Share

Bab 6

last update Last Updated: 2025-10-29 08:20:32

Suara isapan itu berhenti, menyisakan keheningan yang seribu kali lebih menakutkan. Kehampaan suara itu terasa seperti sebuah pernyataan—hidangan telah habis, transaksi telah 

selesai. 

Radit, yang masih berjongkok dengan lutut gemetar, merasakan gelombang dingin merayap di punggungnya, sebuah insting purba yang memerintahkannya untuk lari.

Tanpa berpikir, ia bangkit dan berbalik. Ia tidak berlari, karena kakinya terasa seperti jeli, melainkan berjalan sempoyongan dengan kecepatan yang dipaksakan. Ia mematuhi perintah Sistem: jangan menoleh. 

Setiap langkah menjauh dari persimpangan itu terasa seperti menarik kakinya dari lumpur hisap yang tak terlihat. Ia bisa merasakan sesuatu di belakangnya, bukan kehadiran fisik, melainkan sebuah kekosongan yang mengawasinya, sebuah tatapan dari entitas yang baru saja ia beri makan.

Begitu pintu warungnya yang reyot tertutup di belakangnya, kakinya lemas. Ia bersandar di pintu, dadanya kembang kempis, keringat dingin membasahi pelipisnya.

“Gila… gila… gila…” bisiknya berulang kali, kata itu menjadi satu-satunya mantra yang bisa ia ucapkan untuk menahan kewarasannya agar tidak pecah berkeping-keping.

Ting.

[Persembahan Pertama - SELESAI]

[Penilaian: Sempurna. Entitas Penjaga Persimpangan sangat puas dengan energi cita rasa yang dipersembahkan.]

[Hadiah Diberikan: 20 Poin Pengalaman. Pengguna naik ke Level 2.]

[PENGGUNA: RADIT JAYA]

[LEVEL: 2 (Koki Jalanan)]

[Skill Baru Terbuka: Pemotongan Cepat Level 1. Kecepatan dan presisi tangan Anda dalam menggunakan pisau meningkat sebesar 300%.]

Sebuah gelombang informasi baru, tidak sedahsyat yang pertama, mengalir ke dalam benaknya. Kali ini bukan tentang bumbu, melainkan tentang gerak. Visi-visi tentang pisau yang menari di atas talenan, membelah bawang, mencincang daging, mengiris cabai dengan kecepatan kilat namun dengan setiap potongan yang identik sempurna, terpatri di dalam otaknya. 

Tangannya berkedut, seolah ingin segera memegang pisau dan mencoba kekuatan barunya.

Namun, tubuhnya sudah mencapai batas. Kombinasi antara ketakutan supernatural dan kelegaan yang luar biasa membuatnya lemas. 

Ia bahkan tidak punya tenaga untuk membersihkan warungnya. Ia hanya berjalan ke dipan kayu di sudut, tempat ia biasa tidur, dan ambruk seketika, terlelap dalam tidur yang gelisah dan tanpa mimpi.

Pagi datang terlalu cepat, membawa serta cahaya matahari yang menusuk kelopak matanya. Radit terbangun dengan kepala pusing dan mulut kering. Sesaat, ia mengira semua kejadian semalam hanyalah mimpi buruk yang aneh. Lalu ia melihat layar holografik yang masih melayang samar di sudut pandangannya, menampilkan status ‘Level 2’.

Ini nyata.

Dengan jantung berdebar, ia mengintip keluar dari celah pintu warungnya. Di tengah persimpangan, tempat ia meletakkan persembahannya, tidak ada apa-apa. Piring kaleng itu lenyap. Bahkan tidak ada jejak minyak atau sisa nasi. Tanah itu bersih, seolah tidak pernah ada apa pun di sana. Bersih secara tidak wajar.

Ia menelan ludah. Rasa mual kembali naik. Ia telah melakukan transaksi dengan sesuatu yang tidak seharusnya ia ganggu. Sesuatu yang lapar.

Ponsel bututnya di atas meja bergetar hebat, mengeluarkan bunyi dengung yang memekakkan telinga. Dengan enggan, ia meraihnya. Puluhan notifikasi membanjiri layarnya yang retak. 

