LOGINSuara isapan itu berhenti, menyisakan keheningan yang seribu kali lebih menakutkan. Kehampaan suara itu terasa seperti sebuah pernyataan—hidangan telah habis, transaksi telah
selesai. Radit, yang masih berjongkok dengan lutut gemetar, merasakan gelombang dingin merayap di punggungnya, sebuah insting purba yang memerintahkannya untuk lari. Tanpa berpikir, ia bangkit dan berbalik. Ia tidak berlari, karena kakinya terasa seperti jeli, melainkan berjalan sempoyongan dengan kecepatan yang dipaksakan. Ia mematuhi perintah Sistem: jangan menoleh. Setiap langkah menjauh dari persimpangan itu terasa seperti menarik kakinya dari lumpur hisap yang tak terlihat. Ia bisa merasakan sesuatu di belakangnya, bukan kehadiran fisik, melainkan sebuah kekosongan yang mengawasinya, sebuah tatapan dari entitas yang baru saja ia beri makan. Begitu pintu warungnya yang reyot tertutup di belakangnya, kakinya lemas. Ia bersandar di pintu, dadanya kembang kempis, keringat dingin membasahi pelipisnya. “Gila… gila… gila…” bisiknya berulang kali, kata itu menjadi satu-satunya mantra yang bisa ia ucapkan untuk menahan kewarasannya agar tidak pecah berkeping-keping. Ting. [Persembahan Pertama - SELESAI] [Penilaian: Sempurna. Entitas Penjaga Persimpangan sangat puas dengan energi cita rasa yang dipersembahkan.] [Hadiah Diberikan: 20 Poin Pengalaman. Pengguna naik ke Level 2.] [PENGGUNA: RADIT JAYA] [LEVEL: 2 (Koki Jalanan)] [Skill Baru Terbuka: Pemotongan Cepat Level 1. Kecepatan dan presisi tangan Anda dalam menggunakan pisau meningkat sebesar 300%.] Sebuah gelombang informasi baru, tidak sedahsyat yang pertama, mengalir ke dalam benaknya. Kali ini bukan tentang bumbu, melainkan tentang gerak. Visi-visi tentang pisau yang menari di atas talenan, membelah bawang, mencincang daging, mengiris cabai dengan kecepatan kilat namun dengan setiap potongan yang identik sempurna, terpatri di dalam otaknya. Tangannya berkedut, seolah ingin segera memegang pisau dan mencoba kekuatan barunya. Namun, tubuhnya sudah mencapai batas. Kombinasi antara ketakutan supernatural dan kelegaan yang luar biasa membuatnya lemas. Ia bahkan tidak punya tenaga untuk membersihkan warungnya. Ia hanya berjalan ke dipan kayu di sudut, tempat ia biasa tidur, dan ambruk seketika, terlelap dalam tidur yang gelisah dan tanpa mimpi. Pagi datang terlalu cepat, membawa serta cahaya matahari yang menusuk kelopak matanya. Radit terbangun dengan kepala pusing dan mulut kering. Sesaat, ia mengira semua kejadian semalam hanyalah mimpi buruk yang aneh. Lalu ia melihat layar holografik yang masih melayang samar di sudut pandangannya, menampilkan status ‘Level 2’. Ini nyata. Dengan jantung berdebar, ia mengintip keluar dari celah pintu warungnya. Di tengah persimpangan, tempat ia meletakkan persembahannya, tidak ada apa-apa. Piring kaleng itu lenyap. Bahkan tidak ada jejak minyak atau sisa nasi. Tanah itu bersih, seolah tidak pernah ada apa pun di sana. Bersih secara tidak wajar. Ia menelan ludah. Rasa mual kembali naik. Ia telah melakukan transaksi dengan sesuatu yang tidak seharusnya ia ganggu. Sesuatu yang lapar. Ponsel bututnya di atas meja bergetar hebat, mengeluarkan bunyi dengung yang memekakkan telinga. Dengan enggan, ia meraihnya. Puluhan notifikasi membanjiri