Matahari belum tampak, tapi aku sudah merusak mimpi indahku demi mengejar metromini. Jangan berpikir kalau aku akan liburan. Sepuluh ribu persen tidak! Biar pun ini masih suasana lebaran plus holiday, aku nggak minat pergi berlibur. Iya, nggak minat karena nggak punya duit. Aku suci sekali selepas puasa Ramadhan. Suci hati, suci diri, suci saku pula.
Persiapan sekolahku serba mendadak. Mendadak nyari sepatu, mendadak nyari kaos kaki yang sebelahnya ternyata digondol curut, mendadak nyari buku padahal aku belum beli buku, mendadak mengejar Ibu buat tanda tangan raport, dan kejadian mendadak lainnya yang membuat kepalaku mau pecah detik ini juga. Ternyata berangkat sekolah di hari libur itu nggak menyenangkan, Genks!
Lebih sialnya lagi, matahari yang belum menyembul itu ternyata bukan karena ini masih pagi. Namun, cuaca mendung luar biasa. Hujan rintik menghiasi langkah penuh doaku ini. Hujan di bulan Juni. Aku jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono. Ah, seharusnya Juni itu musim kemarau.
Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini melakukan yang terbaik.
Lagu Rian D’Masiv tiba-tiba berputar di kepalaku.
“HP sialan.” Aku mengumpat sambil memandangi ponsel mungil yang wujudnya sudah agak dekil. Kalau bukan karena ponsel ini, aku tidak akan berangkat sekolah dengan serba mendadak. Salahkan ponsel yang nggak bisa ngatur waktu sendiri. Sekarang tanggal 25 Juni, di ponsel malah berubah jadi 23 Juni. Waktunya berubah kayak gini gara-gara aku copot baterai kemarin. Jadi, karena tanggal menunjukkan 23, aku menyangka kalau aku masih memiliki waktu dua hari lagi sebelum mempersiapkan diri menjadi anak buah di kantor tempatku PKL.
Berkali-kali aku melihat angka penunjuk waktu di ponsel butut ini. Kadang aku berdecih, kadang garuk-garuk kepala, kadang ngupil saking pegelnya menunggu mobil yang kutumpangi sampai. Mana kepala nggak bisa diam. Kadang lirik ke jendela kanan, jendela kiri, lirik jam, menatap ke depan, menoleh lagi ke belakang. Sampai-sampai kondektur metromini geleng-geleng melihat aku yang kayak cacing kepanasan.
“Neng, nahan pipis apa gimana?” Si Abang nanya dengan tampang datar yang minta digampar.
“Nahan pup, Bang,” jawabku kesal.
“Pup itu apaan? Nahan laper?”
“Mules.”
“Oh, pantesan dari tadi nggak bisa diam."
Aku hanya memutar bola mata malas.
Lima belas menit kemudian, metromini sampai di Terminal Kadipaten. Secepat kilat aku berlari dan masuk angkutan perkotaan berwarna kuning. Pakai cap 1A. sebenarnya, mau angkotnya cap 1A. 1B, 1C, aku bisa sampai di depan gerbang SMEA dengan selamat sentosa. Itu karena sekolahnya di pinggir jalan dan masih jauh dengan pusat Kota Majalengka di mana nanti angkot berpencar nyari pacar, eh, nyari jalur masing-masing maksudnya. Namun, aku sukanya huruf A, jadi kupilih angkot yang itu.
“Neng, kok udah sekolah?” tanya Abang sopir angkot.
Ya, terus masalahnya dengan situ apa?
“Neng ini mau sekolah, kan? Beneran? Nggak akan mangkal di mana-mana?
Ini aku pakai seragam putih abu, Bang. Ya kali aku mau kerja di garment. Lagipula garment tadi udah kelewat. Weits, revisi dululah kalimatnya. Masa iya aku mau mangkal? Aku bukan bancay capcay bohay. Aku cewek tulen yang menjunjung tinggi nilai keperawanan
“Diem aja atuh, Neng?”
Sariawan aku, Bang. Males ngomong gara-gara lihat muka situ.
Si Abang dongkol karena pertanyaannya nggak dijawab sama aku. Syukurin. Dasar Abang lambe melar. Kalau ngomong emang nggak pernah bagus. Masa nanya sama anak sekolah gitu banget?
Ia langsung tancap gas meninggalkan terminal. Butuh kurang lebih lima belas menit untuk melewati SMK Kehutanan, Lapang Sedar, Perum, Pasar Kadipaten berikut bunderannya, dan SMA Kadipaten. Di sebelah Puskesmas Kadipaten, di situlah SMEA berada.