Grup W******p tetangga, pesan dari nomor-nomor tak dikenal, dan tautan berita yang dikirim berulang kali. Ia membuka salah satu tautan dengan jari gemetar.

Judul artikel itu terpampang besar-besar di layar: “Katedral Rasa di Gang Sengsara: Luna Kancana Menemukan Berlian Tersembunyi di Warung Nasi Goreng Paling Mustahil.”

Di bawahnya, terpampang foto warungnya yang kumuh, diambil dari seberang jalan, tampak menyedihkan dan gelap. Namun, isi artikelnya adalah kebalikannya. Luna, dengan gaya bahasanya yang puitis dan brutal, melukiskan pengalamannya dengan kata-kata yang membakar.

“…Ini bukan sekadar nasi goreng. Ini adalah sebuah pengakuan dosa di atas piring. Setiap butir nasinya berbisik tentang perjuangan, setiap irisan bumbunya adalah tetesan keringat yang mengkristal menjadi permata. Di tengah lautan MSG dan jalan pintas kuliner, Radit Jaya—seorang maestro yang menyamar sebagai pecundang—telah menyajikan sebuah kebenaran. Kebenaran yang begitu telanjang, begitu jujur, hingga membuat lidah saya yang paling sinis pun bersujud…”

Radit membaca setiap kalimat dengan mata terbelalak. Maestro? Kebenaran? Bersujud? Wanita itu benar-benar gila. Tapi kegilaannya, tampaknya, menular. Artikel itu telah dibagikan ribuan kali.

“Bang Radit! Buka, Bang!”

Sebuah suara dari luar menyentakkannya. Radit mengintip lagi. Seorang pria muda dengan kamera tergantung di lehernya berdiri di depan warung. Di belakangnya, beberapa orang lain mulai berdatangan, menunjuk-nunjuk spanduk lusuhnya sambil memegang ponsel mereka.

“Waduh…,” gumam Radit.

Setengah jam kemudian, situasi berubah dari canggung menjadi mimpi buruk. Puluhan orang telah berkumpul di depan warungnya yang sempit. Food vlogger dengan ring light, pekerja kantoran yang penasaran, mahasiswa yang mencari konten, semua berdesakan di gang kecil itu.

“Buka, woy! Udah jam sepuluh ini!” teriak seseorang.

“Sabar, kali! Mungkin orangnya lagi beli bahan!” sahut yang lain.

Radit panik. Bahan? Ia bahkan belum membeli apa-apa. Stoknya kemarin sudah hampir habis. Dengan gemetar, ia membuka pintu belakang, menyelinap ke pasar terdekat, dan membeli semua yang ia bisa dengan sisa uang dari Luna.

Ketika ia kembali dan akhirnya membuka warungnya pada pukul sebelas, lautan manusia itu menyerbu masuk. Tiga mejanya langsung terisi. Sisanya membentuk antrean yang mengular hingga ke jalan utama.

“Mas! Nasi goreng satu, yang kayak ditulis Luna!”

“Dua porsi, Bang! Jangan lama-lama, ya!”

“Pedesnya dipisah bisa, kan?”

Rentetan pesanan menghantam Radit seperti badai. Ia, yang terbiasa melayani paling banyak lima pelanggan dalam satu jam, kini dihadapkan pada puluhan mulut lapar yang menatapnya dengan ekspektasi setinggi langit.

“I-iya, sabar, ya!” jawabnya, suaranya nyaris hilang ditelan keriuhan.

Ia menyalakan kompor, tangannya gemetar. Ia mengambil bawang, pisau, dan talenan. Saat itulah Skill barunya aktif. Tangannya bergerak sendiri. 

Tratatatatatat! 

Pisau di tangannya berubah menjadi kilatan perak, membelah bawang merah menjadi irisan-irisan setipis kertas dalam hitungan detik. Beberapa pelanggan yang melihatnya terkesiap kagum.

“Wih, gila, tangannya cepet banget!”