layarnya yang retak. Grup W******p tetangga, pesan dari nomor-nomor tak dikenal, dan tautan berita yang dikirim berulang kali. Ia membuka salah satu tautan dengan jari gemetar. Judul artikel itu terpampang besar-besar di layar: “Katedral Rasa di Gang Sengsara: Luna Kancana Menemukan Berlian Tersembunyi di Warung Nasi Goreng Paling Mustahil.” Di bawahnya, terpampang foto warungnya yang kumuh, diambil dari seberang jalan, tampak menyedihkan dan gelap. Namun, isi artikelnya adalah kebalikannya. Luna, dengan gaya bahasanya yang puitis dan brutal, melukiskan pengalamannya dengan kata-kata yang membakar. “…Ini bukan sekadar nasi goreng. Ini adalah sebuah pengakuan dosa di atas piring. Setiap butir nasinya berbisik tentang perjuangan, setiap irisan bumbunya adalah tetesan keringat yang mengkristal menjadi permata. Di tengah lautan MSG dan jalan pintas kuliner, Radit Jaya—seorang maestro yang menyamar sebagai pecundang—telah menyajikan sebuah kebenaran. Kebenaran yang begitu telanjang, begitu jujur, hingga membuat lidah saya yang paling sinis pun bersujud…” Radit membaca setiap kalimat dengan mata terbelalak. Maestro? Kebenaran? Bersujud? Wanita itu benar-benar gila. Tapi kegilaannya, tampaknya, menular. Artikel itu telah dibagikan ribuan kali. “Bang Radit! Buka, Bang!” Sebuah suara dari luar menyentakkannya. Radit mengintip lagi. Seorang pria muda dengan kamera tergantung di lehernya berdiri di depan warung. Di belakangnya, beberapa orang lain mulai berdatangan, menunjuk-nunjuk spanduk lusuhnya sambil memegang ponsel mereka. “Waduh…,” gumam Radit. Setengah jam kemudian, situasi berubah dari canggung menjadi mimpi buruk. Puluhan orang telah berkumpul di depan warungnya yang sempit. Food vlogger dengan ring light, pekerja kantoran yang penasaran, mahasiswa yang mencari konten, semua berdesakan di gang kecil itu. “Buka, woy! Udah jam sepuluh ini!” teriak seseorang. “Sabar, kali! Mungkin orangnya lagi beli bahan!” sahut yang lain. Radit panik. Bahan? Ia bahkan belum membeli apa-apa. Stoknya kemarin sudah hampir habis. Dengan gemetar, ia membuka pintu belakang, menyelinap ke pasar terdekat, dan membeli semua yang ia bisa dengan sisa uang dari Luna. Ketika ia kembali dan akhirnya membuka warungnya pada pukul sebelas, lautan manusia itu menyerbu masuk. Tiga mejanya langsung terisi. Sisanya membentuk antrean yang mengular hingga ke jalan utama. “Mas! Nasi goreng satu, yang kayak ditulis Luna!” “Dua porsi, Bang! Jangan lama-lama, ya!” “Pedesnya dipisah bisa, kan?” Rentetan pesanan menghantam Radit seperti badai. Ia, yang terbiasa melayani paling banyak lima pelanggan dalam satu jam, kini dihadapkan pada puluhan mulut lapar yang menatapnya dengan ekspektasi setinggi langit. “I-iya, sabar, ya!” jawabnya, suaranya nyaris hilang ditelan keriuhan. Ia menyalakan kompor, tangannya gemetar. Ia mengambil bawang, pisau, dan talenan. Saat itulah Skill barunya aktif. Tangannya bergerak sendiri. Tratatatatatat! Pisau di tangannya berubah menjadi kilatan perak, membelah bawang merah menjadi irisan-irisan setipis kertas dalam hitungan detik. Beberapa pelanggan yang melihatnya terkesiap kagum. “Wih, gila, tangannya cepet banget!” Tapi kecepatan tangan tidak diimbangi dengan kesiapan mental. Minyak ia tuang ke wajan. Byur! Terlalu