Aku turun dari angkot, memberikan uang dua ribu lima ratus, lalu menyapa gedung yang selama dua tahun ini menjadi tempat penampunganku.
* * *
“Oke, jadi apa maksud poin keempat dalam tujuan PKL ini? Yang mau memberikan pendapat, silahkan angkat tangan!
Seseorang di barisan pertama mengangkat tangannya. Pemateri pun langsung menyuruh anak itu ke depan. Buset, mataku langsung melotot. Hatiku memanas menahan marah. Melihat wajah si cowok yang berjalan songong ke depan itu membuat aku ingin meringkus tubuhnya, lalu dihanyutkan ke Sungai Mataram. Atau kalau perlu dibakar dulu, nanti abunya disebar di sana biar tambah mantap.
“Berdasarkan penjelasan sewaktu saya mengikuti seminar, katanya dalam dunia kerja itu pelajaran atau teori yang diberikan di sekolah hanya 20% yang dapat diperlukan. Selebihnya kita sendiri yang mempelajarinya saat bekerja di instansi itu. jadi, maksud dari tujaun mempelajari hal baru di dunia kerja itu adalah training kita dalam melakukan pekerjaan di instansi yang sama sekali belum kita pelajari di sekolah. Terima kasih.”
F*ck You, Alan! Bodoh amat!
Melihat ekspresiku yang berubah, Niara, teman satu mejaku sekaligus sahabat ter-unch sepanjang zaman bertanya, “Kamu kenapa?”
“Nggak apa-apa.”
“Kalau benci sama Alan, nggak usah lebay gitu. Nanti kamu suka sama dia."
“Aku? Suka sama Alan? Astagfirullah.” Refleks aku mengelus dada berkali-kali.
“Jangan gitu, nanti beneran suka.”
Halo-halo Bandung. Hidupku takkan pernah kayak FTV di mana benci bisa menjadi cinta. Seribu persen pesona si Alan kampret nggak akan bisa melumpuhkan hati bajaku.
Setelah puas mencibirku, Niara kembali fokus ke pemateri.
“Hem.” Aku bersidekap dada. Melihat si Alan Kampret aku jadi bosan tiba-tiba, jadi ngantuk, lapar, pokoknya campur aduk kayak es campur.
Mataku melirik ke arah ponsel DIsa yang menampilkan kolom obrolan dengan gebetannya sendiri. Disa ini sahabatku juga. Agak pendiam orangnya. Namun, dia doyan makan. Kalau Niara bawa makanan sebakul, langsung abis kalau disodorin ke Disa.
“Chat-an aja terus, Dis,” sindirku yang sama sekali tidak mengganggunya memainkan jari di keyboard. Duh, ini orang gitu amat sama aku.
“Iyalah. Pacar baru harus sering di-chat.”
What? Huawapah? Disa punya pacar? Kok, dia melangkahi aku dan Niara? Dia kan yang paling muda di antara aku dan Niara. Masa iya dia duluan yang dapat pacar?
“Sejak kapan?”
“Minggu, abis lebaran.”
“Kok, nggak ngasih tahu?”
“Kamunya nggak nanya.”
“Pajak jadian?”
“Nanti beli seblak abis bubaran ini.”
Aku langsung nyengir bahagia kayak yang abis menang lotre. Lalu, kuangkat kedua jempol di udara. Niara yang meliha tingkah absurdku langsung ngurut dada. Sing sabar bae, Niara. Aku mah gitu orangnya. Hehe.
Semua orang memaklumi tingkah konyolku. Mereka mengenalku sebagai cewek dari Jatiwangi yang selalu membawa ketololannya ke sekolah. Untung aku lumayan pinter dalam masalah pelajaran, kalau nggak mana ada yang mau berteman denganku?
April Rizca. Siapa yang tak mengenalku? Banyak! Wkwkwk.
Aku adalah jomblo modern yang sudah bertahun-tahun tak berjumpa dengan sang mantan. Tersesat di Kadipaten karena bercita-cita menjadi seorang Akuntan. Jauh-jauh dari Jatiwangi untuk meningkatkan derajat ibu dan bapak.
Saat ini aku sedang membenci salah satu cowok di kelasku. Namanya Ramlan Ajinugroho. Karena apa? Karena cowok itu curang saat Penilaian Akhir Tahun alias Ujian Kenaikan Kelas, Mei lalu. Bukan hanya itu, Alan juga menduduki rangking pertama di semester ini berkat kecerdikannya. Cerdik dalam urusan contek-menyontek.