Tapi kecepatan tangan tidak diimbangi dengan kesiapan mental. Minyak ia tuang ke wajan. Byur! Terlalu banyak. Bumbu ia masukkan. 

Desisan keras dan aroma surgawi kembali memenuhi udara, membuat antrean semakin gelisah. Ia memasukkan nasi, mengaduknya dengan gerakan yang kini terasa lebih alami berkat penguasaan wok hei.

“Mas, pesenan saya yang pertama tadi, lho!” teriak seorang wanita dari meja depan.

“Saya duluan, Bu! Saya datang dari jam sembilan!” balas pria di belakangnya.

Radit pusing. Pesanan mana yang harus ia buat lebih dulu? Yang pedas atau tidak? Pakai telur ceplok atau dadar? Kepalanya kosong. Ia hanya memasak berdasarkan insting, menyajikan satu piring, lalu piring berikutnya.

“Ini, Mas,” katanya, menyodorkan sepiring nasi goreng ke pelanggan pertama.

Pelanggan itu menyendoknya dengan penuh harap. Mengunyahnya. Alisnya berkerut.

“Kok… agak keasinan, ya, Mas?”

Jantung Radit mencelos. Ia beralih ke wajan berikutnya, mencoba mengurangi garam.

“Ini punya Bapak.”

“Lho, saya kan pesennya nggak pedes, Mas! Ini pedes banget!”

Kepanikan mulai menjalari dirinya. Ia punya skill, ia punya pengetahuan dari Sistem, tapi ia tidak punya pengalaman menangani tekanan. Kesalahan-kesalahan kecil mulai terjadi. Nasi yang sedikit terlalu lembek, telur yang kuningnya pecah, pesanan yang tertukar.

“Gimana, sih? Katanya enak banget!” keluh seorang vlogger ke kameranya, suaranya dibuat berbisik namun cukup keras untuk didengar Radit.

“Sabar, mungkin dia lagi grogi,” bela seorang ibu-ibu. “Wanginya sih enak banget.”

Radit terus memasak, mengabaikan semua suara, fokus pada gerakan tangannya yang cepat. Wajan panas, minyak mendesis, spatula menari. Tapi jiwanya tidak ada di sana. Ia memasak seperti mesin, mesin yang mulai kepanasan dan mengeluarkan asap.

Hari itu terasa seperti neraka yang wangi. Ketika senja tiba dan pelanggan terakhir akhirnya pergi, Radit terduduk di lantai, bersandar pada dinding yang kotor oleh jelaga. Warungnya seperti kapal pecah. 

Piring kotor menumpuk, lantai lengket oleh saus dan nasi yang tumpah, dan meja kasirnya penuh dengan uang kertas lecek yang belum sempat ia hitung. Ia berhasil. Ia melewati hari itu. Tapi ia merasa lebih kalah daripada saat warungnya sepi.

Dengan sisa tenaga, ia mulai membersihkan kekacauan itu. Mengepel lantai, mencuci piring, mengelap meja. Suara gemericik air dan gesekan kain menjadi satu-satunya bunyi di tengah keheningan malam. 

Saat itulah, di tengah aroma sisa bumbu dan sabun cuci, hidungnya menangkap sesuatu yang lain.

Aroma yang tipis, namun tajam dan menusuk.

Aroma dupa. Bukan dupa wangi seperti di kuil atau spa, melainkan aroma kemenyan yang berat dan sakral, jenis yang biasa dibakar orang untuk ritual. 

Radit berhenti bergerak, mencoba mencari sumbernya. Tidak ada apa-apa. Mungkin hanya imajinasinya, atau bau dari rumah tetangga.

Ia mengangkat karung beras kosong untuk membuangnya. Dan saat itulah ia melihatnya.

Di sudut tergelap warungnya, di antara tumpukan peti kayu dan kaleng kerupuk yang kosong, sebuah bayangan tergeletak di lantai. Bukan bayangan dari benda apa pun. Bentuknya ganjil, lebih pekat dari kegelapan di sekitarnya, seolah itu adalah sebuah lubang yang menyerap cahaya. 

