogoh saku beskapnya dan mengeluarkan sebuah kantung kecil dari kain beludru hitam. Ia membukanya dan menuangkan isinya ke telapak tangannya. Garam kasar.

“Ini,” katanya, menyodorkan tangannya yang penuh garam ke hadapan Radit. “Garam ini sudah kubacakan doa-doa penolak bala. Taburkan sedikit di setiap sudut warungmu setiap pagi sebelum buka. Ini akan menyaring energi yang masuk. Hanya pelanggan yang berniat baik yang akan merasa nyaman untuk datang.”

Radit menatap garam di telapak tangan Ki Gendeng dengan ragu. Terlihat seperti garam biasa. Tapi instingnya berteriak untuk tidak menyentuhnya.

“Ambillah,” desak Ki Gendeng, suaranya kini sedikit lebih tegas.

Dengan tangan gemetar, Radit menadahkan tangannya. Ki Gendeng menuangkan garam itu dari tangannya ke tangan Radit.

Seketika, saat butiran-butiran garam itu menyentuh kulitnya, sebuah gelombang dingin yang menjijikkan menjalari lengan Radit, menusuk hingga ke tulang. Bukan sekadar mual. Ini adalah penolakan fundamental dari setiap sel di tubuhnya. 

Rasanya seperti memegang abu dari sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada, dingin, mati, dan penuh dengan niat buruk yang tersembunyi. Aroma dupa yang tadi pekat kini bercampur dengan bau anyir yang samar, seperti darah yang mulai mengering.

Radit nyaris menjatuhkan garam itu, tetapi tatapan tajam Ki Gendeng menguncinya.

“Jaga baik-baik, Nak,” kata Ki Gendeng. “Itu adalah kunci kemakmuranmu selanjutnya. Aku akan datang lagi nanti untuk melihat perkembanganmu.”

Ki Gendeng berbalik, jubahnya berdesir pelan, dan melangkah keluar dari warung, lenyap ditelan kegelapan malam secepat ia muncul. Bel di pintu kembali berdentang, menandai kepergiannya.

Radit berdiri membeku, menatap garam terkutuk di tangannya. Napasnya terengah-engah. Ia ingin segera membuangnya, mencuci tangannya sampai bersih.

Namun sebelum ia sempat bergerak, suara notifikasi yang familier berbunyi di kepalanya. Layar holografik biru menyala di hadapannya dengan cahaya yang panik dan tidak stabil, menampilkan teks berwarna merah darah yang berkedip-kedip.

[PERINGATAN! KONTAMINASI SPIRITUAL ASING TERDETEKSI PADA PENGGUNA!]

[ANALISIS OBJEK… GAGAL! ENERGI TERLALU KORUP!]

[INTEGRITAS SISTEM CITARASA ILAHI TERANCAM… MEMULAI PROTOKOL PERTAHANAN DARURAT…]

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 7

    Sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayang-bayang, tertarik pada kekuatan rasa yang baru saja ia bangkitkan.Pikiran rasional Radit berusaha memberontak, mencari-cari penjelasan logis di tengah lautan teror yang mulai menenggelamkannya. Trik mata. Kelelahan ekstrem. Pantulan cahaya lampu jalan yang aneh dari kaleng kerupuk yang penyok. Ya, pasti itu. Bayangan itu hanyalah produk dari otaknya yang sudah terlalu lelah, sama seperti suara di kepalanya yang mengaku sebagai Sistem Citarasa Ilahi.Ia mencoba mengalihkan pandangannya, memaksa dirinya untuk melanjutkan pekerjaan. Ia meraih kain pel, mencelupkannya ke dalam ember, dan mulai menggosok lantai dengan gerakan kaku. Namun, matanya seperti ditarik oleh magnet tak kasat mata, terus-menerus melirik ke sudut gelap itu. Bayangan itu masih di sana. Tidak bergerak, tetapi kehadirannya terasa begitu padat, begitu nyata, seolah memiliki gravitasi sendiri yang membengkokkan ruang dan waktu di sekelilingnya.Aroma dupa itu kembali mengua

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 6

    Suara isapan itu berhenti, menyisakan keheningan yang seribu kali lebih menakutkan. Kehampaan suara itu terasa seperti sebuah pernyataan—hidangan telah habis, transaksi telah selesai. Radit, yang masih berjongkok dengan lutut gemetar, merasakan gelombang dingin merayap di punggungnya, sebuah insting purba yang memerintahkannya untuk lari.Tanpa berpikir, ia bangkit dan berbalik. Ia tidak berlari, karena kakinya terasa seperti jeli, melainkan berjalan sempoyongan dengan kecepatan yang dipaksakan. Ia mematuhi perintah Sistem: jangan menoleh. Setiap langkah menjauh dari persimpangan itu terasa seperti menarik kakinya dari lumpur hisap yang tak terlihat. Ia bisa merasakan sesuatu di belakangnya, bukan kehadiran fisik, melainkan sebuah kekosongan yang mengawasinya, sebuah tatapan dari entitas yang baru saja ia beri makan.Begitu pintu warungnya yang reyot tertutup di belakangnya, kakinya lemas. Ia bersandar di pintu, dadanya kembang kempis, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Gila… g