Saat kelas satu, aku mendapat posisi pertama. Semester satu di kelas dua, aku di posisi kedua, karena posisiku disenggol oleh cewek banyak omong yang sangat-sangat kubenci. Namanya Safiya. Saat ini Safiya rangking kedua, dan yang menempati posisi ketiga adalah cewek kalem yang berteman dengan cewek super pelit. Namanya Nuro dan cewek pelit itu Lia. Lalu, sekarang aku ada di posisi keempat akibat kelicikan si Alan kampret. Emang sialan.
Menurunnya rangking itu membuat aku dongkol. Aku nyaris megap-megap di dalam bak mandi hanya karena tak mau melihat Ibu memasang wajah kecewa. Namun, mau bagaimana lagi? Aku memegang teguh nasihat Bapak beberapa tahun lalu yang berbunyi, “Lebih baik memiliki nilai jelek karena hasil sendiri, daripada nilai bagus tapi hasil dari menyontek.”
Aku tahu itu hanya hiburan semata, karena pas SMP aku pernah rangking 11. Jangan salahkan ketololanku. Namun, suruh siapa pas SMP aku dikurung di kelas unggulan yang isinya manusia robot semua?
Pemateri sudah berganti. Kalau tadi materinya tentang tujuan PKL, kali ini tentang apa yang seharusnya dilakukan di tempat kerja. Aku kembali fokus ke depan. Kusimak baik-baik pembicaraan Bu Suri.
Hujan sudah reda. Namun, bising masih tercipta. Masih ada Emak Gosip yang sedang mengupas berita terbaru setelah lebaran. Hal itu membuat fokusku lagi-lagi berkurang.
“Yah, Dinas ada apel pagi sama sore,” kata Nara.
Naira ini PKL di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Tempatnya di Cigasong, Majalengka, dekat sama pasar Cigasong. Jadi, kemungkinan bisa belanja dulu kalau pulang kerja.
“Sing sering-sering elus dada.” Aku menimpali dengan nada mengejek.
“Untung aku di Bank.” Disa ikut menimpali.
Kalau Disa PKL di Bank BPR cabang Sumedang. Enak kalau kerja di Bank. Bisa ngitung duit. Terus sesuai juga dengan profesi. Terus pelajarannya juga sudah dipelajari pas kelas satu. Jadi, nggak belajar baru lagi.
“April, kamu jangan hina aku. Toh, itu di Kantor Pos katanya enam hari kerja.”
Aku langsung menepuk kening keras. Matilah, yang lain sabtu libur eike masuk kerja.
Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini melakukan yang terbaik.
Lagi-lagi suara Rian D’Masiv mengalun di pikiranku. Soundtrack yang mantap menghiasi kesialanku yang entah keberapa kalinya.
***
***
Bisa dibilang hari ini aku sedikit beruntung, karena selain dipertemukan dengan orang ganteng aku juga diberi kesempatan untuk mengetahui namanya. Kabar baik lainnya adalah ternyata Oppa Korea yang tadi papasan sama aku di parkiran itu adalah karyawan baru yang dikirim dari kantor pusat untuk menggantikan Bu Jihan. Di sisa-sisa masa PKL ini, akhirnya aku bisa cuci mata, nggak melulu melihat wajah Pak Arip yang kerutan. Hehe.“Mit, namanya Zikri,” bisikku pada Mita yang baru saja datang. Cewek itu rupanya kesiangan karena semalam Ozan mengajaknya jalan-jalan. Pantas saja nomor WA-nya nggak aktif semalaman rupanya teman PKL-ku ini sedang berbucin ria dengan doinya.“Manggil orang yang lebih tua itu mesti pakai sapaan di depannya, Pak atau Aa, kek.”“Dia nggak pantes disebut Pak, wajahnya masih muda. Aa juga nggak pantes, karena mukanya nggak Sunda banget, mestinya dipanggil Sayang.”Aku cengar-cengir, sedangkan Mita malah
Zia mengajakku ke suatu tempat sore ini, tapi aku lagi mager banget. Kerjaan di kantor pos lumayan banyak hari ini karena Bu Jihan sudah fix resign. Aku dan Mita sampai tepar karena mengkilokan barang yang akan dikirim. Barangnya berat-berat lagi, aku yakin nanti malam punggungku pasti minta diurut.Zia: Anter, dong.Lagi-lagi Zia mengirimiku pesan. Sembari menunggu angkot lewat, aku duduk di depan warung tukang es kelapa dan menelepon Zia.“Emang mau ke mana, sih?” tanyaku saat panggilan telepon terhubung.“Mau beli kado.”“Aku heran, deh, kenapa hari ini banyak banget yang minta aku buat nganter beli kado.”“Emang siapa yang udah minta kamu anter beli kado?”“Januari.”“Buat siapa?”“Buat sang mantan,” jawabku ketus.“Wow, ada yang cemburu rupanya,” goda Zia.“Aku kesel pokoknya. Kamu beli kado buat si An