Ketika matanya mencoba fokus pada bayangan itu, bayangan itu bergetar sejenak, meregang seperti makhluk hidup yang menggeliat sebelum kembali diam.

Radit membeku. Jantungnya yang tadi lelah kini berdebar kencang dengan irama teror yang familier. Kekuatan ini… persembahan itu… semua ini bukan hanya memberinya skill dan pelanggan. Itu telah menyalakan sebuah suar di dunia lain, sebuah mercusuar aroma yang mengundang perhatian. 

Dan kini, sesuatu dari kegelapan itu telah mengikuti jejaknya pulang. Sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayang-bayang, tertarik pada kekuatan rasa yang baru saja ia bangkitkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 125

    Jantung Luna serasa berhenti berdetak selama sepersekian detik. Foto itu—Radit, sendirian, rapuh, dengan lingkaran bidik merah yang menyala seperti mata iblis di kepalanya—membakar retinanya. Udara di sekitarnya terasa menipis. Kilatan lampu kamera dan riuh tepuk tangan para wartawan yang merayakan kemenangannya mendadak terasa jauh, seperti gema dari dunia lain.“Luna? Ada apa?” bisik Adrian di sebelahnya, merasakan perubahan drastis pada aura wanita itu.Tanpa sepatah kata pun, Luna menunjukkan layar ponselnya. Mata Adrian yang tadinya bersinar penuh kemenangan langsung meredup menjadi dua bilah es. Arogansinya yang baru saja kembali luntur seketika, digantikan oleh kewaspadaan predator yang terlatih.“Bajingan,” desis Adrian. “Mereka tidak menggertak. Ini bukan ancaman kosong. Ini deklarasi.”Luna menarik napas tajam, mengembalikan kendali atas dirinya. Kepanikan adalah kemewahan yang tidak ia miliki. “Mereka ingin aku menarik ultimatum itu. Mereka pikir ancaman ini akan membuatku

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 124

    Pria itu melangkah lebih dekat ke jeruji sel, cahaya remang-remang koridor akhirnya menyinari separuh wajahnya. Kulitnya pucat, matanya biru sedingin es, dan rambut pirang gelapnya disisir rapi ke belakang. Setiap inci dari dirinya menjeritkan kekuasaan korporat—mahal, terawat, dan tanpa ampun.“Kita punya masalah bersama,” ulangnya, nadanya datar seolah sedang membahas laporan kuartalan. “Dan… sebuah solusi bersama.”Ki Gendeng, yang tadinya merosot di dinding, perlahan menegakkan tubuhnya. Kekuatan gaibnya mungkin telah hilang, tetapi naluri liciknya sebagai pemain ulung masih tajam. “Aku tidak punya ‘masalah bersama’ dengan siapa pun. Terutama dengan tikus korporat yang lari saat kapalnya mulai tenggelam.”Pria asing itu tersenyum tipis, sebuah gerakan bibir tanpa kehangatan. “Tepat sekali. Kapal kita, Tuan Gendeng. Kapal kita. Global Foods Incorporated berinvestasi besar dalam proyek ‘Rasa Kilat’. Kekalahan Anda di panggung itu adalah kekalahan kami di lantai bursa. Saham kami anj

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 123

    Jawa Timur, ribuan kilometer dari panggung yang remuk itu.Mbah Soto tertidur di kursi kayunya yang reyot, kepalanya terkulai di dada, dengkur halusnya beradu dengan irama kaldu yang mendidih perlahan di dalam dandang tembaga raksasa. Mimpi yang datang bukanlah mimpi biasa. Bukan tentang masa lalu atau cucu-cucunya. Dalam mimpinya, ia melihat seutas benang emas melayang turun dari langit, menembus atap warungnya, dan menyentuh keningnya dengan kehangatan yang aneh. Benang itu lalu masuk ke dalam dandang kaldunya, menari-nari di antara tulang-tulang sapi dan rempah-rempah, menerangi setiap molekul umami yang tersembunyi.Ia melihatnya. Bukan dengan mata, tetapi dengan pemahaman. Ia melihat bagaimana kolagen pecah menjadi gelatin, bagaimana sumsum melepaskan lemaknya dalam butiran-butiran mikroskopis, bagaimana cengkih dan pala berbisik pada bawang putih dalam bahasa kimia yang puitis. Selama tujuh puluh tahun ia memasak soto, ia hanya mengenal hasilnya. Malam ini, dalam sekejap, ia dip