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 5

    “Kau… bukan sekadar juru masak,” bisiknya, kata-kata itu keluar seperti hembusan napas yang rapuh, sarat dengan kekaguman yang nyaris menyakitkan. “Kau adalah seorang pencerita. Dan ini…,” si wanita menunjuk piring kaleng itu dengan dagunya, matanya masih terpaku pada Radit, “...ini adalah kebenaran yang bisa dirasakan.”Radit hanya bisa menatap wanita itu. Mulutnya terbuka tanpa suara. Otaknya gagal total memproses pujian yang begitu puitis dan dahsyat. Selama ini, pujian tertinggi yang pernah ia terima adalah, “Lumayan, Dit, nggak terlalu gosong.”Wanita itu perlahan berdiri, gerakannya kembali anggun dan terkendali, seolah momen keterkejutan tadi hanyalah riak sesaat di permukaan danau yang dalam. Ia merapikan blazernya, tatapannya yang tajam kini melunak, digantikan oleh sesuatu yang lebih kompleks. Rasa hormat, keingintahuan, dan mungkin sedikit kebingungan.“Aku Luna,” katanya, memperkenalkan diri seolah itu adalah hal paling wajar di dunia, di tengah warung yang lebih mirip lo

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 4

    Lalat-lalat itu, yang tadinya menjadi simbol pembusukan dan kegagalan, kini melayang beku di udara, sayap-sayap mungil mereka berhenti bergetar. Mereka bukan lagi serangga, melainkan para pemuja bisu yang terpaku di hadapan sebuah altar rasa, terhipnotis oleh kemenyan ilahi yang menguar dari sepiring nasi goreng di atas meja.Radit sendiri berdiri sama kakunya. Ia menatap piring di hadapannya, bukan dengan rasa bangga, melainkan dengan ketakutan. Nasi goreng itu memancarkan aura hangat, butiran-butiran nasinya yang keemasan tampak berkilau lembut di bawah cahaya remang warungnya. Ini bukan lagi makanan. Ini adalah sebuah artefak, sebuah keajaiban yang lahir dari wajan tuanya, dan ia tidak berani menyentuhnya, takut keajaiban itu akan sirna jika disentuh oleh tangan seorang pecundang sepertinya.Keheningan yang sakral itu tiba-tiba pecah.Bukan oleh dengung lalat yang kembali sadar, melainkan oleh suara asing yang datang dari jalanan. Sebuah deru mesin yang halus, dalam, dan bertenaga

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 3

    Radit tersentak, punggungnya menghantam tanah berdebu di belakang warung dengan bunyi gedebuk. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tak beraturan, seolah ia baru saja berlari maraton sejuta kilometer. Matanya terpejam rapat, mencoba mengusir sisa-sisa ledakan sensorik itu. Ia merasakan denyutan di setiap saraf, bukan sakit, melainkan sebuah kejutan dahsyat yang melampaui rasa nyeri. Radit membuka kelopak matanya. Dunia di sekelilingnya tampak berbeda. Bukan secara fisik, namun dalam sebuah dimensi yang lebih subtil.Udara malam yang dingin kini terasa membawa partikel-partikel aroma tersembunyi. Debu di tanah tak lagi hanya debu, melainkan campuran partikel mineral dengan jejak aroma tanah basah dan sisa pembakaran kayu. Bahkan embusan angin yang menerpa kulitnya terasa seperti sentuhan yang bisa ia ‘rasakan’ komposisinya.Radit berdiri dengan gontai, kepalanya masih berdenyut seperti ditabuh gong. Namun ada sensasi kejelasan yang aneh. Seolah, di tengah kekacauan itu, sebuah perp

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 2

    Beberapa saat Radit mematung. Ia sama sekali tidak bisa tidur. Suara yang muncul di kepalanya membuatnya bertanya-tanya. Apa ia sungguh kehilangan kewarasannya sekarang? Sistem Citarasa Ilahi. Sesuatu yang tidak disangka oleh Radit. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?Arang hitam itu terlepas dari genggamannya yang gemetar, jatuh ke tanah dengan bunyi gedebuk yang nyaris tak terdengar. Radit berdiri kaku, matanya yang membelalak liar menatap spanduk lusuh di hadapannya, tetapi yang ia lihat bukanlah kain pudar itu. Ia melihat kehampaan.“Gila…,” desisnya, napasnya keluar dalam embusan gemetar yang membentuk kabut tipis di udara malam yang dingin. “Aku sudah gila. Stres. Kurang tidur. Kelaparan. Lengkap sudah penderitaanku,” ocehanya pada diri sendiri. Radit mencoba merangkai serpihan rasionalitas yang tersisa di benaknya yang kacau. Tentu saja itu jawabannya. Tubuhnya telah mencapai batas, dan otaknya mulai memproduksi ilusi untuk melarikan diri dari kenyataan pahit. Suara di dala

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status