Kemarin, Januari langsung mengantarku pulang karena aku bilang merasa lelah. Tadinya dia masih ingin mengajakku jalan-jalan. Cowok itu merasa bersalah karena pagi harinya membatalkan janji untuk mengantarku. Aku, sih, nggak marah. Cuma ... ya, kesel aja. Lain kali aku nggak mau kalau dianter ke mana-mana lagi, kecuali saat mendadak mau pergi dan kebetulan dia lagi senggang baru aku terima tawarannya.Hari ini pun dia menawarkan untuk mengantarku ke tempat PKL. Karena aku bangun kesiangan, akhirnya aku terima tawarannya. Begitu mengirim pesan dan kubalas, motor dia sudah tiba di depan rumah. Aku yang masih sarapan sontak tersedak. Aku belum dandan, Genks, rambutku pun masih basah dan acak-acakan karena baru mandi. Kasihan Januari harus melihat penampakan jelekku."Buruan makannya, itu temen kamu udah jemput," kata Ibu sembari meletakkan
Bunyi perutku yang minta diisi membuat Disa kehilangan fokus saat mengetik. Dia menatapku, lalu menaruh laptop di meja. Niara pun berhenti membaca kata pengantar yang telah dicetaknya. Ia merapikan berkas yang berceceran di lantai. Kedua temanku ini sudah hapal kebiasaanku. Kalau sudah keroncongan otakku nggak bisa diajak berpikir. Mereka mulai merapikan dandanan dan bersiap pergi. Saatnya berburu makanan.“Kita mau ke mana?” tanya Disa usai memaki helm.“Alun?”“Alun Majalengka kejauhan,” protesku.“Alun Maja, April!” Kedua manusia ini bicara barengan. Ah, kalau sudah bersama mereka ketololanku emang suka muncul tiba-tiba.“Mau makan apa emang?” tanya Niara.“Seblak?” Disa bukan memberi jawaban, tapi dia merekomendasikan.“Bosen,” jawabku.“Baso aci aja, yuk. Ada kedai yang baru buka di sekitar terminal, menurut saudaraku, sih, enak
“Hallo, Dis?” Aku mendekatkan ponsel ke kuping kanan, sambil terus melangkah menuju Pajagan. Tadinya aku hendak meminta kakak iparku untuk mengantarkan, biar cepet gitu naik motor. Namun, kata Kak Okta, suaminya lagi pergi mancing sama Pak Gus, tetangganya. Alhasil sekarang aku ngos-ngosan karena berjalan, udah gitu matahari mulai merangkak naik, bikin keringat mengucur di balik baju.“Kenapa, Pril?” sahut Disa.“Kamu belom berangkat?”“Belom, aku masih di pasar. Bentar lagi pulang. Nanti aku langsung OTW.”“Aku nggak jadi diantar Januari, kita bareng, ya. Aku tunggu di pasar Kadipaten kayak biasa.”“Kenapa nggak jadi dianterin?”“Ada urusan mendadak dia.”“Oh, oke. Kabarin aja kalau udah sampe. Kamu bawa helm, ‘kan?”“Iya, bawa.”“Ya udah, aku kabarin nanti
Aku baru saja berniat untuk tidur selepas memikirkan hal-hal nggak guna. Namun, bunyi ponsel yang meraung-raung membuat mataku terbuka lagi. Ck, sial. Tahukah dia bahwa pukul dua dini hari bukanlah waktu yang tepat untuk mengobrol? Di waktu seperti ini mendingan curhat sama Allah melalui sholat tahajud, bukannya mengganggu tidur Princess.Kuraih ponsel di atas kepala, lalu melihat layarnya yang menampilkan nama Januari. Buset, rupanya si biang kerok ini yang minta dihajar. Dia nggak kasihan apa sama aku? Gara-gara kunjungan mendadak yang membawa serta mantannya itu, aku jadi nggak bisa tidur. Sekarang saat mataku lelah, dia muncul membuat jantungku dugeman."April?" suaranya menyapa gendang telingaku begitu tombol hijau di layar ponsel kugeser."Hm ...." Aku menanggapinya dengan deheman, pura-pura baru bangun tidur biar dia merasa bersalah."Jangan pura-pura tidur, aku tahu kamu belum tidur. WA kamu aja baru dilihat beberapa menit lalu," sindir Januari.