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 122

    —bukan dengan suara, melainkan dengan keheningan yang memekakkan telinga.Cahaya itu tidak membakar, tidak menghancurkan. Ia adalah esensi murni dari pengetahuan, sebuah simfoni keemasan yang meledak dari dada Radit dalam gelombang tanpa batas. Luna dan Adrian terlempar beberapa langkah ke belakang, bukan karena kekuatan fisik, melainkan karena bobot spiritual dari apa yang baru saja dilepaskan. Mereka melindungi mata mereka, tetapi cahaya itu menembus kelopak mata, mengisi pikiran mereka dengan gambaran samar dari ribuan dapur yang menyala serentak.“Apa-apaan ini?!” teriak Adrian, mencoba membaca data di tabletnya yang kini hanya menampilkan layar putih menyilaukan. “Ini bukan ledakan energi biasa! Skalanya… skalanya di luar grafik!”Di pusat badai tenang itu, Radit tidak lagi berteriak. Ia berlutut dengan satu kaki, kepalanya tertunduk, tangannya menekan lantai panggung seolah sedang menahan gempa bumi di dalam jiwanya. Ia adalah pusat dari prosesi agung ini, sebuah bendungan sek

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 121

    …KEMAMPUANMU UNTUK MERASAKAN.Tiga kata terakhir itu bukan sekadar teks pada antarmuka. Tiga kata itu adalah pisau bedah esensial yang menusuk langsung ke jantung identitas Radit. Bukan ingatan. Bukan keahlian. Bukan pula kekuatan. Yang diminta sebagai harga adalah fondasi dari segalanya: kemampuannya untuk secara pribadi mengalami keajaiban yang ia ciptakan. Ia bisa menjadi konduktor musik yang sempurna, tetapi ia akan selamanya tuli terhadap simfoni yang ia pimpin.Tarikan mengerikan itu berhenti, menunggu persetujuannya. Di dalam katedral data yang retak, jiwa Radit melayang, terguncang oleh dilema yang jauh melampaui sekadar hidup dan mati. Menjadi dewa yang maha tahu, atau menjadi manusia yang menginspirasi namun hampa?“Tidak,” bisik jiwanya, sebuah penolakan yang lebih dalam, lebih final. “Tidak akan pernah.”Dengan penolakan itu, kosmos data di sekelilingnya pecah berkeping-keping seperti kaca.BRUK!Kesadaran Radit terhempas kembali ke dalam raganya dengan kekuatan sebuah me

  • Resep Rahasia Sang Pecundang   Bab 120

    …TINGKAT MAKSIMUM. LEVEL 100.]Huruf-huruf emas itu tidak terbakar di retina batin Radit; mereka terlahir dari kehampaan, terbentuk dari debu bintang yang menyusun kesadarannya. Suara riuh stadion, wajah cemas Luna, dan dinginnya lantai panggung—semua itu lenyap, digantikan oleh keheningan agung di dalam sebuah katedral data yang tak bertepi.Ia tidak lagi berada di dalam tubuhnya. Ia adalah titik kesadaran yang melayang di tengah samudra informasi yang tenang. Di sekelilingnya, galaksi-galaksi algoritma berputar perlahan, dan nebula-nebula memori berkilauan dengan cahaya lembut. Ini adalah inti dari Sistem Citarasa Ilahi, sebuah ruang singgasana di ujung alam semesta kuliner.Sebuah utas cahaya perak terulur dari pusat kosmos ini, menyentuh kesadarannya. Sebuah suara yang bukan suara, sebuah konsep yang ditanamkan langsung ke dalam jiwanya, mulai berbicara.`[Pencapaian Tertinggi Telah Diraih. Protokol Wadah Telah Sempurna.]`“Sempurna?” bisik jiwa Radit, gema pikirannya menciptakan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status