banyak. Bumbu ia masukkan. Desisan keras dan aroma surgawi kembali memenuhi udara, membuat antrean semakin gelisah. Ia memasukkan nasi, mengaduknya dengan gerakan yang kini terasa lebih alami berkat penguasaan wok hei. “Mas, pesenan saya yang pertama tadi, lho!” teriak seorang wanita dari meja depan. “Saya duluan, Bu! Saya datang dari jam sembilan!” balas pria di belakangnya. Radit pusing. Pesanan mana yang harus ia buat lebih dulu? Yang pedas atau tidak? Pakai telur ceplok atau dadar? Kepalanya kosong. Ia hanya memasak berdasarkan insting, menyajikan satu piring, lalu piring berikutnya. “Ini, Mas,” katanya, menyodorkan sepiring nasi goreng ke pelanggan pertama. Pelanggan itu menyendoknya dengan penuh harap. Mengunyahnya. Alisnya berkerut. “Kok… agak keasinan, ya, Mas?” Jantung Radit mencelos. Ia beralih ke wajan berikutnya, mencoba mengurangi garam. “Ini punya Bapak.” “Lho, saya kan pesennya nggak pedes, Mas! Ini pedes banget!” Kepanikan mulai menjalari dirinya. Ia punya skill, ia punya pengetahuan dari Sistem, tapi ia tidak punya pengalaman menangani tekanan. Kesalahan-kesalahan kecil mulai terjadi. Nasi yang sedikit terlalu lembek, telur yang kuningnya pecah, pesanan yang tertukar. “Gimana, sih? Katanya enak banget!” keluh seorang vlogger ke kameranya, suaranya dibuat berbisik namun cukup keras untuk didengar Radit. “Sabar, mungkin dia lagi grogi,” bela seorang ibu-ibu. “Wanginya sih enak banget.” Radit terus memasak, mengabaikan semua suara, fokus pada gerakan tangannya yang cepat. Wajan panas, minyak mendesis, spatula menari. Tapi jiwanya tidak ada di sana. Ia memasak seperti mesin, mesin yang mulai kepanasan dan mengeluarkan asap. Hari itu terasa seperti neraka yang wangi. Ketika senja tiba dan pelanggan terakhir akhirnya pergi, Radit terduduk di lantai, bersandar pada dinding yang kotor oleh jelaga. Warungnya seperti kapal pecah. Piring kotor menumpuk, lantai lengket oleh saus dan nasi yang tumpah, dan meja kasirnya penuh dengan uang kertas lecek yang belum sempat ia hitung. Ia berhasil. Ia melewati hari itu. Tapi ia merasa lebih kalah daripada saat warungnya sepi. Dengan sisa tenaga, ia mulai membersihkan kekacauan itu. Mengepel lantai, mencuci piring, mengelap meja. Suara gemericik air dan gesekan kain menjadi satu-satunya bunyi di tengah keheningan malam. Saat itulah, di tengah aroma sisa bumbu dan sabun cuci, hidungnya menangkap sesuatu yang lain. Aroma yang tipis, namun tajam dan menusuk. Aroma dupa. Bukan dupa wangi seperti di kuil atau spa, melainkan aroma kemenyan yang berat dan sakral, jenis yang biasa dibakar orang untuk ritual. Radit berhenti bergerak, mencoba mencari sumbernya. Tidak ada apa-apa. Mungkin hanya imajinasinya, atau bau dari rumah tetangga. Ia mengangkat karung beras kosong untuk membuangnya. Dan saat itulah ia melihatnya. Di sudut tergelap warungnya, di antara tumpukan peti kayu dan kaleng kerupuk yang kosong, sebuah bayangan tergeletak di lantai. Bukan bayangan dari benda apa pun. Bentuknya ganjil, lebih pekat dari kegelapan di sekitarnya, seolah itu adalah sebuah lubang yang menyerap cahaya. Ketika matanya mencoba fokus pada bayangan itu, bayangan itu bergetar sejenak, meregang seperti makhluk hidup yang menggeliat sebelum kembali diam. Radit membeku. Jantungnya yang tadi lelah kini berdebar kencang dengan irama teror yang familier. Kekuatan ini… persembahan itu… semua ini bukan hanya memberinya skill dan pelanggan. Itu telah menyalakan sebuah suar di dunia lain, sebuah mercusuar aroma yang mengundang perhatian. Dan kini, sesuatu dari kegelapan itu telah mengikuti jejaknya pulang. Sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayang-bayang, tertarik pada kekuatan rasa yang baru saja ia bangkitkan.Sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayang-bayang, tertarik pada kekuatan rasa yang baru saja ia bangkitkan.Pikiran rasional Radit berusaha memberontak, mencari-cari penjelasan logis di tengah lautan teror yang mulai menenggelamkannya. Trik mata. Kelelahan ekstrem. Pantulan cahaya lampu jalan yang aneh dari kaleng kerupuk yang penyok. Ya, pasti itu. Bayangan itu hanyalah produk dari otaknya yang sudah terlalu lelah, sama seperti suara di kepalanya yang mengaku sebagai Sistem Citarasa Ilahi.Ia mencoba mengalihkan pandangannya, memaksa dirinya untuk melanjutkan pekerjaan. Ia meraih kain pel, mencelupkannya ke dalam ember, dan mulai menggosok lantai dengan gerakan kaku. Namun, matanya seperti ditarik oleh magnet tak kasat mata, terus-menerus melirik ke sudut gelap itu. Bayangan itu masih di sana. Tidak bergerak, tetapi kehadirannya terasa begitu padat, begitu nyata, seolah memiliki gravitasi sendiri yang membengkokkan ruang dan waktu di sekelilingnya.Aroma dupa itu kembali mengua
Suara isapan itu berhenti, menyisakan keheningan yang seribu kali lebih menakutkan. Kehampaan suara itu terasa seperti sebuah pernyataan—hidangan telah habis, transaksi telah selesai. Radit, yang masih berjongkok dengan lutut gemetar, merasakan gelombang dingin merayap di punggungnya, sebuah insting purba yang memerintahkannya untuk lari.Tanpa berpikir, ia bangkit dan berbalik. Ia tidak berlari, karena kakinya terasa seperti jeli, melainkan berjalan sempoyongan dengan kecepatan yang dipaksakan. Ia mematuhi perintah Sistem: jangan menoleh. Setiap langkah menjauh dari persimpangan itu terasa seperti menarik kakinya dari lumpur hisap yang tak terlihat. Ia bisa merasakan sesuatu di belakangnya, bukan kehadiran fisik, melainkan sebuah kekosongan yang mengawasinya, sebuah tatapan dari entitas yang baru saja ia beri makan.Begitu pintu warungnya yang reyot tertutup di belakangnya, kakinya lemas. Ia bersandar di pintu, dadanya kembang kempis, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Gila… g
“Kau… bukan sekadar juru masak,” bisiknya, kata-kata itu keluar seperti hembusan napas yang rapuh, sarat dengan kekaguman yang nyaris menyakitkan. “Kau adalah seorang pencerita. Dan ini…,” si wanita menunjuk piring kaleng itu dengan dagunya, matanya masih terpaku pada Radit, “...ini adalah kebenaran yang bisa dirasakan.”Radit hanya bisa menatap wanita itu. Mulutnya terbuka tanpa suara. Otaknya gagal total memproses pujian yang begitu puitis dan dahsyat. Selama ini, pujian tertinggi yang pernah ia terima adalah, “Lumayan, Dit, nggak terlalu gosong.”Wanita itu perlahan berdiri, gerakannya kembali anggun dan terkendali, seolah momen keterkejutan tadi hanyalah riak sesaat di permukaan danau yang dalam. Ia merapikan blazernya, tatapannya yang tajam kini melunak, digantikan oleh sesuatu yang lebih kompleks. Rasa hormat, keingintahuan, dan mungkin sedikit kebingungan.“Aku Luna,” katanya, memperkenalkan diri seolah itu adalah hal paling wajar di dunia, di tengah warung yang lebih mirip lo
Lalat-lalat itu, yang tadinya menjadi simbol pembusukan dan kegagalan, kini melayang beku di udara, sayap-sayap mungil mereka berhenti bergetar. Mereka bukan lagi serangga, melainkan para pemuja bisu yang terpaku di hadapan sebuah altar rasa, terhipnotis oleh kemenyan ilahi yang menguar dari sepiring nasi goreng di atas meja.Radit sendiri berdiri sama kakunya. Ia menatap piring di hadapannya, bukan dengan rasa bangga, melainkan dengan ketakutan. Nasi goreng itu memancarkan aura hangat, butiran-butiran nasinya yang keemasan tampak berkilau lembut di bawah cahaya remang warungnya. Ini bukan lagi makanan. Ini adalah sebuah artefak, sebuah keajaiban yang lahir dari wajan tuanya, dan ia tidak berani menyentuhnya, takut keajaiban itu akan sirna jika disentuh oleh tangan seorang pecundang sepertinya.Keheningan yang sakral itu tiba-tiba pecah.Bukan oleh dengung lalat yang kembali sadar, melainkan oleh suara asing yang datang dari jalanan. Sebuah deru mesin yang halus, dalam, dan bertenaga
Radit tersentak, punggungnya menghantam tanah berdebu di belakang warung dengan bunyi gedebuk. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tak beraturan, seolah ia baru saja berlari maraton sejuta kilometer. Matanya terpejam rapat, mencoba mengusir sisa-sisa ledakan sensorik itu. Ia merasakan denyutan di setiap saraf, bukan sakit, melainkan sebuah kejutan dahsyat yang melampaui rasa nyeri. Radit membuka kelopak matanya. Dunia di sekelilingnya tampak berbeda. Bukan secara fisik, namun dalam sebuah dimensi yang lebih subtil.Udara malam yang dingin kini terasa membawa partikel-partikel aroma tersembunyi. Debu di tanah tak lagi hanya debu, melainkan campuran partikel mineral dengan jejak aroma tanah basah dan sisa pembakaran kayu. Bahkan embusan angin yang menerpa kulitnya terasa seperti sentuhan yang bisa ia ‘rasakan’ komposisinya.Radit berdiri dengan gontai, kepalanya masih berdenyut seperti ditabuh gong. Namun ada sensasi kejelasan yang aneh. Seolah, di tengah kekacauan itu, sebuah perp
Beberapa saat Radit mematung. Ia sama sekali tidak bisa tidur. Suara yang muncul di kepalanya membuatnya bertanya-tanya. Apa ia sungguh kehilangan kewarasannya sekarang? Sistem Citarasa Ilahi. Sesuatu yang tidak disangka oleh Radit. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?Arang hitam itu terlepas dari genggamannya yang gemetar, jatuh ke tanah dengan bunyi gedebuk yang nyaris tak terdengar. Radit berdiri kaku, matanya yang membelalak liar menatap spanduk lusuh di hadapannya, tetapi yang ia lihat bukanlah kain pudar itu. Ia melihat kehampaan.“Gila…,” desisnya, napasnya keluar dalam embusan gemetar yang membentuk kabut tipis di udara malam yang dingin. “Aku sudah gila. Stres. Kurang tidur. Kelaparan. Lengkap sudah penderitaanku,” ocehanya pada diri sendiri. Radit mencoba merangkai serpihan rasionalitas yang tersisa di benaknya yang kacau. Tentu saja itu jawabannya. Tubuhnya telah mencapai batas, dan otaknya mulai memproduksi ilusi untuk melarikan diri dari kenyataan pahit. Suara di dala







